Bab 2 | Desa Syaima, Beit Lahiya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aisyah berjalan lamban menyusuri jalan setapak menuju hamparan perkebunan stroberi milik paman Salim. Pagi itu udara sangat sejuk dan masih berembun, bau tanah basah pun tercium sangat lembut. Buah-buah stroberi yang ranum berukuran besar menyembul di antara hijau daun basah yang rimbun.

Semenjak insiden waktu itu, Aisyah kehilangan kepercayaan dirinya. Aisyah memutuskan untuk cuti kuliah dan akan melanjutkannya setelah ia melahirkan. Saat ini usia kandungannya sudah genap dua bulan.

Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaga janinnya hingga lahir. Tak peduli siapa ayah dari anak itu, Aisyah akan tetap membesarkannya. Aisyah berharap kelak anaknya akan menjadi orang kuat yang akan membela Palestina, meskipun ia berdarah Yahudi.

"Aisyah, seharusnya kau istirahat saja dan tidak usah ikut memanen buah stroberi denganku."

"Tidak apa-apa, Bi. Aku ingin membantumu. Aku justru sangat jenuh jika harus berdiam diri saja di rumah."

Sejujurnya Aisyah merasa tidak tenang jika tinggal di rumah sendirian. Akhir-akhir ini Aisyah merasa ada yang memata-matainya. Terlebih lagi setiap kali dirinya memasuki pos penjagaan Israel, Aisyah merasa tak tenang ketika dirinya harus diperiksa secara detil. Bahkan saat tadi ia hendak menuju kebun pun, Aisyah merasa ada orang yang membuntutinya.

Wanita paruh baya berhijab hitam itu hanya mampu menggeleng. Tatapan hangat terpancar dari sepasang netra kelabunya. Ia menaruh keranjang yang dipenuhi buah stroberi yang baru saja dipetiknya ke tanah. Kemudian ia berdiri dan mengusap punggung Aisyah dengan lembut.

"Ya sudah kalau begitu, pelan-pelan jalannya. Aku tidak ingin kau terpeleset. Kehamilanmu masih sangat muda, aku sangat khawatir."

Aisyah mengangguk. "Aku akan baik-baik saja, Bi. Kau tenanglah."

Helaan napas panjang berembus dari bibir penuhnya yang ranum. Aisyah mengedarkan pandangan ke sekitar kebun.

"Di mana Paman Salim?"

"Pamanmu sedang pergi ke Posko Bantuan untuk mengambil selimut. Hari ini para relawan dari ETC sedang membagikan jaket dan juga selimut." Rauda mengulas senyum manis.

"MasyaAllah, semoga Allah senantiasa membalas dan meridhoi warga Indonesia dengan keberkahan."

"Amiin."

Pemblokadean Israel terhadap Palestina, membuat para penduduk sipil di Jalur Gaza terpaksa harus menjalani hidup di bawah garis kemiskinan. Pasokan listrik yang dibatas hanya dua jam per hari, banyaknya angka penganguran dan terkadang mereka harus meminum air yang sudah terkontiminasi limbah.

Di puncak musim dingin seperti ini, Aisyah dan warga Gaza lainnya sangat membutuhkan selimut untuk menghangatkan tubuh mereka. Sebagian besar warga sipil tidur di rumah-rumah mereka yang sudah tidak utuh akibat hujan rudal dan bom yang selalu dikirim para tentara Israel. Sebagian mereka bahkan tidur beralaskan tikar di tenda-tenda pengungsian. Namun mereka tetap bersyukur karena begitu banyak aktivis kemanusiaan dari berbagai belahan dunia yang selalu mengulurkan bantuan logistik dan pangan.

Ayah Aisyah yang merupakan seorang pejuang Hamas telah sayhid di medan perang saat usia Aisyah masih sepuluh tahun. Sedangakan ibu dan kedua adik kembarnya syahid akibat ledakan bom yang menghantam rumah mereka lima tahun silam.

Dada Aisyah sangat sesak, seolah ada beban berat yang runtuh menghunjam dadanya. Aisyah segera menghapus butiran kristal bening yang lolos dari ujung matanya. Ia tidak ingin Rauda sampai melihatnya menangis. Aisyah harus terlihat tegar.

Ia sudah kehilangan semua keluarganya, bahkan sekarang ... kesucian dan kehormatannya pun telah direnggut paksa oleh perwira Israel itu. Aisyah mengutuk pria yang telah menodainya dan menanamkan benih di rahimnya. Ia bersumpah tidak akan pernah memaafkan pria biadab itu. Aisyah bersumpah.

Selama ini Aisyah tinggal bersama Salim dan Rauda yang juga sudah kehilangan putranya akibat kebrutalan perang di perbatasan. Mereka hidup serba kekurangan. Kebun stroberi yang luasnya tidak seberapa itu menjadi satu-satunya ladang usaha Salim selama ini. Itu pun hasil penjualannya tidak seberapa karena stroberi-stroberi tersebut hanya bisa dijual di pasar lokal.

Aisyah bisa mengeyam pendidikan di bangku kuliah semua karena beasiswa. Akan tetapi untuk memenuhi kebutuhan kuliah lainnya ia sambil bekerja di sebuah ruko kelontong yang kini telah rata dengan tanah akibat ledakan semalam.

****

"Kau serius? Kau akan menyamar hanya untuk mencari perempuan Gaza itu?"

Bert terkekeh-kekeh. Ia melempar tatapan iba pada sahabat sekaligus atasannya tersebut.

"Ayolah, di mana harga dirimu sebagai seorang Letnan Mistaravim yang mendunia? Sungguh gila, hanya karena cinta kau bisa senekat itu?"

Aaron medesis. Sorot mata elangnya terlihat berang namun kental akan kehampaan. Ia berdiri dari duduknya dan melempar tatapan sinis tepat pada sepasang iris hitam milik Bert yang menyebalkan.

"Semua ini gara-gara dirimu! Andai saja waktu itu, kau tidak mengajakku ke penjara, masalah ini tidak akan terjadi. Hampir setiap malam Aisyah selalu menghantui mimpiku dengan tangisan memilukannya dan nyaris membuatku gila! Aku hanya ingin memastikan keadaanya baik-baik saja, atau tidak. Aku ingin tahu apakah dia ... hamil?"

Bert berdecih. Kekuatan cinta memang lebih dahsyat dari segalanya. Bahkan bisa meruntuhkan harga diri seorang Letnan yang terkenal keras seperti Aaron. Padahal memperkosa gadis Gaza bukanlah sebuah masalah besar, Bert bahkan sering melakukannya. Pria berambut hitam ikal itu tidak habis pikir dengan keputusan Aaron.

Aaron kembali menempelkan bokongnya pada sofa tunggal di pojok kamarnya yang bernuansa putih. Kepalan kedua tangannya semakin menguat. Bahkan sesekali Aaron mengusap wajah tegasnya dengan kasar.

Demi Tuhan, Aaron sangat menghawatirkan keadaan Aisyah. Hidupnya tidak akan pernah tenang sebelum ia menemukannya dan meminta maaf pada Aisyah. Akhir-akhir ini pertarungan sengit antara pejuang Hamas dan IDF semakin liar dan membabi buta. Aaron takut jika hal buruk menimpa Aisyah.

"Aku harus menemukan Aisyah bagaimanapun caranya."

"Kalau begitu, aku mendukungmu. Itu berarti kau akan mengambil cuti?"

"Sepertinya begitu. Kuharap keberuntungan akan berpihak padaku dan aku bisa menemukannya."

Sebagai Letnan dari Pasukan Khusus IDF yang sudah sangat terlatih, menyamar bukalah hal yang sulit untuk Aaron lakukan. Pria tinggi itu bahkan sudah banyak mendapat penghargaan karena selalu sukses memimpin anak buahnya dalam menjalankan berbagai operasi militer di Jalur Gaza dan negara-negara Timur Tengah lainnya.

Para prajurit Unit Mistaravim memang memiliki tugas khusus yang berbeda dengan unit-unit IDF lainnya. Unit ini akan terjun langsung dan membaur dengan lingkungan target. Mereka dilatih berbicara bahasa Arab, hingga ke dialek dan aksen di tempat mereka beroperasi.

Para perwira Mistaravim bahkan menjalani praktik ibadah, seperti salat dan puasa, serta memiliki pengetahuan yang tepat mengenai agama Islam sehingga penyamaran mereka benar-benar sempurna. Hingga masa yang tepat tiba, maka mereka akan membuat kekacauan dan kehancuran sesuai dengan apa yang ditugaskan oleh negara.

"LETNAN!"

Bert dan Aaron serempak menoleh ke ambang pintu kamar yang terbuka lebar.

Di sana tampak berdiri seorang pria berpakaian polisi Israel. Abey memegangi kedua lututnya. Napasnya berembus liar dengan peluh yang membanjiri wajahnya.

"Temanku di Perbatasan baru saja mem--memberitahuku tentang A--Aisyah!"

"Benarkah?"

Wajah Aaron yang semula layu kini kembali cerah, bahkan secerah mentari pagi. Dadanya bergemuruh dengan kedua bola mata yang berbinar-binar. Langkah kakinya yang panjang dan tegas membawa tubuh kekarnya ke hadapan Abey.

Bibir tipisnya yang merah tak lelah merekah saat Abey menceritakan secara detil tentang Aisyah. Bahkan hatinya berbunga ketika polisi Israel itu menunjukkan gambar Aisyah di ponselnya.

"Desa Syaima, Beit Lahiya. Aisyah tinggal di sana!"

Sepasang mata elang beriris cokelat terangnya semakin menajam kental dengan kepastian. Kali ini ia akan terjun langsung ke Jalur Gaza bukan untuk menjalankan misi dan tugas negara, namun untuk menjalankan misi hatinya, pencarian cintanya.

"Aku akan menemukanmu, Aisyah."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro