Bab 18 | Bismillah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Filin, apakah disunat akan sakit?"

"Aku tidak tahu, Bert. Aku belum pernah disunat. Apa ... kau takut?" Filistin berbisik di seberang telepon.

Lelaki itu terdiam. Smart phone masih melekat di telingnya. Sudah setengah jam mereka bersuah. Bert sudah rapi dan tampak maskulin dengan kemeja hitam berlengan pendek dan balutan celana chino krem.

"Bert! Kau melamun?"

"Emh i-iya, maaf."

"Kau takut?"

"Sedikit. Tapi, aku tidak akan berhenti di tengah jalan. Kau tenang saja."

"Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu. Kau harus semangat, ya? Aku selalu mendoakanmu. Semoga semuanya lancar."

"Terima kasih dan tentu saja aku akan selalu semangat jika bersamamu."

Filistin terkekeh pelan. "Semangat! Kau pasti bisa."

Bert tersenyum tipis. "Filin, mungkin untuk beberapa hari atau, seminggu ini, aku tidak bisa pergi ke bukit sampai keadaanku membaik. Tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa, aku mengerti. Tetapi, aku pasti akan sangat merindukanmu."

"Aku pun."

Filistin mengulum senyum di seberang sana.

"Filin, aku harus segera pergi ke rumah Paman Latif."

"Hmm ... hati-hati dan bismillah."

"Apa itu bis-bis-millah?"

"Sebuah doa yang artinya, dengan menyebut nama Allah."

"Oh." Bert tersenyum manis. Lidahnya masih kaku untuk mengikuti apa yang barusan Filistin ucapkan. "Sampai jumpa nanti. Muach."

"Asragfirullah, Bert! Kau sangat berdosa!"

"Kenapa berdosa, hm? Bukankah aku tidak menciummu secara langsung. Tadi, aku hanya mencium ponselku."

"Te-tetap saja itu tidak boleh!"

Bert terkekeh pelan mendengar nada Filistin meninggi dan penuh penekanan serta sedikit terbata. Lelaki jangkung itu meraih bantal sofa, lalu memeluknya erat karena sangat gemas. Jantungnya berdebar dan kedua pipinya memanas.

"Baiklah, maaf. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi."

"Oke."

"Bye, Sweet Girl.''

"Bye, Angry Bert!"

Senyum Bert melebar setelah sambungan telepon terputus. Dulu ia sangat marah jika gadis itu memanggilnya Angry Bert dan menyamakannya dengan Angry Bird. Tapi, sekarang tidak lagi, sebab Filistin bilang itu adalah panggilan kesayangan untuknya.

"Bert, ayo, kita berangkat sekarang!"

Bert menoleh pada Maria yang baru saja tiba di dasar tangga. Wanita paruh baya itu sudah rapi dengan pakaian semi-formal dan tas kulit hitam di tangannya.

Bert berdiri. Kedua netra hijaunya berbinar, menatap lekat penampilan Maria. "Malam ini kau cantik dan sangat anggun. Apa kau sengaja berpakaian seperti itu karena ingin mengantarku bertemu dengan Paman Latif?"

Maria mengulas senyum saat Bert berjalan tegas menghampirinya. Kini mereka berdiri saling berhadapan dan tampak seperti angka 10 jika dilihat dari jauh.

"Aku berpakaian seperti ini karena ini adalah malam yang sangat spesial untukmu, Nak. Bibi juga sudah membawakan kain dan celana pendek untukmu." Maria mengulum senyum. "Kau harus tenang, oke? Jangan tegang."

"Jujur saja, aku sedikit tegang, Bi." Bert membuang napas berat berulang kali.

"Itu hal yang wajar, yang terpenting bulatkan niatmu. Dengan begitu semuanya akan berjalan lancar."

Hati Bert menghangat saat wanita bertubuh subur itu mengusapi pundaknya dengan lembut. Dapat ia rasakan ketukusan hati Maria.

Tiba-tiba kedua mata Bert memanas hingga perlahan meneteskan bening. Ia menatap lekat wajah bundar Maria, lalu memeluknya sangat erat dan lama.

"Bi! Terima kasih banyak sudah merawat dan menjagaku selama ini. Terima kasih sudah sangat tulus menyayangiku. Aku sangat menyayangimu, Bi. Mulai sekarang aku ingin memanggilmu Ibu. Terima kasih sudah menyemangatiku dalam hal apa pun."

Maria tersenyum tipis, hatinya dipenuhi haru. Ia mengusapi punggung Bert yang keras. Tak terasa butiran bening mulai mengalir dari kedua sudut matanya.

"Jangan berterima kasih, Nak. Kau adalah titipan Tuhan untukku. Aku sangat beruntung dan bahagia bisa mengurusmu sejak kecil. Kau sudah kuanggap seperti putraku sendiri. Aku sangat menyayangimu."

Bert dan Maria melepas pelukan, saling menatap hangat dan melempar senyum. Wajah keduanya banjir oleh air mata.

"Sebentar lagi aku akan memeluk Islam, Bu. Semoga itu tidak akan mempengaruhi hubungan kekeluargaan kita."

Maria mengangguk diiringi senyum. "Apa pun agamamu, tetaplah menjadi lelaki baik dan bertanggung jawab. Tak peduli kau adalah seorang Yahudi, atau seorang Muslim, aku akan tetap mendukungmu dan menemanimu dalam keadaan sesulit apa pun. Aku sudah bersumpah pada Tuhan Yesus. Bukankah kita diajarkan untuk saling bertoleransi dalam beragama?" Maria menghela napas. "Semoga kau juga bisa menerapkannya dengan teman-temanmu, meskipun kalian sudah berbeda keyakinan."

Bert mengusap air matanya. Ia mengangguk sambil mengulas senyum.

"Bert!"

Bert dan Maria menoleh ke ambang pintu utama yang sudah terbuka lebar. Di sana berdiri dua lelaki berpengawakan jangkung. Amit dan Ze'ev pun akan ikut menemani dan ingin menyaksikan Bert saat memeluk Islam.

"Naik mobilku saja. Sepertinya saat pulang nanti, kau pun tidak akan bisa menyetir." Ze'ev tersenyum tipis.

Bert menghela napas. Ia semakin gugup. "Kau benar, bahkaan aku akan kesulitan berjalan."

Ze'ev dan Maria saling bersitatap sambil mengulum senyum.
Sementara wajah Amit dilumuri sendu dan tidak sumeringah seperti biasanya.

"Ada apa denganmu? Kau terlihat seperti kucing yang baru saja tersiram air."

Bert menggeleng melihat Amit yang rambut hitam pendeknya sangat berantakan, basah dan seperti tidak menyisir.

Amit terdiam dan justru balas menatap Bert dengan tatapan sendu.

"Meskipun aku sudah memeluk Islam, kita tetap akan berteman. Kau tenang saja, aku tidak akan berubah."

"Bukan itu yang aku pikirkan, Bert!" Amit mengusap wajah.

"Lalu?" Bert mengangkat satu alisnya.

"Aku bersedih karena barang limited edition-mu akan dipotong. Apa kau tidak takut, huh? Itu pasti rasanya akan sangat sakit."

Bert mendelik tajam, lalu mendesah berat. "Tentu saja aku takut, Bodoh! Tapi, seharusnya kau menyemangatiku dan jangan memasang wajah lesu seperti itu." Bert mendesah, lalu ia menyeret langkahnya menuju mobil.

Amit mengusap wajah. Kedua matanya berkaca-kaca. Ia sedikit terharu dan tidak percaya jika sahabat bejadnya itu akan segera memeluk Islam seperti Letnan Aaron.

Kekuatan cinta sungguh luar biasa dan juga menakutkan. Hanya karena cinta seseorang bahkan bisa meninggalkan agama yang dianutnya sedari kecil. Cinta sungguh gila.

Setelah mengetik caption barusan, Amit segera mengunggahnya di akun Instagram pribadinya dengan sebuah gambar berbentuk hati. Lalu lelaki berkaus putih itu segera menyusul Maria, Ze'ev dan Bert yang sudah memasuki mobil.

Ze'ev melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Bert duduk di sampingnya. Sedangkan Amit dan Maria duduk di kursi belakang. Wanita paruh baya itu terus berdoa sambil menangkup kedua tangannya di dada. Ia mendoakan semua kebaikan untuk Bert.

Seharusnya Bert sudah disunat dari jauh-jauh hari sebelum memeluk Islam. Hanya saja karena kesibukannya, ia harus melakukannya seara mendadak seperti ini. Sesuai ajaran kaum Yahudi, seharusnya setiap anak laki-laki berusia tujuh tahun diwajibkan disunat. Namun, kala itu Maria tak sampai hati melakukannya sebab Bert menolak keras dan baru saja ditinggal ibunya.

Kekhawatiran terpancar jelas dari netra cokelat pekat Maria yang sayu. Ia tahu, sejak kecil hingga sekarang bahkan Bert sangat takut dengan jarum suntik.

****

Prosesi sunat berjalan dengan lancar. Kini Bert sudah menukar celananya dengan celana bahan pendek dan ditutupi kain berwarna biru. Ia sudah berada di rumah paman Latif yang berada di sekitar kompleks Al Aqsa. Sebenarnya ia ingin memeluk Islam dalam Masjid Al-Aqsa, hanya saja keadaanya sekarang sangatlah tidak memungkinkan. Terlebih lagi penjagaan kepolisian Israel di sana semakin diperketat.

Ia duduk di sofa dengan kedua kaki yang sedikit terbuka. Sesekali ia meringis akibat perih di bawah sana yang tiada terkira. Obat biusnya mungkin sudah mulai memudar. Tapi, ia sama sekali tidak menyesali semua ini. Bert justru sangat bersyukur akan segera bisa seiman dengan gadis yang sangat dicintainya.

"Apa kau sudah siap, Nak?" tanya paman Latif.

"Aku sudah sangat siap, Paman." Bert tersenyum tipis. Keringat dingin membanjiri pelipisnya.

"Boleh aku bertanya padamu sekali lagi, apa alasanmu ingin memeluk Islam?"

Bert menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis. "Awalnya aku ingin memeluk Islam karena seorang gadis yang aku cintai, Paman. Dia seorang gadis Palestina. Namun, sekarang bukan hanya karena hal itu. Aku ingin menjadi manusia yang lebih baik. Aku ingin menghapus semua dosa-dosaku di masa lalu."

"Masya Allah." Paman Latif tersenyum hangat. Hatinya tersentuh. "Kau mengingatkanku pada Letnan Aaron. Niatmu sangat mulia, Nak. Allah Maha Pengasih lagi Maha Pengampun. Langkah yang kau ambil ini adalah langkah yang sangat tepat."

Bert dan paman Latif saling menatap hangat dan mengulas senyum penuh takjim.

"Bismillahirrahmanirrahim. Sekarang ikuti ucapanku, Nak Bert."

Bert mengangguk tegas. Jantungnya berdebar kencang saat tangan ringkih lelaki berjubah putih itu menjabat tangannya dengan erat. Iris hijaunya terpaku pada wajah paman Latif yang dihiasi bulu-bulu putih yang cukup lebat. Wajah lelaki tua itu bercahaya dan sangat meneduhkan. Beliau adalah seorang imam di Masjid Al Aqsa.

"Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah."

"Asy-asyhadu."

"Asyhadu an la."

"Asy-asyhadu an la."

"Ilaaha illallaahu."

"I-ilaaha illallaahu."

"Wa asyhaduanna muhammadar rasullullah."

"Wa asyhadu-"

"Wa asyhaduanna."

"Wa asyhaduanna."

"Muhammadar rasulullah."

"Mu-Muhammadar rasulullah."

Hati Bert semakin bergetar. Ia mengembuskan napas lega diiringi senyum penuh haru setelah berhasil mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut, meskipun masih terbata.

"Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah."

Bert menghela napas. "Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain A-Allah dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan A-Allah."

"Masya Allah, alhamdulillah, Nak. Sekarang agamamu adalah Islam, sembahlah hanya Allah dan jadikanlah Al-Quran sebagai petunjuk dan pedoman hidupmu. Semoga kau selalu istiqomah."

Bert tak kuasa menahan air matanya untuk tidak tumpah. Bahu pria itu berguncang dan hatinya bergetar. Entah, ia tidak bisa menjabarkan apa yang ia rasakan saat ini. Hatinya bahagia, bersedih dan terharu. Air matanya berjatuhan banyak saat paman Latif memeluknya dan membisikannya doa-doa.

Gema takbir dan ucapan syukur pun menggema. Beberapa pemuda Palestina yang menyaksikan keislaman Bert ikut bersukacita. Tidak ada kebencian di hati mereka meskipun tahu jika Bert adalah mantan seorang tentara Zionis. Mereka justru terharu atas hidayah yang Allah berikan padanya dan dengan senang hati, mereka akan merangkul dan membimbing siapa pun yang ingin memeluk Islam.

"Yang babrusan kau ucapkan adalah dua kalimat syahadat yang merupakan rukun islam pertama. Kau harus mengimaninya dengan hatimu yang terdalam dan mengamalkannya dalam perbuatanmu."

Bert mengangguk tegas. Ia menyeka wajahnya yang banjir air mata.

"Setelah pulang, kau harus mandi besar. Paman sudah menyiapkan beberapa buku panduan untuk seorang Mualaf sepertimu. Paman juga akan memberimu Al-Quran lengkap dengan terjemahannya. Kau bisa mempelajarinya pelan-pelan."

"Terima kasih banyak, Paman. Aku akan bersungguh-sungguh dalam mempelajarinya."

"Setelah menjadi Mualaf, kau harus mulai mengamalkan semua rukun Islam dan rukun iman. Banyak beribadah, berkumpul dengan orang-orang shaleh dan tinggalkan maksiat. Semoga Allah selalu menjaga hati dan imanmu. Allahummaghfirli warhamni wahdini wa 'afini warzuqni."

"Apakah itu adalah sebuah doa?"

"Iya, Nak. Dianjurkan untuk menghafalkan doa itu, artinya begini, Ya Allah, ampunilah dosaku, kasihanilah aku, berikan petunjuk untukku, afiyatkan aku dan berikan anugerah-Mu untukku. Paman sudah menuliskannya juga di buku. Nanti kau pelan-pelan bisa menghafalnya. Jika tidak ada yang dimengerti, datanglah ke sini dan jangan sungkan."

"Baik, Paman. Terima kasih banyak sekali lagi."

Satu per satu pemuda Palestina yang berkerumun di sana datang menghampiri Bert, menjabat tangan dan memeluk serta menciumi Bert sambil melantunkan doa, bertakbir dan bersyukur. Hati Bert menghangat dan ia kehilangan kata-kata. Butiran air mata enggan berhenti menetes dari kedua sudut matanya. Ia tidak menyangka bahawa hati orang-orang muslim begitu lembut dan sangat menerimanya seperti ini. Bert sangat bersyukur telah memeluk Islam. Hatinya sangat sejuk dan diselimuti kedamaian.

Ia menoleh ke ambang pintu di mana Maria, Amit dan Ze'ev menunggunya. Maria menyeka lelehan bening di sudut matanya, ia tersenyum hangat pada Bert. Amit mengacungkan jempol sambil menyeka air matanya yang ikut menetes. Sedangkan Ze'ev, lelaki berambut hitam itu tersenyum penuh arti sambil bersidekap. Ia menghela napas lega, ikut senang melihat sahabatnya bahagia.

****

"Kau sudah siap untuk menelepon ayahmu?"

Bert mengangguk saat Maria mengusap pundaknya. Wanita paruh baya itu duduk di samping Bert sambil membawa sebuah tablet berwarna putih.

"Kita video call saja, agar kau bisa saling menatap dengan Tuan Ismail. Tadi sore, Ibu sudah menghubungi Nyonya Yasemin jika malam ini kau akan meneleponnya."

Ze'ev meraih gelas berisi jus jeruknya yang tinggal setengah, lalu meminumnya hingga tandas dan menyisakan beberapa potong es balok. Kemudian ia berdiri.

"Bert, Bibi, aku harus segera kembali ke restoran."

"Pulanglah, Ze'ev. Terima kasih atas semuanya. Maaf merepotkanmu karena untuk beberapa hari ini, aku tidak bisa pergi ke restoran."

Ze'ev tertawa ringan. "Kau tenang saja, aku paham. Semuanya akan aku urus dengan baik. Keringkan saja dulu luka pada burungmu."

Bert melempar tatapan tajam pada Ze'ev. "Hemmh."

"Aku pulang." Ze'ev tersenyum, lalu lelaki berkulit putih itu mengayunkan langkahnya menuju pintu uatama.

Amit yang baru saja selesai dari kamar kecil mengerutkan dahi saat menoleh ke ambang pintu yang baru saja ditutup Ze'ev.

"Si Jerapah sudah pulang? Kenapa dia tidak mau menginap di sini?"

"Masih banyak kerjaan di restoran yang harus dia urus."

"Oh." Amit melebarkan senyum hingga belahan di dagunya semakin kentara.

"Kau tidurlah. Aku akan tidur di sini saja sambil menonton pertandingan bola."

"Kalau begitu aku juga akan tidur di sini, sekalian menemanimu."

"Ya sudah."

Bert menggeleng, mengintai Amit yang sudah berbaring di sofa yang berseberangan dengannya dan menghadap ke televsi.

"Amit."

"Kenapa?"

"Apa kau tidak berniat untuk mengundurkam diri jadi tentara?"

Amit sontak terduduk dari tidurnya. Ia berbalik menghadap Bert dengan mulut membola. "Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu."

"Barangkali kau ingin mengikuti jejakku dan Letnan Aaron."

"Aku tidak akan berhenti menjadi tentara sebelum aku menjadi seorang penulis terkenal."

"Ck!" Bert mendesis, lalu terbahak sambil melempar Amit dengan sebuah bantal sofa. "Bahkan sampai sekarang tulisanmu itu tak banyak disukai orang. Masih saja bermimpi kau, Bung!"

Amit mendesah berat, lalu kembali melempar bantal sofa itu pada paha Bert hingga membuat lelaki itu menjerit kesakitan.

Amit terbahak. "Astaga, maaf!"

"Sial." Bert mendesis. "Berhenti menjadi tentara dan belajarlah menulis yang benar. Maka kau akan semakin sukses."

"Tidak, tidak! Aku tidak akan berhenti menjadi tentara. Kecuali ... jika aku jatuh cinta pada seorang gadis Palestina sepertimu dan Letnan Aaron."

Bert dan Maria terkekeh pelan.

"Kalau begitu, Bibi doakan agar kau bertemu dengan gadis Pelestina dan jatuh cinta padanya."

"Sepertinya tidak mungkin, Bi." Amit mendesah dengan wajah layu. "Kurasa aku memang tidak ditakdirkan menjadi pemeran utama di dunia ini. Hanya seorang figuran. Buktinya, dari dulu tidak ada satu gadis pun yang tertarik padaku. Jangankan untuk mendapatkan gadis Palestina. Gadis Israel saja tidak ada yang mau denganku."

Maria terdiam, menatap Bert sambil mengulum bibir. Sedangkan Bert hanya menghela napas panjang. Ia kasihan pada sahabatnya itu, dari dulu memang susah mendapatkan hati wanita dan selalu saja ditolak. Padahal wajah Amit terbilang tampan dan memiliki sikap unik.

***

😂 Alhamdulillah update setelah sekian lama ideku stuck parah.

Mungkin ini akan menjadi cerita terakhirku di Wattpad. Karena setelah SCDBA 2 ini tamat, aku mau pindah lapak ke Novelme.🙋🙏

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro