Bab 21 | Pertemuan Amit dan Reda

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Apakah dia yang namanya Amit?"

Reda menghela napas panjang. Netra cokelat terangnya mengintai punggung tegap lelaki berseragam tentara Israel yang sedang berdiri menghadap pepohonan zaitun yang rindang. Sebelumnya mereka sudah berjanji akan bertemu di bukit tempat rahasia Bert dan Filistin. Gadis semampai itu meraih ponselnya, lalu membuka galeri untuk melihat foto Amit yang dikirimkan tadi pagi padanya. Reda ingin memastikan sekali lagi dan tidak ingin sampai salah orang.

Reda berdiri di belakang tentara tinggi itu berjarak sekitar 2 meter. Ia memungut beberapa batu yang tergeletak di bawah kakinya. Reda harus bejaga-jaga jika tentara tersebut bukanlah Amit temannya Bert.

Reda berdeham pelan. "Amit! Apakah kau Amit yang disuruh Bert untuk menemuiku?"

Kedua mata Amit melebar saat suara merdu barusan menyapa gendang telinganya. Dari suaranya saja, Amit sudah bisa memastikan jika Reda adalah gadis yang cantik seperti Filistin. Bibir tipisnya yang kemerahan mengembang sempurna. Ia bergegas mengakhiri aktivitasnya yang semula tengah membuang air kecil ke semak-semak zaitun. Amit berbalik dan sontak membeku kala iris hitamnya beradu dengan netra cokelat terang yang sangat indah milik Reda.

Inikah definisi bidadari tak bersayap? Atau, apakah gadis itu memang bidadari?

Senyum Amit semakin lebar dan sangat manis dengan belahan dua di dagunya. Kedua matanya berbinar, hatinya berbunga dan jantungnya meletup-letup melihat paras cantik Reda yang sangat memesona. Gadis tinggi bergamis hitam, kerudung hitam, kulit seputih susu, bibir penuh semerah delima dan mata bulat yang dihiasi bulu lentik itu membuat Amit terpesona pada pandangan pertama.

Bahkan dia lebih cantik dari Filistin.

"Hai!" Amit melambaikan tangan kanannya. Senyum manisnya setia melekat.

Sedari tadi Reda hanya bergeming di tempat dan memasang wajah datar. Tatapannya sangat dingin. Genggaman tangannya pada lima batu berukuran kecil semakin menguat. Kerutan timbul di dahi gadis itu saat mengamati dengan seksama wajah Amit. Wajahnya mirip dengan foto dalam ponselnya.

Atensinya tertuju pada rambut hitam pendek Amit yang terdapat daun kering di atasnya. Lalu pandangannya tak sengaja jatuh ke bawah. Kedua mata Reda seketika membesar dan ia histeris melihat resleting celana hijau tua Amit terbuka lebar.

"AAAAAAKKKKH! ASTAGFIRULLAH!"

"HEI! HEI! Ada apa dengamu?" Amit susah payah menghindari batu-batu yang tiba-tiba melayang ke arahnya. Tentara itu melompat di tempat sambil menutupi wajah dan kepalanya menggunakan tangan. Amit berhasil menangkis batu-batu tersebut. "Kenapa kau melempariku? Apa salahku? Apa kau sudah gila?"

"Kau yang gila! Dasar Tentara Bejad! Kau telah menodaiku!'' Reda menutup matanya rapat-rapat sambil melemparkan batu terakhir di tangannya.

"Hei, Nona! Menodaimu bagaimana? Bahkan kita baru saja bertemu dan aku sama sekali tidak melakukan apa-apa padamu!"

Amit berdecak, lalu menghela napas berat. Kedua alis hitamnya bertaut melihat Reda berbalik dan kini memunggunginya.

"Resleting celanamu terbuka! Astaghfirullah! Astaghfirullahal'adzim wa atubu ilaih! Ya Allah ampunilah dosaku."

"Apa?"

Amit ternganga. Ia menunduk dan sontak tersedak saat mendapati resleting celananya memang terbuka lebar. Wajahnya memerah. Ia segera berbalik dan menarik resleting celana perwiranya ke atas dengan tergesa-gesa hingga tak sengaja aset pribadinya terjepit.

"Aarghh! Sial!"

Kedua matanya terpejam rapat. Amit meringis karena sangat ngilu dan perih. Kini lelaki itulah yang merasa telah ternoda. Demi Tuhan, Amit adalah tentara yang paling suci dari teman-temanya yang lain. Reda adalah gadis pertama yang melihatnya. Amit menghela napas. Beruntung dia memakai celana dalamnya yang berwarna kuning sehingga ia merasa masih aman.

Setelah mengatur embusan napasnya yang memburu, Amit berbalik dan berdeham pelan sambil mengintai punggung Reda.

"Aku sudah menutupnya. Ma-maaf, tadi aku terburu-buru jadi lupa." Amit terkekeh samar.

Kedua lengan Reda mengepal kuat. Ia berdecak pelan, lalu berbalik menghadap Amit dengan wajah berang.

"Cepat berikan apa yang ingin Bert titipkan untuk Filistin. Aku harus segera pulang."

"Buru-buru sekali." Amit menghela napas. "Apa kau tidak ingin berbincang sebentar denganku?"

"Tidak sudi!"

Reda menggentakkan kaki, lalu berjalan gontai mendekati tentara itu tanpa ingin melihat wajahnya.

"Cepat berikan saja apa titipan Bert untuk Filistin."

Reda mengulurkan tangannya. Tubuhnya menegang saat sebuah tangan besar yang hangat justru menjabat tangannya sangat erat. Reda mendongak hingga tatapan mereka bertemu.

"Nama lengkapku Amit Ben Nathan. Siapa nama lengkapmu?" tanyanya lembut sambil terus menggenggam tangan Reda. Bibir merahnya semakin mengembang.

Rahang Reda mengeras. Bibirnya menipis menahan kesal. Ia segera menarik tangannya dari cekalan Amit dengan kasar.

"Kau tidak perlu tahu."

"Galak sekali." Amit memasang wajah murung. Lalu ia merogoh sakunya untuk mengambil sebuah amplop putih yang cukup tebal. ''Bert menitipkan ini untuk Filistin."

"Apakah itu surat?"

Amit mengangkat bahu. "Mungkin, aku tidak tahu."

Reda hendak menyambar amplop putih itu dari tangan Amit. Namun, lelaki tinggi itu justru mengapungkan amplopnya sangat tinggi hingga membuat Reda membulatkan bibir dan berdecak kesal.

"Kau mau suratnya?" Amit menyeringai. "Beri tahu dulu apa nama akun Instagrammu?"

Reda menahan napas seraya menghunjam Amit dengan tatapan tajam.

"Aku tidak punya akun Instagram."

"Wattpad?"

"Aku tidak suka membaca online. Jadi aku tidak punya."

"Benarkah?"

Reda memutar bola matanya. Ia bersidekap melihat senyuman tentara itu semakin melebar. Tanpa aba-aba, Reda meninju perut Amit dengan sekuat tenaganya hingga membuat Amit mengerang dan menjatuhkan amplopya ke tanah. Reda berjongkok dan segera memungutnya, lalu segera menyeret kedua kakinya meninggalkan Amit yang sedang tertunduk sambil meringis. Gadis itu terus berlari kencang hingga dedauanan dan ranting kering yang diinjaknya berbunyi nyaring.

"Astaga. Apa salahku hingga dia berbuat demikian?" Amit membuang napas berat.

****

"Astaghfirullah. Astaghfirullah."

Reda menahan isak saat teringat dosa yang baru saja ia lakukan. Meskipun tidak sengaja, namun tetap saja ia merasa sangat bersalah pada Allah. Tak terhitung berapa kata ampun yang ia ucapkan dalam hatinya dengan sangat bersungguh-sungguh.

Gadis tinggi itu berjalan gontai menaiki sebuah bukit kecil yang dipenuhi rerumputan hijau dan aneka bunga liar yang biasa tumbuh di perbukitan. Dari jarak satu meter, Filistin terlihat tengah mengumpulkan dedaunan dan rumput kering di depan sebuah gua yang lumayan besar.

Setelah tenda mereka dihancurkan, Al Quds membawa kedua adiknya, Reda dan ibunya untuk tinggal di gua itu.

"Reda, alhamdulillah kau sudah kembali!" seru Filistin riang. Senyumnya mengembang. Ia menghentikan aktivitasnya, lalu berdiri sambil memegang gagang sapu lidi. Keningnya mengerut melihat sendu di wajah putih Reda.

"Apakah Kakak Al ada di dalam?"

Filistin menggeleng. "Kakak Al dan Kak Asima sedang pergi ke sumur wakaf untuk mengambil air."

"Syukurlah." Reda menghela napas, lalu merogoh amplop putih dari gamisnya dan menyodorkannya pada Filistin. "Ini titipan dari Bert."

"Apakah ini surat?"

"Aku tidak tahu, kau buka saja."

Filistin mengangguk. Ia menelisik netra cokelat terang Reda. Tersirat kesedihan di dalamnya.

"Reda, apa kau baik-baik saja?"

Reda menggeleng, lalu duduk di tanah sambil menangkup wajah.

"Reda! Kau kenapa? Apa Amit berbuat jahat padamu?"

Reda mengunci mulut. Dia mengusap wajahnya berulang kali. Ia tersedu-sedu saat Filistin duduk, lalu mengusap punggungya.

"Reda, kau membuatku khawatir. Cerita padaku, ada apa denganmu?" Filin tertegun melihat air mata Reda justru mengalir semakin banyak.

"Aku sudah sangat berdosa. Aku ingin hilang ingatan saja! Demi Allah, Filin! Aku sangat membenci tentara itu!"

"Amit?" Filistin menautkan alis. "Setahuku dia sangat berbeda dan ramah. Dosa? Dosa apa yang telah kau lakukan?" desak Filistin, gadis itu semakin penasaran.

"Astaghfirullah! Sa-sangat sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Sebaiknya kau tidak perlu tahu. Jika tidak, kau akan ikut membayangkannya."

"Maksudmu?" Filistin menggaruk belakang kepalanya.

"Aku sudah melihat apa yang seharusnya tidak boleh kulihat."

"Hah?"

"Sudahlah! Aku sangat membencinya! Aku pergi salat ashar. Kau sudah salat?"

"Sudah."

"Ambil ini jika kau ingin menghubungi Bert."

Filistin mematung saat Reda menaruh ponsel di pahanya.

Reda meyeka wajah basahnya dengan kasar, lalu berdiri dan berlari memasuki gua.

"Astaghfirullah. Ada apa dengan Reda? Semoga dia baik-baik saja."

Filistin menggeleng menatap punggung Reda. Ia membuka amplop pemberian Bert dan kedua matanya sontak membesar melihat lembaran Shekel yang begitu banyak di dalamnya.

"Ya Allah! Ba-banyak sekali!"

Filistin mengedarkan pandangan. Ia takut Al Quds melihatnya. Gadis berhijab putih itu segera menyembunyikan amplop berisi uang tersebut ke saku celana lebarnya. Kemudian ia segera menghubungi Bert. Filistin menghela napas saat sambungannya terhubung.

"Asalamu'alaikum, Bert."

"Wa'alaikumsalam, Sayang."

Filistin mengulum senyum saat suara khas Bert menyapa di seberang sana. Hatinya berbunga.

"Bagaimana perasaanmu sekarang? Apakah sudah lebih baik? Aku sangat mengkhawatirkanmu."

"Alhamdulillah, aku sudah ikhlas. Tetapi, aku sangat merindukan Ayah dan Ibu." Wajah Filistin berlumur sendu. Kedua matanya memanas.

"Kau harus sabar dan tetap kuat. Aku akan selalu ada untukmu."

Filistin mengangguk. Meskipun ia tahu Bert tidak bisa melihatnya.

"Bert! Ke-kenapa kau memberiku uang sebanyak ini? A-aku tidak mau menerimanya!"

"Aku akan sangat marah jika kau menolaknya," tegas Bert sangat serius, "kau simpan baik-baik uang itu. Aku tahu, kalian pasti sangat memerlukannya."

"Ta-tapi, jika Kakak Al tahu bagaimana?"

Embusan napas Bert terdengar pelan. "Berbohong demi kebaikan tidak apa-apa, bukan? Kau pasti bisa mencari alasan yang tepat buat si Kriting."

"Berhenti memanggilnya Kriting!"

Bert terkekeh pelan. Ia senang menggoda Filistin dengan mengatai kakaknya yang memang rambutnua mirip mie itu. "Anggap saja itu adalah panggilam kesayangan untuk calon kakak ipar."

Kedua pipi Fiistin memanas dan semerah mawar. "Baiklah jika kau senang memanggilnya seperti itu."

"Kau bisa bilang, uang itu kau dapat dari seorang dermawan. Kau pakai uangnya pelan-pelan agar kakakmu tidak curiga."

"Tap-"

"Maaf, Sayang. Aku akan menghubungimu lagi nanti. Besok kita bisa bertemu, aku sudah sembuh." Bert terkekeh pelan. "Sekarang aku sedang membahas sebuah proyek bersama Ze'ev. Sampai jumpa nanti. I miss u. Asalamu'alaikum."

Filistin bergerak gusar. "Wa-wa'alaikumsalam."

Gadis itu menghela napas, termenung seraya meremas jemarinya. Ia memang sangat membutuhkan uang itu. Tetapi, ia juga tidak enak menerimanya dari Bert, pun tidak bisa menolak jika lelaki itu sudah berkata demikian. Mungkin ini adalah pertolongan Allah yang diberikan melalui Bert. Filistin harus bersyukur.

Senyumnya semakin merekah. Kedua netra birunya berkaca-kaca. Ia terharu karena sekarang Bert sudah sangat lancar mengucapkan salam dan membalas salamnya.

"Alhamdulillah, Ya Allah. Jagalah hatinya agar selalu istiqomah dalam Islam. Amiin. Aku sangat mencintainya karena-Mu." Gadis itu mengulum bibir.

****

"Maaf."

Bert berjalan tegas menghampiri Ze'ev yang sedari tadi menunggunya di ruang tamu. Ia menghela napas sambil mendaratkan bokongnya di sofa, menghadap sahabat sekaligus partner kerjanya itu.

"Sepertinya kau sangat mencintai gadis itu." Ze'ev memainkan alisnya.

"Tidak usah ditanya. Tentu saja aku sangat mencintainya. Aku ingin Filistin segera dewasa agar bisa segera menikahinya."

"Ck!" Ze'ev terbahak. "Sayangnya kau harus sabar, Bung. Masih harus menunggu beberapa tahun lagi agar mimpimu itu bisa terwujud."

"Hmh, aku tahu," jawabnya singkat. Bert mencondongkan punggungnya pada laptop yang Ze'ev sodorkan. "Sampai mana pembicaraan kita tadi?"

"Besok siang kita akan bertemu dengan seorang broker untuk meninjau langsung lokasi tanahnya. Sekaligus bernegosiasi soal harga. Jika kau cocok dengan harganya, secepatnya kita ambil." Kedua netra hitam Ze'ev berbinar.

"Semoga saja harganya cocok. Letak tanahnya sangat strategis. Aku suka. Jika aku membangun sebuah hotel di sana, aku yakin itu akan sangat menjanjikan."

Ze'ev mengangguk. "Kau benar."

"Cinta itu gila. Bahkan saat pandangan pertama pun bisa membuat jantung berdebar."

Suara khas Amit yang tiba-tiba menggema membuat kedua lelaki yang tengah serius itu terkesiap, lalu menoleh ke ambang pintu utama yang terbuka lebar. Di sana lelaki berseragam hijau tua tengah berdiri sambil bersandar pada kusen pintu. Kedua tangannya dilipat di dada. Sepasang netra hitamnya berbinar dan senyum yang menempel di bibirnya sangat manis.

"Ada apa dengannya? Tiba-tiba datang sudah meracau seperti itu?" tanya Ze'ev, lalu menoleh pada Bert.

Bert terkekeh pelan. "Kau seperti tidak mengenalnya saja. Bukankah dia memang aneh seperti itu dari dulu?"

Amit masih melebarkan senyum. Ia berjalan lamban menghampiri kedua sahabatnya sambil bersiul.

"Aku sudah menyampaikan titipanmu pada Reda. Ternyata dia sangat cantik." Amit menghela napas. "Terima kasih sudah membuatku bertemu dengannya. Aku jadi menemukan banyak inspirasi untuk menulis. Kepalaku tiba-tiba dipenuhi oleh ide-ide cemerlang." Amit tersenyun manis. "Sepertinya setelah ini aku akan menulis kisahku dengan Reda. Ya, aku akan menjadi pemeran utama dalam novelku sendiri. Bagaiman menurut kalian? Bukankah itu sangat keren, hm?" Amit memainkan satu alisnya naik-turun.

Bert dan Ze'ev saling menoleh dengan kerutan di dahi masing-masing. Lalu keduanya mengintai wajah cerah Amit.

"Terserah kau saja!" seru Bert dan Ze'ev serempak.

Amit mendengus melihat ekspresi kedua temannya yang seolah tidak peduli dengan idenya barusan. Ia duduk di samping Ze'ev dan menghempaskan punggungnya ke badan sofa.

"Jadi kau sudah menyukai Reda? Secepat itu?" tanya Bert.

Amit menegakkan punggungnya, lalu mengangkat bahu. "Aku tidak tahu, yang jelas aku sangat mengagumi parasnya. Dia sangat cantik dan manis. Cinta itu datang karena terbiasa. Mungkin jika nanti aku sering bertemu dengannya, aku akan jatuh cinta padanya."

"Apa reaksinya saat pertama kali melihatmu?" Kali ini Ze'ev yang bertanya. Lelaki gagah berkemeja biru itu mengintai Amit dengan serius.

Amit menahan napas sejenak, lalu mengembuskannya perlahan. "Reaksinya sangat dingin dan datar. Bahkan dia melempariku dengan batu dan meninju perutku. Ternyata Reda sangat galak."

Tawa Bert dan Ze'ev sontak pecah dengan sangat renyah dan nyaring. Bahkan Ze'ev sampai memegangi perutnya karena geli. Sementara Bert mengambil bantal sofa, lalu melemparkannya pada wajah Amit yang murung.

"Kasihan sekali kau! Tapi, kau memang layak dilempar batu. Beruntung batu itu tidak membuat kepalamu retak! Sudah kubilang bethentilah jadi tentara!" Bert memelankan tawanya.

Amit mendesis, lalu balas melempar wajah Bert dengan bantal sofa. "Sudah kubilang, aku belum siap untuk mengundurkan diri! Jika aku tidak jadi tentara, aku makan apa, huh?"

"Restoran Bert masih membutuhkan karyawan jika kau mau." Ze'ev memberi saran.

Amit menggeleng. "Aku tidak suka pekerjaan itu. Aku ingin menjadi penulis."

Bert menggeleng. Napasnya berembus panjang. Ia menoleh pada Amit dan Ze'ev. Bert sangat menyayangi kedua sahabatnya itu. Ia berharap semoga suatu saat nanti, Amit dan Ze'ev akan mendapat hidayah seperti dirinya dan Aaron. Karena baru seminggu lebih saja memluk Islam, Bert merasakan banyak perubahan dalam hidupnya. Hatinya sangat tentram.

Semua urusannya terasa lebih mudah dan ia semakin bersemangat menjalani hidup. Ia semakin banyak bersyukur. Hubungan dengan Ismail dan Yasemin semakin hangat dan baik. Bahkan Ismail mengirimkan banyak modal untuk perkembangan bisnis Bert.

****

😂 Yang sabar ya, Amit.

Terima kasih buat yang sudah setia nungguin cerita ini update. Semoga enggak bosan, ya. Sebenarnya mau banget update cepat. Tapi, karena kesibukanku di dunia nyata, jadi enggak bisa konsisten nulisnya :(

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro