Bab 26. Misi Bert Mencuri Hati Asima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sesampainya di rumah, Bert membanting pintu utama dengan sangat kasar. Kemeja putih yang ia pakai sudah acak-acakkan. Begitu pun dengan rambut cokelat terangnya yang kusut. Ia berjalan tegas menuju ruang tengah sambil melucuti blazer biru itu, lalu melemparnya ke lantai.

Amit, Ze'ef dan Maria yang sedang bercengkrama sambil menonton televisi, menoleh pada Bert saat menyadari kehadiran lelaki itu.

"Bert, kau sudah pulang?" Maria tersenyum ramah.

Amit dan Ze'ef menatap penampilan Bert dengan mata melebar. Kerutan kecil timbul di dahi keduanya.

Bert menoleh sekilas. Bibir tipisnya terkatup rapat dan kedua netra hijau itu memerah. Kemudian ia berlalu dengan gontai menaiki undakan tangga, tanpa minat menyapa Maria dan kedua sahabatnya.

"Ada apa dengannya? Kenapa kacau seperti itu?"

Ze'ef mengangkat bahu saat Amit menyenggol sikunya. "Tadi, dia pamit akan bertemu dengan Filistin."

Amit berkedip, lalu saling mengunci pandang dengan Maria.

"Apakah masalah di antara mereka belum selesai?" tanya Amit lagi.

"Sepertinya akan sangat sulit untuk mereka mencari jalan keluar. Konfliknya sangat rumit." Ze'ef menghela napas.

"Ya Tuhan, berilah anugerahmu dan turunkan bantuan."

Maria mengelus dada, lalu menggenggam erat kalung salibnya. Kedua netra hitam sayu wanita itu brekaca-kaca, penuh khawatir dan juga harap.

****

Bert membanting pintu kamar, lalu menguncinya dari dalam. Kemudian melepas satu per satu kancing kemeja yang ia pakai dengan sangat tergesa-gesa. Sebagian kancing sampai berhamburan ke lantai. Dadanya naik turun menahan emosi yang sudah meledak. Bert membuang kemejanya ke lantai kamar mandi.

"AAAAAAAKKKKHHHH!"

Bert menjerit sejadi-jadinya. Dinding kamar mandi yang terbuat dari bebatuan putih bergerigi menjadi sasaran pelampiasan emosi pria itu. Bert berulang kali menghantam tembok dengan sekuat tenaganya dan brutal.

"AAAAAAAAKKKKH!" Suara Bert sangat berat dan serak. Ia tak mampu menahan sesak di dadanya. "KENAPA BEGINI?! KENAPA KAU SANGAT KEJAM! AKU MENCINTAIMU, FILISTIIIN!"

Air dingin mengucur deras dari keran, mengguyur tubuhnya yang gemetar. Tangis Bert yang sangat memilukan teredam gemercik air. Tungkai kaki Bert bahkan sangat lunglai. Tak lama tubuhnya merosot. Ia menatap punggung tangannya yang lebam dan merah oleh darah.

Dia masih tidak mau berdamai dengan kenyataan. Ia tak mengerti kenapa takdir selalu tidak berpihak padanya. Dari kecil hidupnya sudah menderita. Tak pantaskah dirinya bahagia? Padahal ia sudah bertaubat dan menyesali semua dosa-dosanya.

Kenapa kekacauan ini terjadi di saat ia baru saja ingin berhijrah menjadi manusia yang lebih baik lagi?

Filistin adalah semestanya, mataharinya, pelangi yang telah memberikan banyak warna dalam kehidupan Bert yang sebelumnya sangat kelam.

Belum lama ia menemukan kedamaian dalam Islam. Baru saja ia merasakan manisnya jatuh cinta. Rasanya baru sebentar ia menemukan kebahagiaan dengan gadis itu.

Bert meringis. Ia mengusap wajah basahnya dengan sangat kasar. Sekarang semuanya hancur berantakan dalam sekejap mata. Kenyataan itu sungguh telah menjungkir-balikkan dunianya.

"Semuanya sia-sia!" raungnya sangat payah. Kepalan tangannya semakin menguat. Bahu Bert berguncang menahan perih di dadanya yang semakin menusuk.

Semua mimpi-mimpi indahnya dengan gadis itu sirna sudah. Dari sekarang Bert bahkan telah merencanakan banyak hal. Tentang pesta pernikahan yang dipenuhi bunga kamomil putih. Kelak ia ingin melamar gadisnya dengan konsep yang sangat romantis. Bert ingin menjadikan Filistin gadis yang paling bahagia di dunia.

"A-aku sudah merencanakan semuanya. Aku sudah berangan-angan." Bert menahan isak. Bibirnya menipis. "Pesta pernikahan. Gaun pengantinmu. Re-rencana bulan madu." Bert meninju tembok, ia memekik menahan sakit yang teramat sangat di tangannya yang kembali mengucurkan darah segar. "Ke-kenapa wanita itu harus menjadi kakakmu?!"

"KENAPAAAAAA! KENAPA?!"

"AAAAAAAAAAAKKKKHHHHH!"

****

"Baik, jika itu yang kau inginkan. Aku bersumpah akan membuat Asima jatuh cinta padaku dan aku bersumpah akan menikahinya di depan matamu, Filistin. Aku bersumpah!"

Filistin tergugu saat ucapan Bert kemarin kembali terngiang. Gadis itu menggigit selimut agar tangisnya tidak lolos dan didengar orang lain. Bahu kecilnya berguncang kala sesuatu yang sangat tajam seolah menyayat-nyayat hatinya. Saat ini ia meringkuk di kasur lantai, memunggungi Reda, Asima dan Khadijah yang juga tidur berdampingan dengannya.
Malam sudah sangat larut. Al Quds hari ini lembur di pasar dan akan pulang terlambat.

Sampai sekarang ia masih tidak percaya bahwa hubungannya dengan Bert telah berakhir secepat ini. Ia pun tidak menyangka bahwa Bert  memiliki masa lalu yang sangat suram.

Andai saja salah satu wanita korban kebejadan Bert bukanlah Asima, hatinya mungkin tidak akan sehancur ini. Filistin tergugu. Napasnya terputus-putus.

Filistin lebih kuat menggigit ujung selimut tipis yang membungkus tubuhnya hingga batas dada itu. Hatinya menjerit.

Al Quds mengucap salam dengan lirih sesampainya di depan gua. Malam itu angin berembus sejuk, membelai rambut ikalnya hingga beterbangan ringan. Ia duduk di sebuah kursi kayu, lalu mulai membuka tali sepatunya satu per satu. Kemudian ia membuka pintu gua yang terbuat dari papan itu dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan kebisingan.

Sesampainya di dalam, Al Quds mengintai empat tubuh yang berbaring di kasur, di tengah gua. Lalu pandangannya berhenti pada gadis yang tidur di paling tepi. Dalam cahaya lampu yang temaram, Al Quds dapat melihat bahu Filistin berguncang.

Hatinya berdenyut nyeri. Sampai sekarang ia masih bersikap dingin pada adik bungsunya itu. Tidak ada kebencian yang terselip di dadanya sedikit pun. Demi Allah, ia sangat menyayangi adik-adiknya. Hanya saja ia telanjur kecewa.

Al Quds berjalan lamban mendekati Filistin, lalu menjatuhkan kedua lutut di hadapan gadis itu.

Filitin memejamkan mata saat sebuah tangan besar dan kasar mengusap puncak hijabnya. Ia tahu itu Al Quds.

"Filin, Kakak tahu kau belum tidur. Apa kau menangis?"

Filistin menggigit bibir, lalu perlahan membuka matanya yang perih dan panas. Ia menatap wajah letih Al Quds dalam remang malam.

"Ka-Kakak," lirihnya sangat serak.

"Ikut Kakak keluar. Malam ini bintangnya sangat banyak. Kau ingin melihatnya?"

Filistin mengangguk, lalu beringsut bangun mengikuti langkah Al Quds keluar dari gua.

Filistin mengusapi telapak tangan sesampainya di luar. Udara dingin menyergap tubuhnya.

Mereka duduk bersisian di kursi kayu panjang itu. Keduanya mendongak ke langit pekat malam yang bertabur bintang.

"Lihat, bintangnya sangat banyak dan indah, bukan?"

Filistin mengangguk. Ia menghela napas panjang, untuk meredakan sesak yang masih menguasai dadanya. Bibirnya sangat kaku untuk sekadar tersenyum tipis. Ia menoleh pada Al Quds, menatap lekat wajah Al Quds yang dihiasi bulu tipis di rahang dan dagunya. Lelaki itu mengikat sebagian rambut ikalnya ke belakang.

"Kakak, Ka-Kakak sudah tidak membenciku?" tanya Filistin susah payah.

Al Quds tersenyum tipis, menoleh hingga tatapan mereka bertemu. Netra cokelat terangnya berair.

"Kakak sama sekali tidak pernah membencimu. Jangan pernah ada pemikiran seperti itu. Maafkan Kakak sudah egois dan bersikap dingin padamu belakangan ini." Al Quds menghela napas pelan. "Kakak terlalu kaget dan kecewa padamu. Jika kau jujur dari awal, mungkin aku tidak akan semarah ini."

Filistin terdiam, lalu berkedip. "Ma-mafkan aku sekali lagi."

"Sudahlah, jangan meminta maaf. Kakak sudah memaafkanmu dari kemarin-kemarin. Kakak yang seharusnya meminta maaf padamu karena telah egois mendiamkanmu. Kau mau memaafkan Kakak?"

Akhirnya bibir tipis gadis itu mengendur dan melengkungkan senyum manis. Ia mengangkat jari kelingkingnya saat Al Quds mengajaknya berdamai.

"Tentu. Jadi, sekarang kita berdamai?"

Al Quds terkekeh pelan memamerkan gigi gingsulnya yang manis. Lalu ia mengangkat jari kelingkingnya yan besar hingga saling bertaut dengan jari kelingking sang adik. Keduanya saling menatap hangat dan melempar senyum haru.

"Berdamai."

Al Quds mengacak puncak kepala Filistin dengan gemas, lalu mengecup keningnya dengan hati gemuruh.

"Ternyata adikku sudah tumbuh menjadi gadis dewasa. Kau bukan bocah kecil yang selalu merengek minta digendong lagi seperti dulu." Al Quds mengintai wajah Filistin lekat. "Kau sudah merasakan jatuh cinta." Bibirnya kembaki mengembang.

Filin balas tersenyum. "Apakah aku salah jika aku jatuh cinta?"

"Jatuh cinta tidak pernah salah. Karena cinta adalah anugerah yang harus disyukuri dan dinikmati. Hanya saja, terkadang kita bisa jatuh cinta dengan orang yang salah." Al Quds menghela napas. "Namun, perihal cinta yang lahirnya dari hati dan yang mengendalikan pungsi hati hanyala Allah semata, kita juga tidak akan pernah bisa memilih pada siapa kita akan jatuh cinta."

Filistin berkedip, hatinya terenyuh.

"Semuanya sudah tertulis pada garis takdir setiap hamba-Nya. Jadi, jatuh cinta tidak pernah salah."

"Jadi, aku tidak salah jika aku mencintai Bert?"

Al Quds terdiam, lalu menggeleng pelan. "Tapi, apa kau akan tetap mencintainya setelah ...."

Filistin menggeleng. "A-aku akan melupakannya. Aku bahkan sudah menyu-" Filistin menahan napas, lalu mengembuskannya pelan. "Kemarin aku sudah mengakhiri hubunganku dengannya."

Al Quds tersentak saat tiba-tiba Filistin menghambur dalam dekapannya. Dapat ia lihat sebulir bening terbit di sudut mata biru gadis itu. Namun, Filistin dengan cepat menyekanya.

Al Quds menghela napas sambil mengusapi punggung Filistin yang bergetar dalam pelukannya. Ia tidak ingin bertanya dan bicara terlalu banyak. Pasti sulit untuk gadis itu menerima kenyataan pahit ini. Dirinya pun masih terasa seperti mimpi buruk yang mengerikan. Bagaimana alur cerita kedua adiknya bisa seperti sebuah novel saja? Ia bertasbih dalam hati. Ia meyakini, pasti ada hikmah di balik sebuah musibah.

Maha Besar Allah yang Maha Kuasa atas segala sesuat urusan di bumi. Ya Rabb, kuatkanlah hati kedua adikku. Berikanlah mereka keikhlasan dan kesabaran dalam menghadapi semua ujian dari-Mu.

Filistin tidak ingin menceritakannya sekarang pada Al Quds perihal Bert yang ingin menikahi Asima. Hubungan mereka baru saja membaik. Ia mengeratkan pelukannya pada tubuh kekar Al Quds, mencari kenyamanna di balik dada bidangnya yang kokoh.

"Kakak, aku sangat merindukan Ayah dan Ibu."

"Kakak juga, Filin. Jangan bosa doakan mereka."

"Tentu."

"Gadis pintar."

"Kakak."

"Hm."

"Apa Kakak sudah pernah jatuh cinta?"

Al Quds tersenyum tipis, lalu menatap satu bintang yang paling besar dan terang di atas sana. "Tentu, Kakak sudah jatuh cinta."

"Benarkah?" Filistin mendongak menatap Al Quds. "Kenapa kau tidak pernah menceritakannya padaku?"

"Lain kali Kakak berjanji akan menceritakannya padamu. Maafkan Kakak yang selama ini terlalu sibuk bekerja dan tidak punya banyak waktu untuk berbagi banyak hal denganmu." Al Quds tersenyum tipis. "Sepertinya, mulai sekarang Kakak harus bisa meluangkan waktu denganmu dan Asima."

Filistin tersenyum di sela tangisnya, ia mengangguk dan kembali memeluk Al Quds dengan sangat erat.

****

Hari Jumat yang sangat cerah. Filistin dan Reda libur sekolah. Al Quds pun sengaja libur bekerja karena sudah berjanji pada Filistin ingin membuakan pagar bambu untuknya.

Lelaki jangkung itu baru saja pulang dari salat Jumat berjamaah di masjid. Wajah bersihnya yang ditumbuhi bulu halus sangat bercahaya dan teduh. Bibirnya merekah sembari memukul paku terakhir dengan palu kecil hingga menancap sempurna pada bambu kering itu.

Ia berdiri sambil menghela napas pelan. Pagar bambunya sudah selesai dibuat. Hanya tinggal memasangnya untuk mengelilingi gua yang mereka tempati. Ia tersenyum manis. Kedua netra cokelat terangnya berbinar, Filistin dan Asima pasti akan sangat senang bisa menanam bunga dan sayuran setelah halaman depan dan belakang gua sudah dipagar.

Filistin, Asima dan Reda tampak sedang sibuk mencabuti rerumputan liar yang panjang. Ketiganya sangat bersemangat. Tawa riang saling bersahutan dengan obrolan ringan tiga wanita itu. Hati Al Quds sangat sejuk melihatnya.

"Asalamu'alaikum."

Suara berat yang familiar itu mengusik Al Quds. Ia menoleh dan tatapannya langsung terkunci dengan sepasang iris hijau milik Bert.

"Kau!" Al Quds menajamkan tatapannya. "Mau apa lagi kau datang ke sini?"

Bert berdecak kesal. "Heh, Kriting! Kau bahkan belum membalas salamku. Apa pendengaranmu sedikit bermasalah?"

"Kau pikir aku akan sudi membalas salam seorang Yahudi sepertimu?"

Bert mendesah melihat raut masam Al Quds yang seolah menantangnya untuk berduel lagi. Pandangannya beralih pada martil kecil yang digenggam erat oleh si kriting itu. Ia menyeringai, lalu meraba sakunya dari luar jeans biru yang ia pakai. Bert selalu membawa relvover silver kesayangannya ke mana pun ia pergi.

"Aku sudah memeluk Islam. Kau masih tidak percaya, huh? Apa kau ingin kubacakan surah Al Ikhlas? Al Fatihah?"

"Surah Al Baqarah!" tantang Al Quds. Ia tersenyum miring melihat wajah Bert memucat.

"A-aku belum menghapalnya. Itu terlalu panjang dan aku membutuhkan banyak waktu." Ia berdecak.

Al Quds terdiam, tetap dengan wajah datar. Ia mencoba untuk percaya, meskipun sangat sulit. Semalam Filistin sedikit-banyak sudah menceritakan tentang si keparat Bert itu padanya. Tatapan tajam Al Quds jatuh pada sebuket bunga mawar merah di tangan Bert.

"Aku tidak suka bertele-tele. Katakan apa tujuanmu datang ke sini?"

Al Quds berancang-ancang dengan memukulkan martil itu pada telapak tangannya berulang-ulang.

Bert menghela napas panjang. "Pertama, aku ingin meminta maaf padamu. Kedua, aku ingin bertanggung jawab atas apa yang telah kulakukam pada Asima. Aku ... a-aku ingin menikahinya."

Al Quds melebarkan matanya. Semoga ia salah mendengar. Rahangnya mengeras. Ia tidak habis pikir kenapa si rambut jagung itu selalu membawa kejutan untuknya. Apa lelaki itu sudah tidak waras? Baru kemarin rasanya ia mengatakan bahwa ia mencintai Filistin, lalu sekarang tiba-tiba ingin melamar Asima? Yang benar saja! Al Quds menggeram.

"Maafmu aku terima dan memohon ampunlah pada Allah." Al Quds susah payah menahan emosi. "Dan untuk tujuan keduamu ... kau kutolak! Aku tidak akan pernah sudi untuk menikahkan adikku dengan seorang pecundang sepertimu!"

Bert mengeraskan rahang. Ia benci penolakan dalam hal apa pun. Misinya saat ini adalah ingin mencuri hati Asima dan membuat wanita itu jatuh cinta padanya. Ia telah bersumpah akan menikahi Asima di depan mata Filistin. Bert seorang yang ambisius dan tidak pernah main-main dengan ucapannya.

Tatapan iris hijaunya melunak. Ia mengendurkan urat-urat tangannya yang semula menonjol keras. Ia harus menjaga sikap dan bisa mengendalikan emosinya. Bert harus bisa meluluhkan hati si kriting sialan itu.

"Terserah kau mau menolakku ratusan kali. Aku akan tetap datang ke sini sampai kau mau menerima lamaranku," tegas Bert penuh penekanan.

Al Quds beristighfar dalam hati. Lalu mendesah pelan. "Pulang! Dan jangan perah menampakkan wajahmu lagi di depan mataku. Demi Allah, aku tidak akan segan-segan untuk menghabisimu! Tinggalkan Asima dan Filistin!"

Bert mendesis. Tak lama ia tersentak saat Al Quds menyambar buket mawar itu dari tangannya, lalu membuang bunga tersebut ke tanah dan menginjaknya dengan sekuat tenaga.

Bert menggeram. Harga dirinya sungguh telah direndahkan oleh lelaki sialan itu. Namun, ia susah payah meredam emosinya yang sudah mencapai puncak. Ia membeku di tempat, melempar tatapan tajam pada tiga wanita di depan pintu gua yang sejak tadi memperhatikan ke arahnya dan Al Quds.

Hatinya teriris kala mengintai Filistin yang berdiri bergandengan dengan Asima. Kenyataan kembali menghempaskan jiwanya, membuatnya sangat terpuruk dan tak berdaya.

Kedua wanita itu ... kenapa harus hadir dalam hidupnya dalam waktu bersamaan seprti ini? Andai takdir bisa diubah? Andai waktu bisa diputar? Atau, andai ia bisa menghilang dari muka bumi ini, demi Allah Bert ingin melakukannya.

Tubuh Bert mendadak kosong. Kedua tungkai kakinya sangat lunglai. Ia meringis saat sesak semakin menyergap dadanya tanpa ampun. Kenapa garis takdirnya sangat miris seperti ini? Bert menyeka sebulir bening yang terjun bebas melintasi pipinya saat menyadari Al Quds masih berdiri di sana.

Filistin ....

****

😖😭 💔 Akkkh, Bert!

Follow IG aku buat yang mau nonton dan kepoin spoiler SCDBA per babnya ^ ^ karena hanya diposting di sana.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro