Bab 3 | Pria Asing

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pasar itu terletak di sebuah lapangan luas, di Beit Lahiya, Gaza Utara. Terdapat spanduk besar menggantung di atas tiang yang bertuliskan 'PASAR GRATIS DARI INDONESIA UNTUK GAZA'. Riuh rendah ucapan syukur serta doa-doa bergulir dari bibir para penduduk sipil yang membanjiri pasar. Wajah mereka terlihat cerah dengan senyum merekah dan mata berkaca-kaca. Hati mereka menghangat atas kebaikan warga Indonesia yang senantiasa memenuhi kebutuhan mereka dari berbagai sektor. Mulai dari bahan pangan, kesehatan dan juga pendidikan.

Ratusan karung beras, minyak goreng, makaroni, tepung gandum, gula dan bahan sembako lainnya sudah tersusun rapi di beberapa meja panjang yang berjajar. Di sana juga tersedia daging, sayur-sayuran, dan buah-buahan yang bebas untuk dipilih secara percuma. Sayur dan buah-buahan tersebut sengaja dibeli dari para petani Gaza dan dibagikan untuk warga Gaza yang membutuhkan.

"Ibu, ibu ..., apakah nanti malam kau akan memasak daging untukku?"

"Iya, Sayang. Nanti malam aku akan memasak daging yang lezat untukmu."

"Alhamdulillah! Akhirnya aku akan makan daging!"

Aisyah tertegun melihat seorang bocah laki-laki yang tampak sangat girang dengan cengiran manis yang menghiasi bibir mungilnya. Baju bocah laki-laki itu sangat lusuh dan sedikit goyak di bagian ujungnya. Dia menarik-narik lengan ibunya yang sedang memesan daging pada aktivis Indonesia di seberang sana.

"Sungguh mulianya hati kalian yang sudah selalu membantu kami dan membuat anak-anak Gaza tersenyum. Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian."

Aisyah tersenyum tipis. Dadanya bergemuruh. Sebulir kristal bening lolos dari sudut matanya. Ia jadi tidak sabar ingin segera menggendong bayinya. Meskipun kelak anaknya akan terlahir di tengah carut marut penjajahan Zionis yang entah kapan akan berakhir.

Lagi-lagi hati Aisyah mendadak perih kala harus menelan  kenyataan pahit bahwa anak yang dikandungnya adalah anak seorang tentara Zionis yang menjadi sebab saudara-saudaranya di Gaza sengsara seperti ini.

Aisyah menghela napas berat. Dia mengeratkan pegangannya pada keranjang bambu yang dipenuhi buah stroberi. Lalu ia segera menyeret kakinya lebih gontai menyusul Rauda dan Salim yang sudah sampai di depan sebuah meja yang dipenuhi buah-buahan. Mereka sengaja membawa beberapa kilo stroberi hasil panen untuk dibagikan dengan warga lain.

"Kau taruh saja keranjangnya di sini, biarkan Paman dan Bibi yang menyusunnya. Kau beristirahatlah."

Salim mengambil alih keranjang stroberi yang Aisyah pikul. Kemudian Salim membiarkan Rauda memindahkan dan menyusun satu per satu buah-buah stroberi yang ranum dan segar itu ke atas nampah besar yang tersedia.

"Aku sama sekali tidak lelah, Paman. Kalau begitu aku pergi untuk mengambil beberapa sayuran."

"Ya sudah, jangan mengambil terlalu banyak, kami tidak ingin kau keberatan," seru Rauda.

Aisyah mengangguk, kemudian memutar badan dan berjalan lamban menuju meja panjang yang dipenuhi sayur-sayuran hijau dan segar di pojok lapangan. Sepasang bola matanya menyisir lapangan luas yang dipenuhi warga Gaza tersebut. Sedari tadi perasaanya tidak tenang, Aisyah merasa ada yang mengawasi gerak-geriknya. Aisyah mengelus dadanya yang berdebar-debar. Lantunan dzikir serta salawat tak henti-hentinya Aisyah rapalkan dalam hati.

Sesampainya Aisyah di tempat sayuran, ia begitu gesit memilih kacang full yang terlihat hijau dan masih segar. Ia juga mengambil beberapa buah tomat, terung ungu. Aisyah memasukkannya satu per satu ke dalam kantung pelastik putih yang dijinjingnya.

Aisyah menoleh ke samping kanannya kala seseorang datang dan sepertinya hendak mengambil sayuran. Sepasang iris hazelnya sontak membola kala tatapannya beradu dengan sepasang mata elang tajam yang sangat familier baginya.

Garis wajah pemuda itu mengingatkannya pada perwira Israel yang telah menodai kesuciannya. Akan tetapi, pria di depannya memiliki rahang tegas yang ditumbuhi rambut halus serta janggut dan kumis yang tersusun sangat rapi. Sangat berbeda dengan wajah tentara Isrel itu yang mulus. Pria di depannya juga beriris hijau terang, bukan beriris cokelat terang seperti tentara terkutuk itu. Penampilannya terlihat seperti pemuda Gaza pada umumnya dengan syal bercorak hitam putih yang melingkar di lehernya.

Aisyah berkedip. Ia mengutuk pria bejad itu yang tak henti-hentinya menghantui setiap langkahnya. Aisyah harus membuang jauh-jauh ingatan tentang perwira Israel itu. Ia harus meningkatkan ketakwaannya pada Sang Khaliq.

"Asalamualaikum."

Bola mata Aisyah semakin melebar saat suara berat yang baru saja menyapanya dengan salam menyusup ke telinganya. Suara itu ... suara yang sangat dibencinya.

"JANGANNN! KUMOHON JANGAN BAWA AKU!"

Aisyah memekik dalam gendongan seorang perwira Israel berbadan kekar itu. Gadis itu memukuli punggung Aaron dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya. Sekujur tubuhnya sangat lunglai karena semenjak dia dan teman-temannya ditangkap selama dua hari, perutnya belum terisi makanan dan minuman barang sedikit pun.

"Lepaskan aku!" teriaknya sangat payah.

Air matanya berjatuhan menuruni pipinya dengan sangat deras, hingga membasahi baju perwira Israel yang memikulnya. Aisyah melambaikan tangannya yang sangat lemas pada sahabatnya dan para gadis Gaza lain yang sedang meringkuk, menatap iba padanya dengan raut wajah pucat. Mereka semua meneriakkan nama Aisyah.

"NOURAAA! NOURAAA, TOLONG AKUUUU! NOURAAAA!!!"

Aaron tersenyum kecut. Ia semakin menguatkan gendongannya, lalu menyeret kaki panjanganya lebih gontai lagi. Pukulan pada pundaknya yang bertubi-tubi sama sekali tidak berasa apa-apa baginya.

"Turunkan aku! Turunkan aku!"

"Diamlah, Aisyah!" gertak Aaron setelah membawa Aisyah keluar dari sel.

"JANGAN BAWA AISYAH! JANGAN BAWA AISYAH!"

"NOURAAAA!"

"AISYAAAAAAAH ...!"

Pintu sel berderit nyaring saat salah seorang polisi Israel membantingnya dengan sangat kasar, lalu menguncinya. Noura tersentak. Gadis itu memukuli pintu besi di depannya dengan tangan yang bergetar. Wajahnya telah dibanjiri air mata. Dadanya sesak melihat Aisyah dibawa menjauh darinya hingga menghilang di balik pintu ruangan yang tak jauh dari sel yang dihuninya.

"Ya Allah, tidak ada kekuatan apa pun di bumi ini yang bisa menandingi kekuasaan-Mu. Ku---kumohon kirimkanlah Malailat-Mu untuk menolong A-aisyah."

Noura menghapus jejak air mata di pipi tirusnya yang enggan berhenti mengalir. Sepasang netra hijaunya sudah sangat perih. Luka lebam di sekitar wajahnya masih terasa sangat pedih. Bahkan ujung bibirnya berdarah akibat tamparan pedas polisi Israel tadi pagi.

Ia beringsut, kemudain berjalan dengan tertatih-tatih menghampiri puluhan gadis Gaza yang juga sedang meraung-raung. Tangisan memilukan yang kental akan luka lolos dari bibir mereka. Tubuh mereka bergetar hebat, tak kuat lagi menahan sesak yang mendera dada. Hanya iman dan doa-doa tulus dari hati mereka yang menjadi tameng serta penguat mereka saat ini.

"Allah bersama kita. Allah tidak akan diam saja. Yakinlah, suatu hari nanti, nasib gadis Gaza tidak akan seperti kita sa--saat ini."

Noura berusaha untuk menenangkan teman-temannya. Ia mengulas senyum manis, meskipun hatinya sangat pedih.

Gadis-gadis Gaza yang malang itu sangat takut dan khawatir dengan apa yang akan terjadi pada Aisyah dan diri mereka setelah ini.

****

"Lepaskan aku! Ku--kumohon jangan lakukan itu padaku! To--tolong! Kumohon JANGAAAAANN!"

Jerit memilukan serta isak yang tersendat-sendat silih berganti terlontar dari bibir Aisyah yang sangat kering dan pucat. Sekujur tubuhnya menggigil merasakan dinginnya lantai penjara yang keras dan tak beralas. Malam itu angin pun berembus kencang menyusup lewat sela-sela jendela, lalu menelusup ke pori-pori, tulang-tulang, hingga pikiran Aisyah. Malam ini ia benar-benar akan binasa.

Seringaian di wajah Aaron terlihat sangat mengerikan di mata Aisyah. Gadis itu berulang kali menggeleng. Tenggrokannya sudah sangat kering, Aisyah kehabisan suara. Hanya sesenggukan yang menyayat hati yang bergulir dari bibirnya. Aisyah beringsut, ia merangkak mundur kala tentara Israel itu semakin mendekatinya dengan tatapan buas.

"Ja--jangan! Ku--kumoho----"

Bulir demi bulir kristal bening yang membanjiri sepasang netra hazelnya berjatuhan, bahkan tumpah dengan sangat deras menuruni pipinya hingga berakhir di pangkal dagunya yang lancip. Aisyah menjerit tanpa suara ketika tangan kasar dan kokoh Aaron menyobek baju gamis hitam yang membalut tubuhnya.

Kini pakainannya sudah compang-camping. Hijab hitam yang selama ini mati-matian Asiyah pertahankan untuk menutupi mahkotanya pun telah lucut dari kepalanya, membuat rambut hitam bergelombanya terurai dan acak-acakan. Bahkan sebagian anak rambutnya menempel pada pipi Aisyah yang basah oleh air mata.

Jeritan memilukan yang lolos dari bibirnya sama sekali tak membuat pria yang sedang menindihi tubuhnya berhenti menggila. Aisyah menggigit bibir bawahnya, merasakan perih yang teramat sangat di ulu hatinya.

Kesucian yang selama ini ia jaga dan pertahankan di atas iman telah direnggut dengan mudahnya oleh tentara Israel yang tak bermoral itu.

"A---Allah akan meng--menghukummu. A--Allah akan meng--mengg--mengghukummu!"

Aaron terkekeh-kekeh. Pria itu segera menarik tubuhnya dari Aisyah. Ia berdiri dengan sempoyongan. Pandangannya bahkan sedikit memburam. Namun ia sangat mengagumi paras cantik gadis Gaza yang telah digagahinya barusan. Sepasang iris hazelnya sungguh sangat memesona dan membangkitkan gairahnya yang selama ini selalu ia tahan. Aaron mengembuskan napas lega, dadanya mengembung. Hasrat yang selama ini membeku kini telah membuncah dan Aaron merasa sangat puas.

Setelah membenahi pakaian perwira kebanggannya, Aaron berjongkok di depan Aisyah. Ia mengulas senyum ketika Aisyah melempar tatapan sinis, bahkan gadis itu mendesis ke arahnya.

"Kau sungguh manis. Matamu, bibirmu dan ... tubuhmu. Semuanya. Kau ... sangat manis sekali."

Aisyah tetap bergeming ketika jari besar dan kasar milik Aaron membelai bibirnya. Ia sudah kehabisan tenaga. Hanya kristal bening yang kembali menitik dari ujung matanya, mengalir membasahi tangan besar Aaron yang kini sedang tersenyum lebar. Aisyah sangat tidak habis pikir dengan pria di depannya, bahkan Aisyah ragu untuk menyebutnya manusia. Dada Aisyah sangat sesak. Untuk merintih saja ia sudah tak mampu. Hanya ratusan kata ampun yang ia ucapkan dalam hatinya, serta sumpah serapah untuk pria bejad yang telah menodainya.

"Letnan Aaron. Namaku Letnan Aaron. Kau harus mengingatnya, Aisyah."

"Nona, kau menjatuhkan kantung sayuranmu."

Aisyah tergagap. Ia segera menghapus lelehan bulir bening yang entah sejak kapan mengaliri pipinya. Ia berjongkok dan segera memunguti tomat, terong ungu yang sudah berceceran di tanah. Pria asing itu pun ikut membantunya.

"Nona, apa kau baik-baik saja?"

"Aku tidak apa-apa. Aku bisa mengambilnya sendiri. Kau tidak usah membantuku."

Aisyah mendongak dan membiarkan wajah mereka saling berhadapan. Tatapan mereka saling beradu dan terkunci dalam. Sepasang mata elang beriris hijau milik pria itu, seolah menembus kedua netra hazelnya. Aisyah memasang wajah masam dengan tatapan berang yang ia hunuskan. Entah kenapa dada Aisyah sangat perih melihat wajah pria asing itu. Padahal ini adalah pertama kalinya mereka bertemu.

*****

Semoga feel-nya dapet. Jangan nungguin, karena enggak tahu apakah cerita ini akan dilanjutkan atau tidak!😆



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro