Bab 33 | Kecewa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Ibu, tolong buangkan kotak ini untukku."

"Bu-buang? Kau serius? Bukankah kotak ini sangat berharga untukmu?"

Bert terdiam sejenak seraya menghela napas berat."Buang saja. Bila perlu bakar saja sekalian. Aku tidak ingin Asima melihat kotak itu."

Maria tertegun melihat punggung tegap Bert. Putranya sangat cepat menuruni anak tangga. Ia mengusap kotak biru itu. Napasnya berembus pelan. Maria tidak sampai hati jika harus membuang, atau membakar kotak itu. Namun, jika Bert yang berkehendak demikian, Maria tidak bisa menolaknya. Wanita berrok hitam itu bergegas menuruni anak tangga seraya membawa kotak biru tersebut.

Asima yang sedari tadi mencuri obrolan Bert dan Maria menghela napas. Wanita itu bersembunyi di balik pintu kamar. Kedua alis tebalnya saling menaut.

"Memangnya apa isi kotak itu sampai Bert sangat tidak ingin aku melihatnya?"

Asima semakin penasaran. Terlebih lagi, kemarin malam Bert sampai membentaknya saat Asima tidak sengaja menemukan kotak itu. Segudang tanya bergelayut di benaknya. Asima bergegas menuruni undakan demi undakan anak tangga dengan tergesa-gesa.

Sesampainya di dasar tangga, ia mengedarkan pandangan. Bert tampak sedang membaca sebuah koran di ruang keluarga. Asima menelan saliva, lalu melanjutkan langkahnya menuju dapur. Di dapur hanya ada Reda dan Filistin yang tengah berkutat dengan sayuran dan bahan masakan lainnya. Asima tidak melihat Maria di sana.

"Apa kalian melihat Ibu Maria?"

Suara Asima membuat Filistin yang tengah memotong daun bawang menoleh.

"Ibu Maria pergi ke halaman belakang,"ujar Filistin.

Asima mengangguk pelan tanpa sepatah kata pun. Ia segera berjalan gontai menuju pintu dapur yang akan membawanya ke halaman belakang. Asima harus tahu apa isi kotak itu. Ia tidak ingin terus dihantui oleh rasa penasaran.

Reda yang sedang memotong daging ayam menghentikan aktivitasnya sejenak, lalu menoleh pada Filistin.

"Ada apa Kak Asima mencari Ibu Maria?"

Filistin mengangkat bahu."Entahlah, aku tidak tahu. Sudahlah, ayo, lanjutkan pekerjaan kita. Sebentar lagi Ibu Maria pasti datang dan semua bahannya harus sudah siap."

Reda mengangguk dan bergegas melanjutkan aktivitasnya. Kedua gadis itu tengah mempersiapkan hidangan makan siang.

Sesampainya di halaman dapur, jantung Asima semakin berdebar-debar. Ia melangkah cepat mendekati punggung Maria yang tengah duduk di depan sebuah tong pembakar sampah.

"Fi-Filistin?"

Suara lirih itu membuat punggung Maria tegak. Wanita bertubuh besar itu sontak berdiri dan melebarkan matanya saat retina hitamnya mendapati sosok Asima.

Asima membeku di tempat. Kedua iris birunya enggan berkedip, menatap nanar isi kotak biru yang terbuka itu. Tampak olehnya selembaran foto gadis yang wajahnya sangat tidak asing. Foto Filistin, adik kandungnya sendiri.

"Ja-jangan, Asima!"

Maria mencoba merebut kembali kotak biru yang kini sudah di tangan Asima.

"A-apa maksud semua ini, Bu? Tolong jelaskan padaku! Kenapa isi kotak ini semuanya foto Filistin dan su-surat ini apa maksudnya?"

Lidah Maria mendadak kelu. Ia tetap mematung melihat tangan Asima mengacak-acak isi kotak biru itu.

Tangan Asima gemetar. Ia mengambil satu per satu lembaran foto Filistin dengan beragam pose. Dalam foto-foto itu Filistin terlihat sangat bahagia dengan senyuman manis yang menghiasi bibir ranumnya. Lalu, Asima mengambil selembar foto yang sontak membuat kedua matanya semakin melebar. Foto Filistin dengan laki-laki yang baru saja kemarin sah menjadi suaminya. Dalam foto itu, Bert dan Filistin berdiri saling bersisian dengan jarak sekitar 1 meter. Keduanya tampak tersenyum lebar menghadap kamera.

"Ba-bagaimana bisa? Ba-bagaimana bi-bisa Filistin berfoto bersama Bert?" Asima menggeleng, ia menatap Maria. Iris birunya mulai berkaca-kaca. Kerutan kecil menghiasi dahinya.

Maria masih membisu. Ia bingung harus menjelaskan apa pada Asima. Ia mengutuk kecerobohannya. Seharusnya ia segera membakar isi kotak biru itu tanpa harus melihatnya terlebih dahulu. Tidak sedikit pun terlintas di benaknya jika Asima akan mengikutinya seperti ini.

Dunia seolah berhenti berputar. Jadi ... inikah kotak biru yang sangat dirahasiakan Bert darinya? Otak Asima belum sepenuhnya bisa mencerna tentang apa yang barusan ia lihat. Kali ini tangannya meraih selembar surat, Asima membukanya perlahan dengan jantung berdebar. Sebuah surat berbahasa Inggris yang Asima sama sekali tidak paham apa artinya. Namun, motif hati yang menghiasi kertas surat itu mampu menggores hatinya. Sebuah gelang tali berwarna pink yang bertuliskan FilBert mencuri atensinya, ia mengambilnya dengan tangan gemetar.

"Ba-bagaimana bisa seperti ini? Kumohon jelaskan semuanya padaku, Bu!"

Asima mengusap kasar lelehan bening yang entah sejak kapan telah melintasi kedua pipinya. Ia terus menatap Maria dengan wajah memelas. Namun, wanita paruh baya itu tetap membisu diiringi tangis yang tak kalah memilukan darinya. Asima menggenggam kotak biru itu sangat kuat, lalu melenggang pergi meninggalkan Maria.

"Ya, Tuhan! Ba-bagaimana ini? Bert pasti akan sangat marah padaku." Maria menyeka air matanya, lalu segera menyusul langkah cepat Asima menuju dapur.

"Filistin!"teriak Asima sesampainya di dapur.

Suara keras Asima menghentikan gelak tawa Filistin dan Reda yang tampak sedang bergurau. Keduanya menoleh dengan kerutan di dahi. Mereka melebarkan mata melihat wajah Asima yang banjir air mata dan memerah.

"Ka-kak Asima, ada apa? Ke-kenapa kau menangis?" Filistin berjalan mendekati Asima.

"Jelaskan padaku apa maksud semua ini?Jelaskan tentang foto-fotomu dan Bert, surat-surat dan barang-barang ini!"

Filistin dan Reda tersentak saat Asima menumpahkan semua isi dari kotak biru itu hingga berserakan di meja dapur. Kedua mata Reda dan Filistin membulat.

Filistin beristighfar dalam hatinya. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa Asima sampai tahu tentang kotak biru itu.

"Jawab aku, Filin?"Asima terisak. Dadanya semakin perih melihat Filistin mematung di tempat. Ia menoleh pada Reda, menatapnya penuh harap."Reda, apa kau tahu tentang semua ini?"

Reda pun hanya mematung di tempat. Ia kehilangan kata-kata. Gadis tinggi itu masih shock.

"Ka-kak, itu ...." Filistin tidak sanggup melanjutkan ucapannya. Lidahnya kelu. Ia tidak tahu bagaimana harus mengelak. Asima telah melihat semuanya. Rahasianya dengan Bert sudah terbongkar.

Asima mengusap wajah kasar. Ia merasa frustrasi. Ia melempar tatapan pada Maria, Reda dan Filistin secara bergantian seraya meremas gamis biru yang dikenakannya.

"Kenapa kalian semua diam? Jawab aku! Apa yang kalian rahasiakan dariku?" Tangis Asima semakin pecah dan menyayat hati. Asima yakin, mereka semua pasti tengah menyembunyikan sesuatu darinya.

Di ruang keluarga, Bert melempar koran yang semula dibacanya ke sembarang arah kala mendengar kegaduhan dari arah dapur. Ia bergegas melangkah lebar. Bibirnya menipis.

Sesampainya di dapur, kedua matanya melebar sempurna melihat kotak biru beserta isinya telah terburai di meja dapur. Tatapannya beralih pada wajah Asima yang sudah kusut dan basah oleh air mata. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa Asima menemukan kotak itu, bukankah ia sudah menyuruh Maria untuk membuangnya. Bert menoleh pada Maria, ibunya sedang menangis tersedu-sedu. Bert menghela napas berat.

Bert membeku kala Asima datang mendekatinya.

"Jelaskan padaku apa maksud dari semua itu?"

Bert menghela napas. Ia melirik wajah Filistin. Wajah gadis itu tampak tegang dengan linangan air mata di pipinya. Bert yakin, Maria, Filistin dan Reda pasti tidak akan berani untuk menjelaskan semuanya pada Asima. Asima telah melihat isi kotak biru itu. Muungkinkah ini memang takdir Tuhan? Selama ini ... Bert, Filistin dan semua orang bersusah payah menyembunyikan rahasia hubungannya dengan Filistin dari Asima. Tapi, detik ini, Tuhan dengan mudahnya memperlihatkan kebenaran pada Asima. Bert semakin yakin jika ini semua memang jalan takdirnya. Entah ia harus menyesalinya, atau justru harus bersyukur dengan peristiwa ini. Namun, Bert masih berharap jika akhirnya ia bisa kembali bersama Filistin.

"Jawab aku! Kenapa kalian semuanya diam saja?" Suara Asima sangat serak. Ia mengedarkan pandangan pada Filistin, Maria, Reda. Kini tatapannya kembali menelisik sepasang iris hijau Bert.

"Berhubung kau sudah melihat semuanya, mulai detik ini aku tidak perlu lagi untuk berpura-pura mencintaimu."

Asima melebarkan matanya. Kedua kakinya semakin lemas dan gemetar.

"Sebenarnya, aku dan Filistin saling mencintai. Jauh sebelum aku bertemu denganmu,"tegas Bert.

Asima semakin tersentak. Ia membeku di tempat.

"Adikmu memaksaku untuk bertanggung jawab atas semua perbuatanku padamu di waktu itu. Filistin memaksaku untuk menikahimu padahal aku sangat mencintainya!" Bert bernapas lega setelah menjelaskan semuanya pada Asima. Sebenarnya ia tidak tega melihat keadaan Asima yang sangat memelas. Tapi, wanita itu harus tahu yang sebenarnya.

Asima menelan saliva. Ia seperti kehilangan sebagian ruhnya. Pikirannya mendadak kosong. Dadanya sangat sesak mendengar setiap kalimat yang Bert lontarkan. Ia tersentak saat Filistin berlari ke arahnya dan memeluknya erat.

"Ka-Kak, ma-maafkan aku! A-aku melakukan se-semua itu hanya ingin membuatmu bahagia. A-aku sangat menyayangimu. Bert harus bertanggung jawab atas perbuatannya padamu." Filistin terisak seraya mengeratkan pelukannya pada sang kakak.

"Bahagia?"Asima mendorong tubuh Filistin hingga gadis itu sedikit terhuyung."Kau pikir aku akan bahagia setelah mengetahui semua ini? Kau jahat! Kau egois, Filistin! Kenapa kau tega melakukan semua ini padaku? Kenapa kau tidak memikirkan perasaanku? Kalian jahat!''Asima tersenyum getir. Tangisannya semakin pecah."Jadi, selama ini, kalian bersekongkol untuk meyakinkanku. Kalian bersekongkol membujukku untuk menerima cinta Bert dan kalian semua berhasil."Asima tersenyum manis, meskipun dadanya semakin sesak."Aku sudah benar-benar jatuh cinta padanya. Bahkan aku sudah bersedia menikah dengannya. Aku sembuh dari trauma masa laluku karena Bert. Kupikir dia tulus mencintaiku."Asima membekap mulut untuk menahan isak."Tapi, ternyata semuanya hanya sandiwara!"

Filistin menggeleng. Air matanya berjatuhan semakin deras."Tidak, Kak. Demi Allah, aku sama sekali tidak bermaksud untuk membuatmu terluka seperti ini. Kami semua sangat peduli dan menyayangimu. Kami semua ingin melihat Kakak bahagia."

Asima menatap iris biru Filistin yang tenggelam oleh bening. Pikirannya sangat kacau. Hatinya sangat pedih. Jadi ... selama ini adiknya dan Bert saling mencintai dan bodohnya lagi ia tidak peka dengan hal itu.

Maria berlari untuk menangkap tubuh Asima yang nyaris terjatuh ke lantai. Asima kehilangan kesadaran.

"Kak Asima!" Filistin dan Reda memekik secara bersamaan.

Filistin tersentak kala tangannya ditarik oleh Bert. Ia mencoba untuk melepaskannya. Namun, tenaga Bert sangat kuat dan tentu saja bukan tandingannya. Gadis itu justru dibawa menjauh dari Asima.

"Filistin!"

Reda berlari mengejar Filistin yang terus ditarik paksa oleh Bert menjauh dari dapur.

"Reda! Kak Asima!"

Filistin melebarkan matanya kala tubuhnya mengapung di udara. Bert menggendongnya di pundak seperti menggendong karung beras. Gadis itu menjerit sejadi-jadinya.

"Astagfirullah! Turunkan aku! Apa yang kau lakukan? Reda ...!"

Napas Reda terengah-engah sesampainya di garasi mobil. Wajahnya memerah dan basah oleh air mata. Gadis itu memegangi dadanya yang panas dan sesak. Ia terlambat menyelamatkan Filistin, sahabatnya sudah dibawa menjauh oleh mobil Bert. Reda menatap nanar pintu gerbang kediaman Bert yang terbuka lebar. Ia segera meraih ponsel dari saku bajunya, lalu menghubungi Al Quds.

***

Filistin terus menoleh ke belakang. Ia berulang kali memukuli pintu mobil dan berusaha untuk membukanya. Namun, usahanya sia-sia karena Bert selalu berhasil menguncinya. Air matanya mengalir semakin deras. Ia sangat menghawatirkan keadaan Asima dan Reda.

"Kumohon hentikan mobilnya! Aku mau turun! Kak Asima!"

Teriakan Filistin sangat kencang. Gadis itu tersentak saat tangan kokoh Bert kembali menangkap tangannya, lalu menggenggamnya dengan sangat erat.

"Lepaskan tanganku! Kumohon jangan seperti ini. Sadarlah, Bert!"

"Tidak! Sekarang aku tidak akan pernah melepaskanmu. Aku tidak ingin kehilanganmu lagi. Tidak akan ada lagi siapa pun yang bisa memisahkan kita."Bert tersenyum manis. Hatinya dipenuhi keyakinan. Ia menoleh pada Filistin yang tampak sangat ketakutan."Apa kau tidak sadar? Sepertinya Allah menghendaki kita untuk bersama. Allah sudah memberikan kita jalan seperti ini, Filistin." Senyum Bert semakin mengembang. Kedua iris hijaunya berbinar.

Filistin menggeleng. Ia mengusap wajahnya yang basah dan merah. Tangan satunya mencengkeram gagang pintu dengan sangat kuat. Ia terus berusaha menarik tangannya dari genggaman tangan kekar Bert. Namun, tenaga kecilnya itu sama sekali tidak berpengaruh.

Bert terus melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi membelah jalanan kota Yerusalem. Sebenarnya Bert pun belum punya tujuan, entah ke mana ia akan membawa Filistin, yang jelas ia ingin membawa gadis itu ke tempat yang jauh dan aman. Tempat di mana seorang pun tidak akan dapat menemukan mereka. Kedua matanya fokus ke depan dengan tatapan tajam. Sesekali ia menoleh pada Filistin yang tengah sesenggukan dan terus meluruhkan air mata.

"Kumohon berhentilah menangis. Tangisanmu mengganggu konsentrasiku."

"Kalau begitu hentikan saja mobilnya! Aku takut! Kau mengemudi terlalu kencang! Aku takut!"

Bert menghela napas berat. Ia langsung membelokkan mobilnya ke tepi jalan dan menginjak pedal rem dengan sekuat tenaga hingga membuat tubuhnya sedikit terhuyung ke depan. Kepalanya nyaris saja terbentur dashboard mobil.

Tubuh Filistin gemetar. Jantungnya seperti hampir copot. Ia tidak pernah naik mobil dengan kecepatan yang sangat tinggi seperti yang Bert lakukan tadi. Embusan napasnya tidak beraturan dan wajahnya memucat.

"Maafkan aku telah membuatmu ketakutan seperti ini."

Filistin mematung saat Bert meraih kedua tangannya dan meremasnya kuat. Matanya melebar saat Bert tiba-tiba mencium punggung tangannya dengan gerakan cepat. Reflek Filistin menampar pipi kanan Bert dengan sangat keras. Tangis gadis itu kembali pecah.

Bert tersentak seraya memegangi pipi kanannya yang lumayan perih.

"Astagfirullah! Kenapa kau melakukannya? Kau membuatku berdosa!" Filistin menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan. Ia sesenggukan seraya terus beristighfar dalam hati sebanyak-banyaknya.

Bert mengusap wajah seraya beristighfar. Barusan Bert spontan mencium tangan gadis itu dan bermaksud untuk menenangkan Filistin.

"Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud un--"

"Aku sangat kecewa padamu!"Filistin terisak. Ia mendongak, menatap Bert sangat tajam. Sepasang netra birunya memancarkan kekecewaan atas apa yang barusan Bert lakukan."Dan bagaimana bisa kau masih menyimpan semua foto-fotoku? Kau sudah melukai hati Kak Asima. Dia pasti sangat kecewa padamu. Semua gara-gara dirimu! Kau sangat ceroboh!"

Bert berdecak."Kau masih saja menyalahkanku atas semua ini? Benar-benar egois."

Filistin tergugu seraya meremas ujung hijabnya.

"Sudahlah, jangan menyesali apa yang sudah terjadi. Lalu sekarang apa yang kau ingin aku lakukan? Membujuk Asima dan berpura-pura lagi mencintainya?"Bert memiringkan senyum."Aku tidak mau."

Filistin semakin terisak. Ia tidak mengerti kenapa lelaki di depannya itu seolah tidak peduli dengan perasaan kakaknya.

"Seandainya dari awal, kau tidak menyuruhku untuk menikahinya, semua ini tidak akan terjadi. Asima tidak akan terluka seperti ini."

Filistin tersentak. Ia kehilangan kata-kata. Memang benar yang Bert katakan. Semua ini gara-gara dirinya. Filistin yang telah memaksa Bert untuk menikahi Asima. Kini Asima terluka gara-gara dirinya. Kakaknya sudah telanjur mencintai Bert, pasti saat ini hatinya sangat terluka. Semua gara-gara Filistin. Tapi, Filistin tidak bermaksud seperti itu. Ia tidak menyangka jika akhirnya akan seperti ini.

Bert menghela napas panjang melihat tangis Filistin kembali pecah. Ia mengerti perasaan Filistin. Pasti ia merasa sangat bersalah atas kejadian ini.

"Sudahlah jangan menangis lagi. Aku ada solusi untuk masalah ini." Bert berusaha menenangkan.

"Solusi?" Filistin mengangkat satu alisnya.

"Ikutlah bersamaku. Aku akan membawamu ke luar negeri. Kau tenang saja, aku akan mengurus semuanya. Kita akan melupakan semua kejadian ini. Kita akan memulai semuanya dari nol lagi."

Filistin melebarkan matanya, lalu menggeleng."Aku tidak mau. Itu bukan sebuah solusi."

"Tidak mau bagaimana? Ayolah, ini satu-satunya cara agar kita bisa bersama. Aku masih sangat mencintaimu dan kau pun masih sangat mencintaiku, bukan?"

Filistin menggeleng."Kau salah, aku sudah lama melupakanmu."

Bert terkekeh pelan, lalu menelisik iris sebiru samudera milik Filistin dengan dalam."Matamu tidak akan pernah bisa membohongiku, Filistin. Aku tahu, selama ini kau cemburu saat aku bersikap romantis pada Asima. Aku tahu kau selalu menangis."Bert menghela napas."Mulai sekarang semua itu tidak akan terjadi lagi. Keputusanku sudah bulat, Filistin. Aku akan tetap membawamu kabur keluar negeri."

Filistin menggeleng cepat hingga air matanya pun luhur semakin deras.

"Kita bisa menikah di luar negeri dan hidup bahagia. Dan setelah itu, kau bisa melanjutkan kuliah. Bukankah itu impian kita sejak dulu. Apa kau lupa?" Bert tersenyum sangat manis.

Filistin menggeleng."Kumohon jangan seperti ini, Bert. Sudahlah jangan berharap banyak. Kau dan aku tidak mungkin bersama lagi. Kak Asim-"

"ASIMA! ASIMA! ASIMA!"Bert mengusap wajah dengan kasar."Aku tidak peduli Asima! Aku tidak peduli si Kriting! Persetan dengan apa pun. Aku mencintaimu dan aku akan tetap membawamu keluar negeri. Berhentilah terus mengorbankan perasaanmu demi orang lain. Aku sudah lelah dengan semua ini, Filistin."

Bert sudah kehilangan kesabaran. Ia lantas kembali melajukan mobilnya tanpa menghiraukan rengekan Filistin. Bagaimana pun, Bert akan tetap membawa kabur Filistin jauh dari keluarganya. Bibir Bert menipis. Tatapan tajamnya lurus ke depan.

"Bert! Turunkan aku! Aku tidak mau! Aku mau pulang! Kak Asima! Kak Al Quds! Reda!"Filistin memukuli pintu mobil dengan sekuat tenaganya.

Ia tidak menyangka jika cinta sudah membutakan hati dan pikiran pria itu. Filistin tidak habis pikir Bert sampai hati punya pemikiran seperti itu. Filistin memang masih sangat mencintai Bert, tapi, bagaimanapun pemikiran Bert dan rencananya itu salah.

"Bert, hentikan mobilnya! Aku takut!"

Bert terkekeh pelan."Katakan dulu jika kau masih mencintaiku!"

Filistin menelan saliva. Tangannya sudah berkeringat dingin. Wajah gadis itu semakin pucat. Bert melajukan mobilnya seperti orang kesetanan.

"A-aku masih mencintaimu. Tapi bukankah cinta tidak harus memiliki? Kita harus mengikhlaskannya, Bert. Kita tidak ditakdirkan untuk bersama."

Bert melebarkan senyum. Gadis itu sudah mengakui cintanya saja sudah cukup bagi Bert untuk terus memperjuangkan cintanya. Ia tidak peduli dengan kalimat akhir yang Filistin ucapkan.

Bert terus melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi hingga membuat Filistin menjerit sejadi-jadinya seraya memukuli lengannya dengan sangat keras. Bert kehilangan keseimbangan dalam mengendalikan mobilnya hingga mobil sedan putih itu oleng dan menghantam beton pembatas jalan dengan sangat keras.

"AAAAAKKKHHH ...."

Suara benturan keras terdengar sangat mengerikan. Sebuah mobil sedan berwarna putih yang semula melaju kencang itu terguling di aspal hingga kini posisinya terbalik diselimuti kepulan asap.

***

Happy reading 😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro