Bab 34 | Penyesalan Bert

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Filistin ...."

Cahaya terang lampu rumah sakit menyambut indra penglihatannya kala pria itu membuka kedua matanya lebar-lebar. Kini Bert dapat melihat sosok wanita berbadan besar yang entah sejak kapan berdiri di sampingnya.

"Filistin ... Filistin ... bagaimana keadaan Filistin?"

Bert bangun dari tidurnya. Ia mengedarkan pandang pada ruangan serba putih itu. Seingatnya ia sedang naik mobil bersama Filistin sebelum kemalangan menimpa mereka. Bert merabai sekujur tubuhnya dari atas hingga ujung kaki.

Ia beralih menatap netra hitam Maria yang sendu. Wanita paruh baya itu sedari tadi terus terisak. Kedua pipinya dibanjiri air mata.

"Kenapa Ibu menangis? Aku tidak apa-apa, Bu. Di mana Filistin? Bagaimana keadaanya? Dia baik-baik saja, bukan? Aku ingin bertemu dengannya."

"Fi-Filistin ... di-dia meninggal di tempat saat kecelakaan itu terjadi," ungkap Maria seraya terisak.

Bert melebarkan matanya. Ia menggeleng cepat. Bert berharap ia salah mendengar. "Ti-tidak, Bu. Ku-kumohon jangan berkata seperti itu. Tidak mungkin! Filistin pasti baik-baik saja!"

"Filistin memang sudah meninggal. Kau harus mengikhlaskannya. Saat ini dia masih di kamar jenazah dan sebentar lagi akan dibawa pulang untuk dimakamkan."

"TI-TIDAK! TIDAK MUNGKIN! JANGAN BERBICARA SEPERTI ITU, BU!"

Bert menarik jarum infus yang menancap di punggung tangannya dengan kasar. Kemudian ia segera berlari menelusuri lorong rumah sakit. Bert mengabaikan teriakan Maria yang ikut mengejarnya. Ia harus melihat Filistin dan memastikan keadaan gadis itu baik-baik saja.

Sesampainya di depan kamar jenazah, Bert memegangi dadanya yang sesak. Jantungnya berdebar kencang. Di depan pintu ada Al Quds, Reda dan dua orang perawat yang sedang mendorong sebuah brankar.

Kedua tangan kekar Al Quds mengepal kuat. Tatapannya kental akan kebencian kala iris cokelat terangnya menangkap wajah pucat Bert. Ia mendekati Bert yang tengah mematung di tempat seraya memegangi kain putih yang menutupi jasad adik bungsunya.

Bert terhuyung saat Al Quds melayangkan tonjokan keras di rahang kanannya. Ia memegangi ujung bibirnya yang sedikit berdarah. Pria itu terkapar di lantai rumah sakit yang dingin. Ia tetap membeku saat Al Quds menindihi tubuhnya. Bahkan Bert tetap bergeming ketika Al Quds memukuli wajahnya dengan membabi-buta. Napas Bert tersekat kala tangan besar Al Quds mencekik lehernya dengan sangat kuat.

"Bajingan! Kau telah menyebabkan adikku meninggal! Aku bersumpah tidak akan pernah memaafkanmu di seumur hidupku! Kau sudah membunuh Filistin!"

Bert terbatuk-batuk setelah Al Quds menarik tangan dari lehernya. Lelaki itu berdiri. Kedua kakinya sangat lunglai. Bert menggeleng. Ia tidak ingin percaya dengan apa yang barusan Al Quds ucapkan. Ia menarik kain putih itu dengan tangan gemetar hingga terpampang jelas di pelupuk matanya wajah gadis yang sangat dicintainya itu. Wajah Filistin sangat pucat dan tubuhnya terbujur kaku. Bert melebarkan mata, lalu histeris. Ia menggeleng cepat hingga bening yang semula bergumul di pelupuk matanya tumpah deras.

"TIDAAAAAKK ...!"

Bert kembali terhuyung saat Al Quds menarik bajunya dengan sangat kasar kala ia hendak memeluk jasad Filistin. Bert sangat ingin memeluk Filistin untuk terakhir kalinya.

"Jangan sentuh adikku, Berengsek!"

Bert sangat ingin berlari mengejar Filistin yang dibawa Al Quds menjauh darinya. Namun, kedua kakinya sangat sulit untuk digerakkan. Tangisannya terdengar sangat menyayat hati.

"FIILIISTIIINNN!"

"Bert! Anakku! Kau sudah sadar, Nak?"

Maria berdiri dari duduknya dengan jantung berdebar. Ia menghampiri Bert, lalu menggenggam tangan putranya dengan erat. Bibirnya merekah diiringi linangan air mata di pipinya. Hatinya berbunga melihat Bert telah membuka kedua matanya. Sudah enam hari Bert terbaring koma. Maria sangat bersyukur Bert bisa melewati masa kritisnya secepat ini.

"Puji Tuhan, syukurlah kau sudah sadar. Aku sangat mengkhawatirkanmu."

Bert tetap mematung ketika Maria mengusap puncak kepalanya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Kesadaran Bert belum sepenuhnya pulih.

"Tunggu sebentar, Ibu akan memanggil Dokter." Maria menekan sebuah tombol otomatis yang akan menghubungkannya dengan perawat.

Ze'ef dan Amit yang tengah duduk di kursi depan ruang ICU menoleh pada daun pintu yang baru saja dibuka seseorang dari dalam.

"Bert sudah siuman!"seru Maria antusias.

Amit dan Ze'ef sontak berdiri. Kedua mata mereka berbinar mendengarnya.
Mereka bersyukur Bert bisa sadar, sebab sebelumnya dokter mengabarkan bahwa kemungkinan sangat kecil untuk Bert bisa bertahan. Bert mengalami luka serius di bagian kepalanya. Amit dan Ze'ef segera berjalan gontai memasuki ruangan.

Selang beberapa menit, dokter pun datang bersama seorang perawat untuk memeriksa keadaan Bert.

Bert masih membeku. Meskipun kedua matanya sudah terbuka sempurna, namun, tatapan pria itu kosong. Kain kasa melingkar di bagian kepala dan lengannya. Sebuah ventilator masih menutupi area hidung dan mulutnya. Kabel-kabel pun masih memenuhi bagian dada Bert.

Dokter pria berkepala plontos itu memeriksa detak jantung Bert dan bagian tubuh lainnya, lalu melihat ke arah monitor yang menampakkan grafik kinerja organ tubuh Bert dengan seksama.

"Ini sebuah mukjizat. Tuan Bert sudah berhasil melewati masa kritisnya bahakan dengan kurun waktu yang sangat cepat."

"Syukurlah." Maria tersenyum sumringah seraya merapal doa dalam hatinya.

"Jika keadaan dan kesadarannya sudah benar-benar pulih, Tuan Bert sudah bisa pulang." Dokter paruh baya itu tersenyum ramah. Tatapan iris hitamnya sangat teduh.

"Terimakasih banyak, Dokter," ujar Maria, Amit dan Ze'ef bersamaan.

Ze'ef menghela napas pelan setelah dokter dan perawat tadi meninggalkan ruangan. Ia mendekati ranjang Bert, lalu menatap sendu wajah sahabatnya itu. Ia tidak habis pikir dengan keegoisan Bert yang telah berani menculik Filistin hingga mereka mengalami kecelakaan seperti ini. Ze'ef berharap, musibah ini akan menyadarkan sahabat sekaligus rekan kerjanya itu.

Sementara tentara bertulang lunak itu tengah sibuk menyeka lelehan air matanya menggunakan tisu. Amit sangat terpukul dengan musibah yang menimpa Bert. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Bert jika ia tahu kalau Filistin telah tiada. Kedua alis tebalnya saling bertaut. Tiba-tiba Amit menemukan ide untuk ending cerita setelah sekian lama ia vakum menulis dan menggantung ceritanya.

"Sungguh menyedihkan. Malang sekali nasibmu, Bert." Amit menggeleng pelan.

"Bibi, aku harus segera kembali ke restoran. Jika ada sesuatu, kabari aku saja."

"Baiklah, Nak. Terimakasih banyak sudah menemani Bibi menunggu Bert. Kau pasti sangat lelah harus bolak-balik ke rumah sakit."

"Tidak masalah, Bi. Ini sudah kewajibanku. Bagaimanapun, Bert itu sahabatku. Bahkan aku sudah menganggapnya seperti saudara."

Maria tersenyum hangat sambil mengusap pundak Ze'ef, lalu mengantarnya ke depan pintu.

"Aku juga harus pulang, Bi. Besok pagi aku ditugaskan untuk ikut berperang ke Jalur Gaza."

Maria menggeleng saat Amit tersenyum lebar, lalu mengejar langkah gontai Ze'ef. Ia berharap Amit akan segera berhenti menjadi tentara.

Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore. Keadaan Bert sudah semakin membaik. Bert sudah mulai bisa menggerakkan anggota tubuhnya meskipun masih sangat lemas. Perlahan kinerja otaknya pun semakin optimal. Bert sudah mulai mengingat kejadian demi kejadian yang ia lalui sebelum kecelakaan itu terjadi. Bert mematung saat ia teringat akan mimpinya ketika masih koma.

"Fi-Filistin ... di mana Filistin. Bagaimana keadaannya? Apa dia juga dirawat di rumah sakit yang sama?"

Bert menelisik netra hitam Maria. Perasaannya tidak enak. Ia ketakutan dengan mimpi itu.

Maria membisu. Ia balas menatap Bert dengan sendu. Maria tidak tahu harus bagaimana untuk menyampaikan tentang Filistin pada Bert. Terlebih lagi, Bert baru saja bangun dari koma.

"Kenapa Ibu diam saja? Jangan membuatku penasaran? Filistin baik-baik saja, bukan?" Bert tersenyum manis, meskipun jantungnya berdebar-debar. "Fi-Filistin gadis yang kuat. Di-dia pasti bisa melewati keadaan seperti apapun."

Maria terisak seraya membekap mulut. Air matanya berjatuhan semakin deras. Dada wanita itu sangat sesak mengingat nasib Bert.

"Hei, Bu. Ke-kenapa kau justru menangis? Kau belum menjawab pertanyaanku. Di mana Filistin?"

Bert menggeram pelan. Kesabarannya nyaris hilang melihat Maria semakin terisak dan tetap bungkam. Ia sangat menghawatirkan keadaan Filistin.

"Di mana Filistin?" gertak Bert penuh penekanan di setiap kalimatnya.

Maria menyeka air matanya. Ia menghela napas panjang sebelum berucap, "Fi-Filistin sudah meninggal. Di-dia meninggal di perjalanan saat hendak dibawa ke rumah sakit." Maria membekap mulut.

Kedua mata Bert melebar sempurna. Ia pasti salah mendengar. "Tidak mungkin. Filistin tidak mungkin me-meninggal!" Bert mencengkeram kuat tangan Maria, menatapnya dengan tajam. "Kau jangan berbohong! Katakan yang sebenarnya di mana Filistin, Bu?"

Tangisan Maria semakin pecah. Ia menggeleng. "I-Ibu tidak berbohong, Nak. Fi-Filistin memang sudah pergi. Kau harus kuat dan mengikhlaskannya."

Bert menggeleng cepat hingga bening hangat yang memenuhi retina matanya berjatuhan banyak. Ia mencubit tangannya dan berharap semua ini hanya mimpi seperti mimpi yang ia alami sebelum tersadar dari koma. Namun, lelaki itu meringis kesakitan saat ia sengaja mencabut jarum infus yang menancap di punggung tangannya hingga berdarah. Bert terisak karena sadar jika semua ini bukanlah mimpi.

"TIDAK ...! FIILIISTIIINNN ...."

Bert menangis sejadi-jadinya seraya terus memukuli dirinya sendiri.

Maria segera memanggil dokter. Wanita itu mundur beberapa langkah saat dokter dan perawat sudah datang. Maria terus merapal doa dalam hatinya seraya terisak. Hingga akhirnya ia bisa bernapas lega setelah dokter berhasil menyuntikkan obat penenang pada Bert.

***

Tiga hari berlalu begitu cepat. Keadaan fisik Bert sudah membaik. Namun, tidak dengan kondisi hati dan pikirannya. Pria itu seringkali histeris dan mencoba untuk menyakiti dirinya sendiri ketika ia teringat akan kematian Filistin. Bert mengutuk keegoisannya selama ini. Kata menyesal saja sepertinya tidak cukup untuk mewakili bagaimana perasaan Bert sangat kehilangan gadis itu. Bahkan Bert tidak diberi kesempatan untuk melihat wajah gadis itu untuk terakhir kalinya.

"Assalamualaikum." Bert mengetuk pelan pintu papan gua itu. Kedua kakinya sangat lunglai. Namun, sekuat tenaga ia mencoba untuk tetap berdiri.

"Waalaikumsalam." Suara lembut Asima terdengar dari dalam gua.

Setelah pintu papan itu terbuka lebar, Asima mematung di tempat. Ia terpaku melihat tatapan Bert yang sangat sendu dan berkaca-kaca. Asima bersyukur Bert bisa melewati masa kritisnya dan bisa sembuh seperti semula. Bagaimanapun, lelaki itu masih sah sebagai suaminya dan Asima masih sangat mencintainya.

"Untuk apa lagi kau datang ke sini?"

Suara lantang Al Quds yang baru saja tiba dari pasar membuat Asima dan Bert menoleh ke sumber suara.

"Dasar, Bajingan! Kau sudah membuat adikku meninggal! Kenapa bukan kau saja yang mati?" Tangan besar Al Quds tertahan di udara saat hendak melayangkan sebuah pukulan pada Bert.

Asima merentangkan kedua tangannya seraya terisak. "Kumohon jangan pukul dia! Kasihan Bert, dia baru saja sembuh!"

Al Quds mengepal kuat. Dadanya naik turun menahan emosinya yang kian memuncak. Kalau saja bukan karena Asima, Al Quds sudah sangat ingin menghabisi Bert si pecundang itu. Al Quds terus beristighfar untuk meredam amarahnya. Al Quds sadar jika hanya Sang Khalik lah yang pantas memberikan hukuman pada pria itu. Al Quds sebenarnya sangat tidak ingin melihat batang hidung Bert lagi di seumur hidupnya. Sampai detik ini, Al Quds masih belum bisa berdamai dengan kenyataan.

"A-aku minta maaf. Ini semua memang salahku." Suara Bert sangat parau. "Kalian semua boleh membenciku. Bahkan tidak masalah jika kau ingin menghabisiku. Aku ikhlas." Bert menatap mata merah Al Quds. "Tapi, sebelum itu ... kumohon izinkan aku untuk melihat ku-kuburan Filistin."

Al Quds menyeka kasar sebulir bening yang terbit dari sudut matanya. Dadanya sangat sesak mengingat Filistin dan kecelakaan itu. Ia kehilangan kata-kata.

"Aku akan mengantarmu menemui Filistin." Asima menatap Al Quds, wajahnya memelas. Kemudian ia menarik tangan Bert melewati Al Quds yang mematung di tempat.

Sedari tadi Reda melihat semuanya, ia menghela napas panjang. Reda menyeka air matanya menggunakan punggung tangan, lalu berjalan menghampiri Al Quds yang masih mematung di luar. Reda menyuruh Al Quds untuk masuk.

***

Setelah berjalan kaki cukup jauh dari gua, Asima dan Bert sudah sampai di tempat peristirahatan terakhir Filistin. Gadis itu dimakamkan bersisian dengan pusara ayah dan ibunya. Pemakaman itu berada di bawah kaki bukit, di Hebron.

Kedua kaki Bert sangat berat untuk melangkah. Namun, ia memaksakan kakinya untuk bergerak tiga langkah lagi untuk sampai di pusara Filistin.

"Di sini makam Filistin. Di sebelahnya adalah makam Ayah dan Ibuku," ujar Asima parau. Ia merangkul tangan Bert dan membantunya duduk di samping makam Filistin. Kemudian ia segera berdiri, lalu pergi menjauh dari Bert. Asima ingin memberikan waktu untuk Bert menyendiri.

Asima sudah mengetahui kisah cinta Bert dan Filistin dari Al Quds dan Reda. Dia sangat menyesal telah marah pada Filistin waktu itu. Padahal Filistin sudah banyak berkorban untuk kebahagiaannya. Semenjak kematian Filistin, Asima tak henti-hentinya menangis. Ia merasa sangat bersalah pada Filistin dan belum sempat meminta maaf pada adiknya.

Bert mengusap batu nisan yang bertuliskan nama Filistin bin Qasim. Hatinya bergemuruh. Ia tidak menyangka Filistin akan meninggalkannya secepat itu. Semua itu karena dirinya. Andai saja ia bisa mengulang waktu, Bert akan mendengarkan perkataan Filistin.

Bert memeluk batu nisan Filistin sangat erat. Bahunya berguncang. Dadanya sangat sesak. Pria itu tidak dapat menahan air matanya untuk tidak tumpah.

"Ma-maafkan aku. Ini semua salahku. Kenapa kau pergi begitu cepat?" Bert mengusap wajah basahnya. "Aku sangat mencintaimu." Bert tersenyum manis. Namun, air matanya mengalir semakin deras menuruni rahangnya yang tegas. "Kau cinta pertama dan cinta terakhirku. Kau akan selalu hidup dalam hatiku selamanya, Filistin."

Tubuh Bert ambruk memeluk tanah merah yang mengubur gadis yang sangat dicintainya itu. Bert tidak sanggup menahan perih di hatinya. Kepergian Filistin sudah membawa separuh jiwanya. Bert masih berharap jika semua ini hanyalah mimpi buruk.

"KENAPA KAU TEGA MENINGGALKANKU? SEHARUSNYA KITA BISA BERSAMA! AKU SANGAT MENCINTAIMU! AKU TIDAK BISA HIDUP TANPAMU, FIILIISTIIINNN ...." Bert menjerit sejadi-jadinya. Ia memeluk erat gundukan tanah merah itu. Bahkan Bert berulang kali menciumi dan membenamkan wajahnya di sana.

Lagi dan lagi Bert mengutuk takdirnya. Ia tidak habis pikir kenapa Sang Khalik sangat tidak adil padanya. Bert tidak pernah menemukan kebahagiaan di seumur hidupnya selain bersama Filistin. Gadis polos itu yang telah mengubah dan memberikan warna pada dunianya. Filistin, gadis bermata sebiru samudera yang sangat jernih ... kini gadis itu telah pergi untuk selamanya. Bert tidak akan pernah bisa melihat wajah cantiknya lagi.

"Ke-kenapa kau pergi tanpa pamit? Ke-kenapa kau tidak mau menungguku untuk sadar terlebih dahulu? A-aku sangat merindukanmu."

"AAAAAKKKHHH! FILISTIN ...."

Tangisan Bert terdengar sangat pilu. Asima tidak sanggup melihatnya. Sebesar itu kah rasa cinta Bert pada Filistin? Asima sangat menyesal karena terlambat mengetahui semuanya.  Ia merasa sangat bersalah karena telah menjadi penghalang cinta Bert dan Filistin. Asima menyeka air mata di pipinya, lalu ia berjalan gamang menghampiri Bert dan duduk di sampingnya.

Bert menggigit bibir untuk menahan Isak yang ingin meledak dari mulutnya. Bahunya berguncang hebat saat tangan Asima mengusapnya pelan.

"I-ini semua salahku! Aku yang sudah membuatnya meninggal! Aku sudah membunuh Filistin! Aku sudah membunuh cintaku! A-aku ...." Suara Bert nyaris hilang. "Aku ingin mati saja menyusul Filistin."

Asima menggeleng. "Astagfirullah. Ini bukan salahmu. Semua ini sudah ketentuan Allah. Kau tidak boleh berkata seperti itu lagi. Semua yang terjadi di dunia ini adalah takdir dari Allah. Kita harus ikhlas dan sabar dalam menghadapi semua cobaan dari-Nya."

Hati Bert sedikit tenang saat Asima menepuk-nepuk pundaknya dengan lembut. Memang benar semua yang Asima ucapkan. Namun, hati Bert terlalu rapuh dan tidak akan bisa secepat itu menerima kenyataan.

"Kita doakan saja Filistin. Semoga dia tenang di sisi-Nya. Suatu saat nanti, kita juga akan menyusulnya."

Bert menyeka wajahnya yang basah. Ia mengangguk pelan. Ia menatap dalam wajah Asima yang sangat putih bercahaya.

"Asima ..., aku minta maaf karena selama ini aku telah membohongimu tentang perasaanku. Aku benar-benar minta maaf." Suara Bert terdengar berat dan sedikit serak.

Asima tersenyum manis, meskipun dadanya sangat perih. Sepasang iris birunya tenggelam oleh air mata. "Sebelum kau meminta maaf, aku sudah memaafkanmu. Aku sudah mengikhlaskan semuanya. Tapi, aku punya satu permintaan untukmu."

"Permintaan? Apa itu?"

"Kumohon, ceraikan aku," pinta Asima dengan tegas.

***

Bismillah sebentar lagi tamat. Semoga bisa lancar nulisnya dan lancar idenya 🤲♥️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro