Bab 24 | Goresan Luka Baru

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Al Quds menarik selimut tipis untuk menutupi tubuh Asima hingga batas dada. Hatinya menghangat melihat kedua mata wanita itu terpejam. Wajah sendu Asima sangat damai setelah ia memberinya obat penenang.

Al Quds tersenyum tipis, lalu mengecup singkat pelipis sang adik sambil merapal doa. Pandangannya beralih pada gadis yang sedari tadi berdiri memperhatikan mereka. Al Quds tahu kedatangan Filistin dari beberapa menit yang lalu. Tetapi, ia tidak ingin menghiraukannya.

Filistin mematung dengan kedua kaki yang sangat lunglai. Sepasang matanya memerah dan bengkak. Ia memilin ujung baju saat netra cokelat terang sang kakak menatapnya tajam. Sebelumnya Al Quds tidak pernah menatapnya seperti itu.

Al Quds berjalan tegas menghampiri Filistin, lalu menarik tangannya dengan kasar dan membawanya keluar dari gua.

Wajah Reda dan Khadijah menegang. Namun, mereka tidak  boleh ikut campur. Gadis tinggi bermata indah itu menghela napas. Reda sangat mengkhawatirkan Filistin.

"Biarkan mereka menyelesaikan masalahnya." Khadijah mengusap pundak putrinya. Wajahnya yang tirus sangat teduh.

Reda mengangguk pelan.

"Bantu Ibu menyiapkan makan malam."

"Iya, Bu. Ayo."

****

Kedua kaki pendek Filistin tersuruk-suruk mengimbangi langkah cepat Al Quds. Pergelangan tangannya sangat perih sebab Al Quds mencengkeramnya sangat erat.

Al Quds sudah membawa Filistin ke belakang gua. Napasnya memburu, ia melepas tangan Filistin dan menatapnya tajam.

"Sudah berapa lama kau berhubungan dengan lelaki itu?"

Filistin menunduk sambil mengusapi pergelangan tangannya yang merah.

"Di mana kalian bertemu selama ini?" Al Quds terus beristighfar dalam hatinya untuk menahan emosi. "Jawab." Suaranya memelan.

Filistin mendongak, menelan saliva saat tatapan dingin Al Quds menusuk retina birunya.

"Di bu-bukit sambil mengembala domba."

"Astagfirullah!" Al Quds mengusap wajahnya kasar berulang kali, lalu kembali mengintai wajah Filistin. "Kau! Jadi selama ini kau membohongiku? Bukankah dulu kau sudah berjanji padaku untuk tidak menghubungi lelaki berengsek itu lagi?! Kenapa kau sangat berani berbuat seperti ini?!"

Filistin menggigit bibir. Kedua lututnya gemetar. Air mata berjatuhan semakin deras kala kedua tangan besar Al Quds mencengkeram bahu dan mengguncangnya kasar.

"Apa kau tidak melihat Asima sangat menderita?! Kau justru berani berduaan dengan lelaki yang bukan mahrommu?! Seorang Yahudi! Penjajah! Pemerkosa seperti si Berengsek itu?!"

Dada Al Quds naik turun. Napasnya semakin liar dan cuping hidungnya kembang kempis menahan emosi. Dia tidak habis pikir dengan apa yang yang Filistin telah lakukan. Emosinya semakin membuncah melihat sang adik hanya bungkam dan meluruhkan bening.

"Apakah ini yang Al Quran ajarkan?! Jawab!"

Filistin menggeleng cepat sambil tersedu-sedu. Ia menyeka laju bening hangat di kedua pipinya menggunakan punggung tangan. Dadanya sangat sesak.

"Aku sangat kecewa padamu! Kau sungguh tidak pantas disebut sebagai seorang Muslimah, Filistin!"

Bibir Filistin bergetar. Ia menatao Al Quds dengan wajah memelas. Dadanya perih, bagaimana kakak yang sangat ia sayangi bisa mengatakan perkataan pedas seperti ini padanya.

Al Quds mengangguk tegas. Ia berbalik badan dan melenggang cepat memasuki gua dan meninggalkan Filistin begitu saja.

Tidak lama kemudian, Al Quds kembali menghampiri Filistin dengan tas sekolah dan sebuah kaleng di tangannya.

Jantung Filistin berdenyut nyeri. Ia meremas kedua jemarinya sambil terus menahan isak saat Al Quds melempar tas selempang biru itu tepat di bawah kaki Filistin.

"Berhenti sekolah dan lupakan semua cita-citamu!"

"Ka-Kakak!"

"Jika Ayah dan Ibu tahu perbuatanmu, mereka pasti akan sangat kecewa dan sakit hati!" Bibir Al Quds menipis. Dadanya perih. "Filin, selama ini kami berusaha untuk menjagamu. Aku tidak ingin kau mengalami apa yang Asima alami. Aku bahkan sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menjagamu sampai kelak kau dewasa dan menikah dengan seorang lelaki yang shaleh! Aku sangat mengkhawatirkanmu! Tapi, ka--"

"Ka-Kakak! Maafkan aku!"

Tangis Filistin pecah dan terdengar sangat memilukan.
Ia mencoba menarik tangan Al Quds. Namun, ditepis kasar oleh kakaknya.

"Kau adalah harapan satu-satunya Ayah dan Ibu. Setelah Asima kehilangan masa depannya dan aku yang tidak bisa melanjutkan kuliah karena keadaan! Kami menaruh harapan padamu." Kedua mata Al Quds memanas dan perih. "Kukira kau akan fokus belajar dan sekolah. Aku bahkan sudah susah payah mengumpulkan uang ini agar kelak kau bisa kuliah!"

Filistin semakin terisak saat Al Quds melempar kaleng berisi uang yang digenggamnya ke tanah. Iris birunya menatap nanar lembaran Shekel dan beberapa uang logam yang berserakan di bawah kakinya.

"A-aku ingin melihatmu menjadi seorang Dokter Gigi! Bukankah itu cita-citamu?" Al Quds tersenyum getir. Ia mengusap kasar bening yang telanjur terbit di sudut matanya.

Filistin kehilangan kata-kata. Ia bahkan tidak berani menatap wajah garang Al Quds dan tatapan tajamnya. Wajah mungil itu menunduk dalam.

"Apa yang telah si Berengsek itu lakukan padamu? Apa dia melecehkanmu? Apa dia sudah menyentuhmu?!"

Filistin mendongak, lalu menggeleng cepat. "Ka-kami tidak melakukan apa pun! Di-dia tidak melakukan apa pun padaku."

"Haruskah aku percaya padamu? Bahkan selama ini kau sudah berani membohongiku?"

"De-demi Allah, Kakak. Kami tidak melakukan apa pun!" sanggah Filistin terbata.

Al Quds berkedip. "Katakan padaku kenapa kau sangat berani bertemu dengannya secara diam-diam seperti itu?"

Filistin menghela napas panjang. "Ka-karena aku mencintainya."

"Mencintai seorang Yahudi?!" Al Quds mendesis.

"Kakak!" Filistin terisak. Wajahnya sangat memelas dan dibanjiri air mata. "Bert sudah memeluk Islam."

"Lalu kau percaya padanya begitu saja ha? Bagaimana jika dia membohongimu?! Apa kau akan tetap mencintainya setelah kau tahu jika dia adalah tentara bajingan yang telah memperkosa kakakmu?"

Apa kau akan tetap mencintainya setelah kau tahu jika dia adalah tentara bajingan yang telah memperkosa kakakmu?

Pertanyaan itu layaknya pisau tajam yang menusuk hati gadis itu. Filistin berkedip, menumpahkan semua air mata yang telah memenuhi retina birunya.

Al Quds menghela napas, mengintai tajam Filistin dari ujung kepala hingga kaki. Dadanya sangat sesak dan ia merasa sangat gagal dalam menjaga amanahnya sebagai seorang kakak.

"Astagfirullahhaladzim." Al Quds menahan napas. "Semoga Allah mengampuni dosa Ayah dan Ibu. Semoga Allah mengampuni dosaku karena tidak bisa menjaga dan mendidikmu dengan benar."

Cakrawala mulai menggelap. Al Quds mengusap wajah, lalu segera mengayunkan kedua kaki panjangnya memasuki gua dan bersiap untuk salat maghrib.

Reda menunduk saat berpapasan dengan Al Quds yang berjalan tegas memasuki gua. Gadis bergamis hitam itu segera berlari menghampiri Filistin yang sedang terduduk di atas rumput dan dedaunan kering.

"Filin! Apa kau baik-baik saja?"

Napas Reda terputus-putus. Ia duduk di hadapan Filistin dan membantunya memunguti buku-buku dan lembaran uang yang berserakan.

"A-Ayah! I-ibu! Maafkan Filin! Ma-maafkan Filin!"

"Filin, tenangkan dirimu."

Lidah Filistin sangat kelu. Ia terus terisak dalam pelukan Reda saat Reda merangkulnya erat.

"Sabar, Filin. Tenangkan dirimu. Semoga semuanya akan baik-baik saja. Aku akan selalu mendukungmu." Reda mengusapi bahu Filistin yang bergetar. Dadanya ikut perih. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya ia jika berada di posisi Filistin, pasti sangat sulit menerima kenyataan.

****

Keadaan Bert sudah sedikit membaik setelah mendapat perawatan medis. Saat ini lelaki tinggi itu berbaring di ranjang berukuran king size dalam kamarnya yang bernuansa putih. Luka di sekujur tubuh itu meninggalkan nyeri dan juga linu di setiap persendiannya.

Bert masih tidak menyangka dengan kenyataan yang baru saja menamparnya begitu hebat. Netra hijaunya yang sayu mengintai langit-langit kamar dengan tatapan posong. Ponsel yang tergeletak di nakas berulang kali bergetar dan berdering. Bert mengabaikan pesan dan juga panggilan maauk dari kolega, Ismail, Yasemin, Ze'ef dan Amit. Letnan Aaron bahkan sudah memanggilnya sekitar sepuluh kali. Ia yakin jika Amit sudah menceritakan semuanya pada Aaron.

"Semoga perasaanmu tidak akan pernah berubah. Aku sangat mencintaimu, Filistin," gumamnya sangat serak.

Bert sangat takut kehilangan Filistin. Saat ini hatinya diselimuti rasa sesal. Ia sudah mencoba menghubungi nomor Reda dan mengiriminya pesan. Namun, semua panggilan dan pesannya diabaikan oleh Reda dan Filistin.

Derit pintu terdengar pelan. Bert menoleh dan mendapati sosok Maria di ambang pintu. Wanita paruh baya berbadan besar itu mengulas senyum, menghampiri Bert dengan segelas cokelat panas di tangan kanannya. Tangan kirinya memegang ponsel yang masih terhubung dengan seseorang di seberang Berlin.

"Aku membawakan cokelat panas." Maria menaruh gelas di nakas, samping ranjang Bert.

"Terima kasih, Bu."

"Bagaimana keadaanmu? Apakah sudah merasa lebih baik."

Bert tersenyum tipis dan hanya mengangguk.

Maria tersenyum hangat, ia duduk di tepi ranjang dan memijati kaki Bert pelan.

"Eumh, Letnan Aaron. Di-"

"Bu, katakan padanya aku sedang tidak ingin berbicara dengan siapa pun. Dan kumohon, bisakah kau tinggalkan aku sendiri?"

"Hallo!"

Maria tersentak saat suara di balik telepon terdengar. Ia menghela napas dan menempelkan ponsel itu di telinganya.

"Letnan Aaron. Maaf, Bert masih belum siap untuk berbicara denganmu."

"Tidak apa-apa, Bi. Aku mengerti. Kalau begitu, lain waktu saja aku akan menghubunginya. Terima kasih."

Sambungan telepon terputus. Maria menyimpan ponselnya dalam saku rok lebarnya yang berwarna hitam. Bibir tebal itu merekah kala menatap Bert.

"Ibu keluar, kau istirahatlah. Jika kau ingin memakan bubur, aku akan menyiapkannya."

Bert mengangguk lemah. Lelaki itu sangat lemas seolah kehilangan ruh.

Maria berjalan pelan keluar dari kamar Bert, lalu menutup pintunya dengan sangat pelan. Wanita itu menghela napas saat melihat Amit dan Ze'ef yang baru saja naik ke lantai atas.

"Bagaimana keadaan Bert?" tanya Ze'ef dan Amit serempak.

"Sudah lebih baik."

"Apa kami boleh masuk?" Amit sangat antusias.

Maria menggeleng, lalu menatap keduanya dengan sendu. "Bert masih ingin menyendiri. Berikan dia waktu. Lebih baik kalian beristirahat di ruang tengah sekalian menunggu Bibi menyiapkan makan malam."

Amit dan Ze'ef saling menoleh dan mengunci pandang. Lalu kedua lelaki tinggi itu mengangguk pada Maria.

Kedua iris hitam Amit berkilat senang. Ia sangat bersyukur bisa makan malam gratis. Terlebih lagi masakan bibi Maria selalu lezat dan tidak ada duanya.

Pasti selalu ada hikmah di balik semua ujian

Amit Ben Nathan

Setelah mengetik sebuah quotes di akun instagramnya, lelaki itu tersenyum manis. Belahan di dagunya sangat kentara dan sangat memesona. Ia heran, sudah setampan ini pun masih saja ditolak oleh Reda. Namun, Amit yakin, suatu saat nanti gadis Tepi Barat itu aka tergila-gila padanya.

****

Dua hari sudah berlalu. Tetapi, Al Quds masih bersikap dingin pada Filistin. Gadis itu sudah berulang kali meminta maaf. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi untuk meluluhkan hati Al Quds. Filistin sangat merindukan sosok kakak yang selalu bersikap hangat dan memanjakannya selama ini. Ia telah kehilangan Al Quds.

Pagi itu sangat cerah. Angin berembus sejuk. Filistin dan Reda sudah siap dengan seragam sekolah. Mereka baru mendapat kabar dari guru, kalau para murid sudah bisa pergi belajar di sebuah ruko yang sekarang akan dijadikan tempat belajar-mengajar untuk sementara sampai sekolahan mereka kembali dibangung. Semangat membuncah di dada kedua remaja cantik itu.

Filistin menenteng sebuah kotak plastik berisi dua buah sandwich Za'atar. Ia sengaja membuatkan sarapan itu untuk Al Quds bawa ke pasar. Ia berharap hati kakaknya akan luluh dan kembali bersikap hangat padanya.

Filistin berjalan lamban beriringan dengan Reda menghampiri Al Quds yang tampak sedang mengikat tali sepatunya, bersiap untuk berangkat ke pasar.

"Kakak, aku menyiapkan bekal ini untukmu. Sudah lama sekali aku tidak membuatkanmu sandwich Za'atar."

Filistin tersenyum riang. Kedua iris birunya berbinar menatap Al Quds.

Al Quds berdiri dari duduknya. Tetap dengan wajah datar dan tatapan dingin. Lelaki berkemeja kotak-kotak hitam itu mengintai kotak yang Filistin sodorkan, lalu kembali menatap Filistin dengan tajam.

"Filin, kau menyiapkan bekal untuk Al Quds juga?" Asima menyembul dari pintu gua.

Semua orang menoleh padanya, termasuk Al Quds. Lelaki itu berdeham pelan, lalu mengulas senyum manis pada Asima yang tampak sangat cantik dengan balutan hijab berwarna biru muda. Tatapannya beralih pada kotak plastik yang Asima bawa.

"Apa kau menyiapkan bekal untukku juga?" tanya Al Quds.

"Aku membuatkanmu sandwich labaneh. Tapi, kau ambil sandwich Za'atar buatan Filin saja. Biar ini kusimpan untuk makan siang."

Asima tersenyum manis. Ia tahu Al Quds memang lebih menyukai sandich Za'atar yang diolesi minyak zaitun, dibandingkan dengan sandwich labaneh yang rasanya sedikit masam.

Al Quds menggeleng, lalu menghampiri Asima. "Entah kenapa sekarang aku lebih menyukai sandwich labaneh dibandingkan dengan Za'atar."

Asima berkedip, lalu tersenyum hangat saat Al Quds mengambil alih kotak bekal itu di tangannya.

Al Quds mengecup pelipis Asima singkat. "Kakak pergi dulu, asalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," sahut semua orang, termasuk Filistin yang mematung di tempat.

Asima melambaikan tangan pada Al Quds kala lelaki tinggi itu beranjak menaiki bukit. Sementara Filistin dan Reda membeku dengan tatapan yang sangat sendu.

Asima tidak mengerti dengan keadaan yang terjadi. Dia tidak tahu apa-apa. Ia berjalan menghampiri Filistin dengan senyum yang masih menempel di bibirnya.

"Maaf, Al Quds justru memilih sandwich buatanku." Asima merasa tidak enak.

"Ke-kenapa harus meminta maaf. Tidak apa-apa. Mungkin Kakak Al sedang bosan dengan Za'atar."

Filistin susah payah menarik kedua ujung bibirnya untuk melengkung. Ia menggigit pipi dalamnya untuk menahan sesak dan perih di hatinya. Kedua matanya memanas dan sudah dipenuhi bening. Ia tidak ingin berkedip dan menumpahka air matanya di depan Asima.

"Bolehkah Kakak memakan sandwich Za'atar buatanmu untuk makan siang? Pasti sangat lezat."

"Tentu saja boleh." Filistin menyerahkan kotak berisi sandwich itu pada Asima.

Reda menghela napas. Lalu menarik tangan Filistin. "Kak Asima, kami pamit sekolah dulu. Sepertinya kami sudah sangat terlambat."

"Pergilah. Hati-hati di jalan." Asima tersenyum tipis, lalu melambaikan tangan pada Filistin dan Reda.

Reda berjalan gontai sambil terus menarik tangan Filistin menaiki bukit. Bibir ranumnya tak henti-hentinya mengumpat kesal pada sikap Al Quds yang menurutnya sangat egois.

"Astagfirullah! Aku sangat kesal pada Kak Al Quds! Bagaimana dia bisa bersikap dingin seperti itu padamu! Padahal kau sudah meminta maaf."

Filistin terdiam. Air mata yang semula ia tahan-tahan, kini terjun bebas mengaliri kedua pipinya yang tirus. Gadis itu terisak pelan.

"Ka-Kakak Al sangat membenciku! A-aku tidak tahu harus bagaimana lagi?!"

Mereka berhenti d tengah jalan, di bawah pepohonan zaitun yang rindang.

Filistin menangkup wajah dengan kedua tangannya saat Reda memegang bahunya yang berguncang. Reda memeluk Filistin dan membiarkan gadis itu kembali menangis di pundaknya.

Filistin bahkan belum bisa membenahi kepingan hatinya yang hancur oleh kenyataan pahit tentang Asima dan Bert. Kini sikap dingin Al Quds menambah goresan luka baru di dadanya.

"A-aku kira Bert tentara yang berbeda! Te-ternyata dia sangat jahat! Ke-kenapa harus dia yang melakukan itu pada Kak Asima! Ke-kenapa harus Bert! Dan kenapa aku harus bertemu dengannya dan jatuh cinta padanya jika akhirnya akan seperti ini?!" Filistin terus terisak. "Reda, kalau saja aku tahu ja-jatuh cinta akan se-sesakit ini. A-aku tidak pernah ma-mau jatuh cinta! Astagfirullah. Ya Rabb a-ampuni Filin!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro