Bab 25. Luka dan Dendam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ruko sepetak itu adalah milik salah satu warga di Tepi Barat. Pemilik ruko berbaik hati telah mengizinkan para siswi dari sekolah Al Aqsa untuk melangsungkan kegiatan belajar-mengajar sementara. Kapasitas ruko tersebut hanya cukup untuk lima belas orang, sehingga sebagian murid terpaksa harus menggelar tikar di teras ruko untuk ikut belajar.

Filistin dan Reda duduk bersisian di teras, di barisan paling belakang. Hawa panas menyengat karena siang itu matahari sangat besar. Peluh membanjiri wajah para siswi yang sedang fokus mengerjakan tugas terakhir yang diberikan oleh guru. Namun, sedikit pun tidak melunturkan semangat mereka untuk terus menimba ilmu.

Satu per satu siswi mengumpulkan lembaran tugas mereka pada guru. Termasuk Filistin dan Reda yang sudah selesai mengerjakan. Mereka berjalan berurutan menghampiri meja guru.

"Baiklah, apa semuanya sudah mengumpulkan tugas?" tanya guru berhijab putih itu.

"Sudah, Bu!" seru semua siswi.

"Kalau begitu, kalian pulanglah dan lanjutkan belajar di rumah. Untuk sementara, kita hanya berkenan belajar di sini setengah hari saja." Guru itu tersenyum manis. "Ini kebijakan dari Kepala Sekolah, agar pemilik ruko tetap bisa berjualan setelah kita pulang. Sampai jumpa besok, asalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Semua murid sangat antusias dan semangat.

Salah seorang siswi berbadan gemuk mengangkat tangan. "Kira-kira kapan sekolah baru kita akan dibangun, Bu?"

"Insya Allah secepatnya, nanti kami akan mengabari kalian. Kepala sekolah masih benegosiasi dengan pemerintah untuk memilih lahan yang aman agar penggusuran tidak kembali terjadi. Kita menunggu keputusan dari PBB juga."

"Baiklah, Bu, kami akan sabar menunggu."

Guru tinggi bergamis hitam itu tersenyum sambil merapikan buku-bukunya di meja, lalu memasukkannya dalam tas.

Setelah merapal doa, satu per satu siswi meninggalkan ruko dan berpencar untuk pulang ke rumah masing-masing. Filistin dan Reda berjalan lamban paling belakang. Mereka bergandengan tangan.

Tidak ada senyum yang menghiasi bibir gadis itu. Netra birunya pun sangat sendu. Filistin masih memikirkan Bert dan sikap Al Quds tadi pagi. Perih di hatinya masih membekas.

Suara bebatuan runtuh dan deru mesin buldoser silih berganti menusuk indra pendengaran. Lagi, di seberang jalan sedang terjadi pembongkaran paksa pada sebuah rumah berlantai dua milik seorang warga Palestina.

"Astagfirullah!" seru Reda dan Filistin.

Ayunan langkah kaki mereka terhenti menyaksikan pembongkaran itu. Tampak seorang wanita paruh baya sedang menggendong balita dan sedang berjuang meneriakkan keadilan pada rumahnya yang dihancurkan.

Sebagian warga Palestina lainnya berlarian untuk memberikan pertolongan. Namun, semua sia-sia sebab penjagaan ketat pasukan tentara Israel di sana sangat brutal. Adu mulut serta saling lempar batu dan desing peluru yang meletus ke angkasa pun saling bersahutan.

Reda merogoh ponselnya, lalu mengarahkannya pada penggusuran rumah itu. Tatapannya menajam, hatinya berdoa dan mulutnya mengumpat kasar pada para tentara laknat itu.

"Reda, apa yang sedang kau lakukan?" Filistin menarik tas selempang Reda.

"Diam sebentar, aku sedang merekam kekejian mereka!"

"Untuk apa?"

"Aku ingin mengabarkan pada dunia! Biar Dunia tahu kejahatan apa yang telah otoritas Israel lakukan pada warga Palestina!"

"Kau akan menyebarkannya di Facebook?"

Reda menggeleng. Ia menekan tombol save, lalu melanjutkan perjalanan. Mereka berjalan beriringan, Filistin menggandeng tangannya.

"Lalu di mana kau akan menyebarkan video itu?"

"Instagram." Reda menoleh sambil tersenyum. Lesung di pipi kanannya sangat kentara.

"Sejak kapan kau punya akun Instagram? Bukannya kau tidak suka?"

"Kemarin." Reda menggaruk belakang hijabnya sambil meringis. "Ternyata media sosial itu penting juga di zaman milenial seperti sekarang. Akses untuk menyebar informasi sangat mudah dan membantu. Baru sehari saja, followers-ku sudah mau seratus!" Reda berjingkrak riang.

Filistin melebarkan matanya, ikut gembira. "Wah kau serius?"

Reda mengangguk. "Aku ingin memposting apa pun yang berkaitan dengan Palestina. Tentang Tepi Barat dan juga Jalur Gaza. Terutama tentang spesialnya Masjid Al Aqsa. Aku juga sudah memposting foto kita di sana."

Keduanya saling menoleh dan melempar senyum. Reda menghela napas, ia senang dapat melihat senyum Filistin kembali terbit.

Filistin mengulum bibir. Ia juga sudah lama sangat ingin membeli ponsel seperti Reda. Hanya saja Al Quds tidak membolehkannya sampai gadis itu lulus SMA. Padahal, Filistin sudah menabung untuk membelinya.

"Astagfirullah!" Reda histeris, lalu detik berikutnya ia berdecak dan memasang wajah masam.

"Ada apa?"

"Ternyata akun yang kemarin aku komfirmasi itu adalah Amit! Lihat, dia berkomentar di setiap postinganku! Atagfirullah ... dasar Tentara Gila!"

Tawa Filistin pecah. Ia membekap mulut saat Reda mendelik tajam padanya.

Tak lama, Reda pun menghela napas dan tersenyum. "Aku senang melihatmu tertawa lepas lagi seperti ini. Tetaplah bahagia, Filin. Karena aku akan selalu membersamaimu."

Filistin terdiam. Matanya berkaca-kaca dan hatinya menghangat.

"Reda, terima kasih sudah meminjamkan bahumu saat aku butuh sandaran. Terima kasih sudah berbagi canda dan tawa bersamaku. Terima kasih sudah selalu membersamaiku dalam suka dan duka."

"Masya Allah, kata-katamu menyejukkan hatiku. Terima kasih juga karena sudah lahir ke bumi dan menjadi sahabatku. Semoga kita tetap seperti ini." Reda merangkul pundak Filistin. Sepasang iris cokelat terangnya berair saat keduanya saling mengunci pandang dan tersenyum.

"Amiin, sahabat sampai Jannah."

"Amiin Ya Rabbal alamiin." Filistin tersenyum manis. "Reda."

"Iya."

"Boleh aku meminjam ponselmu?"

"Tentu."

"Aku ingin menghubungi Bert."

Reda tersedak salivanya. Matanya melebar. "Kau yakin? Bagaimana jika Kakak Al tahu?"

"Aku akan mengajaknya bertemu lebih awal. Ini untuk terakhir kalinya, aku ingin berbicara dengannya. Dia harus bertanggung jawab dengan apa yang sudah ia lakukan pada Kak Asima." Filistin menghela napas. "Aku akan meminta Bert untuk ... me-menikahi Kak Asima."

Reda membelalak. Kakinya berhenti melangkah, menarik tangan Filistin dan mengunci netra biru sahabatnya. "A--apa?"

"Bert harus bertanggung jawab!" tegas Filistin mantap. Meskipun, hatinya berdenyut nyeri.

****

Suara buldoser yang sedang meratakan tanah dan suara mobil truk pengangkut material bangunan saling bersahutan di bawah terik matahari siang itu. Debu-debu beterbangan tersapu angin. Puluhan kontraktor sibuk berkutat di tengah lahan berukuran 7.750 m2 tersebut. Ratusan bangunan rumah dengan dinding berwarna pasir dan beratap datar, bangunan-bangunan tua bersejarah di sekelilingnya menjadi lanskap yang sangat indah dan ikonik di kota Jaffa.

Bert tampak sangat tampan dengan setelan semi-formal dan kaca mata hitam yang ia kenakan. Ia sedang memantau pembangunan hotel barunya. Di sebelah Bert berdiri Ze'ef dan seorang arsitek ternama yang menangani pembangunan hotel miliknya.

"Kira-kira berapa lama proyek pembangunan hotelku akan selesai, Tuan?"

"Paling cepat sekitar setahun setengah, atau dua tahun. Jika cuaca bagus, proses kerja tim kami bisa berjalan lancar dan optimal."

Bert mengangguk pelan, lalu tersenyum ramah pada lelaki paruh baya berjas hitam di depannya itu. Ia merogoh saku celana bahannya saat ponselnya bergetar, tanda sebuah pesan masuk. Matanya melebar saat sebuah notifikasi dari Filistin tampak di layar.

My Girl

Aku menunggumu di bukit, sekarang. Kita harus bicara.

Bert tersenyum tipis, lalu melirik arlojinya yang menunjukkan pukul dua. Tanpa membalas pesan dari Filistin, Bert langsung berpamitan pada Ze'ef dan arsitek itu.

"Maaf, aku ada urusan mendadak dan ini sangat penting. Senang bekerjasama dengan Anda, Tuan Remy. Aku permisi. Untuk urusan lainnya kau bisa mendiskusikannya dengan Ze'ef."

"Baik, Tuan. Semoga harimu menyenangkan."

"Terima kasih."

Keduanya saling menjabat tangan dan mengulas senyum hangat. Lalu Bert berjalam tegas menghampiri Ze'ef, menepuk pundaknya pelan.

"Aku harus pergi. Filistin menungguku," bisiknya pelan.

Lelaki bersurai hitam pendek itu mengulum senyum, lalu mengagguk pelan. "Pergilah, biar semua aku yang urus."

"Thanks, Bro."

"Yep!"

Ze'ef menggeleng pelan. Netra hitamnya berkilat senang. Ia bersyukur Bert sudah kembali bersemangat. Kemarin keadaanya bahkan seperti mayat hidup. Ze'ef dan Amit terpaksa menginap untuk membujuk Bert agar mau makan. Lelaki berkemeja biru itu menghampiri Remy.

"Bert menginginkan tembok hotelnya campuran dari dinding kuno dan tambahan garis-garis modern."

"Itu bisa diatur. Sebelumnya aku dan Tuan Bert sudah membahas hal ini."

Ze'ef mengangguk, lalu mencondongkan kepalanya pada lembaran kertas yang arsitek itu sodorkan. Mereka sangat semangat dan fokus berdiskusi.

****

Bert sudah memarkirkan mobilnya di tepi jalan seperti biasa. Ia berjalan cepat menuruni bukit yang rimbun oleh sabana hijau liar dengan tergesa-gesa. Cuaca masih terik dan angin panas berembus kencang. Ia sangat tidak sabar ingin bertemu dengan Filistin dan menjelaskan semuanya.

Jantungnya berdebar saat sosok Filistin memenuhi retina matanya. Gadis itu tidak datang sendiri, Reda ikut menemani.

Filistin dan Reda berdiri setelah menyadari kedatangan Bert.

"Filin, aku akan menunggumu di atas bukit."

Filistin mengangguk saat Reda mengusap pundaknya. Ia mengintai punggung Reda yang berjalan cepat menaiki kaki bukit. Hingga lama-lama sosok Reda menghilang di balik semak-semak pohon zaitun. Ia mengalihkan pandang pada Bert yang kini berjalan tegas menghampirinya.

Filistin bersyukur melihat memar di wajah lelaki itu sudah memudar. Bert kelihatan sehat dan tampak segar. Gadis itu menunduk, tidak ingin balas menatap Bert. Melihat penampilan Bert yang sangat dewasa dan berkelas membuatnya semakin insecure dan merasa tidak pantas.

Pria itu memakai kemeja putih dengan kancing atas yang terbuka. Bert terlihat sangat maskulin dan tampan dengan blazer berwarna biru navy sebagai outer-nya, celana bahan berwarna abu dan sepatu pantofel berwarna cokelat yang mengkilat.

Sementara Filistin masih memakai seragam SMA. Jika begini, gadis itu lebih cocok menjadi adiknya dibandingkan menjadi kekasih seorang Bert Ertugrul.

Filistin meremas jemarinya kala jarak di antara mereka semakin mengikis. Takut, kecewa, marah dan juga rindu berkecamuk di dadanya. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana untuk melampiaskan perasaannya.

"Asalamu'alaikum."

Suara berat Bert membuat hati Filistin bergetar. Aroma maskulin dari parfum pria itu tercium lembut. Mereka sudah saling berhadapan berjarak satu meter.

"Wa-waalaikumsalam." Filistin masih menunduk.

Bert berdeham pelan, mengintai Filistin dengan mata berkaca-kaca. Degup jantungnya bertalu-talu. Sorot netra hijaunya kental akan kerinduan.

"Kenapa tidak ingin menatap wajahku?" Bert semakin dilanda takut. Perasaanya tidak enak.

"Kau tidak jujur padaku dari awal."

Hati Bert tersentak. "Masa laluku sangat kelam. Aku sudah menguburnya dalam-dalam dan tidak ingin seorang pun tahu. Terlebih lagi dirimu. A-ku takut kau tidak mau menerima masa laluku."

Bert menghela napas saat gadis itu mengangkat wajah dan mengunci tatapannya. Netra biru Filistin memancarkan kekecewaan dan ketakutan.

"Aku sangat menyesalinya dan aku benar-benar minta maaf padamu. De-demi Allah aku minta maaf." Dada Bert mulai sesak. "Semoga perasaanmu tidak akan pernah berubah. Aku sangat mencintaimu, Filistin."

Filistin meremas ujung hijabnya. "Apakah maaf darimu bisa mengembalikan kesucian kakakku?"

Bert melebarkan matanya. "Filin ...."

"Jawab! Apakah maafmu bisa mengembalikan kebahagiaannya? Apakah maafmu bisa mengembalikan masa depannya?!" Filistin mulai terisak. Ia ingin melampiaskan sesak di dadanya. "Kenapa diam?"

Dada Bert berdenyut nyeri. Ia tidak menyangka gadis itu akan menyerangnya dengan pertanyaan beruntun seperti itu, yang pastinya sulit untuk ia jawab. Bert hanya menelan saliva. Lidahnya mendadak kelu.

"Kau sudah membuat Kak Asima sangat menderita!" Bahu gadis itu berguncang. Matanya terpejam mengingat bagaimana dulu Asima sering mengamuk dan mencoba menyakiti dirinya sendiri karena trauma. "Kau sudah membuat kakakku nyaris gila! Di se-sepanjang harinya dia dihantui trauma! Ayah! Kak Al dan Ibu, mereka harus memeras keringat untuk mencari uang demi mengobati Kak Asima!" Tangis Filistin semakin memilukan. Lelehan bening di kedua pipinya semakin deras. Matanya memerah dan bengkak.

Bert semakin membeku. Hatinya perih melihat tubuh gadis itu bergetar dan melempar tatapan tajam padanya. Benarkah dia Filistin? Gadis polos yang selama ini sangat periang dan ramah padanya?

"Siang dan malam, Kak Asima selalu menjerit! Dia menjerit kesakitan saat adegan penyiksaan dan pemerkosaan itu kembali menghantuinya! Jadi kau pelakunya?! Ja-jadi benar kau yang telah me-menyiksanya! Kau jahat!"

Filistin tersedu-sedu. Napasnya tersekat. Dadanya semakin perih. Ia mengunci sepasang iris hijau Bert dengan tatapan pilu. Bibir tipis itu bergetar hebat.

"S-selama ini aku mengira kau adalah tentara yang berbeda. Kupikir kau adalah tentara yang baik. Tapi ternyata kau sangat kejam! Kau keji! Kau penjahat!"

"Filistin, kumohon hentikan!" tegas Bert dengan nada serak. Ia menyeka air mata yang tak sengaja terjun melintasi pipinya.

"Kenapa?! Apa kau pikir aku akan diam saja?!" Filistin menggeleng. Ia melangkah menghampiri Bert lebih dekat. "Kau harus bertanggung jawab! Kau harus menikahi Kak Asima! Ka-kau harus menikahinya! Kau harus menikahinya, Bert! Kau harus menikahinya!"

Bert membulatkan mulutnya. Ia tersentak dan terhuyung saat gadis itu memukuli dadanya yang bidang.

"Kau harus bertanggung jawab! Kau harus menikahi kakakku! Ka-kau harus menikahinya!" Filistin tersedu-sedu sambil terus memukuli dada lebar Bert dengan sekuat tenaganya. Wajah basah dan merahnya sangat memelas.

Keduanya membeku saat saling bersitatap. Bert berhasil menangkap kedua tangan gadis itu, menggenggamnya erat. Lelaki itu menggeleng. Wajah tegasnya sangat pucat.

"Aku tidak mau menikahinya. Aku tidak akan menikahi wanita mana pun! Aku hanya ingin menikahimu. Hanya dirimu, Filistin!" Suara Bert meninggi, penuh penekanan.

Filistin menggeleng cepat, membuat kristal beningnya terjun bebas. "Apa kau pikir aku akan sudi menikah denganmu setelah aku tahu jika kau adalah orang yang telah memperkosa kakakku?!" Lagi, gadis itu menggeleng. "Aku tidak mau! A-aku tidak mau menikah denganmu! Bahkan aku tidak mau lagi melihat wajahmu! Kau sangat jahat! Kau jahat!"

Bert menggeleng. Rentetan kalimat yang barusan terlontar dari bibir tipis gadis itu sangat menyayat hatinya. Ia meringis.

Filistin membeku saat tangan kokoh Bert menariknya dalam dekapan. Tubuhnya yang mungil tenggelam habis dalam badan tinggi Bert yang gagah.

Bert menekan kepala Filistin hingga terbenam sempurna di dadanya yang bidang. Pertahanan hatinya runtuh. Lelaki itu terisak.

"Kumohon jangan menghukumku seperti ini! Jangan lakukan ini padaku. Aku sangat menyesalinya, aku minta maaf. Demi Allah, Filin. Jangan pernah tinggalkan aku, aku sangat mencintaimu." Bert menggeleng cepat. Air matanya berjatuhan banyak membasahi hijab putih gadis itu. "Aku tidak ingin kehilanganmu. Jangan katakan itu lagi, kumohon."

Filistin menggigit bibir. Hatinya semakin perih. Bahunya berguncang dalam dekapan erat lelaki itu. Ia beristighfar sebanyak-banyaknya.

Bert terhuyung saat Filistin berhasil mendorong tubuhnya dengan sekuat tanaga. Wajah basahnya sangat memelas. Ia tidak peduli lagi meski terlihat seperti lelaki cengeng di mata gadis itu. Ia sungguh tidak ingin kehilangan Filistin.

"Lupakan saja aku! Anggap saja kita tidak pernah bertemu!" Dada Filistin naik turun. Napasnya tersekat. "A-aku juga akan melupakanmu! Bagaimanapun, kau harus menikahi Kak Asima!"

"Lupakan saja?'' Bert menautkan alis, mengintai tajam gadis remaja beriris biru yang berdiri di hadapannya. "Kenapa sangat mudah kau mengatakan itu?" Bert menggeleng. "Kenapa semudah itu kau mematahkan hatiku?"

Filistin terdiam. Ia menyeka laju air matanya menggunakan punggung tangan.

"Ini tidak adil!" Bert mulai kehilangan kesabaran. "Kau bilang, jika masuk Islam maka semua dosa akan dihapuskan, bukan? Lalu kenapa aku harus menikahi kakakmu? Aku sudah menyesalinya! Aku sudah bertaubat dan aku sudah meminta maaf padamu." Bert menelan saliva. "Jika kau ingin aku mengemis maaf di bawah kaki Asima dan Al Quds, aku akan melakukannya."

Filistin terisak mendengarnya. Ia mengintai wajah Bert yang memerah dan banjir air mata. Luka tersirat dalam netra hijau lelaki itu.

"K-kau harus tetap menikahinya! Aku ingin kau bertanggung jawab!" tegas Filistin sambil meremas jemarinya.

"Apa kau pikir hanya kakakmu yang telah aku perkosa?!" Bert menajamkan tatapannya. "Aku bahkan lupa sudah berapa kali memperkosa wanita Palestina! Lalu kau pikir aku harus menikahi mereka semua ha?"

Filistin tersedak. Matanya melebar menatap Bert. Apa yang dikatakan Bert membuka sayatan baru dalam hatinya. Diakah Bert yang selama ini ia kagumi? Benarkah dia sekeji itu? Filistin meringis.

"Kau kaget?" Bert tersenyum getir. "Aku memang bajingan! Aku seperti binatang! Aku pembunuh! Aku pemerkosa! Terserah kau ingin menilaiku seperti apa." Bert mengusap kasar wajah basahnya. Ia menatap Filistin lebih dalam.

Tubuh Filistin menggigil saat Bert memukuli dadanya sendiri dengan sekuat tenaga. Buku-buku jari lelaki itu mengepal kuat. Tidak pernah ia melihat Bert sekacau dan menyeramkan seperti itu.

"Masa kecilku sangat kacau hingga membuatku gila seperti itu! Kau tidak akan mengerti, Filistin! Aku mencari kesenangan dan melampiaskan semua penderitaanku dengan membunuh! Memperkosa!" Kedua matanya memerah dan terus meluruhkan bening. "Aku memang penjahat! Ta-tapi aku sangat menyesalinya! Demi Allah aku sangat menyesalinya!"

Filistin kehilangan kata-kata. Hanya sesenggukan yang terlontar dari bibirnya.

"Kau ... kau adalah gadis pertama yang membuat jantungku berdetak kencang. Mungkin ini naif." Bert tersenyum tipis, meskipun dadanya perih. "Kau cinta pertamaku. Hadirmu membawa perubahan besar dalam hiduku! Aku berhenti menjadi tentara dan aku memeluk Islam semuanya hanya karena dirimu!" Bibir Bert bergetar. "Aku ingin menikahimu. Bahkan aku sudah berjanji dan berkomitmen untuk menjaga hatiku. Aku sudah berjanji akan menunggumu hingga lulus kuliah! Bukankah kau juga sangat ingin menikah denganku, hm?" Bert tersenyum manis, menatap penuh harap wajah mungil Filistin yang sangat merah dan basah.

Kedua mata Filistin terpejam rapat. Kepalan kedua tangannya menguat, ia mendongak setelah memantapkan hatinya. Netra birunya menumbuk iris hijau Bert dengan sendu.

"Aku akan melupakanmu. Kau harus tetap menikahi kak Asima. Jika tidak, aku tidak akan pernah memaafkanmu! Aku tidak akan sudi lagi melihat wajahmu di seumur hidupku! Kau harus menikahinya dan mengembalikan kebahagiaannya yang dulu telah kau renggut! Kau harus bertanggung jawab!"

Bahu gadis itu merosot. Hatinya lega setelah mengatakan itu. Meskipun perih, Filistin pikir itu jalan yang terbaik. Bagaimanapun Bert harus bertanggung jawab atas perbuatannya.

Bert bagai tersambar petir. Seluruh lapisan dinding hatinya seketika runtuh hingga meninggalkan sesak. Sebulir air mata kembali menetes, menurunu rahangnya yang keras. Bert mengepal kuat, menelan saliva susah payah. Lalu tersenyum getir dengan tatapan tajam menghunjam gadis itu. Emosinya memuncak.

"Baik, jika itu yang kau inginkan. Aku bersumpah akan membuat Asima jatuh cinta padaku dan aku bersumpah akan menikahinya di depan matamu, Filistin." Bert mengangguk tegas. "Aku bersumpah!" gertaknya di hadapan wajah Filistin.










Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro