Bab 15 | Bunga Kamomil, Cokelat dan FilBert

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ya Allah, bukankah Engkau adalah Dzat yang menggenggam hati setiap hamba-Mu?

Hamba percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika Engaku telah berkehendak akan sesuatu. Bukan hal yang sulit bagi-Mu untuk membolak-balikkah hati seseorang. Sebagaimana Engkau telah menanamkan perasaan cinta ini di dadaku. Perasaan yang tak pernah kuinginkan dan kubayangkan sebelumnya.

Maka dari itu, Ya Rabb. Hamba memohon dengan setulus hati, semoga Engkau berkenan untuk memberi pria Yahudi itu hidayah.

Terangilah hatinya dengan cahaya-Mu agar ia mau menerima semua kebenaran Islam.

Bert Ertugrul. Hamba mohon bukakanlah pintu hatinya untuk menjadi mualaf agar ia halal untuk hamba cintai.

Ya Allah, maafkan hamba yang telanjur dalam mencintai pria Yahudi itu. Namun kumohon tetap jagalah hati dan imanku di atas agama-Mu. Amiin Ya Rabbal alamiin ....

Ya Allah satu lagi, jika Engkau berkenan menjadikannya Mualaf, hamba mohon semoga kelak Bert-lah yang akan menjadi jodohku. Amiin ....

Filistin mengulum senyum, mengeratkan genggamannya pada buku paket biologi yang sedari tadi ia baca. Gadis usia enam belas itu duduk di sebuah batu yang berhadapan dengan Bert, berjarak satu setengah meter. Degup jantungnya bertalu kencang. Netra birunya berbinar dan bibir ranumnya terus mengembang malu-malu kala ia mendongak dan menatap pria itu dalam diam.

Saat ini Bert tidak memakai seragam perwira Israel seperti biasanya. Lelaki itu terlihat sangat maskulin dengan balutan jeans dan jaket kulit hitam. Rambut cokelat keemasan yang memukau, postur tubuh tinggi nan gagah dan wajah putih bersihnya yang menawan membuat gadis itu terus mengagungkan asma Allah dalam hatinya. Penampilan Bert tanpa seragam perwira Israel seperti ini seratus kali lipat lebih tampan bagi Filistin.

"Masya Allah, tampan maksimal," gumamnya sangat pelan, lalu ia kembali menekuri bukunya sambil mengulum senyum.

Bert ingin sekali terbahak melihat tingkah gadis di depannya. Ia tahu sedari tadi gadis itu mencuri pandang ke arahnya, sebab ia pun sama. Bibir tipis kemerahannya mengulum, geli saat netra hijaunya mendapati buku biologi yang sedang Filistin genggam ternyata terbalik.

"Hei, Bodoh! Apa yang sedang kau lakukan?"

Filistin mendongak. Hatinya tersentak, mengerucukan bibirnya yang mungil. "Namaku bukan Bodoh! Kenapa kau selalu saja memanggilku Bodoh?"

"Maaf, lidahku sudah terbiasa mengatakan itu. Bukan hanya padamu, tapi pada yang lain juga."

"Itu kebiasaan buruk yang harus diubah. Nama adalah bentuk doa yang setiap orang tua berikan pada anaknya, kau tidak boleh mengatai orang dengan sebutan buruk itu." Filistin mendadak kesal. Ia mendengus.

Bert menghela napas pelan. "Oke, sekali lagi aku minta maaf. Ribet sekali. Begitu saja jadi masalah. Apa yang sedang kau lakukan?"

"Membaca buku."

"Bukumu terbalik, asal kau tahu." Bert terkekeh pelan.

"A--apa?"

Bibir mungil serta kedua mata Filistin membola. Ternyata benar bukunya terbalik. Ia segera menutupnya dan memasukkanya dalam tas kain yang tergeletak di rumput.

Lengkingan tawa Bert yang semakin nyaring membuat kedua pipi Filistin semakin panas dan semerah mawar merekah. Gadis itu mendongak hingga tatapan keduanya bertemu. Hatinya berbunga melihat Bert bisa tertawa lepas untuk pertama kalinya seperti itu.

"Sebenarnya apa yang sedari tadi kau lihat hm? Aku tahu, kau tidak membaca bukumu."

Bert menyipitkan matanya, membuat gadis itu semakin tersipu. Terus terang jantung Bert pun kian berdebar melihat betapa manisnya senyum Filistin. Wajah putih bersih tanpa makeup itu sungguh cantik alami menurut Bert.

"A--aku sedang mengagumi ciptaan Tuhan. Mengagungkan nama-Nya yang Maha Besar karena telah menciptakan segala sesuatunya dengan sangat indah."

"Ck! apa yang sedang kau kagumi di sini?" Bert mengedarkan pandang ke sekitar, lalu kembali mengintai Filistin. "Rumput? Domba? Pohon zaitun? Atau batu? Tidak ada yang istimewa." Bert mengibaskan tangan. "Dasar aneh."

Filistin menggeleng, lalu mengulum senyum. "Tidak, bukan semua itu. Ciptaan indah Allah yang sedang kukagumi itu dirimu."

"A--apa?" Bert tersedak. "Hei, apa kau sedang mencoba untuk merayuku ha?"

"Aku sedang tidak merayumu, apalagi memujimu. Aku sedang memuji Allah yang Maha Sempurna telah memahat wajahmu hingga setampan itu." Filistin meremas jemarinya. "Kau sangat beruntung dan seharusnya kau bersyukur."

Filistin berdiri, lalu sedikit berlari menuruni bukit di mana anak dombanya sedang merumput di dekat hamparan bunga kamomil kuning yang bermekaran. Aroma angin tercium lembut dan sangat sejuk menelusup ke pori-pori kulit wajahnya. Ia tersenyum lebar, lalu mengusapi bulu halus domba putih itu dengan gemas. Jantungnya meletup-letup.

"Ya Tuhan. Gadis macam apa dia itu?" Kedua pipi Bert memanas.

Mantan perwira itu melebarkan senyum. Ia berdiri, lalu melangkah pelan menuruni bukit menghampiri Filistin dan anak dombanya, menelusuri rerumputan hijau yang segar. Semilir angin berembus sejuk, Bert sesekali menghirupnya sambil terpejam. Sementara cakrawala perlahan mulai diselimuti semburat jingga yang sangat elok. Kicauan merdu burung saling bersahutan dengan gemersik dedaunan.

Ia berdiri berjarak satu meter dengan Filistin. Iris hijaunya berbinar, terus mengintai gadis itu. Kedua tangannya tenggelam pada saku celana.

Bert adalah lelaki pengagum senja. Namun kali ini, ia merasa senjanya begitu istimewa. Tidak pernah hatinya berbunga seperti ini. Belum pernah jantungnya berdebar sehebat ini. Bahagia membuncah di dadanya.

Bibir tipisnya terus merekah, memanerkan deretan giginya yang putih dan rapi. Semua beban serta sekelumit masalah dalam benaknya kini menghilang hanya karena melihat keceriaan Filistin yang sedang tertawa riang bermain dengan seekor anak domba.

"Di mana dombamu yang lain? Kenapa hanya tinggal satu? Apa kau menjualnya?"

Filistin menoleh, wajahnya secerah mentari.

"Tidak, itu bukan domba milikku. Tapi milik Paman Ahmed dan sekarang aku sedang libur mengembalakannya. Jadi aku hanya membawa Walad. Oh, iya, kau belum berkenalan dengannya."

Bert menautkan kedua alis hitam tebalnya saat gadis berhijab putih itu mengangkat anak domba yang ia gendong.

"Namanya Walad. Kakakku membelikanku ini sebagai hadiah." Filistin mengulas senyum. "Lihat, dia sangat menggemaskan dan sangat tampan sepertimu!"

Bert ternganga. "Kau menyamakan ketampananku dengan seekor domba?"

Filistin terkekeh-kekeh. "Tidak! Maksudku, kalian sama-sama tampan tapi dalam devinisi yang berbeda."

Bert menggeleng, lalu kembali tersenyum tipis. Seharusnya ia marah, tapi kali ini tidak. Entah kenapa bibirnya selalu ingin mengembang dan jiwa pemarahnya lenyap begitu saja.

"Apakah bahagia sesederhana itu? Kenapa kau terlihat sangat bahagia padahal hanya bermain dengan seekor domba. Lihat pakaianmu, dari dulu hanya itu saja yang kau pakai." Bert berdeham. "Kutebak, kau pasti sangat miskin."

Perkataan Bert sedikit menyentil hatinya. Gadis itu menahan napas, melepas Walad hingga domba itu mengembik nyaring dan melompat-lompat. Lantas ia berdiri, lalu melangkah menghampiri Bert.

"Kebahagiaan seseorang tidak bisa diukur dengan kekayaan. Aku memang sangat miskin, tapi alhamdulillah aku selalu bahagia." Filistin bersidekap. "Kau mau tahu kenapa?"

Bert mengangkat satu alisnya.

"Karena aku selalu bersyukur dan ikhlas dengan segala sesuatu yang Allah berikan dalam hidupku. Rumahku sudah kalian gusur hingga kami harus tinggal di sebuah tenda sekarang. Ayah dan kakakku kesulitan mencari kerja karena otoritas kalian mempersulit semuanya. Setiap hari aku harus mengembala domba untuk mencari uang jajanku sendiri. Tapi aku tidak mengeluh dengan semua itu. Aku ikhlas dan senang menjalani semua ini, karena aku percaya ini semua adalah takdir Allah."

Bert terdiam. Ia berkedip, lalu kembali mengunci iris biru yang sangat jernih itu.

"Aku bersyukur karena semua anggota keluargaku masih utuh. Kami masih bisa berkumpul bersama meskipun dalam hidup kesusahan seperti ini. Kami bahagia. Aku bersyukur karena kami tinggal di Tepi Barat. Coba kau lihat warga sipil di Gaza yang sewaktu-waktu terancam maut sebab kalian selalu menghujani mereka dengan rudal! Membuat mereka terpaksa harus kehilangan setiap anggota keluarnya yang syahid. Tertimpa reruntuhan rumah mereka! Hidup mereka lebih susah dan lebih terancam dari kami. Mereka jauh lebih menderita dari kami. Jadi sudah seharusnya aku selalu bersyukur. Lalu, apa menurutmu kebahagiaan seseorang bisa diukur dengan harta? Bahkan ... mungkin di luar sana banyak orang kaya yang hidupnya tidak sebahagia kami yang miskin." Filistin membuang napas lega.

Bert tersentak. Ia kehilangan kata-kata. Hatinya mendadak pedih mengingat hidupnya yang sebatang kara. Sejak kecil ia kekurangan perhatian dan kasih sayang seorang ayah. Semenjak dewasa hidupnya pun tidak diselimuti kebahagiaan meskipun bergelimang harta.

Bersyukur?

Entah kapan terakhir kalinya pria itu mengucap syukur. Bahkan mungkin Bert tidak pernah mensyukuri nikmat yang Tuhan limpahkan padanya selama ini. Ketika ia dilanda musibah kemarin saja Bert terus mengeluh dan merutuki nasib malangnya sendiri.

"Kau benar, kekayaan tidak bisa mengukur kebahagiaan seseorang." Suara Bert sangat serak. "Ternyata hidupmu jauh lebih betuntung dariku. Kau beruntung karena masih memiliki keluarga yang utuh dan pasti sangat menyayangimu. Pantas saja kau sangat bahagia."

Filistin berkedip. Hatinya tertegun melihat sepasang netra hijau Bert tiba-tiba memerah dan berair.

"Maaf, apakah perkataanku barusan sudah menyinggung perasaanmu?"

Bert menggeleng.

"Kenapa aku lebih beruntung darimu? Bukankah kau orang kaya?"

"Aku tidak memiliki keluarga yang utuh sepertimu." Bert tersenyum hambar.

"Maksudmu?"

"Ibuku sudah meninggal sejak aku kecil."

"Ayahmu?"

Bert mendesis. Rahangnya mengeras. "Mungkin dia akan segera mati." Ia melempar tatapan tajam pada Filistin. "Sudahlah aku tidak ingin membahas tentangnya."

Filistin mendadak murung. "Kau tidak memiliki saudara?"

"Tidak."

"Lalu kau hanya tinggal sendiri?"

"Aku tinggal bersama pengasuhku."

Filistin tertegun. Ia merasa sangat bersalah sekarang. Ia pikir kehidupan pria itu nyaris sempurna, ternyata dia salah.

Hening menyelimuti keduanya. Bert dan Filistin terdiam dan sibuk dengan pemikiran masing-masing. Mereka masih berdiri saling berhadapan, berjarak setengah meter.

"Untukmu."

Gadis itu membeku saat sebatang cokelat tiba-tiba mengapung tepat di depan wajahnya. Netra birunya semakin berkilau, menatap sepasang iris hijau Bert yang teduh dan tidak dingin seperti biasanya.

"Kau membelikan cokelat itu untukku?"

"Jangan asal berasumsi! Tadi aku hanya memungutnya di jalan. Makanlah. Kau pasti belum pernah memakan cokelat mahal seperti ini, bukan?"

Filistin bekedip. Ia menatap cokelat itu dan wajah Bert secara bergantian. Terntaya Bert tidak membelikannya cokelat dan perkataan lelaki itu tetap saja sarkasme, Filistin tidak habis pikir.

"Terima kasih. Aku memang jarang sekali memakan cokelat." Filistin mengambil alih cokelat itu dari tangan Bert. "Aku akan membawa cokelat mahal ini pulang dan membaginya dengan Kakak. Dia pasti akan sangat senang."

Bert menipiskan bibir. "Heh! Aku membelikan cokelat itu khusus untukmu! Kau ingin membaginya dengan orang lain? Rupanya kau sungguh tidak bisa menghargai pemberian seseorang."

Filistin pura-pura tidak mendengar. Ia mengulum bibir. Hatinya berdebar. Jadi Bert membelikan cokelat itu khusus untuknya. Ia tak ingin merespons ucapan Bert barusan.

"Kalau begitu aku akan memakan cokelat ini semuanya. Aku akan memakannya sekarang, tapi sdikit saja. Sisanya akan kusimpan dan memakannya pelan-pelan. Bolehkah begitu?"

"Terserah kau saja."

Bert menggeleng. Tak lama bibirnya merekah kala melihat gadis itu duduk di sebuah batu. Bibir mungilnya yang ranum terlihat merapal doa, lalu mulai memakan cokelat pemberiannya pelan-pelan. Bahkan Filistin menjilati sisa cokelat di jemarinya, membuat Bert sangat gemas.

"Manis sekali. Ini sangat lezat. Alhamdulillah."

Filistin melirik Bert melalui ekor matanya. Ia tahu sedari tadi lelaki itu terus menatapnya sambil tersenyum manis. Bahkan lebih manis dari cokelat yang masih lumer di mulutnya saat ini. Ia mengulum senyum. Lalu menyimpan sisa cokelatnya dalam tas.

Senja sudah muali usai. Langit perlahan menggelap. Gadis itu segera beranjak sambil mengais tas kain berisi buku-buku serta bekal air mineral yang selalu dibawanya saat mengembala. Matanya berbinar melihat hamparan bunga kamomil kuning yang tumbuh liar di sekitar bukit. Ia kembali berjongkok dan memetik satu per satu bunga tersebut, mengumpulkannya di tangan dan mengikatnya dengan sebuah tali.

"Kau menyukai bunga?"

Suara berat Bert membuat Filistin mendongak. Ia sedikit kaget sebab tiba-tiba lelaki itu berdiri di depannya.

"Iya, aku sangat menyukai bunga. Tetapi kali ini aku memetiknya untuk Kakak. Aku sudah berjanji padanya akan membawakan bunga."

"Untuk si kriting itu?" Bert mendesis.

Filistin terkekeh pelan. "Maksudmu Kakak Al Quds?" Filistin menggeleng. "Ini bukan untuknya, aku juga memiliki seorang kakak perempuan. Dia sangat menyukai bunga."

Bert mengangguk pelan. "Oh, kukira untuk kakakmu yang menyebalkan itu."

Sepasang netra hijaunya berkelana ke sekitar bukit. Ia tersenyum tipis saat mendapati setangkai bunga kamomil berwarna putih yang tumbuh di antara bunga kamomil kuning. Bert menyeret langkahnya menghampiri bunga itu. Ia berjongkok, lalu memetiknya sambil mengulas senyum. Kemudian ia kembali menghampiri Filistin seraya menyembunyikan bunga tersebut di balik punggungnya.

"Bunga ini untukmu."

Filistin melebarkan matanya. Ia tertegun melihat setangkai bunga kamomil putih mekar yang Bert sodorkan. Ia kehilangan kata-kata, diam mematung menatap bunga itu dengan jantung meletup-letup.

Bert berdecak karena gadis itu tak kunjung menerimanya.

"Tidak mau? Ya sudah."

Filistin terkekeh-kekeh ketika Bert menyelipkan bunga kamomil putih itu di daun telinganya. Lalu lelaki itu memasang wajah konyol.

Bert pun geli sendiri dengan tingkahnya barusan, hingga keduanya terbahak nyaring bersama untuk pertama kalinya. Keduanya saling menatap penuh arti di penghujung senja hari itu dan saling melempar senyum malu-malu.

"Kau sangat lucu, Bert! Andai aku punya ponsel, aku ingin memotomu."

"Sayangnya kau tidak punya." Bert berdeham. "Apa ada nomor yang bisa kuhubungi selain nomer si Kriting?"

"Namanya Al Quds, bukan Kriting!"

Bert berdecak. "Ya teserahlah! Ada tidak yang bisa kuhubungi selalin dia? Aku menginginkanya."

"Ada. Nomor temanku."

Wajah Bert sumeringah. Jemari besarnya dengan cepat mengetik sebuah nomor yang Filistin diketkan. Lalu menekan tombil 'save'.

Bert mematung. Atensinya tertuju pada noda cokelat di bibir Filistin yang sangat ranum. Lelaki itu menelan saliva. Sementara gadis itu terus tersenyum geli mengintai bunga kamomil yang masih terselip di telinga Bert.

"Aku mau! Aku mau!"

"Mau apa?" Bert mengerling, sengaja menggoda.

"Ma--mauu bunganya."

Filsitin menunduk dalam, sambil meremas tangkai buket bunga kamomil kuning di tangannya. Hatinya berdesir hebat. Akhirnya gadis itu menerima setangkai kamomil putih yang Bert sodorkan. Lalu keduanya saling mengunci tatapan dengan hangat.

"Ada sisa cokelat di bibirmu."

Sentuhan ibu jari besar Bert di bibir atas Filistin yang lembut membuat tubuh gadis itu menegang. Ia mematung bagai tersengat aliran listrik yang menghantarkan gelenyar aneh di hatinya ketika pria itu mengusap bibirnya perlahan. Kedua pipinya semerah tomat dan memanas. Untuk pertama kalinya gadis itu disentuh oleh lawan jenis seperti ini. Ia tahu ini dosa, ingin menepis tangan Bert. Namun ia justru mematung, meresapi ribuan kupu-kupu yang seolah beterbangan di perutnya. Ia menelan sailva dan terus terpaku pada sepasang netra hijau Bert yang sangat jantan dan indah. Aroma maskulin yang menguar dari tubuh pria itu membuat angannya melayang.

Sedetik pun Bert tidak bisa berpaling dari wajah cantik Filistin yang bercahaya. Sepasang iris biru dihiasi bulu mata lentik gadis itu membuatnya terhanyut. Darah mudanya semakin berdesir dan kedua pipinya memanas.

Tidak pernah ia merasakan gejolak seperti ini meskipun saat dulu memperkosa gadis Palestina. Tapi gadis ingusan itu, kenapa mampu membuatnya gila seperti ini? Kenapa mampu membuat jantungnya berdebar kencang ini? Bert terlihat seperti seorang pedofil. Ia sudah menjilat ucapannya sendiri.

"Sudah kubersihakan."

Bert menjauhkan ibu jarinya dari bibir Filistin. Ia menelan saliva, lalu berdeham pelan. Lelaki itu mendadak salah tingkah.

Begitu pun dengan Filistin yang mendadak gelisah saat sadar akan dosa yang baru saja ia lakukan.

"Astagfirullah!"

"Cepat pulang sebelum aku khilaf!" titah Bert dengan nada tegas, membuat Filistin mendongak menatapnya dengan kerutan di dahi.

"Khilaf? Memangnya kalau kau khilaf mau apa?"

"Astaga!" Bert mendesis. "Jangan banyak bertanya, cepat pulang saja."

"Oke. Aku memang sudah harus pulang. Jika tidak, Kakak Al akan mencariku."

Filistin menghela napas. Jantungnya masih berdebar. Ia segera mengambil dombanya, lalu menggendongnya. Bibirnya kembali merekah sebelum ia pamit pada Bert dan melanggang pergi.

Bert masih di tempatnya berpijak. Jantungnya masih meletup-letup. Bibir tipisnya mengembang sambil mengangkat tangannya tinggi, membalas lambaian tagngan Filistin yang kini sudah mulai menjauh.

Ia menghela napas panjang sambil mengintai punggung Filistin. Lalu menatap noda cokelat di ibu jarinya. Bert tersenyum sangat manis. Ia mengacak rambutnya sendiri. Ia sulit menjabarkan perasaannya, yang jelas bahagia menyelimuti jiwanya saat ini.

Tanpa sepengetahuan Filistin, Bert membuntutinya dari belakang tanpa derap kaki. Ia hanya ingin tahu di mana gadis itu tinggal dan memastikan tidak ada tentara, atau pemukim Yahudi yang akan mengganggu gadisnya.

*****

Panjang banget momen uwu FilBert. Semoga enggak pada gumoh. Terkadang alur cerita yang kubuat mungkin terkesan drama atau apalah, aku enggak peduli. Yang penting aku enjoy saat nulis. Semua alur yang kuciptakan ngalir dari imajinasiku sendiri, makanya selalu beda ya kan dari yang lain😃

Aku tahu, konflik SCDBA 2 ini tidak segreget SCDBA 1. Sengaja emang aku mau bikin beda. Yang ini konfliknya ringan dan natural aja, bahkan malah vibes-nya romkom banget. 😁

Dahlah. Berntar lagi tamat kok. Enggak sabar nulis SCDBA 3.

Cogan matengnya Filin 😅😍 asli aku ngefans banget sama dia.

Gadisnya Bert 😊😻



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro