Bab 23 | Kejutan Pahit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kumohon jangan ke sini. Kakak Al akan sangat marah padamu. Mengertilah, Bert!"

Filistin mengeratkan genggamannya pada ponsel saat lelaki di seberang sana justru tertawa ringan. Ia mendengus sebab Bert tetap bersikukuh ingin menemui Al Quds dan bicara dengannya.

"Kau terlambat mencegahku, Filin."

"Maksudmu?"

"Berbaliklah, aku sudah berada di belakangmu."

Filistin melebarkan matanya. "A-apa?"

Gadis itu mematikan ponsel, lalu segera berbalik. Kedua netra birunya membelalak dan ia sontak membuang sapu lidi yang semula digenggamnya ke sembarang arah. Gadis itu berlari menghampiri dua lelaki berpenampilan maskulin yang berdiri tak jauh darinya.

Bert tersenyum tipis melihat Filistin tampak sangat terkejut. Bert tidak pernah main-main. Ia bertekad ingin menemui Al Quds secara jantan dan meminta restu padanya.

Amit melambaikan tangan pada Filistin sambil tersenyum lebar. Tak lama, ia meringis saat Bert menepuk pundaknya dengan kencang.

"Hei! Apa kau sudah gila? Kenapa memukulku?"

"Jangan bersikap genit padanya. Dia milikku."

"Ya Tuhan! Aku hanya ingin menyapanya. Jika aku mengedipkan mata, itu baru namanya genit." Amit mendengus, lalu menggeleng. "Lagi pula, aku ikut denganmu ke sini karena ingin bertemu dengan Reda," lanjutnya.

Bert berdecak, lalu mengulas senyum saat gadisnya telah sampai di depan mata.

"Bukankah ini sebuah kejutan yang sangat manis hm?"

Dada Filistin naik turun sembari mengatur embusan napasnya yang liar. Jantungnya berdebar-debar. Kedua matanya membesar menatap Bert.

"Sudah kubilang jangan datang ke sini! Kakak Al akan sangat marah!"

"Maaf. Aku tetap ingin bertemu dan harus bicara dengan kakakmu. Bagaimanapun, kita tidak boleh terus bersembunyi seperti ini. Aku bukan lelaki pengecut yang hanya berani membawa anak gadis orang dan bertemu secara diam-diam. Aku ingin berbicara baik-baik dengan kakakmu dan memberitahukan padanya tentang hubungan kita."

Filistin tertegun, hanyut dalam tatapan permata hijau Bert yang teduh dan sangat jernih. Tersirat ketulusan dan Bert tampak sangat serius. Hatinya sangat berbunga. Namun, tetap saja Filistin khawatir Al Quds akan sangat marah jika mengetahui hubungannya dengan Bert.

"Bert, aku takut Kakak Al akan marah. Kau tahu sendiri, dia sangat membencimu."

"Sekarang aku sudah memeluk Islam dan pensiun jadi tentara. Aku yakin dia akan menerimaku."

"Tap--"

"Kau jangan takut." Bert memegang kedua bahu Filistin, menatapnya semkin dalam dan serius. "Aku tahu kau masih sekolah dan perjalanan hubungan kita masih sangat panjang. Aku hanya ingin mengenal keluargamu lebih dekat lagi. Ini semua saran Letnan Aaron. Dan kurasa ini sangat benar, karena aku tidak ingin ada lelaki lain yang akan melamarmu lebih awal. Jadi, aku akan menitipkanmu pada kakakmu sekarang."

Filistin kehilangan kata-kata. Ia membenarkan semua ucapan Bert. Hanya saja, ia tetap takut dan semakin gelisah. Hari sudah mulai gelap, ia yakin sebentar lagi Al Quds akan segera pulang dari pasar.

"Filistin!"

Suara tegas yang kental akan amarah terdengar dari seberang jalan. Filistin, Bert dan Amit sontak menoleh. Berbeda dengan Bert yang tampak sangat tenang melihat kedatangan Al Quds, gadis itu justru melebarkan matanya.

Bert tersenyum penuh arti, lalu meraih tangan Filistin dan menggenggamnya erat saat gadis itu mencoba menariknya. Ia tak peduli dengan lelaki yang sedang berjalan gontai ke arahnya tampak memasang wajah garang.

"Bert, a-apa yang kau lakukan? Lepaskan tanganku! Kakak akan marah!"

"Kau tenang saja, dia tidak akan marah."

Punggung Filistin menegak melihat Al Quds sudah tiba di hadapannya. Gadis itu menunduk saat sang kakak melempar tatapan tajam.

"Kau lagi!" Al Quds mendesis. "Apa yang kau inginkan dari adikku? Lepaskan tangannya!"

Bert tersenyum tipis, balas menatap netra cokelat terang Al Quds serius. "Aku datang ke sini dengan niat baik. Ada banyak hal yang ingin kusampaikan padamu. Terutama ... tentang hubungan kami."

"Hubungan?" Kedua alis tebal Al Quds menaut. Tangannya mengepal melihat lelaki sialan di depan matanya itu menggenggam telapak tangan Filistin sangat erat. "Hubungan apa maksudmu?"

"Hubunganku dengan adikmu." Bert menoleh pada Filistin, mengulas senyum manis meski gadis itu sangat pucat dan kaku. "Aku dan adikmu saling mencintai."

Al Quds melebarkan mata. Mulutnya sedikit terbuka. Namun, tak sepatah kata pun yang terucap. Ia syok.

"Aku ingin meminta maaf padamu, karena selama ini hanya berani menemui adikmu secara diam-diam. Tapi, sekarang aku ingin berterus terang padamu tentang hubungan kami," tegas Bert sangat jantan.

Al Quds mengeraskan rahangnya. Lalu mengintai Filistin dengan tatapan tajam.

"Benarkah apa yang dia katakan? Benarkah selama ini kau menemuinya secara diam-diam?" Al Quds susah payah menahan emosinya yang hampir meledak. "Jawab, Filin!"

Gadis itu semakin menunduk. Tangannya berkeringat dingin.

"Benarkah apa yang Tentara Sialan ini katakan? Filistin, jawab Kakak!"

Filsitin susah payah mendongak, menelan saliva. Lalu mengangguk. "Kakak, ma-maafkan aku," ujarnya sambil terisak.

"Bajingan!"

Bert tersentak saat tangan besar Al Quds menghantam wajahnya tanpa aba-aba. Genggaman tangannya dengan Filistin terlepas dan tubuh jangkung itu terjerembab ke tanah. Ia tidak bisa berkutik saat Al Quds menindihi tubuhnya dan memberikan pukulan susulan dengan membabibuta pada rahang dan hidungnya.

"Kakak, hentikan! Kumohon! Jangan pukuli dia! Ini salahku!"

Filistin membekap mulut. Air matanya semakin meluruh deras. Ia menoleh pada Amit yang terlihat sangat panik. Namun, lelaki putih tinggi itu hanya mematung di tempat.

"Amit! Kenapa kau diam saja? Cepat pisahkan mereka!"

Amit tersentak, lalu segera menghampiri Bert dan Al Quds yang sedang bergulat di atas rumput. Kali ini Bert yang menindihi Al Quds dan memukuli wajah lelaki itu dengan brutal.

"Bert! Astaga hentikan! Bagaimana dia akan merestui hubunganmu dengan Filistin jika kau menghajarnya seperti itu?"

Lelaki tinggi kurus itu susah payah menarik jaket kulit putih yang Bert pakai.

"Dia sendiri yang memulainya. Kau pikir aku akan diam saja, huh?" gertak Bert dengan napas berat. Ia melempar tatapan tajam pada Amit. "Bantu aku menghajarnya!"

Amit menggeleng cepat. "Aku tidak mau ikut campur dan aku takut nanti Reda akan melihatku!"

"Kalau begitu menyingkirlah!" Bert berdecak. Ia heran mengapa Amit mendadak tidak setia kawan. "Biar aku sendiri yang akan menghabisinya!"

"Kau yang akan kuhabisi, Pecundang!"

Al Quds menghantam kepala Bert dengan keningnya yang keras hingga lawannya meringis dan terjungkal. Lalu ia merangkak dan kembali menindihi tubuh Bert dan menghantamnya dengan pukulan bertubi-tubi. Lelaki di bawah tubuhnya tidak tinggal diam, Al Quds meringis saat kedua tangan Bert menjambak rambutnya yang ikal.

"Aku datang menemuimu dengan baik-baik. Namun, kau justru menghajarku seperti ini huh! Kau benar-benar tidak sopan!"

"Kau pikir aku akan bersikap sopan pada Penjajah Bajingan sepertimu, ha? Bukankah dulu aku sudah memperingatkanmu untuk tidak mengganggu Filistin! Tapi, kenapa kau justru menjerumuskannya pada aliran sesat dan mengajaknya bertemu diam-diam!"

Bert berdecak. "Aliran sesat? Apa kau sudah gila? Aku dan Filistin saling mencintai."

"Adikku tidak mungkin mencintai seorang Yahudi sepertimu!" Al Quds menarik resleting jaket yang Bert kenakan hingga ujung dagunya. Napasnya memburu.

"A-ku s-udah masuk Islam dan bahkan aku sudah berhenti menjadi tentara asal kau tahu." Napas Bert terputus-putus.

Al Quds tersenyum miring. "Aku tidak percaya!"

"Bert! Kakak! Hentikan! Kumohon jangan berkelahi lagi!"

Filistin menarik ujung kaus hitam Al Quds dengan sekuat tenaganya. Namun, dua lelaki itu masih saja beradu jotos. Peluh, memar dan bercak darah telah memenuhi wajah keduanya.

Amit berlari membantu Filistin dan akhirnya Al Quds dan Bert pun berhasil dilerai.

Filistin terengah-engah. Ia membantu Al Quds berdiri. Sementara Bert dipapah Amit berjalan sempoyongan.

"Astagfirullah! Apa yang terjadi? Al Quds! Filistin!"

Napas Khadijah tersenggal-senggal. Ia tadi berlari kencang dari arah jalan bersama Asima dan Reda. Mereka baru saja pulang dari kebun untuk memetik beberapa sayuran.

Semua orang menoleh pada sumber suara. Di mana Asima, Khadijah dan Reda termanggu melihat wajah Al Quds telah dipenuhi memar.

"Ti-tidak apa-apa, Bi. Kau jangan khawatir." Al Quds menyeka darah yang menetes dari pelipisnya.

"Kenapa berkelahi? Tidak apa-apa bagaimana? Astagfirullah, kau berdarah!" Khadijah memberikan sekantung sayur pada Reda, lalu berjalan gontai menghampiri Al Quds dan Filistin.

Asima pun tampak panik dan ketakutan melihat keadaan kakakya. Lalu ia mengalihkan pandang pada dua lelaki yang berdiri berseberangan dengan Al Quds dan Filistin.

Keranjang berisi sayuran hijau yang semula digenggamnya erat melorot hingga berserakan ke tanah. Asima membeku saat tatapannya beradu dengan sepasang iris hijau milik Bert. Tubuh dan bibirnya mendadak gemetar.

Sama seperti Asima, Bert pun seolah tersambar petir. Lelaki itu mematung saat retina hijaunya terpaku pada wajah wanita bergamis hitam yang sedang melebarkan mata menatapnya. Wajah itu mengingatkannya akan dosa besar yang dulu pernah dilakukannya. Dahi Bert berkerut dalam. Hatinya tersentak.

"Lepaskan aku! Lepaskan aku! To--tolong! Ayah! Ibuuuu! Tolong aku!"

Asima menjerit saat tubuhnya dilempar ke lantai penjara bawah tanah dengan sangat kasar. Ia susah payah merangkak mundur untuk menghindari tentara yang tampak sudah sangat siap untuk menyantapnya itu. Namun, kedua kakinya justru ditarik hingga ia tidak bisa menghindar.

Bert menyeringai. Gairahnya memuncak. Namun, emosinya tersulut saat gadis tahanan itu melemparinya dengan sandal. Tentara gagah itu melepas sabuk yang melinggar di pinggangnya, lalu tidak segan-segan memukuli tubuh gadis malang itu dengan sangat keras seolah sedang memecut seekor kuda.

Asima menjerit sejadi-jadinya. Suaranya sangat serak dan nyaris hilang. Perih, panas dan nyeri mendera tubuhnya. Tentara itu terus menghantam kaki, punggung dan tangannya menggunakan ikat pinggang dengan sangat keras.

Gadis itu terus berdoa dalam hati. Ia menelan saliva susah payah. Asima yakin, jika Allah akan selalu melindunginya. Bibinya menipis saat tatapannya beradu dengan sepasang iris hijau milik tentara itu. Bola matanya sangat dingin dan buas. Di bawah cahaya lampu yang remang, Asima dapat melihat dengan jelas garis wajah lelaki biadab yang kini tersenyum miring padanya.

"Itu adalah hukuman karena kau berani melawanku."

Bert mencekik Asima hingga urat-urat tangannya menonjol. Rahangnya mengeras. Gadis di bawah kuasanya terus meluruhkan air mata dan memasang wajah melas. Bert sama sekali tidak peduli. Hatinya memang sudah mati rasa, yang ia inginkan hanya kepuasan dan pelampiasan atas penderitaan dalam hidupnya. Lagi pula, ia sudah sering melakukan ini pada tahanan gadis Palestina lainnya.

Di bawah kendali minuman keras, otak Bert semakin menggila. Ia melucuti hijab hitam yang gadis itu pakai hingga rambut hitamnya yang lurus tergerai dan basah oleh air mata. Bert pun mengikat kedua kaki dan tangan gadis itu agar aksesnya ingin menjelajahi tubuh gadis itu tidak terganggu.

"Ja-jangan! Hen-hentikan! I--ini sakit! Sak--"

Kedua iris biru Asima mulai redup. Tidak ada tengaga yang tersisa darinya. Dadanya sangat sesak. Ia terus meringis. Air matanya tumpah semakin deras seiring hunjaman kasar di bawah sana yang tampa ampun menyerang kesuciannya. Sementara lelaki di atasnya tampak sangat menikmati dan semakin buas.

Bibir Asima bergetar kala kejadian yang sudah susah payah ia coba untuk lupakan itu tiba-tiba berputar kembali dalam ingatannya. Ia melempar tatapan tajam pada lelaki yang wajahnya dipenuhi bercak darah itu.

"K-kau! KAU TELAH MERENGGUT KESUCIANKU! K-KAU!"

Semua orang tercengang saat tiba-tiba Asima histeris. Wanita bergamis hitam itu berlari menghampiri Bert sambil terus terisak.

Bert terhuyung saat Asima memukuli dada bidangnya dengan brutal. Lidahnya membelit. Kedua lututnya lunglai. Lelaki itu seperti mayat hidup dan sangat pucat. Otaknya bahkan masih sibuk mencerna apa yang baru saja dilihatnya saat ini. Ia mengingat semua kekejian yang dulu Bert lakukan pada wanita itu.

Apakah dunia sesempit ini? Bert menggeleng. Ia berharap ini semua hanyalah mimpi.

"Asima hentikan! Apa yang kau lakukan?" Khadijah membekap mulut.

Al Quds berjalan tegas menghampiri Asima, menghentikan aksi adiknya dan menariknya dalam dekapan.

"Asima, tenangkan dirimu. Apa yang terjadi?" Al Quds menatap Asima serius sambil menangkup kedua pipi tirus adiknya yang basah oleh air mata.

Asima?

Bert tersedak. Matanya semakin membesar mendengar nama Asima terlontar dari Al Quds. Benda tajam seolah menusuk dadanya, ternyata gadis yang dulu telah diperkosanya adalah kakaknya Filistin, gadis yang sangat ia cintai.

Asima memejamkan matanya. Ia memeluk Al Quds sangat erat. Bahunya berguncang.

"Kakak! A-aku takut! Ke-kenapa tentara itu ada di sini? Kenapa dia tahu aku tinggal di sini?"

"Apa yang kau katakan, Asima? Tenangkan dirimu!" Al Quds melepas pelukan, ia menatap Asima lekat. Netra biru adiknya kental akan ketakutan.

Asima terisak, lalu menelan pahit salivanya. Kedua iris birunya menajam menatap Bert. Ia menunjuk Bert dengan tangan gemetar.

"Te-tentara itu! Di-dia yang telah memperkosaku! Kakak! Dia hampir membunuhku! Dia telah merenggut kesucianku! Dia mengikat kedua tanganku! Dia me-mengikat kedua kakiku! Di-dia mencekikku!" Asima tersedu-sedu. "Di-dia memukuliku seperti binatang! Bawa dia menjauh dariku! Aku tidak ingin melihatnya! Ke-kenapa dia ada di sini?!"

"A-apa?" Al Quds membeku.

Semua orang tercengang, termasuk Filistin yang seolah baru saja terkena ledakan bom. Sedari tadi gadis mungil itu seperti kehilangan ruh dan tubuhnya mendadak kosong. Ia berharap semua yang barusan didengarnya hanyalah sebuah mimpi buruk. Filistin bahkan tidak sadar jika kedua pipinya sudah dibanjiri lelehan bening hangat.

Lutut Bert semakin gemetar. Ia tetap membeku saat Al Quds mengepalkan tangan, lalu berjalan tegas menghampirinya.

Bugh!

Al Quds menghantam perut Bert hingga Bert memubtahkan darah segar. Satu tonjokan keras susulan mendarat di rahangnya. Bert terhuyung, lalu tumbang ke tanah dalam keadaan terlentang. Al Quds segera menindihinya dan menghajar wajah Bert tanpa ampun. Bunyi gemertak tulang dan runtihan Bert terdengar sangat mengerikan. Namun, Al Quds tidak peduli.

Ia sangat menyimpan dendam pada tentara yang telah membuat Asima nyaris gila dan menderita di sepanjang hidupnya. Al Quds sungguh tidak menyangka jika tentara itu adalah Bert yang bahkan sudah membuat Filistin banyak berbohong.

"Kau benar-benar bajingan! Jadi kau yang telah menghancurkan masa depan adikku? Kau yang telah merenggut kesuciannya! Lalu sekarang kau mendekati Filistin! Apa kau sudah merencanakan semuanya? Apa yang sebenarnya kau inginkan, Keparat?! Jawab!"

Mulut Bert yang berlumuran darah megap-megap saat tangan Besar Al Quds mencekiknya. Ia tidak melawan. Bert terlalu syok dengan kejutan pahit yang baru saja menamparnya. Dadanya sangat sesak. Sebulir bening meluncur dari sudut mata lelaki itu saat Al Quds menatapnya Berang.

Tidak, Bert bukan menangis karena takut Al Quds akan menghabisinya saat ini juga. Air matanya jatuh saat kenangan demi kenangan awal mula pertemuannya dengan Filistin terbayang. Wajah cantik seorang gadis kecil di penjara yang telah membuat jantungnya berdebar.

"Fi-Filistin." Bert merintih susah payah. Netra hijaunya hampir redup. Wajah garang Al Quds memburam di matanya. Ia terbatuk-batuk memuntahkan darah, memerahi dagu dan jaket putihnya. "A-aku mencintai Fi-Filistin. Pe-pertemuan kami hanyalah sebuah ke-kebetulan. A-aku tidak pernah merencanakan a-apa pu--"

Rahang Al Quds semakin mengeras. Entah harus percaya atau tidak dengan apa yang Bert katakan, yang jelas emosinya memuncak dan ia sangat ingin menghabisi lelaki sialan ini sekarang juga. Namun, dia masih mengingat Allah. Al Quds melepaskan tangannya dari leher Bert, ia berdiri lalu menendang tubuh Bert. Dadanya naik turun. Ia beristighfar dalam hatinya.

"Al! Asima pingsan!"

Al Quds menoleh pada Reda dan matanya sontak membesar. Ia segera berlari menghampiri Asima yang sudah terkulai dalam pangkuan Khadijah di atas rumput. Kemudian ia segera membopong tubuh Asima dan membawanya memasuki gua.

"Fi-Filin, ayo, kita masuk!" Reda menarik tangan Filistin. Namun, sahabatnya menepisnya pelan."

Filistin menggeleng. "A-aku harus berbicara dengan Bert!"

Reda menelan saliva saat tatapan mereka bertemu. Wajah Filistin sangat sendu. Ia bisa merasakan luka sahabatnya dari sorot iris biru gadis itu. Ia mengangguk, lalu memilih menyusul Khadijah dan Al Quds ke dalam gua. Namun, langkahnya terhenti saat ada sebuah tangan menariknya.

"Reda, tunggu!"

Amit memegang pergelangan tangan Reda. Mereka saling berhadapan dan mengunci pandang.

"Apa lagi yang kau inginkan?" Reda memasang wajah masam.

"A-aku mencintaimu."

Plakk!

Reda melebarkan matanya setelah menampar Amit. Lalu ia membekap mulut.

Amit melongo sambil memegangi pipinya, menatap Reda yang kini berlari memasuki gua tanpa memberinya penjelasan kenapa dirinya yang tak berdosa itu ditampar.

"Apakah aku salah jika aku menyatakan perasaanku padanya?" Amit memasang wajah melas.

Di seberang lain, Filistin berjalan gamang menghamiri Bert yang masih terkapar di atas rerumputan hijau. Keadaan lelaki itu sangat memelas. Jaket kulit putihnya sudah memerah oleh darah.

"Bert."

Filistin menjatuhkan lututnya di samping Bert. Lidahnya mendadak kelu, sesak melihat lelaki yang sangat ia cintai dipenuhi darah dan bercak biru keunguan.

"K-kau terluka. Kau harus segera diobati. Maafkan Kakak Al! Aku yakin dia salah paham. Semua yang Kak Asima katakan tidak benar, bukan?" Filistin menatap Bert. Hatinya berdebar dan penuh harap. "Katakan semuanya tidak benar! A-aku tahu kau tentara yang baik. Kau bahkan tidak memperkosaku saat aku dipenjara." Filistin mengulas senyum, menatap Bert lebih dalam sambil berurai air mata. "K-kau bahkan mau memeluk Islam. Aku, yakin, Kak Asima pasti salah orang. Maafkan dia. Mungkin traumanya kambuh lagi. Aku percaya padamu. Katakanlah, Bert! Katakan padaku jika bukan kau yang telah memperkosanya!"

Bahu Filistin merosot. Ia mengintai wajah Bert. Kedua mata hijau itu semakin redup. Hatinya semakin gelisah dan sesak sebab lelaki itu hanya membisu dan menatapnya dengan tatapan yang membuat Filistin sangat takut akan kenyataan yang tidak ingin ia dengar.

Katakan, Bert! Ayo, katakanlah kumohon! Katakan bukan kau yang melakukannya!

Filistin terisak karena Bert masih mengunci suara. Ia membeku saat Bert menarik kedua telapak tangnnya, lalu membawanya menangkup kedua pipinya yang berlumuram darah. Tatapan sendu mereka saling beradu dan kental akan kepedihan.

Bert menelan saliva susah payah. Hatinya sesak melihat Filistin tersedu-sedu dan tak hentinys meluruhkan bening.

"Ma-maafkan aku, Filin."

"Ke-kenapa meminta maaf?!" Filistin terisak. "Kau tidak melakukannya, bukan? Jadi ku-kumohon jangan meminta maaf!"

Bert terpejam. Pertahanan hatinya roboh seiring air matanya yang kini mengalir deras. Ia kembali mengunci iris sebiru samudera yang basah itu.

"A-aku melakukannya! Aku mengingat semuanya! A-aku mengingat wajah gadis itu. A-aku telah memperkosanya!"

Filistin melebarkan matanya. Ia berharap pendengarannya salah. Gadis itu menggeleng cepat, lalu menarik kedua tangannya dari pipi Bert.

"Tidak! Kau pasti berbohong!" Filistin beridiri. Bahunya berguncang, ia membekap mulut.

"Ma-maafkan aku, Fi-Filin!"

"Kau jahat! Kau jahat!"

Bert tersentak saat Filistin berlari meninggalkannya begitu saja. Ia sangat ingin menjelaskan semuanya pada gadis itu.

"FILIIIN!"

****

Gimana nih, kejutannya kurang pahit apa enggak?

Tapi pahitan dan nyesekkan yang Aaron Aisyah kan? Atau yang ini?😆😁

Yuhuu, mulai memasuki konflik yang berat. Di bab" selanjutnya akan kubuat perasaan kalian gemes baca ini. 😂

Teror aku di Instagram kalau lama enggak update. @chachitihar

Di sana aku juga sering kasih spoiler SCDBA loh. Sering posting cast & video seputar tokoh dalam novel SCDBA.😁

See u next chap yang belum tahu kapan ngetiknya.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro