Bab 20 | Kekejian Zionis

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pagi yang sangat cerah. Embusan angin bertiup kencang hingga membuat tenda-tenda yang terbuat dari kain terpal di perbukitan itu kembang-kempis dan menimbulkan bunyi yang khas.

Filistin sudah siap dengan seragam sekolah. Semangat membuncah dalam dadanya. Bibir tipisnys tersenyum manis, lalu keluar dari tenda dan bergegas menghampiri kedua orang tuanya.

Qasem dan Laila tampak sedang sibuk memetiki jagung-jagung dari tangkainya. Mereka menggelar layar di atas rerumputan hijau di samping tenda.

"Masya Allah, siapa yang telah memanen jagung, Bu? Kenapa banyak sekali jagungnya? Apakah semua jagung itu untuk kita?" tanya Filin sesampainya di hadapan Laila. Gadis itu berjongkok, lalu memainkan jagung-jagung hijau berukuran besar sambil terus memamerkan gigi-giginya yang putih bersih.

"Ini bukan milik kita, Sayang. Tadi, Al Quds dan Tuan Omar meminta Ibu untuk membantu memetiki jagung-jagung ini. Nanti siang mereka akan mengambilnya dan membawanya ke pasar."

"Masya Allah." Netra biru Filistin berbinar. Ia mengambil satu jagung besar yang kulitnya sangat hijau, memainkan rambut jagungnya dan menciumnya sangat dalam. Filistin sangat senang menyesap aroma khas jagung manis. "Maha Besar Allah yang telah merahmati negeri ini. Kita memiliki tanah yang sangat subur untuk menanam sayur dan buah-buahan. Apakah jagung ini dari Bait Lahiya?"

Laila mengumpulkan jagung-jagung yang telah ia petik dan memisahkannya dari tangkai dan tumpukan daun. Lalu ia menoleh pada Filistin.

"Tebakanmu benar, ini dari Bait Lahiya. Tuan Omar melelangnya dari petani di sana."

Filistin mengangguk sambil tersenyum.

"Filin."

"Iya, Ayah?''

Filistin menoleh pada Qasem yang sedang memasukkan jagung-jagung pada beberapa karung dan memisahkan jagung sesuai ukurannya.

"Apa yang sedang Asima lakukan? Di mana dia?"

"Kakak sedang mencuci piring."

"Pantas lama sekali. Tadi, Ayah menyuruhnya untuk menyeduhkan teh."

"Mungkin sebentar lagi akan datang." Filistin menoleh ke arah tenda. "Itu Kakak!" serunya riang, lalu tersenyum manis melihat Asima berjalan menghampiri mereka dengan dua cangkir di tangannya.

"Maaf, Ayah. Tadi, aku mencuci piring dulu." Asima tersenyum hangat, lalu duduk di samping ayahnya. Netra birunya sangat teduh.

Qasim yang sudah sangat dahaga segera menyambar cangkir teh tersebut dari Asima. Lelaki paruh baya berkumis tipis itu merapal doa, lalu menyeruput teh hangatnya dengan sangat khidmat dan penuh syukur.

"Alhamdulillah. Teh buatanmu memang selalu yang terbaik. Pekat dan manisnya selalu pas."

Asima menggeleng, lalu mengulum senyum karena pujian sang ayah. Kemudian ia mengelusi puncak kepala Filistin dengan penuh sayang.

"Asima, ada yang ingin Ayah sampaikan padamu."

"Iya, Ayah. Katakanlah. Apakah sangat penting? Kenapa tiba-tiba wajahmu serius seperti itu?"

"Iya, ini sangat penting." Qasem berdeham, lalu menaruh cangkir tehnya di dekat sebuah radio yang tergeletak di layar. "Kau sudah cukup dewasa, Nak. Jadi, Ayah dan ibumu telah sepakat ingin menikahkanmu dengan lelaki shaleh."

Filistin melebarkan mata dan mulutnya. Lalu ia membekap mulut, menoleh pada Asima dan memeluknya sangat erat hingga Asima meringis.

"Filin! Kau membuatku sesak."

Filistin melepas pelukan, lalu tawanya pecah. "Maaf, Kakak. Aku terlalu kaget dan senang."

Asima menghela napas. Ia kehilangan selera untuk tersenyum dan tiba-tiba hatinya gelisah. Ia mengunci sepasang netra cokelat ayahnya dengan sendu.

"Kenapa sangat mendadak? A-ayah ingin menikahkanku dengan siapa?"

Qasim tersenyum pada Laila, memberinya isyarat mata untuk menyampaikannya pada Asima.

"Dia teman kakakmu dari Nablus, namanya Yusuf. Usianya dua tujuh dan dia seorang guru di Madrasah. Beberapa hari lalu, Al sudah mengenalkannya pada Ayah dan Ibu. Kami bahkan sudah berbincang dengannya sebentar."

Asima menunduk. Tubuhnya gemetar saat bayangan pemerkosaan yang dialaminya dulu kembali terbayang. Ia meremas erat ujung gamis hitam yang membalut tubuhnya. Meskipun sekarang ia mampu bersikap lebih tenang dan bisa mengendalikan emosinya, tetap saja hatinya pedih. Bayangan wajah tentara laknat yang telah tega menyiksa dan menodainya tidak akan pernah bisa ia lupakan di seumur hidup. Semenjak ternoda, Asima bahkan sudah menutup rapat-rapat hatinya untuk lelaki mana pun. Ia merasa kotor dan tidak pantas untuk dicintai.

"I-Ibu, aku ... aku belum siap untuk menikah!" Suara Asima bergetar. Ia menatap ayah dan ibunya bergantian, lalu berdiri dan segera menyeret kedua kakinya memasuki tenda sambil terisak.

"Astaghfirullah." Laila mengelus dada, lalu melempar tatapan tajam pada Qasem. "Sudah kubilang, jangan terlalu cepat untuk memberitahukan ini padanya. Dia pasti akan menolak! Aku sangat memahaminya, dia pasti masih sangat terluka oleh masa lalunya dan tidak akan siap untuk menikah!" Laila menghela napas. "Jika aku jadi dia pun, aku pasti akan bersikap sama. Ya Allah, lindungilah anak-anakku."

Qasem hanya berkedip dan mengehela napas. Diam adalah senjata ampuh baginya untuk menghindari perdebatan dengan sang istri. Lelaki kurus itu mengusap wajah, lalu menoleh pada Filistin yang kini memasang wajah murung.
Qasem mengelus puncak kepala gadis bungsunya sambil tersenyum. "Cepat berangkat, nanti kau terlambat."

Filistin mengangguk cepat. "Iya, Ayah."

"Filistin! Filistin!"

Lengkingan Reda yang sangat khas membuat Filistin, Qasem dan Laila tersentak dan menoleh pada sumber suara. Gadis berhijab putih itu berlari kencang dari arah tendanya. Reda berhenti berlari, lalu memegangi lututnya. Napasnya tersenggal-senggal.

"Reda! Ada apa denganmu? Kenapa berlari seperti itu?" Filistin berjalan menghampiri Reda hingga kini saling berhadapan. Keningnya berkerut menatap Reda. "Kenapa belum memakai seragam? Kita akan terlambat, Reda!"

Reda susah payah mengatur embusan napasnya agar kembali normal. Kedua netra cokelat terangnya sangat merah dan sendu. Ia menggeleng lemah.

"A-aku baru saja mendapat kabar kalau sekolahan kita sudah digusur."

Filistin membeku dan kedua kakinya mendadak lemas. Padahal tadi dia sudah sangat semangat ingin menuntut ilmu.

"Be-beberapa siswi dan guru yang mencoba menghentikan ulah Zionis telah ditangkap. Bahkan Malak, kedua matanya disiram oleh lada dan kini sedang dirawat. Di-dia terancam akan mengalami kebutaan!" Reda terisak.

"Astaghfirullah. Ya Allah." Filistin membekap mulut. Air matanya perlahan tumpah menuruni kedua pipinya yang tirus.

Kedua remaja itu terisak, berpelukan erat dan saling menguatkan.

Qasem menghela napas berat. Ia mengelus pundak Laila yang bergetar. Istrinya pun ikut terisak mendengar kabar buruk tersebut.

"Sungguh biadab perbuatan Zionis laknatullah. Mereka sengaja menangkap anak-anak dan menghancurkan sekolah-sekolah di Tepi Barat. Mereka ingin melumpuhkan generasi Palestina." Kedua netra Qasem memanas. Dadanya sangat sesak.

Tiba-tiba desing peluru menggema nyaring. Qasem, Laila, Filistin dan Reda tersentak hebat. Qasem dan Laila berdiri dan menoleh ke atas bukit.

Di sana tampak rombongan tentara Israel berarak-arak menuruni bukit. Para lelaki berseragam hijau tua itu terus meletuskan peluru ke udara untuk mengintimidasi.

Filistin dan Reda membulatkan mata. Keduanya berlari menghampiri Laila dan Qasem sambil bergandengan tangan. Tubuh mereka bergetar. Jantung seakan ingin melompat saat para tentara bersenjata lengkap tersebut sudah ada di hadapan mata.

Seorang tentara berjanggut lebat menodong kepala Laila dengan senjata serbu tavornya yang besar dan panjang. Tanpa aba-aba, dia langsung menarik pelatuk senjatanya dan menghujani kepala Laila dengan dua peluru.

DORR! DORR!

"IBUUU!"

Filistin menghampiri ibunya yang terhuyung, lalu terkulai di layar dekat tumpukan jagung. Mulutnya menganga dan kedua matanya membesar melihat pelipis ibunya berlubang dan dibanjiri darah.

"Ibuu! Ku-kumohon bertahanlah! Ibuuu!" Filistin mendongak, melempar tatapan tajam pada tentara yang telah menembak Laila. "Ke-kenapa kau menembak ibuku?! Apa salahnya?!" Wajah basahnya sangat memelas. Bibirnya bergetar melihat tentara Zionis itu justru terkekeh-kekeh seperti iblis yang tidak memiliki hati.

Filistin mengguncang bahu ibunya kala mendapati kedua mata Laila mulai redup dan mulutnya megap-megap. Wanita bertubuh besar itu sedang meregang nyawa.

"Bibi Laila! Ya Allah! Tolooong!"

Reda ikut terisak. Ia membantu Filistin yang sedang berusaha mengangkat kepala Laila ke atas pangkuannya.

"A-Allahu A-A-Akbar!"

Tubuh Laila mengejang saat menghadapi sakaratul maut. Susah payah ia tersenyum menatap wajah Filistin yang berada tepat di atas wajahnya. Air mata gadis itu berjatuhan banyak, membasuh darah di wajah Laila. Ia mengucap dua kalimat syahadat dengan sangat lirih dan terbata sebelum akhirnya menutup mata untuk selama-lamanya.

"In-inalillahi w-wa inna ilaihi rojiun!" seru Filistin dan Reda serempak.

"IBUUUU!"

Filistin histeris. Ia memeluk jasad ibunya dengan sangat erat. Bahunya berguncang.

"Lailaaaa!"

Qasem mengeraskan rahang. Air matanya tumpah saat itu juga. Ia berlari menghampiri Laila dan Filistin. Lelaki itu menjatuhkan kedua lututnya di tanah.

"I-inalillahi wa inna ilaihi rojiun. Sesungguhnya kami adalah milikmu, Ya Rabb dan akan kembali pada-Mu. Hamba ikhlas." Qasem mendongak ke langit, lalu mengusap pelan wajah istri tercintanya yang telah syahid. "Tunggu aku di surga, Istriku." Bahu lelaki ringkih itu beguncang, air mata tak mampu ditahan hingga meluruh semakin banyak. Dadanya sangat perih.

"A-Ayah! Ibu!" Filistin terisak dalam dekapan Qasem.

Qasem kehilangan kata-kata. Ia melepas pelukan dan segera berdiri. Lelaki kurus itu mengambil sebilah kayu besar dan berancang-ancang untuk memberikan pembalasan pada tentara yang telah membunuh istrinya.

"Hancurkan tenda kalian dan tinggalkan tanah ini!" gertak Zionis berbadan besar itu sambil menodong Qasem dengan senjata laras panjang. Seringaian di wajah garangnya sangat mengerikan. Dia sudah sangat siap menembak lelaki kurus di hadapannya itu.

Wajah Qasem terlihat tenang. Tidak ada ketakutan untuk mati di dadanya. Semangat jihadnya berkobar. Sampai mati pun lelaki itu akan memperjuangkan tanah Palestina.

"Kami tidak akan pernah meninggalkan tanah ini! Kalianlah yang seharusnya pergi dari sini, Penjajah!"

"Kau berani sekali menantang ha? Cepat hancurkan tendamu sendiri dan pergi dari sini dalam waktu satu jam! Jika tidak, kalian harus membayar denda sebesar 300. 000 Shekel!"

Zionis licik, Qasem berdecih. Kedua netra cokelatnya menatap tajam tentara yang menjulang di hadapannya itu. Qasem membusungkan dada, lalu mencabut sebuah bendera Palestina yang tertancap di atas tendanya. Dia berjalan tegas mendekati tentara itu sambil mengangkat tinggi gagang benderanya hingga kain bendera berwarna hijau, putih, hitam dan merah tersebut berkibar indah tertiup angin di negeri tercinyanya, Palestina.

"Sejengkal pun, kami tidak akan meninggalkan tanah ini! Tak peduli berapa kali kalian akan menghancurkan rumah kami dan membunuh kami! Demi Allah! Demi Rasulullah! Kami tidak akan pernah meninggalkan tanah yang mulia ini! Allahu Akbar! All-"

DORR!

Lelaki paruh baya itu tidak dapat melanjutkan ucapannya saat sebuah benda asing bagai kilat menembus dadanya. Qasem menunduk, menatap kaus putihnya yang berlubang dan tak lama darah segar mengucur deras darinya. Susah payah ia memegang dadanya hingga tubuhnya tumbang ke tanah dan syahid menyusul Laila.

"AAYAAAAH!"

"PAMAAAN!"

Filistin dan Reda memindahkan kepala Laila ke layar. Lalu kedua remaja itu berlari tergopoh-gopoh menghampiri Qasem yang telah bersimbah darah.

Sejak tadi Asima bergetar di ambang pintu tenda melihat kekejian Zionis yang telah membantai kedua orang tuanya. Kedua kakinya sangat lemas. Air matanya enggan berhenti meluruh. Wanita berwajah oval itu susah payah merangkak untuk menghampiri Filistin dan kedua orang tuanya.

"A-ayah! I-Ibu!" isaknya sangat memilukan.

"Inalillahi wa inna ilaihi rojiun! Paman Qasem sudah meninggal," ujar Reda setelah memeriksa denyut nadi lelaki kurus itu.

"I-innalillahi wa inna ilaihi rojiun! Ayaaaah! Ibuuu!" Filistin memeluk jasad ayahnya hingga darah segar dari dada Qasem merembas memerahi kerudung putih dan seragam sekolahnya.

"Hancurkan tenda mereka!"

"Siap, Letnan!"

Puluhan tentara Zionis mulai berpencar dan menjalankan aksi bejadnya. Di bawah kaki bukit itu terdapat sekitar lebih dari lima belas tenda.

Semua warga menjerit dan bertakbir saat desing peluru membabibuta. Para lelaki berhamburan mencari kerikil dan barang apa saja yang bisa dijadikan senjata untuk melawan. Mereka tak hentinya menyerukan yel yel untuk kemenangan Palestina. Namun, tak lama sebagian dari mereka tumbang ke tanah dengan bersimbah darah. Tentara Zionis tidam segan-segan menembak siapa pun yang melawan.

"Tinggalkan tanah ini sekarang juga! Cepat!"

"Kami tidak akan meninggalkan tanah ini! Kami akan menjadi penjaga sejati Al Aqsa meskipun kami harus menebusnya dengan darah!"

Seorang pemuda berjalan terpincang-pincang dengan sebuah tongkat kayu. Satu kaki kanannya hanya menyisakkan lutut akibat tertembak dalam bentrokan di Al Quds waktu itu.

"Kau benar-benar ingin mati rupanya. Aku akan mengabulkan ucapanmu!" Tentara Zionis itu menyeringai, emosinya tersulut.

Pemuda tersebut terjungkal ke tanah saat Zionis itu menendang tongkatnya dengan sangat kasar. Ia bangkit, lalu mengesot sambil meringis.

"Biruh biddam! Nafdika ya Aqsa!"

Pemuda itu tersenyum manis, lalu melempar tentara itu dengan sebuah batu dan berhasil menembus matanya. Lalu tak lama, tubuhnya terpental saat Zionis itu menghujaninya dengan peluru. Pemuda berkaki satu tersebut syahid dengan senyuman indah di bibirnya. Darah mengucur dari keningnya.

Para wanita dan anak-anak menangis. Jeritan mereka pecah dan sangat menyayat hati saat para Zionis menyeret paksa dari dalam tenda. Baju dan barang-barang mereka semua dilampar ke luar tenda dengan brutal. Dalam sekejap mata, tenda-tenda tersebut sudah rata dengan tanah dan sebagian warga bersimbah darah.

***

Satu jam sudah berlalu. Filstin, Asima, Reda beserta ibunya masih berada di bukit itu sambil berdoa dan menangisi jasad Laila dan Qasem. Mereka menunggu kedatangan Al Quds dari pasar. Reda telah menghubungi pemuda itu.

Filistin menyeka lelehan bening di pipinya saat melihat mobil bak pengangkut sayur berwarna putih telah tiba di atas bukit.

"Ka-Kakak!''

Tangisnya kembali pecah saat melihat Al Quds berlari kencang menuruni bukit disusul tuan Omar di belakangnya.

"A-ayah! I-Ibu!" Al Quds menahan napas. Ia mengintai wajah pucat Qasem dan Laila secara bergantian. "I-innalillahi wa inna ilaihi ro-rojiun ...."

Bibir Al Quds bergetar. Aliran darahnya mendidih. Demi Allah, dia menyumpahi para Zionis yang telah menghancurkan desa dan membunuh kedua orang tuanya. Al Quds merapal doa dengan lirih, lalu merengkuh kedua adiknya dalam dekapan. Lidahnya kelu. Hatinya mendadak kosong melompong.

Tidak pernah ada yang tahu kapan kematian itu akan datang. Tadi pagi, ia bahkan sempat bercanda dengan kedua orang tuanya sebelum berangkat ke pasar. Namun, sekarang kedua orang tuanya telah menghadap Sang Khalik secepat ini.

Al Quds mendongak. Air matanya berjatuhan semakin banyak menuruni rahang tegas yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Dadanya sangat perih. Baru kemarin dia kehilangan sahabatnya yang tertembak di Syeikh Jarrah saat melawan para tentara dan pemukim yahudi yang ingin merampas rumahnya.

Al Quds mengedarkan pandangan. Ia meringis melihat tenda miliknya dan tenda-tenda milik tetangganya sudah rata dengan tanah. Baju-baju dan perabotan rumah berserakan. Amis darah menyengat. Jasad para mujahid bergeletakan. Tangisan anak-anak dan jeritan wanita silih berganti menusuk indra pendengarannya. Semuanya telah habis tidak tersisa.

Katakan apa salah mereka? Rumah mereka telah dihancurkan. Mereka hanya ingin berteduh dari hujan dan matahari. Mereka ingin menjaga tanah Palestina. Tapi kini ... mereka kembali terusir dari tempat tinggalnya dan harus pergi untuk mencari tempat tinggal yang lain. Padahal mereka hanya menempati tanah kosong dalam tenda yang sejatinya adalah tanah mereka sendiri, Palestina yang mulia. Kejadian hari ini mengingatkan Al Quds pada tragedi Nakbah pada tahun 1948, di mana sekitar 700 warga Palestina terusir dari rumahnya saat peperangan Arab dan Israel pecah.

Bahu Al Quds berguncang. Ia meninju tanah hingga buku-buku jarinya memerah.

"Kapan semua ini akan berakhir, Ya Rabb? Hamba percaya tidak akan terjadi musibah kecuali atas kehendak-Mu. Kuatkanlah hati kami dan ikhlaskan hati kami di atas Islam." Al Quds mengusap wajah basahnya, lalu mengeratkan pelukan pada kedua adiknya.

"Kita harus ikhlas. Insya Allah, Ayah dan Ibu akan ditempatkan di surga. Kelak kita akan berkumpul bersama di sana." Al Quds mengulas senyum saat tangan mungil Filistin mengusap air matanya.

"Aku ikhlas, Kakak. Aku ikhlas." Filistin tersenyum sambil meluruhkan bening.

"Aku pun sudah ikhlas, Al." Asima tersenyum getir, lalu kembali memeluk Al Quds dengan bahu berguncang.

Reda menghela napas panjang. Dia dan ibunya sedang memunguti barang-barang di bangkai tenda mereka. Dari kejauhan, kedua netra cokelat terangnya menyipit. Ia lega melihat Al Quds sudah datang. Remaja berbadan semampai itu berjalan menjauhi ibunya, lalu ia berjongkok dan mengambil ponsel dalam sakunya.

****

Bert tengah santai duduk di beranda rumahnya sambil membaca sebuah buku panduan salat. Ia bertekat ingin segera menghafalnya. Sejak dua hari memeluk Islam, lelaki rupawan itu salat sambil membaca buku.

Bibir kemerahannya merekah manis. Dia sudah tidak sabar ingin bertemu Filistin dan ingin menghadiahinya dengan sebuah surah pendek yang baru saja ia hafal, surah Al Ikhlas. Filistin pasti akan sangat senang mendengar Bert membacakannya.

Ponsel yang tergeletak di meja berdering. Matanya berbinar melihat sebuah panggilan masuk dari Filistin. Ia dengan cepat mengangkatnya.

"A-asalamualaikum, Filin. Aku sangat merindukanmu."

"Wa'alaikumsalam, Bert! Maaf, aku bukan Filistin! Aku Reda. Temannya Filistin."

"APA?" Punggung Bert menegak. Kedua pipinya memanas. Ia berdeham pelan. "Maaf, kukira kau Filistin. Di mana dia dan ada apa kau meneleponku?"

"Kami baru saja diserang dan keadaan Filistin sedang tidak baik-baik saja."

"A-apa maksudmu? Apakah dia terluka?" Wajah Bert mendadak pucat.

"Dia tidak terluka sedikit pun. Tapi ... kedua orang tuanya terbunuh."

Bert membeku. Lidahnya kelu. "A-apa?"

"Aku hanya ingin mengabarimu. Mungkin setelah ini kami akan meninggalkan kaki bukit dan akan pindah entah ke mana. Tenda kami sudah digusur. Asalamu'alaikum."

Reda mengakhiri panggilan. Ponsel yang semula menempel di telinga Bert melorot hingga jatuh ke pangkal pahanya. Lelaki itu sontak menjerit sejadi-jadinya karena luka di sana belum sepenuhnya mengering.

"Aaaaakh!"

Maria menyembul dari arah pintu dengan tergesa-gesa. Wajahnya sangat panik.

"Bert! Ada apa denganmu, Nak? Kau baik-baik saja?"

Bert meringis karena sangat linu dan nyeri. "Aku ti-tidak baik-baik saja, Bu. Filistin membutuhkan pertolonganku. Tendanya digusur dan kedua orang tuanya dibunuh."

"Ya Tuhan!" Maria membekap mulut. Lalu memegang lengan Bert yang ingin berdiri. "Kau mau ke mana? Kau belum pulih, sebaiknya jangan banyak berjalan."

"Aku ingin menemui Filistin."

"Kau bahkan belum bisa berjalan. Bagaimana kalau suruh Amit saja untuk melihat keadaanya?"

Bert kembali duduk. Ia menghela napas panjang, lalu mengangguk.

****

Pernah ada pikiran mau berhenti nulis cerita ini. Karena entahlah, aku semakin enggak semangat buat lanjutin. Tapi, sayang juga karena sudah telanjur nulis sampai bab 20.

Bab 21 | Peremuan Reda dan Amit

Amit Ben Nathan















😩 Ternyata Amit genteng bingit. Dagunya ngebelah dua dan murah senyum. Pas banget dengan visual Amit dalam imajinasiku 😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro