Bab 6 | Tel Aviv dan Kebimbangan Bert

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam duabelas menit dari Yerusalem, Bert akhirnya telah memasuki gerbang kota Tel Aviv. Sedan putih miliknya melaju dengan kecepatan sedang membelah hirup-pikuk Kota Putih yang merupakan situs warisan UNESCO itu. Gedung-gedung perkantoran yang menjulang dan 4000 bangunan rumah putih bergaya Bauhaus terhampar di sisi dan kanan jalan yang ia lalui. Ratusan kendaraan mewah berseliweran dan terlihat saling mendahului satu sama lain.

Alunan musik clasic berbahasa Ibrani mengalun lembut sedari tadi. Tatapan netra hijaunya lurus pada jalanan aspal yang mulus. Sesekali ia bersenandung dan bersiul sambil menikmati perjalanan.

Hari Sabtu di mana semua umat Yahudi sibuk sembahyang Sabat dan melakukan serangkaian ibadah di Tembok Ratapan maupun sinagog, perwira Israel yang satu ini justru pergi untuk menyambangi hotelnya yang sudah mulai beroperasi sejak tiga bulan yang lalu.

Melakukan ibadah singkat dalam rumah saja sudah cukup baginya. Bert tidak seperti Aaron yang sangat taat beribadah meskipun di tengah-tengah kesibukannya sebagai seorang letnan. Lagipula Bert memang tidak akan bisa memantau perkembangan bisnisnya kecuali pada hari libur seperti sekarang. Sebab di hari kerja, Bert pasti akan sangat sibuk bertugas ke perbatasan, atau melakukan berbagai agresi militer ke Jalur Gaza.

Dia telah sampai di kawasan Bauhaus Center, tempat di mana hotelnya dibangun. Bert sudah memarkirkan mobilnya. Ia tersenyum penuh arti menatap bangunan bertingkat duapuluh dengan interior mewah bergaya Bauhaus yang setiap lapisan dindingnya bercat putih. Di setiap tingkat memiliki balkon yang melengkung dengan jendela-jendela kecil yang khas. Jika diamati bentuknya hampir menyerupai kepala kapal besar, namun berlapis-lapis.

Ela's Royal Hotel, sebuah nama yang diambil dari nama sang ibu disematkan pada properti pertamanya itu. Kedua matanya berkaca-kaca. Bert sangat menyayangkan ibunya tidak bisa menyaksikan keberhasilan hasil kerja kerasnya selama ini. Tetapi Bert meyakini jika Ela bisa menyaksikannya di atas sana.

Sesampainya di lobi, para resepsionis dan staff menyapanya dengan senyum ramah. Rambut cokelat keemasan yang klimis serta busana semi-formal membuaynya tampak sangat maskulin pagi ini. Dia balas tersenyum dan terus melangkah gontai menuju elevator untuk menuju lantai atas di mana ruangan CEO berada.

****

"Aku sangat puas dengan progres hotel kita. Sangat melebihi ekspektasi awal." Senyum Bert semakin melebar. Kedua netra hijaunya berbinar. "Sangat tidak menyangka omzet kita bahkan bisa sebesar ini. Padahal baru beberapa bulan beroperasi. Ini adalah kerja keras yang sangat memuaskan."

Bert sudah duduk di kursi besarnya. Ia menegakkan punggung tegapnya pada sandaran kursi yang tinggi.

Seorang lelaki jangkung berambut hitam yang duduk di seberangnya ikut mengembangkan senyuman. Netra hitam beningnya berkilau. Dia adalah Ze'ef Geron, sahabat sekaligus orang yang Bert percaya untuk mengurus bisnisnya.

"Para tamu memuji pelayanan baik serta fasilitas yang kita berikan. Mereka juga
senang dengan keramahan semua staff di sini." Ze'ef menyodorkan beberapa dokumen penting pada Bert. "Ini berkas-berkas yang harus kau tandatangani."

"Itu harus dipertahankan."

"Ya, tentu saja."

Bert membaca semua dokumen terebut dengan teliti satu per satu, lalu ia membubuhkan tandatangannya pada lembaran kertas itu sambil mengulas senyum.

"Minggu depan ada meeting dengan beberapa investor muda yang ingin ikut menanam saham di perusahanmu." Ze'ef mengambil alih berkas-berkas tersebut dan merapikannya kembali ke dalam map.

"Kau atur saja semuanya. Aku percayakan semua padamu. Jika ada hal yang mendesak, jangan ragu untuk menelepon." Bert menaruh kedua tangan kokohnya di meja.

Ze'ef mengangguk, lalu menghela napas panjang. Ia menyandarkan punggungnya pada badan kursi.

Kedua pria rupawan itu menoleh ke ambang pintu kala pintu tersebut dibuka oleh seseorang. Tak lama sekretaris berbadan langsing menyembul di balik pintu. Wanita berparas manis dengan tahi lalat di dagu kirinya itu memamerkan senyum. Ia berjalan anggun sambil membawa dua cangkir kopi yang masih mengepul dalam nampah. Aroma kopi hitam tiba-tiba menyeruak dalam ruangan luas bernuansa putih tersebut. Ia menaruh cangkir kopi pekat itu di depan Bert dan Ze'ef.

"Tolong kau fotocofy-kan ini."

"Baik, Tuan." Sekretaris itu menerima selembar kertas penting yang Ze'ef sodorkan, lalu pamit meninggalkan ruangan.

"Nanti akan aku email-kan gambar desain dan detail konsepnya padamu. Aku ingin membangun sebuah restoran yang juga bergaya Bauhaus dan interior dalamnya pun harus bernuansa serba putih. Ini hanya akan dibuat satu lantai, tapi berukuran luas dan aku ingin berbentuk seperti kapal."

"Fantastis." Ze'ef tersenyum lebar. "Aku memiliki kenalan seorang arsitek tersohor lulusan sekolah desain Bauhaus di Weimar, Jerman."

Bert mengangguk dengan tatapan serius. "Aku ingin bertemu dengannya."

****

Siang yang sangat cerah. Bert medaratkan bokongnya pada salah satu kursi taman yang menghadap langsung ke pantai. Hamparan pasir putih di tepi lautan biru tampak berkilau diterpa cahaya mentari yang bersinar terang. Pohon-pohon kurma dan palem yang berjajar menjadi aksesoris indah di pantai itu. Rencanannya restoran Bert nanti akan dibangun di sekitar pesisir pantai Gordon yang ikonik dan terkenal di Tel Aviv, Israel ini.

Decak kagum, senda gurau dan suara bidikan kamera memekakan telinganya. Banyak sekali turis dari manca negara yang tengah berjemur di tepi pantai. Sebagian anak-anak tampak sedang membangun istana pasir dan beberapa remaja terlihat tengah asyik bermain bola. Dua wanita berkulit putih dan seksi berpakaian bikini melintas di hadapannya. Mereka melirik Bert sambil menyuguhkan senyum terbaik. Namun Bert justru memasang wajah datar dengan tatapan dingin di balik kacamata hitam yang ia kenakan.

Pemandangan seperti itu sudah lumrah ia lihat dan sama sekali tidak membuatnya tertarik, apalagi membuat darah mudanya berdesir. Berbeda dengan budaya di Timur Tengah yang pada umumnya setiap wanita memakai pakaian tertutup, di Tel Aviv perempuan justru bebas berbikini seperti itu. 'Miami of Meadle East' begitulah kebanyakan orang menjululi Kota Putih ini.

Dering ponsel membuat lelaki berwajah putih bersih itu tersentak dari lamunannya. Sebuah panggilan suara masuk dari Aaron, ia segera menekan tombol hijau untuk menyambungkan.

"Hallo."

"Hallo. Di mana kau?" Aaron menyapa di seberang Berlin.

"Di tepi pantai."

"Ck! Apa yang kau lakukan di sana, Bung?"

"Meratapi nasib." Bert terkekeh pelan. "Tumben sekali kau meneleponku di jam seperti ini. Di mana istri dan anak-anakmu?"

"Mereka sedang pergi ke supermarket untuk membeli kebutuhan bulanan."

"Hmm."

"Bagaimana?"

"Apanya yang bagaimana?" Bert mengerenyit.

"Kau masih belum mau menolong gadis Tepi Barat itu?"

"Aku masih berpikir."

Aaron mendesis. "Berpikir sampai kapan? Sampai gadis tidak bersalah itu mendekam di sel bertahun-tahun? Kau sangat payah. Aku malu pernah punya anak buah sepertimu."

Bert terdiam. Ia terpejam sambil mengeratkan pegangan pada ponsel yang lekat menempel di telinga kanannya. Ia menyesal telah menceritakan tentang Filistin pada Aaron. Namun sejatinya hanya Aaron-lah satu-satunya orang tempatnya untuk berbagi keluh-kesah.

"Dengar, jangan sampai kau menyesali perbuatanmu, Bert. Gadis malang itu tidak bersalah dan seharusnya kau berterima kasih padanya." Tak lelah Aaron menasihati.

"Iya." Bert berkedip.

"Kau tahu tidak, doa apa yang akhir-akhir ini aku panjatkan pada Allah?"

"Tidak."

"Dalam sujud aku selalu memohon agar semua saudara-saudaraku mendapat hidayah, termasuk kau."

"Hidayah ...?"

"Ya, aku berdoa agar suatu hari kau ingin memeluk Islam. Bert, apalagi yang kau ragukan tentang Islam? Hidupku diselimuti kebahagiaan, kedamaian dan penuh rasa syukur setelah memeluk Islam."

Bert menghela napas. Tatapannya lurus pada gumpalan awan putih di antara birunya langit. Di dalam dirinya telah mengalir darah seorang muslim dari Ismail, yang membuatnya selama ini membenci Islam karena ulah lelaki sialan itu yang mencampakkan ia dan ibunya. Tetapi setelah melihat perubahan hidup Aaron setelah memeluk Islam, sedikit demi sedikit kebenciannya terhadap Islam mengikis. Hanya saja ....

"Aku belum menemukan alasan yang kuat untuk memeluk Islam. Aku tidak sepertimu yang jatuh cinta pada gadis Gaza, lalu memeluk Islam, Letnan."

"Sebenarnya kau telah menemukan cintamu, Bert. Hanya saja kau belum menyadarinya!" tegas Aaron.

"Siapa?"

"Filistin."

"Aku tegaskan sekali lagi, aku bukan pedofil. Filistin hanya gadis kecil yang telah lancang mengusik ketenangan hidupku. Entah kesialan macam apa hingga aku harus bertemu dengannya."

"Tetapi gadis kecil itu yang telah membuat jantungmu berdebar dan gelisah setiap malam, bukan? Hanya orang munafik yang tidak mau mengakui perasaanya sendiri." Aaron mengakhiri panggilan.

Bert menghela napas. Kacamata hitamnya ia lepaskan, lalu mengusap wajah dengan kasar. Lelaki yang memiliki tahi lalat halus dan kecil di pipi kirinya itu termenung sambil meremas-remas jemarinya. Netra hijaunya tampak sayu. Ia merogoh saku celananya, mengambil sapu tangan biru itu lalu menggenggamnya erat.

Sapu tangan peninggalan Ela itu kini bukan hanya menyimpan kenangan sang ibu. Tetapi juga kenangan gadis asing yang telah lancang membuat kekacauan dalam hatinya.

Dia sudah menyuruh Maria untuk mencuci sapu tangan tersebut lebih dari seratus kali. Ingus dan air matanya jelas saja sudah hilang, tetapi kenangan tentang keanehan dan gilanya gadis itu masih sangat melekat di sana, di benak dan hatinya.

Sudah tiga bulan berlalu, tapi bayang-bayang wajah Filistin yang polos itu selalu saja mengusik hari-hari dan pikirannya. Gadis kecil itu seperti hantu yang mengikuti setiap langkahnya. Bert menahan napas, lalu membuangnya dengan kasar.

"Entah bagaimana keadaanya di sel sekarang?" tanya Bert pada semilir angin. "Haruskah aku membebaskannya? Tapi ... akhhhh!"

Bert menggigit bibir tipisnya. Dia benci dengan dirinya sendiri dan tidak mengerti kenapa dia menjadi setengah gila dan gelisah seperti ini.

****

Minta doanya semoga cerita ini bisa aku selesaikan. Terima kasih :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro