Bab 1 | Takdir Belum Berpihak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aisyah melipat sajadah biru yang semula tergelar sempurna di depan gerbang pelataran Masjid Al-Aqsa. Ia dan beberapa warga Palestina lainnya baru saja menunaikan salat duha. Mereka melakukan setiap gerakan salat dengan begitu tenang dan khusuk, walaupun puluhan polisi Israel mengintai dengan senjata lengkap yang siap menembak siapa pun yang menentang peraturan mereka.

Tak peduli jika para malikat akan sibuk memunguti doanya, lantunan doa-doa tulus terus terlontar dari bibir perempuan rapuh itu. Aisyah meminta agar Sang Khaliq memenangkan Palestina. Aisyah ingin para warga Palestina bisa leluasa beribadah dalam Masjid Al-Aqsa tanpa harus dijaga ketat layaknya seorang teroris seperti ini.

Ia juga meminta keteguhan hatinya agar semakin dikuatkan. Aisyah memohon pada Tuhan agar diberi ketabahan dari musibah yang merundungnya dua bulan silam.

Aisyah tengah mengandung seorang janin berdarah Yahudi. Seorang perwira Israel telah merenggut kesuciannya dengan paksa. Sampai kapan pun, Aisyah tidak akan melupakan wajah tegas dan sepasang mata elang beriris cokelat terang milik lelaki itu.

Pada saat itu, Aisyah dan beberapa gadis Gaza terlibat bentrokkan dengan sejumlah tentara Israel di Tepi Barat. Mereka ditangkap, kemudian diboyong dan dijebloskan ke dalam penjara dengan sangat sadis.

Padahal para mahasiswi itu hanya ingin meminta hak dan keadilan bagi warga Palestina. Namun, Aisyah tidak menyangka jika aksi demonya justru membuatnya terjerumus ke penjara dan mendapatkan pelecehan sekusal yang sangat keji dan hina. Bukan hanya Aisyah, para gadis Gaza yang lain pun kerap disiksa dan dirampas kesuciannya begitu saja.

Aisyah mendesis. Sumpah serapah bergulir dari bibirnya yang bergetar akibat sesak yang menghunjam dadanya terlalu hebat. Kristal bening yang semula memenuhi sepasang netra hazelnya pun lolos menuruni pipinya dengan sangat deras.

"Semoga Allah membalas semua perbuatanmu. Semoga Allah mengazabmu!"

Aisyah mengusap wajah basahnya dengan kasar. Kemudian ia berdiri dari duduknya dan berjalan lamban menuruni undakan tangga yang terbuat dari bebatuan putih.

Ia mengabaikan tatapan sinis dari para polisi Israel yang terhunus padanya. Aisyah membenahi kerudung hitamnya dan kembali mengayunkan kakinya lebih gontai.

****

Seorang lelaki berbadan kekar tampak celingukan di antara orang-orang yang berlalu-lalang di sekitarnya. Sepasang mata elangnya menyisir setiap sudut pelataran Masjid Al-Aqsa dengan awas. Namun yang ia temukan hanya beberapa polisi Israel yang sedang berdebat dengan para pemuda Gaza di dekat sebuah pohon zaitun yang rindang.

Sudah sekitar dua bulan Aaron melakukan hal yang serupa di sana. Terkadang ia juga berkeliling komplek Masjid Al-Aqsa hanya demi mencari seorang perempuan.

Lepaskan aku! Ku--kumohon jangan lakukan itu padaku! To--tolong! Kumohon JANGAAAAANN!

Jeritan memilukan gadis itu terus terngiang di telinga dan pikirannya. Wajah basah dengan raut ketakutan gadis itu pun kerap kali menghantui mimpinya dan membuatnya tidak tenang.

Sebagai seorang Letnan dari pasukan pengintai elit Mistaravim, tentunya Aaron memiliki peran besar dalam operasi militer untuk melumpuhkan sebagian titik di Jalur Gaza. Lelaki berusia dua puluh tujuh tahun itu sudah banyak membunuh. Namun, mengambil kesucian seorang gadis adalah dosa terbesar yang hina baginya.

Aaron mengutuk kebodohan dirinya yang telah lancang menodai seorang gadis Gaza. Pada malam itu dirinya memang berada di bawah kendali minuman keras berdosis tinggi.

Aaron mendesah berulang kali. Seragam perwiranya tampak sudah lusuh dan basah oleh peluh yang telah membanjiri tubuhnya.

"Aisyah."

Hanya sebuah nama yang menjadi modalnya dalam pencariannya selama ini. Nama itu ia ketahui dari gadis Gaza yang saat itu berulang kali memanggil Aisyah yang Aaron gendong secara paksa.

"Ke mana lagi aku harus mencarimu? Aku hanya ingin memastikan keadaanmu. Jika kau hamil, aku berjanji akan bertanggung jawab."

Gumaman yang meluncur dari bibirnya terdengar sangat lirih. Tersirat harapan besar dari sorot mata elangnya yang tajam.

Persetan dengan ayahnya yang merupakan seorang pendeta Yahudi dan sangat membenci hal apa pun yang berbau Palestina, Aaron akan tetap mencari Aisyah.

Ia sudah menyuruh beberapa anak buahnya yang bertugas di pos-pos penjagaan Israel yang berada di perbatasan Gaza untuk mencari Aisyah. Aaron menyuruh mereka untuk menanyai setiap gadis yang memasuki pos mereka. Akan tetapi, hingga detik ini upayanya belum membuahkan hasil sama sekali.

"Di mana pun dirimu, aku akan mencarimu meski ke ujung dunia sekalipun."

Bunyi ponsel yang berdering memecah gundah yang menggelayuti hatinya. Aaron segera meraih benda pipih itu dari celana hijau yang ia kenakan.

Seorang gadis berpakaian gamis hitam melintas di sebelahnya. Gadis beriris hazel itu semakin menguatkan dekapannya pada Mushaf yang ia letakkan di depan dada. Aisyah menghela napas berulang kali dan mengembuskannya secara perlahan. Ia tidak mengerti kenapa degup jantungnya meletup-letup seperti itu.

Aisyah dan Aaron saling memunggungi. Jarak mereka hanya sekitar lima jengkal saja. Lelaki itu menatap punggung Aisyah dengan ponsel yang menempel di telinganya. Ketika Aisyah berbalik, Aaron justru berbalik ke lain arah saat seorang polisi Israel memanggil namanya dengan sangat lantang.

"Le--Letnan!"

Kerutan dalam tercetak jelas di kening Aaron. Lelaki itu sudah mengakhiri panggilan dari ayahnya di seberang sana.

"Ada apa denganmu?"

"A--aku bertemu dengan gadis itu. Dia ada di sini."

"A--aisyah? Dia ada di sini? Bagaimana wajahnya? Apa kau yakin dia Aisyah?"

Dada perwira polisi itu naik turun seiring embusan napasnya yang liar. Peluh mengucur deras dari pelipisnya hingga turun membasahi rambut halus di sekitar rahangnya.

"Dia memiliki garis wajah yang persis dengan ciri-ciri yang kau sebutkan waktu itu. Sepasang mata hazel, pipi tirus, kulit putih dan---"

"Di Gaza, gadis bermata hazel bukan hanya Aisyah. Apa kau mengambil gambar gadis itu?"

Polisi Israel bernama Abey itu menepuk jidatnya dengan sangat keras.

"Astaga! Aku sungguh tidak punya pikiran ke sana. Saat melihatnya, aku langsung berusaha mengejarnya dan aku justru bertemu denganmu di sini."

Abey tersenyum kaku saat Sang Letnan melempar tatapan sinis sambil mendesis ke arahnya.

"Bodoh! Aku tidak mengerti bagaimana seorang yang tidak memiliki akal sepertimu bisa menjadi seorang Polisi? Sangat memalukan."

Embusan napas kasar keluar dari bibir tipisnya. Aaron memijat pelipisnya dengan sangat kencang. Aaron melenggang pergi begitu saja, ia tidak ingin emosinya semakin memuncak menghadapi teman yang tidak bergunanya itu. Aaron lagi-lagi harus menelan kekecewaannya.

****

Letnan Aaron

😁 Maafkan aku yang berpaling ke cerita ini. The Smile Killer lagi buntu ide. Semoga cepat mendapat hidayah untuk melanjutkannya. Terima kasih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro