Bab 17 | Perdebatan Kecil dan Kejutan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bel pulang sekolah berdenting nyaring. Para siswi di sekolahan Al Aqsa bergegas merapikan buku dan alat tulis mereka ke dalam tas masing-masing. Seorang guru muda berhijab putih berdiri dari duduknya, lalu berjalan mendekati barisan meja siswi paling depan. Meskipun hatinya bergemuruh, wajah putihnya bercahaya dan tampak tenang. Ia menghela napas panjang.

"Anak-anak, mohon perhatiannya sebentar. Ada yang ingin Ibu sampaikan pada kalian."

"Iya, Bu!"

Guru cantik itu menatap muridnya dengan serius.

"Sebenarnya ... beberapa hari yang lalu, sekolah kita mendapat surat peringatan penggusuran dari otoritas Israel. Dari tanggal yang mereka tetapkan, besok penggusuran itu akan dilangsungkan," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

Semua siswi tercengang. Mereka saling menoleh dan kebisingan pun mulai mengudara. Mereka bertakbir dan merapal doa, sebagian siswi terisak. Begitu pun dengan Filistin dan Reda yang duduk di barisan bangku terdepan. Kedua gadis itu saling menggengam tangan dengan erat untuk menguatkan.

"Lalu di mana kita akan belajar, Bu?"

"Kenapa para penjajah itu terus menghacurkan sekolah-sekolah di Tepi Barat?!"

"Ini tidak boleh terjadi, Bu! Kami ingin sekolah! Ini tidak adil!"

"Ya, benar! Kita semua ingin belajar!"

"Tak bisakah mereka berhenti membuat kekacauan? Astagfirullah!"

"Kita semua harus berdemo dan membatalkan penghancuran itu! Kita tidak boleh mengalah dan diam saja!"

"Iya, aku setuju denganmu! Hentikan diskriminasi!"

"Harap tenang semuanya."

Bu guru menahan napas. Kedua netra cokelatnya mulai tenggelam oleh bening. Siapa yang hatinya tidak pedih dengan penjajahan yang Israel lakukan. Ia tidak tega melihat wajah sendu muridnya. Ia juga tidak ingin penggusuran itu terjadi.

"Kepala Sekolah akan berusaha untuk mengajukan banding ke pengadilan. Semaksimal mungkin, kami para guru akan mempertahankan sekolah ini. Tapi untuk menghindari hal buruk yang tidak diinginkan, besok kalian diliburkan."

"Tidak, Bu! Kami tidak ingin libur! Kita harus ikut berdemo!"

Filistin berdiri, menggebrak meja dengan tatapan tajam. Diikuti Reda dan seluruh murid yang kini juga berdiri. Semangat jihad berkobar dalam dada mereka.

"Diam bukan berarti mengalah." Guru langsing itu mengulas senyum. "Tapi, ini demi kebaikan. Kalian tahu mereka sangat keji dan licik, bukan? Akhir-akhir ini sering terjadi pembunuhan dan penangkapan anak-anak. Kami tidak ingin itu terjadi pada kalian. Bukankah kalian ingin tetap sekolah? Bukankah kalian ingin meraih cita-cita kalian? Untuk itu, kami mohon, biarkan kali ini para guru yang akan mengatasinya. Kalian diam saja di rumah dan doakan kami sebanyak-banyaknya. Semoga penggusuran itu tidak jadi dilakukan."

Semua murid terdiam, merenungi apa yang guru tadi ucapkan. Akhirnya mereka hanya menghela napas pasrah dan mengangguki ucapan gurunya.

Filistin yang pernah merasakan mendekam di penjara bawah tanah Israel menggigil. Tentu dia tidak ingin mengalaminya lagi.

"Baik, Bu. Kita semua akan berdoa sebanyak-banyaknya."

"Kita pasrah dan serahkan saja semuanya pada Allah."

"Benar, bukan hal yang mustahil bagi Allah untuk menolong hamba-Nya."

"Masya Allah, kalian pintar sekali." Guru itu tersenyum. Hatinya terharu. "Insya Allah semuanya akan baik-baik saja. Nanti akan kami kabari kalian semua."

Semua murid mengangguk sambil mengulas senyum. Hati mereka kembali tenang setelah banyak mengagungkan Asma Sang Khalik.

Setelah membaca doa yang dipimpin oleh Filistin, satu per satu siswi tersebut meninggalkan kelas.

Reda dan Filistin sudah berjalan cukup jauh dari gedung sekolah. Senyum mereka mengembang sambil bersalawat dalam hati. Mereka yakin Allah akan selalu menjaga dan melindungi orang-orang yang beriman.

"Allah akan menjaga sekolah kita, aku yakin."

"Amiin, Ya Allah. Insya Allah, Filin. Kita akan tetap bisa sekolah di sini."

Kedua remaja itu saling mengunci pandang dengan hangat. Mereka mengulas senyum manis dan mengangguk tegas, yakin akan bantuan Allah.

Ponsel Reda tiba-tiba bergetar. Ia merogohnya dari saku rok yang panjang. Sebuah notifikasi pesan tampak di layar.

"Pesan dari Bert."

"Kau serius?" Filistin yang semula menunduk segera mendongak mengunci tatapan Reda.

"Iya, kau baca saja sendiri."

Bibir Filistin merekah saat Reda memberikan ponselnya. Gadis itu segera membaca pesan dari Bert.

Bert : Aku menunggumu di bukit sore ini. Ada hal penting yang sangat ingin kubicarakan denganmu :)

Kedua iris birunya berkilau dan jantungnya berdebar. Jemari lentiknya sangat cepat mengetikkan balasan pesan untuk Bert.

Ok, aku akan ke sana. Tunggu aku 😇

Bert:

🌼

😍🙊

Bert:
❤😜

"Masya Allah! Alhamdulillah!"

Filistin berjingkrak riang di tengah jalan, membuat Reda tersentak dan menoleh dengan dahi berkerut.

Reda mengelus dada. "Astagfirullah, kau mengagetkanku saja. Ada apa denganmu? Bert menulis pesan apa?"

"Kau lihat ini! Bert mengirim tanda hati dan ini pertama kalinya."

Sepasang bola mata cokelat Reda berkilau. Kepalanya condong pada ponsel yang Filistin sodorkan. Lalu senyuman manis pun terbit di bibir penuhnya.

"Masya Allah."

"Apa menurutmu dia sudah mulai menyukaiku?" tanya Filistin sangat serius.

"Sepertinya begitu." Reda mengulum bibir. "Bukankah itu yang kau inginkan?"

Kedua pipi Filistin memanas. Ia menggigit bibir, lalu menunduk. Gadis itu semakin tersipu saat Reda terus menggodanya hingga sepasang pipinya semerah chery.

****

Sore yang dinanti-nanti pun tiba. Senja mulai menyapa langit Hebron. Dua insan beda kewarganegaraan itu baru saja tiba di bukit yang dipenuhi pepohonan hijau dan aneka bunga berwarna-warni yang tumbuh liar di antara sabana dan ilalang. Lima domba yang Filistin bawa sudah pergi merumput di sekitar. Sedangkan Filistin dan Bert duduk saling berhadapan dengan jarak 1 meter.

Hati Bert berbunga. Iris hijaunya berbinar memancarkan kehangatan. Senyumnya menipis melihat penampilan Filistin saat ini. Gadis itu sangat berbeda dengan kardigan rajut berwarna merah muda dan balutan pasmina putih.

"Sore ini kau terlihat sangat cantik dan manis."

"Terima kasih." Gadis itu mengulum senyum. "Hmm, apakah itu artinya, kemarin-kemarin aku jelek?"

Bert terkekeh pelan. "Tidak, kau cantik setiap hari, Filin. Tapi, hari ini cantikmu sangat spesial. Baju baru, kerudung baru, rok baru dan ... sepatu baru hm?" Bert mengerling, menyipitkan pandang pada Filistin.

Filistin mengangguk antusias. Senyumnya merekah dengan kedua pipi semerah mawar.

"Iya, kau tahu saja kalau semua yang kupakai saat ini adalah baru." Ia membekap mulut. "Tiga hari yang lalu ada seorang dermawan yang memberikan kami banyak barang. Makanan kaleng, baju, buku, tas sekolah baru dan banyak lagi."

"Benarkah?" Bert pura-pura terkejut. "Apa kau menyukai semua barang pemberian orang itu?"

Filistin mengangguk cepat. "Hmm ... aku sangat menyukainya. Tapi, aneh, karena hanya keluargaku yang mendapat bantuan. Akhirnya aku membagikannya dengan Reda dan tetangga-tetangga yang lain. Karena barangnya pun sangat banyak dan kasihan, mereka pun sangat membutuhkan. Aku mendoakan orang itu semoga rizkinya semakin berlimpah dan panjang umur. Allah Maha Besar karena selalu memberikan bantuan pada kami melalui orang-orang baik."

Bert bersyukur dalam hatinya mengetahui Filistin sangat bahagia dan senang dengan semua barang pemberiannya. Tanpa gadis itu ketahui, Bert menyuruh orang untuk mengaku dari lembaga kemanusiaan yang sedang mendistribusikan bantuan. Lelaki rupawan itu sengaja berbuat demikian, sebab selama ini gadis itu selalu menolak semua barang yang ingin ia berikan secara langsung. Senyum Bert mengembang manis.

"Kau terlihat keren berpakaian seperti ini."

"Terima kasih."

Gadis itu balas tersenyum, lalu menundukan pandangan. Filistin mendongak saat teringat ada hal yang ingin ia sampaikan.

"Bert!"

"Hmm."

"Sekolahanku akan digusur!"

Bert tercengang, mengunci tatapan Filistin sangat serius. "Benarkah? Kapan?"

Wajah Filistin mendadak sendu. "Besok. Ini sungguh tidak adil! Bert, apa kau bisa membantuku untuk menghentikan mereka? Kumohon, jangan hancurkan sekolah kami. Kami ingin menimba ilmu."

Bert menghela napas. Biasanya dia sama sekali tidak akan peduli tentang aneksasi tanah yang Israel lakukan di Tepi Barat. Namun, kali ini hatinya tidak rela karena ini menyangkut masa depan Filistin.

"Tidak ada yang bisa kulakukan untuk membantumu. Kau pun tahu jika otoritas Israel tidak akan berhenti memperluas pendudukan di Tepi Barat, bukan? Mereka tidak akan berhenti sampai kalian menyerah dan meninggalkan tanah."

"Sayangnya kami tidak akan pernah menyerah!" Filistin tersenyum penuh arti. "Kalau begitu katakan pada otoritas Israel untuk bermimpi saja seumur hidup! Karena kami tidak akan menyerahkan tanah Palestina untuk kalian!" tegas Filistin berapi-api. Ia berdiri dari duduknya, melempar tatapan tajam pada Bert.

"Dan Israel tidak akan pernah berputus asa hingga memenangkan tanah kalian! Bahkan kau tahu, Israel tidak pernah menaati resolusi dari PBB, bukan?"

"Itu karena kalian adalah seorang Penjajah Sejati dan PENGECUT!" Filistin berkacak pinggang. "Bisanya bermain kekerasan dan pemaksaan! Bertindak sewenang-wenang! Sudah tahu bukan tanah kalian, tapi bersikeras ingin merebutnya! Padahal kalian hanya PENDATANG!"

Bert mendesah pelan, lalu mengusap wajah. "Ayolah, berhenti membahas hal ini. Aku mengajak bertemu denganmu karena ingin memberi kabar bahagia, bukan berdebat seperti ini."

"Aku sangat kesal pada kalian! Itu sebabnya aku seperti ini." Filistin menyeka bulir bening di pipinya yang telanjur menetes.

"Aku mengerti perasaanmu, Filin. Tapi, aku tidak ingin membahas hal ini lagi, oke? Aku hanya bisa mendoakan semoga penggusuran sekolah itu tidak terjadi dan kalian semua selalu dilindungi," ujar Bert tulus.

Hati Filistin berembun saat tatapan mereka bertemu. Sorot bola mata hijau Bert begitu teduh.

"Dengar, aku tidak pernah ingin hubungan kita memburuk karena konflik negara kita yang berkepanjangan dan entah kapan akan berakhir." Bert semakin memperdalam tatapannya. "Jadi, kumohon jangan berdebat tentang hal itu lagi jika bersamaku. Karena aku pun tidak bisa berbuat banyak untuk membantumu, Filin. Mengertilah." Suara Bert melembut.

Filistin terdiam. Kedua tangan mungilnya sibuk menyeka bening yang terus meluruh.

"Berhenti menangis karena aku tidak suka melihatmu menangis. Aku hanya suka melihat senyummu. Senyummu yang manis dan selalu membuat hatiku bersemi. Terseyumlah selalu untukku. Kau mau berjanji hm?"

Filistin mengangguk cepat, lalu mengulas senyum yang sangat manis. Hatinya bergemuruh.

"Pergilah ke sana, maka kau akan menemukan kebahagiaan."

Sebelah alis Filistin terangkat. Atensinya tertuju pada telunjuk Bert yang mengarah pada sebuah semak pepohonan zaitun yang rindang.

"Untuk apa kau menyuruhku ke sana?"

"Pergi saja, di sana ada kejutan." Bert tersenyum tipis.

Filistin mengulum senyum. Akhirnya gadis itu mengangguk dan segara melangkah lebar menghampiri semak zaitun. Kedua alisnya saling menaut saat retina birunya menangkap seperti ada beberapa balon merah muda mengapung di udara di balik dedaunan hijau yang rindang itu.

Bert tersenyum tipis. Lelaki tinggi berjaket kulit putih itu berjalan tegas mengikuti Filistin. Ia berdiri gagah di belakang gadisnya. Kedua telapak tangannya tenggelam pada saku celana jeans hitam yang ia pakai.

"Balon!" serunya sangat riang.

Ternyata dugaannya benar. Tampak sepuluh balon berwarna pink yang mengapung indah di udara. Semuanya diikat menjadi satu dengan yang lainnya.

"Bert! Kenapa balonnya banyak sekali? Apa kau ingin berjualan balon?"

Bert berdecak pelan saat gadis itu menoleh padanya dengan cengirannya yang menggemaskan.

"Itu untukmu, Filiiiin." Bert menahan napas.

Bibir Filistin membola. Kedua iris birunya berkilau. "Masya Allah, kau sangat romantis."

Bert menggeleng, lalu tersenyum manis. "Kau menyukainya?"

"Aku sangat menyukainya!"

Bibir tipis gadis itu semakin merekah. Ia berjalan pelan memutari balon tersebut, menarik-narik benangnya hingga sepuluh balon merah muda itu turun, lalu kembali mengapung saat Filistin melepasnya.

"Indahnya, Masya Allah. Tumben sekali kau memberiku balon?"

Bert berdeham. Telapak tangannya mulai berkeringat dingin. Dia terlihat seperti remaja yang sangat gugup untuk menyatakan perasaanya, sangat payah. Memang ini yang pertama kalinya untuk Bert.

"Sengaja saja aku ingin memberimu balon. Di antara balon itu ada satu balon dengan tulisan, coba kau cari." Bert mengembuskan napas pelan. Ia harap-harap cemas.

"Tulisan?"

"Hmm, cepat cari sebelum hari menggelap."

"Baiklah, aku akan mencarinya."

Jantung Filistin tiba-tiba berdebar. Ia mengulum bibir, lalu mulai menarik satu per satu benang itu dan memeriksa balonnya. Sudah dua balon yang ia tarik, namun kosong. Kemudian, ia menarik satu balon yang mengapung lebih tinggi dari yang lainnya. Kedua bola matanya sontak membesar saat berhasil memeluk balon itu di dadanya. Di balon merah muda tersebut tampak sebuah tulisan dengan font yang sangat indah berwarna biru muda.

'I LOVE YOU, FILISTIN'

Gadis itu membeku di tempat. Dia sangat yakin jika kedua matanya tidak bermasalah dan ia yakin jika ini bukanlah mimipi. Atau, mungkinkah gadis itu sedang mengkhayal? Filistin berkedip.

Hatinya semakin berdesir saat Bert mulai melangkah mendekatinya hingga kini jarak mereka tinggal setengah meter. Dalam jarak sedekat itu, tubuh Filistin terlihat sangat mungil berdampingan dengan Bert yang kekar dan menjulang.

"Aku mencintaimu, Filistin."

Gelombang aneh menyerang hati dan pikiran gadis itu saat kedua netra hijau Bert menumbuknya semakin dalam dan teduh.

"K-kau tidak sedang bergurau, bukan?"

"Apa aku terlihat tidak serius?"

Filistin terdiam, menelisik bola mata hijau Bert yang memancarkan kesungguhan.

"Kau terlihat serius." Filistin mengeratkan pelukannya pada balon itu.

Bert tersenyum. "Aku tidak tahu sejak kapan perasaan ini tumbuh. Tapi, sekarang aku sangat mencintaimu."

Kedua pipi Filistin memanas dan bersemu merah. "A-aku juga mencintaimu. Bahkan ... semenjak pertama kali melihat fotomu dalam dompet, jantungku sudah berdebar," ungkapnya membuat hati Bert semakin berbunga.

Bert menghela napas. "Filin, aku tahu kau masih sekolah. Maka dari itu ada hal yang harus kau tahu. Aku akan menunggumu hingga kau lulus kuliah dan kau menjadi Dokter Gigi. Lalu ...baru aku akan melamarmu."

Filistin tertegun. Hatinya terharu dan juga berbunga. "Tapi, kita tidak bisa menikah kalau ka-"

"Nanti malam aku akan memeluk Islam," potong Bert membuat gadis itu melebarkan matanya.

"K-kau serius? K-kau akan menjadi seorang mualaf?"

Bert mengangguk tegas, lalu tersenyum tipis.

"Aku sudah bertemu dengan Paman Latif, seseorang yang dulu membimbing Letnan Aaron memeluk Islam. Nanti malam aku akan pergi ke Kompleks Al Aqsa dan memeluk Islam di sana."

Filistin kehilangan kata-kata. Lidahnya menjadi kelu, yang jelas hatinya berbunga-bunga dan dipenuhi syukur. Ia tak mampu menahan setetes bening yang mendesak turun mengaliri pipinya.

"Hei, kenapa kau menangis?"

"Aku menangis karena sangat bahagia." Filistin terkekeh pelan. Namun air matanya justru semakin mengalir banyak. "Allahu Akbar. Allah sudah mengabulkan doaku. Semoga semuanya lancar dan kau bisa menemukan kedamaian dalam Islam."

Bert mengangguk diiringi senyum yang menawan. Netra hijaunya berbinar. "Nanti kau mau menikah denganku, bukan? Setelah lulus kuliah."

"Tentu saja aku sangat mau!" Filistin mengulum senyum.

"Usia kita berbeda sangat jauh. Apa kau tidak keberatan menikah dengan lelaki yang lebih tua darimu?"

Filistin menggeleng. "Sama sekali tidak. Kau tahu, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam menikahi Aisyah saat usianya masih enam tahun, sedangkan Baginda Nabi berusia lima puluh tahun." Filistin mengulum bibir. "Lalu Siti Khadijah, beliau usianya empat puluh tahun saat menikah dengan Baginda Rosul yang usianya baru dua puluh lima. Itu artinya, perbedaan usia hanyalah masalah angka dan sama sekali bukan penghalang besar. Buktinya, rumah tangga Rosulullah dan para istrinya senantiasa harmonis dan menjadi panutan semua umatnya."

"Benarkah begitu?"

Filistin mengangguk antusias. "Iya." Ia tersenyum.

Bert tertegun. Sekarang ia tidak akan insecure lagi dengan permasalahan perbedaan usia di antara mereka. Pria rupawan itu terus mengembangkan senyumnya, mengunci netra sebiru samudera Filistin yang sangat jernih.

"Belajarlah yang rajin dan cepatlah dewasa."

Suara berat Bert membuat jantung gadis itu semakin meletup-letup. Filistin mengangguk dengan polosnya, lalu memutus kontak mata dengan Bert dan segera berlari membawa sepuluh balon merah muda itu menerobos semak-semak zaitun untuk menghampiri domba-dombanya.

Kedua pipinya semakin terbakar hingga sangat memerah. Ia menaruh balonnya di samping batu hingga mengapung indah tertiup sejuknya angin senja kala itu. Kemudian ia sedikit berlari untuk menangkap anak domba berbulu putih kesayangannya, menggendongnya dan memeluk serta menciuminya dengan sangat gemas. Ia menoleh malu-malu pada Bert yang masih berdiri di dekat pepohonan zaitun.

Bert menghela napas lega. Ia sangat bersyukur. Netra hijaunya berkaca-kaca dan hatinya dipenuhi haru. Senyum setia menempel di bibir tipisnya yang kemerahan. Ia berharap waktu segera berlalu agar bisa segera memperistri gadisnya yang sangat menggemaskan itu.

*****

Entah kenapa terkadang aku merasa kalau cerita yang kutulis itu mungkin alurnya aneh. Tapi, Insya Allah akan terus lanjut sampai tamat. Dalam otak aku udah tamat, sih. Hanya saja aku butuh banyak waktu untuk menyelesaikannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro