Bab 14 | Bert Butuh Sandaran

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Update ✌😜

Silakan ngakak sama sub judulnya 😅 #Bertjoneslagingenes

🐏 ( Walad )

"Musibah itu mungkin bentuk teguran dari Allah. Barangkali agar kau membuka hatimu untuk menerima hidayah dari-Nya."

Suara berat Aaron di seberang Berlin menggema. Sepasang netra elangnya berbinar, menumbuk iris hijau Bert di layar ponsel. Mereka sedang melangsungkan videocall.

"Hidayah?"

"Ya, petunjuk. Berapa banyak nyawa Palestina yang telah kita bunuh? Berapa gadis Palestina yang telah kau perkosa? Berapa rumah warga Gaza yang telah kita bumihanguskan?"

Bert menghela napas, lalu berkedip.

"Apa kau ingat kejadian di mana aku kehilangan kedua kakiku? Aku meyakininya itu adalah hukuman atas dosa-dosa yang telah kulakukan."

Bert mengusap wajah, menatap serius wajah tegas Aaron. Sahabatnya itu memakai gamis putih lengkap dengan sorban kotak-kotak merah dan putih yang menutupi kepalanya. Bert ingin terbahak melihat Aaron sudah menjelma seperti orang Arab sungguhan.

"Ayolah, Letnan. Jangan membahas tentang dosa. Kau jangan menakut-nakutiku. Dosa di dunia urusannya ketika aku sudah mati, bukan? Sekarang aku masih hidup dan aku tidak ingin memikirkannya."

Aaron menggeleng, menegakkan punggung yang semula bersandar pada kursi roda.

"Allah punya banyak cara untuk menegur atau menghukum setiap hamba-Nya. Ada yang langsung dihukum di dunia, ada yang dihukum di akhirat dan ada yang dihukum di dunia dan akhirat. Jadi kau mau dihukum di mana, ha?!"

Tawa Bert sontak pecah mendengarnya.

"Astaga! Hanya orang bodoh yang ingin dihukum. Tentu saja aku tidak menginginkan keduanya."

"Kalau begitu jangan jadi manusia bodoh!" tegas Aaron dengan nada sewot, "kematian seseorang tidak pernah bisa diprediksi. Jika kau mati besok bagaimana? Mati dalam keadaan kafir, haram bau surga bagimu, Bung!"

"Kejam. Kau menyumpahiku mati besok?"

"Siapa yang tahu? Kau pikir bisa bernegosiasi dengan Tuhan jika kau ingin hidup di dunia selama enam puluh tahun, tujuh puluh, atau seratus tahun? Setiap hidup dan kematian seseorang sudah ditetapkan oleh Allah."

Bert kehilangan kata-kata. Kali ini ia diam seribu bahasa, terpaku dengan sepasang netra cokelat terang elang Aaron yang tajam. Semenjak memeluk Islam pria itu jadi banyak bicara, Bert tidak habis pikir. Tapi ia malas jika harus lebih lama beradu argumen dengan Aaron seperti ini, sebab ia akan selalu kalah telak.

"Bertaubatlah sebelum terlambat. Apa lagi yang kau tunggu? Pintu ampunan Allah akan selalu terbuka bagi hamba-Nya sebelum nyawanya di kerongkongan. Setelah memeluk Islam dan bertaubat bersungguh-sungguh, semua dosa-dosamu di masa lalu akan dihapuskan. Kau akan dibersihakan seperti bayi yang baru lahir ke dunia tanpa dosa sedikit pun!"

Aaron menghela napas. Bening menggenang di pelupuk matanya. Sungguh ia sangat berharap jika Bert akan memeluk Islam sepertinya. Padahal dalam diri Bert sudah mengalir darah seorang muslim dari ayahnya. Namun entah kenapa hati pria itu sekeras batu, Aaron menggeleng.

"Terserah kau mau menerima saran dariku atau tidak. Aku hanya peduli padamu, Bert. Aku sudah menganggapmu seperti saudara!" tegasnya sungguh-sunguh, lalu mengakhiri panggilan saat Aisyah menaruh kedua balita kembar berusia delapan bulan dalam pangkuan Aaron.

Bert menghela napas panjang, menaruh ponsel di samping piring. Kemudian menatap nanar sepiring kugel yang baru ia makan separuh sebelum Aaron menelepon tadi.

Semakin banyak aku belajar tentang Islam dari Aisyah, aku semakin sadar betapa butanya hatiku dan betapa dodohnya aku di masa lalu. Aku sudah membuang-buang waktuku hanya untuk membunuh.

Renungkanlah semua itu, Bert. Renungkan dengan hatimu. Bukan dengan egomu.

Bert mengusap wajah, melempar pandang pada sebuah koran di samping piring. Di halaman pertama tampak gambar sebuah hotel yang hampir seluruhnya hangus terbakar. Ela's Royal Hotel miliknya sudah tidak bisa dioperasikan lagi. Semua manager beserta staf terpaksa ia berhentikan. Ia mengalami kebangkrutan yang tidak main-main. Semuanya telah habis.

Dalam insiden tersebut memakan sekitar sebelas korban jiwa dan ratusan lainnya mengalami luka serius, bahkan sebagian kritis. Hasil penyelidikan polisi menyimpulkan bahwa kebakaran tersebut disebabkan oleh tabung gas yang meledak. Entah berapa ratus juta Shekel yang harus Bert keluarkan untuk menanggulangi biaya berobat semua korban hidup maupun santunan pada keluarga korban yang tewas. Ia sudah menyuruh Ze'ef untuk mengurus semuanya.

Bert membuang napas berat. Lalu meraih ponsel dan mengetikkan sebuah pesan untuk Ze'ef.

Aku sudah menghubungi Tuan Aloysius untuk membatalkan proyek pembangunan hotel di Haifa dan Jaffa. Semuanya sudah berakhir. Terima kasih selama ini sudah membantuku, Ze'ef.

"Kau tidak menghabiskan sarapanmu?"

Suara itu membuat Bert menoleh dan mengulas senyum tipis. Ia memasukkan ponsel dalam saku jeans-nya.

Wanita berbadan gemuk menarik kursi di sebelah Bert, lalu mendudukinya. Rambut kriting pirangnya tergerai di atas bahu.

"Maaf, Bi, aku tidak berselera makan. Aku harus segera pergi ke markas."

"Markas? Bukannya kau sudah resmi mengundurkan diri?"

"Aku hanya ingin berpamitan dengan teman-teman. Sekaligus ada berkas yang harus aku tandatangani bersama Jenderal Bolgen."

Maria mengulas senyum tipis, lalu mengelus punggung tangan Bert dengan lembut.

"Bert, ada yang ingin aku sampaikan padamu."

"Apa, Bi? Katakan saja."

"Ini ... ini mengenai Tuan Ismail."

Bert sontak membeku. Ia mengunci netra bundar Maria dengan tatapan tajam. Rahangnya mengeras.

Maria menghela napas. "Tenangkan dulu dirimu. Sebenarnya beberapa hari ini, ada yang menghubungiku di Instagram. Tadinya aku tidak ingin menanggapinya. Tetapi saat dia menyebutkan nama ayahmu, aku jadi penasaran. Katanya, dia melihat semua postinganku yang di sana terdapat beberapa fotomu saat masih kecil dan fotomu yang sekarang." Maria berkaca-kaca. "Tenyata dia adalah Nyonya Yasemin, istri ayahmu. Dia sudah lama sekali mencarimu, Bert."

Bert menggebrak meja. Ia berdiri sambil melempar tatapan tajam pada Maria.

"Jadi kau belum menghapus semua fotoku? Bi, sudah berapa kali kukatakan padamu, aku tidak ingin ada fotoku di sosial media! Kenapa kau tidak menghapusnya?!"

"Ma--maafkan, aku, Bert. Bibi hanya ing---"

"Apa?!" Bert menipiskan bibir. Dadanya bergetar. "Aku sangat kecewa padamu!"

Bert mengepalkan kedua tangannya. Suasana hatinya semakin kacau. Ia tidak habis pikir dengan apa yang telah Maria lakukan.

"Tuan Ismail sedang koma! Sudah dua minggu dia koma dan sampai sekarang belum siuman! Nyonya Yasemin memohon agar kau pergi untuk menemuinya sekali saja!" teriak Maria menahan isak, menatap nanar punggung Bert di ambang pintu.

Lelaki kekar itu menoleh. Ia menelan saliva. Kedua matanya sudah memerah dan panas. Dadanya sesak.

"Menemuinya?" Bert tertawa sumbang. "Apa aku tidak salah mendengar? Ck! Di saat nyaris mati saja lelaki biadab itu ingin bertemu denganku ha? Lalu ke mana saja dia selama belasan tahun ini? Dia bahkan tidak peduli padaku dan Ibu! Dia sudah membuangku! Membuatku jadi gelandangan! Lalu sekarang dia ingin aku menemuinya?" Bert mendesis. "Katakan pada istrinya, aku tidak akan pernah sudi untuk menemuinya!"

"Bagaimanapun dia tetap ayah kandungmu, Bert! Kumohon bicaralah dengan Nyonya Yasemin. Tuan Ismail pasti punya alasan mengapa dia mengabaikanmu dulu. Bukankah kita diajarkan untuk saling memaafkan?"

"Jangan membuatku semakin marah, Bi! Aku tidak ingin kau membahas atau menyebut nama lelaki berengsek itu lagi di rumah ini."

"Maafkan aku jika sudah membuatmu kecewa, aku hanya ingin kau memiliki keluarga. Selama ini Bibi sengaja mengunggah fotomu di semua media sosilal hanya untuk mencari tahu di mana keluarga ayahmu. Puji Tuhan, Yesus sudah menjawab semua doa Bibi. Aku ingin kau bertemu dengan ayahmu."

Bert tertegun melihat Maria. Pengasuhnya itu sibuk menyeka buliran bening yang mengalir deras di kedua pipinya yang tebal. Mendengar kata 'keluarga' hatinya semakin perih. Bert memang hidup sebatangkara. Ia bahkan tidak tahu siapa keluarga ibunya. Setahunya, Ela dibesarkan di panti asuhan dan semenjak dewasa ibunya bekerja di salah satu hotel berbintang di kota Jaffa dan akhirnya bertemu dengan lelaki muslim asal Turki berengsek itu.

"Aku tidak menginginkan keluarga, Bi. Kau saja sudah cukup bagiku. Jadi kumohon jangan membahas lelaki sialan itu lagi padaku."

Suara Bert sangat serak. Ia menahan sesak yang menghunjam dadanya. Sebisa mungkin pria itu berusaha untuk tegar meskipun netra hijaunya sudah sangat panas dan berair.

"Jika aku mati bagaimana? Kau bahkan belum menikah, Bert! Mana mungkin Bibi bisa tenang meninggalkanmu sendiri." Maria semakin terisak sambil memegangi kalung salibnya, mengunci tatapan sendu Bert dengan memelas.

Setetes bening lolos dari netra hijaunya. Bibir Bert bergetar. Rahangnya semakin mengeras. Ia tidak merespons ucapan Maria dan segera membanting pintu utama, lalu berjalan gontai menuju mobilnya.

****

Sesampainya di markas, kedua kakinya berayun gontai menelusuri lorong panjang di lantai dasar. Beberapa personel Unit Mista'arvim menatapnya dengan sinis. Ada yang menatapnya penuh iba dan ada yang melayangkan tatapan merendahkan. Bert tidak peduli dan tetap memasang wajah datar serta tatapan dinginnya. Bert tiba di depan pintu ruangan Jenderal Bolgen. Ia mengetuk daun pintu pelan, lalu membukanya.

Seorang perwira berseragam duduk tegap di kursi kebesarannya. Beberapa piala dan medali serta bendera Israel menghiasi ruangan tersebut. Ia tesenyum ramah dan mempersilakan Bert untuk duduk. Tanpa basa-basi, lelaki paruh baya namun bewajah segar dan gagah tersebut menyodorkan sebuah map berisi berkas-berkas penting pada Bert.

"Tandatangani semua berkas ini."

"Siap, Jenderal."

Bert mengambil bulpen dan segera membubuhkan tandatangannya di setiap lembaran kertas penting tersebut. Setelah selesai, napasnya berembus lega. Matanya terpejam sesaat, lalu kembali bersitatap dengan Jenderal Bolgen. Keputusannya untuk resign dari dunia militer sudah bulat. Setelah ini dia benar-benar resmi keluar dari keanggotaan Unit Mista'arvim.

"Sekali lagi aku minta maaf jika keputusanku ini sudah sangat mengecewakanmu, Jenderal." Bert melipat tangan di meja.

"Awalnya aku memang sangat kecewa padamu. Bahkan aku sudah ada rencana ingin merekomendasikanmu pada Letnan Jenderal agar kau bisa menjadi seorang Letnan." Jenderal Bolgen menghela napas pelan. "Tetapi aku juga tidak berhak untuk mencegahmu. Lakukan apa yang ingin kau lakukan, Bert. Aku akan selalu mendukungmu. Rupanya kau ingin mengikuti jejak Aaron hm?"

"Siap, Jenderal. Terima kasih, kau sangat pengertian sekali." Bert mengulas senyum. "Jujur saja, sebenarnya aku bukan hanya karena ingin mengikuti jejak Letnan Aaron. Tapi karena aku memang butuh istirahat sejenak. Aku butuh ketenangan saja."

"Aku mengerti, Bert. Aku turut prihatin juga dengan musibah yang sedang menimpamu. Lalu apa rencanamu setelah ini?"

"Aku belum tahu, Jenderal. Tapi secepatnya aku akan merintis semua usahaku dari awal lagi."

Jenderal Bolgen mengangguk tegas. "Tetap semangat. Jika kau butuh bantuan apa pun, jangan sungkan untuk menghubungiku. Kau juga bebas datang ke markas ini kapan pun kau mau."

"Siap, Jenderal! Terima kasih."

Derit pintu yang terbuka membuat Jenderal Bolgen dan Bert menoleh. Tubuh seksi dibalut seragam perwira hijau menyembul di ambang pintu.

Alina mengibaskan rambut pirangnya yang tergerai. Ia menenteng senjata Serbu Tavor. Gadis cantik itu baru saja bergabung untuk mengikuti wajib militer yang sudah pemerintah Israel tetapkan bagi putra maupun putri Israel yang berusia sembilan belas tahun.

"Ck! Lihatlah pria sombong ini. Pernahkah kau berpikir, mungkin itu adalah karma karena kau telah menolakku. Lihatlah diirimu sekarang. Sebentar lagi kau akan jatuh miskin! Kasihan sekali." Alina terbahak nyaring, lalu membekap mulut. "Ups!"

"Alina! Jaga ucapanmu!" Jenderal Bolgen melempar tatapan berang.

"Ayah! Biarkan saja. Dia sudah membuatku malu di pesta ulang tahunku waktu itu!" Alina berkacak pinggang.

"Keluar dari ruanganku!" tegas Jenderal Bolgen.

"Hah ... baiklah! Aku datang ke sini disuruh untuk memanggilmu. Jenderal Mayor menunggu Ayah di ruangannya." Alina berdecak, ia membenarkan baret hijaunya, lalu melempar tatapan merendahkan dengan seyuman lebar, meledek Bert.

Bert mengeraskan rahang. Bibirnya menipis. Susah payah ia meredam emosinya yang perlahan memuncak. Kalau saja Alina bukan putri Jenderal Bolgen, sudah dipastikan lehernya akan Bert penggal.

"Maafkan putriku. Dia sudah sangat lancang." Jenderal Bolgen menepuk pelan bahu Bert.

"Tidak masalah, Jenderal. Kalu begitu aku permisi."

Bert memaksakan senyum, menjabat tangan Jenderal Bolgen lalu melenggang pergi.

****

Benarkah ini adalah hukuman dari Tuhan?

Kenapa Tuhan sangat tidak adil padanya?

Baru saja beberapa bulan Bert meraih kesuksesan yang berlimpah. Lalu sekarang semuanya hancur dalam sekejap mata, tak terduga. Ini seperti mimpi buruk yang mengguncang jiwanya. Jerit payahnya merintis usaha dari nol kini sudah berakhir sia-sia.

Bert menahan napas saat teringat tentang lelaki sialan yang katanya sedang koma itu. Kenapa juga ia harus mengusik hidupnya di saat semuanya sedang kacau seperti ini. 

Pikirannya semakin kusut. Bert mengusap wajah dengan kasar. Napasnya berembus berat dan tidak beraturan. Ia ingin menjerit sekencang-kencangnya. Ia ingin melampiaskan kegundahanya. Demi Tuhan ia butuh sandaran. Bert butuh seseorang untuk memberi rasa damai dan menghiburnya sekarang. Tapi siapa? Bert mendesis. Ia bahkan tidak punya siapa-siapa di dunia ini. Hidupnya bagaikan angka satu, sangat miris.

"Filistin."

Bert menghela napas panjang. Sedari tadi ia duduk di sebuah batu, di bukit tempat ia menjatuhkan dompetnya dulu. Sudah seminggu ia tidak mengunjungi tempat ini. Sudah seminggu pula ia tidak melihat gadis ingusan itu.

Bert tersenyum tipis mengingat semua tingkah ajaib Filistin. Entah di mana gadis aneh itu sekarang. Gadis kecil pengembala domba berpakaian lusuh, kenapa kali ini justru sangat ia rindukan. Suara cemprengnya, tawa riang dan senyum manisnya kenapa bisa memenuhi isi kepala dan hati Bert seperti ini.

Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Tapi gadis itu pun tak muncul juga. Ia kecewa lagi. Mungkinkah pertemuan waktu itu adalah pertemuan pertama dan terakhirnya di tempat ini.

Bert berdiri. Baru saja ia hendak mengayunkan kaki, tubuhnya membeku mendapati sosok gadis yang baru saja menyembul dari semak pepohonan hijau yang rimbun di seberang bukit. Gadis berhijab putih panjang yang sedang memeluk seekor anak domba bertelinga panjang itu tersenyum lebar ke arahnya. Netra birunya berbinar menatap Bert tanpa berkedip.

"Filistin ...."

"Bert!"

Filistin melambaikan tangan. Hatinya berbunga-bunga. Ia tidak menyangka lelaki itu datang lagi ke tempat ini. Kedua kaki pendeknya berayun gontai menghampiri Bert.

"Kau masih hidup? Kukira kau sudah mati," ujar Bert setelah Filistin tiba di hadapannya, berjarak satu meter.

Kedua mata Filistin membola.
"Ke-kenapa bertanya seperti itu? Alhamdulillah aku sehat dan semoga diberi umur panjang, Amiin."

"Karena sudah seminggu aku tidak melihatmu. Syukurlah jika kau sehat."

Filistin mengulum senyum. Ujung kerudungnya melambai-lambai tertiup angin sore yang sangat sejuk.

"Apa kau datang ke sini untuk melihat senja?"

"Hmm."

"Kukira kau tidak akan melihat senja di bukit ini lagi. Seminggu ini aku mencarimu."

"Aku sangat sibuk, makanya aku tidak datang."

"Ooh."

Hati Bert berdesir hebat. Entah kenapa ia sangat ingin memeluk gadis itu. Tetapi bolehkah?

Mati-matian lelaki tinggi itu menahan tangan kokohnya agar tidak menarik tubuh gadis mungil di depannya ini dalam dekapan hangat lalu mencium keningnya.

Bert memang butuh sandaran. Ia memang pria lajang yang kesepian. Tapi dia tidak ingin Filistin mengira dirinya adalah seorang pedofil yang kurang belian. Ia menelan saliva dan tetap memasang wajah datar, lalu bersidekap.

Wajah putih Filistin semakin bersemu. Kedua pipi tirusnya semerah mawar dan perlahan memanas. Ia menggigit bibirnya yang sangat ranum untuk menghalau rasa gugup.

Kedua insan itu akhirnya hanya saling curi pandang dan melempar senyum malu-malu kucing.

Keduanya hanyut dalam perasaan yang sulit untuk terungkap. Tenggelam dalam pancaran netra indah masing-masing. Hati keduanya dipenuhi rindu dan desiran yang membuncah.

Bert mematung di tempat saat Filistin melepas dombanya hingga melompat jauh dan mengembik nyaring. Lalu gadis itu berlari ke arahnya dan memeluknya tanpa aba-aba.

"Bert! Aku sangat merindukanmu! Sangat!"

Filistin memejamkan mata, membenamkan wajahnya di dada bidang Bert.

Bert mengulum senyum, balas memeluk Filistin sangat erat. Ia mengelus-elus puncak kepala Filistin dengan penuh perasaan. Pun memberi sebuah kecupan singkat di pelipis gadis itu.

"Aku juga sangat merindukanmu."

"Ka--kau rindu padaku?" Filistin tersenyum tipis, sangat memesona dan manis.

"APA?"

Bert mengerjap. Ternyata pelukan tadi hanya khayalan liarnya saja. Ia melempar tatapan dingin pada Filistin, lalu berdeham pelan.

"Apa? Apa katamu?"

"Kau bilang, tadi kau merindukanku."

''Ck! Kau tuli atau bagaimana ha? Jangan mengada-ada!" tegas Bert membuat Filistin ternganga dan membeku di tempatnya berpijak.

Bert mendesis, lalu mendaratkan bokongnya di sebuah batu. Ia merogoh ponselnya, kemudian menggulir layar dengan asal. Ia mengutuk kebodohan yang baru saja ia lakukan. Tapi dalam hati Bert bersyukur karena gadis itu dalam keadaan baik-baik saja.

🐏

Full scene FilBert yang gemoy sweet akan ada di next chap. 😆

Semoga masih ada yang mau baca :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro