Bab 19 | Mengharubiru

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bert terpaku menatap layar tablet yang digenggamnya erat. Dada Bert sesak saat retina matanya beradu dengan sepasang iris hijau milik Ismail di seberang Istanbul. Kebencian dan dendam dalam hatinya meluruh melihat keadaan sang ayah yang sangat tidak berdaya seperti itu. Bert sangat ingin menyapanya. Tetapi, ia kehilangan kata-kata dan hanya mampu menumpahkan segala perasaan melalui air mata yang kini mengalir deras menuruni kedua pipinya.

Lelaki paruh baya berbadan kurus itu duduk di kursi roda dengan kepala terkulai ke kanan. Ia hanya berkedip memandang wajah putranya yang sudah sangat dewasa. Hatinya teriris, teringat akan semua dosanya pada Ela dan Bert selama bertahun-tahun lamanya. Betapa ingin ia mengucap kata maaf pada Bert. Namun, lidah dan bibirnya tidak bisa digerakkan. Sehingga Ismail hanya mampu menatap Bert lekat sambil meringis. Bahu ringkihnya berguncang hebat. Lelehan bening di kedua mata sayunya berjatuhan tanpa jeda.

"Terima kasih sudah mau menelepon kami, Bert. Ayahmu pasti sangat senang bisa melihatmu. Maşhallah, kau sangat tampan. Persis sekali dengan ayahmu waktu masih muda dulu."

Bert mengangguk cepat, lalu mengusap wajah basahnya dan kembali mengintai layar datar tersebut.

"A--apakah Ayah bisa mendengar apa yang aku ucapkan?"

Yasemin mengangguk. Wanita paruh baya berambut pirang sebahu itu duduk bersisian dengan suaminya. Ia mengusapi tangan Ismail dengan berurai air mata, lalu mengunci sepasang iris Bert yang berair.

"Ayahmu bisa mendengar. Hanya saja dia tidak bisa bicara. Dia lumpuh total."

"A-apa yang terjadi dengannya sehingga bisa seperti itu?"

Yasemin menghela napas. "Ismail mengalami kecelakaan hebat di perjalanan menuju bandara saat ingin menyusulmu ke Israel."

Bert membeku. Sebulir bening kembali meluncur dari sudut matanya.

"Banyak sekali yang ingin aku ceritakan padamu sejak lama. Aku tidak ingin kau salah paham dan membenci ayahmu sampai berlarut-larut." Yasemin terisak. "Apa kau bersedia mendengarnya?"

"Katakanlah." Bert mengangguk pelan, lalu menelan saliva.

"Aku dan Ismail sudah menikah sebelum ayahmu bertemu dengan ibumu. Aku mandul dan tidak bisa memberinya keturunan." Yasemin membekap mulut, lalu mengunci netra hijau Bert yang memerah. "Hingga suatu hari ... a-ayahmu pergi ke Jaffa karena urusan pekerjaan. Di sana ayahmu bertemu dengan Ela. Setelah empat bulan tinggal di sana, Ismail pulang dan mengatakan padaku jika dia telah jatuh cinta pada ibumu da-dan dia meminta izin padaku untuk menikahinya."

Bert tertegun, mengintai lamat-lamat wajah basah Yasemin di seberang sana. Selama ini ia mengira jika Yasemin-lah yang telah merebut Ismail dari ibunya dan menelantarkannya. Bert menggigit pipi dalamnya. Hatinya semakin perih.

"Tentu saja aku sangat marah dan sakit hati pada saat itu. Terlebih lagi saat aku tahu jika Ismail telah menghamili ibumu." Yasemin terisak. "Aku melarangnya untuk menikahi ibumu dan mengancamnya dengan perceraian. Tetapi, dia tidak mau menceraikanku dan kembali pulang-pergi ke Israel untuk menemuimu dan Ela."

Yasemin menghela napas. Tubuhnya bergetar. Ia menoleh pada Ismail yang juga berguncang, ia menyeka lelehan bening yang mengalir deras dari iris hijau suaminya. Tersirat luka dan penyesalam di dalamnya.

"Saat Maria dan kau mengabarkan ibumu sakit, lalu meninggal, Ismail sangat ingin pergi ke sana. A-aku sangat menyesal karena telah egois. Aku mencoba untuk mengikhlaskan semuanya dan menerimamu. Aku menyetujui Ismail untuk menjemputmu ke Israel. Kami berencana ingin membawamu pindah ke Amerika."

Bibir Bert sedikit terbuka. Ia menahan napas saat perih semakin merongrong dadanya.

"Tetapi, rencana kami ditentang keras oleh nenekmu yang sangat memebenci orang-orang Israel. Mungkin kau paham kenapa alasannya, bukan? Dia tidak ingin putranya memiliki keturunan Yahudi sepertimu."

Yasemin menelan saliva. Dadanya sesak mengingat kejadian kala itu. Di mana pertengkaran hebat antara Ismail dan ibu mertuanya hingga berujung maut. Butiran bening mengalir semakin deras menuruni pipi tirusnya.

Bahu Bert berguncang. Ternyata ia benar tidak diharapkan  dalam keluarga Ismail.

"Ibuuuu! Bangun, Bu! Jangan tinggalkan aku! Kumohon bangun! IBUUUU!"

Bocah berambut cokelat keemasan itu terus saja mengguncang tubuh ibunya yang sudah kaku. Air mata mengucur deras membasahi wajahnya yang mungil. Bert kecil meronta saat beberapa perawat di rumah sakit melucuti peralatan medis yang semula menempel di tubuh Ela.

"Jangan lakukan itu pada ibuku! Dia akan sembuh!"

"Nak, ibumu sudah meninggal. Kau harus merelakannya."

"Tidaaaak! IBUKU TIDAK MENINGGAL! Ibuuuu! Banguuun!"

Bocah 7 tahun itu tersedu-sedu. Ia berlari kencang menelusuri lorong rumah sakit. Ia tak menghiraukan Maria yang mengejarnya dari belakang sambil terisak.

Wajah bocah berkulit putih itu sangat memelas. Rambutnya acak-acakkan dan bajunya sangat lusuh. Ia duduk di depan gerbang rumah sakit dan terus saja meracau. Bahu kecilnya berguncang hebat saat Maria mengusap punggungnya, lalu merengkuhnya dalam pelukan.

"Tabahkan dirimu, Bert. Kau harus kuat. Ibumu pasti sudah tenang di sana. Bibi berjanji akan selalu menjagamu."

Bert mengangguk cepat. "Bi-bi, ba-bantu aku u-untuk me-nelepon Ayah!"

Maria mengangguk dan segera meraih ponselnya dari saku, lalu menelepon Ismail. Sedangkan Bert dengan wajah basah dan polosnya menatap Maria sendu. Ia sangat berharap ayahnya akan mengangkat teleponnya kali ini setelah sekian kalinya ia mencoba menelepon saat Ela masih krisis.

Maria menggeleng dengan tatapan layu. "Tidak diangkat. Ya Tuhan." Lalu ia terisak sambil memeluk Bert. Maria melepas pelukan, lalu mengetikkan sebuah pesan pada nomor Ismail. Pesannya terkirim dan telah dibaca. Namun, Ismail tidak membalasnya.

Hari demi hari, bulan ke bulan, hingga tahun ke tahun dilalui Maria dengan penuh perjuangan. Wanita itu rela bekerja serabutan demi membiayai hidunya dengan Bert kecil. Rumah sederhana Ela telah dijual guna membayar biaya rumah sakit selama Ela dirawat. Bert dan Maria pindah dari kontrakan ke kontrakan lainnya.

"Keluar kalian dari rumahku!"

"Kumohon jangan usir kami! Kami tidak tahu harus tinggal di mana lagi. Kumohon kasihanilah kami, Tuan. Aku berjanji akan membayar uang sewanya bulan depan."

Maria terhuyung saat pemilik kontrakan itu mendorong tubuhnya. Ia terbatuk-batuk dan wajahnya sangat pucat.

"Haaah! Aku bosan mendengarnya! Kau sudah mengatakan hal itu berulang kali! Kalian sudah menunggak empat bulan! Kau kira, listrik dan air di rumah ini tidak perlu dibayar, huh?"

"Paman, kumohon jangan usir kami. Bibiku sedang sakit. Kami tidak tahu harus tinggal di mana lagi. Biarkan kami tinggal di sini untuk beberapa hari lagi."

Bert beringsut memeluk kaki lelaki tambun berwajah garang itu, ia mengiba. Namu, tak lama tubuhnya terpental hingga membentur tanah saat pemilik kontrakan tersebut menghempaskan kakinya.

"Aku sama sekali tidak peduli! Menyingkirlah kalian dari rumahku! Dasar miskin! Kalian tidur di jalan saja! Bisa rugi aju jika begini!"

Bert meringis saat kepalanya dilempari batu. Tubuh bocah 12 tahun itu bergetar menahan sakit. Hatinya pedih melihat baju, ransel dan barang-barang miliknya dilempar ke jalanan hingga berserakan. Ia menoleh pada Maria yang tengah terisak sambil terbatuk-batuk dan mengelus dadanya. Bert menyeka darah yang mengucur dari pelipisnya, lalu susah payah berdiri dan memunguti barang-barangnya satu per satu.

Rahangnya mengeras kala tangannya mengambil sebuah album foto berwarna biru yang telah usang. Bert membukanya. Bibirnya menipis melihat gambar lelaki dewasa beriris hijau yang sedang merangkul ibunya. Terdapat juga beberapa gambar Ismail yang sedang menggendong Bert saat balita. Tanpa pikir panjang, bocah itu segera melucuti gambar dari balutan plastik bening tersebut dan menyobek semua gambar Ismail, hanya menyisakkan foto dirinya dan sang ibu.

"Bert! Apa yang telah kau lakukan?"

Maria melebarkan matanya melihat serpihan gambar Ismail yang kini berserakan di tanah.

"Aku tidak ingin melihat wajah lelaki sialan itu lagi, Bi! Dia bukan ayahku! Aku tidak memiliki ayah! Aku bersumpah tidak akan pernah memaafkannya di seumur hiduku! Aku sangat membencinya!" tegas Bert sambil terisak, lalu memukuli tanah dengan sekuat tenaganya. Wajah mungilnya dibanjiri air mata dan juga darah.

"Di mana Nenek?" tanya Bert serak setelah menepis semua lamunan di masa lalunya.

"Ne-nenekmu sudah meninggal beberapa bulan lalu saat bertengkar dengan ayahmu. Dia terkena serangan jantung." Yasemin terisak, lalu meraih selembar tisu di meja dan menyeka lelehan bening di kedua pipinya dan juga cairan di hidungnya. "Lalu Ismail bertekat untuk menyusulmu ke Israel. Te-tetapi kemalangan justru meninpanya hingga lumpuh seperti ini."

Air matanya tumpah semakin deras. Bahu Bert berguncang hebat. Ia menatap wajah sang ayah yang sangat merah dan basah. Hatinya pedih melihat bahu lelaki ringkih itu berguncang dan bibirnya bergetar seperti ingin mengatakan sesuatu padanya.

"Sudah lama sekali kami mencarimu, Bert! Bertahun-tahun kami mencarimu. Kami berharap kau akan menghubungi kami. Kami terus menunggu. Aku hampir putus asa saat Ismail dalam keadaan kritis. Aku takut sesuatu yang buruk terjadi padanya sebelum ia meminta maaf padamu." Yasemin tergugu. Ia tersenyum getir. "Tapi, alhamdulillah, akhirnya aku bisa menemukan akun Instagram Maria dan bisa menghubunginya sekarang."

Bert mengusap wajah basahnya. Ia menghela napas panjang. "A-ayah! Ma-maafkan aku karena selama ini aku telah sangat membencimu. Ma-maaf-"

Susah payah Ismail menggerakkan kepalanya. Ia ingin mengangguk. Bibirnya bergetar ingin mengulas senyum.     Erangan kecil terdengar dari mulutnya yang sedikit terbuka. Bahagia membuncah di dadanya. Betapa ingin ia memeluk Bert andai saja tidak terhalang oleh jarak.

"Maafkan kami juga, Nak. Aku sangat bahagia. Ayahmu juga pasti sangat bahagia."

Bert mengangguk cepat sambil mengulas senyum. Ia mengusap bening menggunakan ibu jarinya.

Maria yang sedari tadi duduk di belakang Bert, berdiri, lalu merangkul bahu Bert dan duduk di sebelahnya. Kini mereka berempat bisa saling menatap dalam layar kaca dan melempar senyum hangat penuh haru.

"Aku memiliki kabar yang sangat baik untuk kalian." Maria mengulas senyum.

"Apa, Maria? Katakanlah dan jangan membuatku penasaran." Yasemin sangat antusias.

Maria mengulum senyum, lalu menoleh pada Bert sekilas dan kembali menatap Yasemin dan Ismail.

"Bert baru saja memeluk Islam dan baru saja disunat tadi malam."

"Be-benarkah?"

"Iya, Yasemin. Ini semua berkat seorang gadis Tepi Barat. Seorang gadis muslim Palestina yang sangat cantik. Namanya Filistin."

Yasemin kehilangan kata-kata. Kedua netra cokelatnya berbinar dan berkaca-kaca. Bibirnya membola. Wanita paruh baya yang masih segar dan sangat cantik itu memeluk Ismail dengan sangat erat sambil tersenyum haru.

"Alhamdulillah. Maşhallah. Kami sangat bersyukur dan sangat senang mendengarnya. Kita sudah seiman, Nak."

"A-alhamdu-dulillah." Bert tersenyum manis dengan wajahnya yang memerah. "Semoga suatu hari nanti kita bisa bertemu. Jaga kesehatan kalian dan semoga suatu hari nanti, aku bisa mengenalkan Filistin pada kalian, Ayah, I-Ibu."

Mereka semua mengucap syukur dalam hati. Saling menatap hangat dan melempar senyuman tulus. Bert sangat bahagia bisa menatap wajah ayahnya setelah sekian lama meskipun hanya lewat virtual seperti ini. Suasana tengah malam itu sangat mengahrubiru dan penuh suka-cita. Sementara Amit sudah sangat nyaman terlentang di sofa dan berlayar dalam dunia mimpinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro