Bab 5| Sapu Tangan Biru

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Ar Rahman. Ar Rahiim. Al Malik
Al Quddus. As Salaam. Al Mu'min. Al Muhaimin. Al Aziz
Al Jabbar. Al Mutakabbir. Al Khaliq. Al Baari. Al Mushawwir.
Al Ghaffaar. Al Qahhaar. Al Wahhaab. Ar Razzaaq ...."

Hala tak jemu mengembangkan senyum kala untaian Asmaul Husna mengalun begitu merdu dari bibir tipis Filistin. Hatinya menjadi sejuk. Gadis itu sudah banyak menghibur para tahanan dengan keceriaannya.

Filistin tampak sangat menghayati, matanya terpejam dan sesekali mengulas senyum. Semua orang yang melihatnya pun ikut tersenyum karena suara merdu Filistin sangat menyejukkan hati dan pikiran mereka.

Beberapa tahanan anak-anak serta remaja lain pun tampak bergumam. Mereka berdoa dan sebagiannya sedang melantunkan ayat-ayat suci Al Qur'an. Tentunya dengan sangat lirih agar para polisi jaga tidak mendengarnya.

Filistin, Mariam dan Hala duduk bersandar pada tembok yang sudah berlumut. Pengap serta hawa panas menyergap tubuh semua penghuni di sana. Tidak terdapat jendela untuk ventilasi udara dalam penjara bawah tanah tersebut. Sangat miris, siang dan malam pun tidak ada bedanya melainkan pekat karena hanya mengandalakan penerangan dari lampu yang dinyalakan dan dimatikan sesuka hati polisi jaga Israel. Tidak ada pilihan bagi mereka, selain bersabar dan tetap memohon pertolongan pada Sang Khalik.

"Masya Allah, suaramu sangat merdu," puji Hala seusai Filistin selesai melafalkannya.

"Alhamdulillah, terima kasih. Suaramu juga merdu, aku sangat menyukainya."

Keduanya saling melempar senyum. Lalu mereka melirik Maryam yang sedari tadi hanya membungkam dengan tatapan kosong menatap langit-langit. Hati Filistin dan Hala terenyuh. Setiap hari Maryam hanya mematung seperti itu, sudah seperti mayat hidup. Untuk makan saja harus dipaksa oleh Hala dan Filistin.

Wajah Filistin mendadak murung. Dia menghela napas berat, lalu menekuk wajah. Tiba-tiba dadanya menjadi sesak.

"Kau kenapa?"

"Aku kepikiran kejadian kemarin malam. Kalau saja Bert tidak datang tepat waktu, mungkin aku juga akan mengalami nasib seperti Maryam."

"Maha Besar Allah. Allah telah menyelamatkanmu melalui tentara itu, kau harus banyak-banyak bersyukur."

Filistin mengangguk pelan. Ia mengangkat wajah kala Hala mengusap puncak kepalanya dengan lembut.

"Aku sangat merindukan keluargaku. Tapi kapan aku bisa bertemu mereka lagi? Aku ingin pulang. Aku rindu sekolah dan aku rindu masakan Ibu."

Filistin menggigit bibir. Bening hangat mulai bergumul di pelupuk matanya.

"Bersabarlah, Filistin."

Hala menyeka sudut matanya yang sudah meneteskan air mata. Gadis berhijab hitam itu menatap satu per satu wajah polos anak-anak yang tengah berkumpul di sudut ruangan. Mereka terduduk sambil memeluk lutut.

Anak-anak itu seharusnya tengah belajar di sekolah, menimba ilmu demi meraih cita-cita mereka. Bukan mendekam di penjara bawah tanah seperti ini.

Anak-anak malang itu seharusnya sedang bermain bebas di rumah-rumah mereka, bercengkrama dengan orang tua mereka seperti anak-anak di negara lain yang sudah merdeka. Bukan harus terkurung jeruji besi dan mendapatka siksaan serta pelecehan seksual seperti ini.

Hala meremas bagian dadanya, hatinya sangat perih melihat penderitaan anak-anak tak berdosa itu.

"Kenapa para penjajah itu terus menangkap kita seperti ini? Apa salah kita?" Filistin terisak. "Tak cu--cukupkah mereka meledakkan ru--rumah-rumah kita? Tak cukupkah mereka me--menembaki saudara-saudara kita? Belum puaskah mereka me--mengambil tanah kita? A---aku ingin pulang!"

Hala membekap mulut. Air matanya berjatuhan sangat banyak, dadanya semakin sesak. Dia merengkuh tubuh mungil Filistin dalam dekapannya, lalu mengusapinya dengan lembut.

"Pe--percaya padaku, penderitaan ini akan segera berakhir. Kita harus ikhlas dan tetap bersabar dan berdoa. Allah menguji kita seperti ini, karena Allah sangat mencintai kita. Surga apa yang kau inginkan?"

"Firdaus!" seru Filistin sambil terisak. Kedua tangan mungilnya sibuk menyeka laju air matanya yang tumpah semakin deras.

"Aku juga menginginkan surga Firdaus." Hala tersenyum manis di sela tangisnya. "Kalau begitu kita harus ikhlas, bersabar dan tetap semangat untuk mendapatkan tiket menuju surga Firdaus."

Filistin mengangguk antusias. Dia mengela napas lega, lalu mengembangkan senyumnya semakin lebar.

Derit pintu besi yang sangat nyaring membuat jantungnya hampir melompat. Filistin mengelus dada dan menoleh pada lelaki berseragam kepolisian Israel yang baru saja memasuki ruangan. Semua orang di sana ikut tercengang dan menoleh pada polisi yang tengah menenteng senjata laras panjang itu, kecuali Maryam, gadis beriris hijau itu masih dengan tatapan kosongnya.

"Filistin! Siapa yang bernama Filistin?!" Polisi itu mengedarkan tatapan tajam. "SIAPA YANG BERNAMA FILISTIN?! KALIAN TULI? BISU?"

Semua orang menelan saliva kala polisi jaga tersebut menarik pelatuk senjatanya. Lalu dengan angkuh ia mengarahkan moncong senjata hitam itu ke setiap sudut ruangan dengan tatapan mengintimidasi, seolah siap untuk meletuskan tembakan pada siapa pun yang dikehendakinya.

"SIAPA YANG BERNAMA FILISTIN? BERDIRI!"

"A---aku."

Filistin akhirnya memberanikan diri untuk berdiri. Ia menoleh dengan tatapan sendu menatap Hala yang menggengam tangan mungilnya sangat erat, dia menenangkan Hala dengan isyarat mata.

"Allah akan melindungku. Aku percaya."

Filistin memaksakan senyum, meskipun jantungnya berdebar-debar. Entah kesalahan apa lagi yang ia lakukan, gadis itu tidak merasa berbuat onar. Dia menelan saliva, lalu berjalan menghampiri polisi itu dengan kedua kaki gemetar. Keringat dingin menetes-netes dari pelipisnya. Doa-doa, dzikir serta salawat ia lafalkan dalam hatinya.

"Ikut aku!"

"Ke mana?"

"Ke pemakaman!"

"Aku tidak mau! Ku--kumohon jangan bawa aku!"

Filistin menjerit sejadi-jadinya saat rambutnya yang dibalut hijab abu-abu dijambak dengan sekuat tenaga oleh polisi tersebut.

Tawa renyah pecah dari bibir kehitaman polisi tersebut melihat Filistin sangat kesakitan. Dia terus menyeret gadis itu hingga sampai di ruang besuk yang berjarak sekitar sepuluh meter dari sel bawah tanah. Mereka melewati sebuah lorong panjang yang sanat gelap. Sesampainya di depan pintu besi yang telah terbuka lebar, polisi itu mendorong Filistin hingga gadis itu tersungkur ke lantai.

Filistin meringis, ia mendongak menatap kedua sepatu boot hitam, lalu tatapannya naik ke kaki panjang yang dibungkus celana hijau tua, khas seragam tentara Israel yang berdiri di depannya itu. Jantungnya semakin berdebar kencang.

"Be--Bert?"

Perwira Israel itu berbalik. Kedua tangannya yang kokoh terlipat di dada. Dia melempar tatapan dingin pada Filistin. Kedua kakinya berayun mendekati gadis aneh itu, lalu mendesis.

"Sudah kuduga, kau pasti akan datang lagi menemuiku."

Filistin berdiri dengan sangat semangat. Rasa takutnya menguap entah ke mana. Netra biru yang semula sendu kini tampak berbinar-binar. Wajah bersihnya kembali merona merah jambu. Bibir tipisnya pun mengulas senyum, menatap wajah datar Bert yang terlihat sangat tampan baginya.

"Sepertinya Allah sudah mengabulkan doaku. Benar, mungkin kau adalah malaikat yang dikirim Allah untukku." Filistin meremas tangannya sendiri sambil mengulum bibir.

"Aku yakin ka---"

"Hentikan omong kosongmu!" Bert berdecih, lalu maju selangkah mendekati gadis itu. "Aku datang ke sini hanya untuk mengambil sapu tanganku. Kembalikan."

Filistin berkedip. Ia menatap iris hijau Bert dan tangan besar Bert yang mengapung di depan wajahnya dengan bergantian.

"Sapu tangan ...," gumamnya.

"Aku mohon sekali lagi. Aku mohon bantu bebaskan aku dari penjara ini! Aku tidak mencuri dompetmu! Apa begitu sulit bibirmu mengatakan kebenarannya pada mereka, huh?"

Bert menahan napas, memejamkan mata dengan rahang semakin mengeras karena gadis kecil ini tak juga berhenti menyerah dan terus merengek padanya. Bahkan gadis berhijab abu-abu itu terus menarik-narik telapak tangannya yang besar.

"Aku mohon! Kenapa kau tega sekali memfitnahku seperti ini? Kau tahu tidak, fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan?!"

Bert mendesah, membuka mata lalu melempar tatapan dingin pada iris biru gadis itu.

"Hei, dengar. Pertama, aku tidak pernah memfitnahmu. Kedua, aku tidak peduli padamu. Itu sudah takdirmu harus dikurung seperti ini. Jadi jalani saja. Lagipula aku tidak mengenalmu, untuk apa juga aku menolongmu ha?!"

"Kalau begitu kita kenalan dulu."

Kedua alis tebal Bert saling menaut. Masih dengan tatapan dinginnya, pria berjaket navy army itu kembali menghela napas panjang. Dia mengusap wajahnya dengan kasar berulang kali.

"Namamu Bert, bukan? Bert Ertugrul. Namaku Filistin, Filistin El Qadi. Kau boleh memanggilku Filin, itu nama kesayangan dari ayahku. Terserah kau mau memanggilku siapa, asal jangan memanggilku El Qadi, karena itu adalah nama kakekku."

Bert mengunci lidah, tidak ingin berbicara sedikit pun lagi pada gadis aneh itu. Dia menarik tangannya dengan kasar dari cekalan tangan mungil Filistin, lalu bersidekap.

"Sekarang kita sudah saling mengenal. Jadi apakah kau bersedia untuk membantu membebaskanku dari sini?"

Sepasang iris biru Filistin berbinar, mengunci netra hijau Bert yang dingin. Bibir tipisnya yang merona alami melengkung ke atas, dia sangat berharap lelaki itu akan menolongnya.

"Kau bersedia, bukan?"

"Tidak. Sudah kubilang, aku tidak peduli padamu!" tegasnya penuh penekanan.

Bert melempar tatapan rendah pada Filistin, kemudian segera mengayunkan langkah gontainya yang tegas.

Bukan Filistin namanya jika harus menyerah begitu saja. Bagaimanapun dia harus bisa meluluhkan hati perwira Israel itu. Filistin sangat merindukan keluarganya, dia ingin pulang dan pergi ke sekolah. Kedua kaki pendeknya terus berlari mengimangi langkah lebar Bert dengan terseok-seok. Napasnya terputus-putus.

"Bert! Bert tu--tunggu! Aku mohon ... bebaskan aku dari sini!"

"A--ku akan terus beroda dalam setiap sujudku agar Allah membukakan pintu hatimu lalu menolongku."

Bert menggeleng. Kedua kaki panjangnya berayun semakin gontai. Andai saja bisa, dia sungguh ingin menghilang agar tak dapat mendengar ocehan gadis itu lagi.

"Kau tahu, doa sesorang yang terdzolimi akan selalu dikabulkan? Dan sekarang aku sedang terdzolimi! Bert, apa kau mendengarnya?"

Bert mendesis, lalu mengusap wajahnya dengan sangat kasar. Bibir tipisnya bahkan nyaris tidak terlihat. Susah payah dia meredam emosinya yang bergolak.

"BERT! BERT! BERRT! AKU SANGAT YAKIN SUATU HARI NANTI KAU AKAN MEBEBASKANKU DAR----"

Filistin tersentak saat hidung mungilnya yang mancung menabrak dada bidang Bert yang keras ketika lelaki jangkung itu tiba-tiba berhenti dan berbalik tanpa aba-aba. Filistin meringis menahan linu dan debaran aneh di dadanya. Dia memegangi pangkal hidungnya, lalu mendongak hingga tatapan mereka bertemu.

"Hei, Gadis Kecil! Berapa usiamu? Berani sekali kau memanggil namaku seperti itu. Tidak sopan."

"Limabelas, tapi bulan depan aku akan berulang tahun yang keenambelas. Tepatnya tanggal duapuluh dua bulan Mei," ujarnya dengan nada polos.

"Dengar, aku tidak peduli dengan tanggal lahirmu dan aku tidak suka kau memanggilku seperti tadi, mengerti?"

Filistin mengangguk. "Ma--maaf, Kakak Bert."

"Kau bukan adikku!"

"Paman Bert."

"Sejak kapan aku menikahi bibimu ha?!"

"Ayah Bert."

"Ya Tuhan! Aku tidak pernah menghamili ibumu!"

"Bibi Bert! Kalau begitu aku akan memanggilmu Bibi Bert saja. Bibi Bert."

Bert terngaga. Semburat merah sontak melumuri wajah putihnya. Dia menggeram seraya menguatkan kepalan kedua tangannya, lalu mengintai gadis di depannya dengan tatapan tajam.

"Panggil Bert saja."

"Ka--kau membuatku bingung."

"Kau mebuatku pusing!" Bert membuang napas berat. "Kuharap ini adalah terakhir kalinya aku bertemu denganmu. Sekarang kembalilah ke sel sebelum para polisi itu menyeretmu dengan paksa. Cepat pergi."

Tatapan tajam Bert terpaku pada sepasang iris biru Filistin yang sangat jernih. Gumpalan bening mulai memenuhi mata gadis itu, hatinya sedikit terenyuh. Tapi untuk apa juga dia peduli.

Filistin menggigit bibir bawahnya. Air matanya tak dapat dibendung lagi hingga terjun bebas mengaliri kedua pipinya yang tirus. Pupus sudah harapannya ingin terbebas dari penjara Israel itu. Dia benar-benar tidak menyangka lelaki di depannya ini tidak mau menolongnya sama sekali. Lelaki yang ia kagumi justru membiarkannya dipenjara atas kesalahan yang sama sekali tidak dia lakukan. Filistin tersedu-sedu, ia mengusap air mata serta ingusnya menggunakan ujung kerudung abu-abunya yang telah sangat lusuh.

Bert menggeleng melihatnya. "Kau jorok sekali. Bersihkan pakai tisu."

"A--aku tidak mempunyai tisu."

Entah dorongan dari mana hingga tangan kekarnya merogoh saku jaket, lalu meraih sebuah sapu tangan berwarna biru.

Filistin menatap sapu tangan biru yang Bert sodorkan padanya, lalu mengunci tatapan dingin pria beriris hijau itu.

"Pakai ini."

"Te--terima kasih."

Bert masih setia dengan tatapan dingin dan wajah datarnya tanpa menyahut. Kemudian pria tinggi nan gagah itu melenggang pergi begitu saja tanpa ingin menoleh lagi.

"Aku akan terus berdoa pada Allah agar kau mau membantuku."

Filistin membeku di tempat. Kedua kakinya mendadak sangat lunglai. Air matanya enggan berhenti mengalir, dia mengusapnya menggunakan sapu tangan biru milik Bert yang sangat lembut. Tercium semerbak farfum yang menyeruak dari kain hijau itu.

"Kembalikan sapu tanganku."

Filistin tersentak dari lamunannya tentang kejadian kemarin malam. Hampir saja ia melupakan sapu tangan milik Bert.

"Kau menginginkan sapu tanganmu?"

"Menurutmu?"

"Kukira kau memberikan sapu tanganmu untuku."

Bert mendesah. "Memangnya siapa dirimu? Untuk apa juga aku memebrikan sapu tanganku untukmu."

"Barangkali untuk kenang-kenangan."

"Haaah! Sudah. Cepat berikan sapu tanganku."

Filistin meraih sapu tangan biru milik Bert dari saku baju tahanannya. Lalu dia menyodorkan kain hijau itu pada Bert dengan hati berdebar.

"Kau sudah mencucinya bukan?"

Filistin mengangguk. "Tapi ... tapi di dalamnya masih ada ingusku."

"APA? Maksudmu? Bukankah kau bilang sudah mencucinya?"

"Iya, kemarin malam aku sudah mencucinya. Tapi tadi pagi, ketika aku teringat Ibu, Ayah dan Kakak, aku kembali menangis dan membersihkan air mata serta ingusku menggunakan sapu tanganmu lagi." Filistin menunduk. Kedua pipinya merona dan panas.

Rahang tegas Bert seolah ingin jatuh dari tempatnya mendengar penuturan Filistin baruan. Dia memijat pelipisnya dengan sangat kencang. Lalu menguaap wajah dan kembali menatap Filistin dengan garang. Netra hijaunya melirik sapu tangan hijau yang Filistin genggam.

"Jadi sapu tanganku masih ada ingusmu?"

Filistin mengangguk. "Kalau begitu aku akan mencucinya lagi, besok kau datang lagi ke sini."

"Kau kira aku tidak memiliki pekerjaan ha? Kau kira aku tidak sibuk? Lihat!" Bert mengibaskan seragam perwiranya yang lusuh oleh debu dan keringat. "Aku baru saja pulang berpatroli di Perbatasan dan harus jauh-jauh datang ke sini semua karenamu. Kau sangat merepotkan dan membuang-buang waktuku!"

"Kenapa kau marah-marah? Kau sendiri yang memberikan sapu tangan itu padaku. Aku tidak pernah memintanya."

Bert terdiam. Kedua mata teduhnya melebar, benar juga apa katanya. Kemarin malam dia sendiri yang telah bodoh memberikan sapu tangan itu. Sejatinya Bert bisa membeli ratusan sapu tangan jika ia mau, di toko, pasar bahkan mall tidak akan sulit untuk mendapatkan benda itu. Hanya saja, sapu tangan biru itu bukan sembarag sapu tangan biasa. Sapu tangan itu adalah satu-satunya kenang-kenangan milik mendiang ibunya, Ela dan Bert selalu membawanya ke mana pun ia pergi bahkan saat di medan perang sekalipun. Entah setan apa yang merasukinya kemarin dan memberikannya pada gadis itu untuk membersihkan ingus. Bert bergidik ngeri.

Oh, Ibu. Maafkan aku!

"Jadi bagaimana? Kau ingin aku mencuci---"

"Tidak perlu! Berikan sekarang."

"Tapi ingusnya sangat banyak."

"Berikan."

Filistin menganguk sambil menggigit bibir. Hawa panas menjalar di kedua pipinya yang merona.

Ruang bawah tanah di ujung lorong yang sunyi itu pada akhirnya menjadi saksi bisu serah terima sapu tangan biru milik Bert yang dipenuhi ingus Filistin yang telah mengering bercampur air mata.

Keduanya saling berhadapan. Bert memejamkan mata sambil bergidik kala ujung jarinya yang besar menyentuh sapu tangan biru itu. Sedangkan Filistin memejamkan mata karena malu.

"Kau benar-benar jorok!"

Bert menyambar sapu tangan itu hingga sepenuhnya dalam genggaman, lalu ia segera menyeret langkahnya dengan gontai meninggalkan gadis aneh itu. Dia sungguh tidak habis pikir dengan Filistin.

"Demi Tuhan! Dia bisa membuatku gila! Kesialan macam apa ini? Astaga!"

****

😁😭😂

Ya Allah, Filistin!

Apa kesan kalian pada cerita ini?

Semoga enggak bosen ya😂

Jangan lupa vote, komen dan follow jika suka. Terima kasih.

Mau follow aku di IG @chachitihar juga boleh😆 aku suka bikin spoiler Filistin dan Bert loh di sana. 💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro