Bab 4 | Great Retrun March

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Rasa trauma yang teramat dalam kembali menyerang hati dan pikiran Aisyah. Wajah pria asing yang beberapa hari lalu ia temui di pasar dan bayang-bayang wajah tentara laknat itu terus berputar-putar bagaikan sebuah film yang sangat mengerikan baginya.

Wajah putihnya bercahaya, menetes sisa-sisa air wudhu di sekitar pelipis dan pipinya, bercampur dengan air mata yang mengalir deras dari sepasang netra hazelnya. Rahang Aisyah mengeras, bibinya bergetar hebat dan dadanya sangat sesak.

Seusai bermunazat dengan Sang Khaliq, Aisyah bergegas melipat sajadahnya dan sedikit berlari meninggalkan kamarnya yang sangat sempit. Ia meraih sebuah jas putih yang menggantung di ruang tamu. Mulai hari ini Aisyah akan memakainya.

Hari ini adalah hari Jumat, di mana ratusan warga Gaza selalu membanjiri Tepi Barat untuk meneriakkan hak-hak atas Palestina. Di saat itulah Aisyah dan teman-temannya ikut berdemo dengan para demonstran Great Retrun March lainnya, lalu ditangkap.

"Aku harus bangkit. Aku tidak boleh menyerah."

Aisyah berjalan gontai dengan penuh kepastian. Ia sudah mengenakan jas putih dan menggendong tas kecil berisikan alat-alat medis. Kakinya terpaksa terhenti saat Rauda memanggilnya dari arah dapur.

"Aisyah, kau mau ke mana?"

"Aku akan pergi ke Tepi Barat bersama Noura dan Tim Medis lainnya, Bi."

"Demi Allah, Aisyah. Kau sedang hamil muda, aku tidak ingin hal buruk menimpamu lagi."

"Kau tidak usah khawatir, Bi. Aku akan baik-baik saja. Tidak ada gunanya aku terus menangis di sini, sedangkan mereka tengah memeras darah berjuang untuk Palestina. Aku ingin menolong mereka semampuku. Terus meratapi nasib tidak akan pernah bisa mengembalikan kesucianku! Kumohon izinkan aku pergi, Bi."

Dada Aisyah semakin sesak. Ia menghapus jejak air mata di pipinya menggunakan punggung tangannya yang putih.

Sebulir kristal bening lolos dari sudut mata Rouda. Wanita ringkih paruh baya itu menghela napas panjang. Ia mengunci sepasang netra hazel keponakannya dengan tatapan sendu.

"Aku tidak bisa mencegahmu jika hatimu sudah bertekat seperti itu. Pergilah dengan menyebut nama Allah. Berjuanglah, Sayang. Aku menitipkanmu dan janin dalam kandunganmu pada Allah."

"Alhamdulillah. Kalau begitu Aisyah pergi dulu, Bi. Allah akan selalu bersama kita, Aisyah tidak takut."

Bibir Aisyah merekah, rasa haru memenuhi dadanya. Ia menciumi kedua pipi Rauda dan memeluknya erat sebelum benar-benar meninggalkan istana kecil mereka yang sangat jauh dari kata layak untuk dihuni.

Asiyah berjalan tenang menapaki jalanan tanah yang menurun. Rumah-rumah terpal beratap seng usang itu berjajar di perkampungan yang sangat kumuh, melewati gang-gang sempit di Beit Lahiya, Utara Gaza.

****

"Benar-benar keras kepala."

Aaron menggeleng. Ia mencabut sebuah alat yang semula menyumpal kedua telinganya. Aaron baru saja mencuri obrolan Aisyah dengan Rouda.

Semenjak seminggu lalu, Aaron memang sudah mengintai Aisyah dari kejauhan rumahnya. Ketika Aaron bertemu dengan Aisyah, Rouda dan Salim di pasar gratis Indonesia kala itu, ia sengaja menyuruh anak buahnya untuk memasang alat penyadap suara di beberapa sudut rumah Aisyah.

Bibir tipis kemerahannya mengembang sempurna. Sebagai seorang letnan yang sudah sangat terlatih, tentunya setiap usahanya tidak akan pernah gagal. Ia sudah mencuri banyak informasi tentang Aisyah dan apa yang ingin Aisyah lakukan.

Hal yang membuat hatinya berbunga adalah kabar mengenai Aisyah yang tengah hamil muda. Perempuan itu sungguh telah mengandung benih yang Aaron titipkan secara paksa di penjara dulu.

"Kau sungguh akan membahayakan dirimu dan anakku."

Desahan berat kembali meluncur dari bibir Aaron. Pria berbadan kekar itu menarik syal bercorak hitam putih yang melingkar di lehernya dengan kasar. Lalu ia mengikatkannya menutupi mulut dan sebagian wajahnya hingga hanya menyisakan kedua mata elang beriris cokelat terangnya yang kini telah tertutupi lensa hijau terang.

****

Ratusan warga Gaza di Tepi Barat tampak sangat bersemangat menyerukan hak-hak mereka untuk Palestina. Mereka ingin dibebaskan. Mereka ingin blokade Israel dihentikan dan negaranya merdeka seperti negara-negara lain di dunia.

Bukan hanya para pemuda Gaza. Namun wanita-wanita Gaza dan anak-anak pun ikun berbaris di grada terdepan demi membela Palestina. Tidak ada ketakutan di wajah mereka. Kematian bukanalah hal yang mereka khawatirkan, justru kematian sangat mereka rindukan.

Suara takbir menggema nyaring membuat hati orang-orang beriman pasti bergetar mendengarnya. Asap hitam berkabung di permukaan langit Gaza di Tepi Barat. Bau ban bekas yang dibakar pun tercium sangat menyengat. Mereka sengaja membakar ban-ban bekas tersebut untuk memburamkan mata-mata licik tentara Zionis yang mengintai mereka dan siap menghujani mereka dengan peluru.

Hujan gas air yang mata ditumpahkan tentara Zionis tidak membuat para demonstran gentar sama sekali. Meskipun terasa pedih di mata dan menyesakkan dada, mereka tetap bertahan dan berjuang dengan senjata seadanya. Mereka melempari para tentara Zionis itu dengan batu kerikil, layang-layang api dan ketapel dan juga doa-doa yang terlontar dari hati dan bibir mereka.

Mereka memang tidak mempunyai senjata ampuh yang bisa menandingi senjata para tentara Israel itu. Namun mereka mempunyai senjata terkuat dari apa pun di muka bumi ini, yaitu cahaya iman yang bersarang kokoh di dada-dada mereka.

"Aisyah, sebaiknya kau menunggu di posko saja. Tidak usah terjun langsung ke lapangan seperti ini."

"Aku tidak apa-apa. Kumohon izinkan aku berjuang bersama kalian."

"Tapi kandunganmu."

"Anakku pasti akan kuat. Aku ingin melatihnya berjuang mulai dari sekarang. Kelak dia akan berada di sini, di barisan terdepan untuk membela Gaza, memenangkan Palestina!"

Suara Aisyah teredam gema takbir dan riuhnya suara warga Gaza yang berteriak meminta hak Palestina dan keadilan.

Noura memegangi bahu Aisyah dan mengunci tatapannya. Mereka tengah berada di tengah-tengah para demonstran. Kedua relawan medis itu sudah menutup sebagian wajahnya dengan syal bercorak merah putih.

"Masya Allah, Aisyah. Kalau begitu, mari kita berjuang sampai titik darah penghabisan."

Mereka mengangguk, lalu saling beradu pandang dengan mata berkaca-kaca. Semangat keduanya menggebu. Tidak ada rasa jera sedikit pun walaupun mereka pernah tertangkap di sana. Namun Aisyah sangat bersyukur karena Noura tidak mengalami nasib buruk seperti dirinya di penjara kala itu.

Aisyah dan Noura telah bersahabat sejak kecil, hingga kini mereka kuliah di Univrsitas yang sama dan mengambil jurusan yang sama pula di fakultas kedokteran. Aisyah memang masih cuti kuliah, tetapi mulai hari ini ia sudah bersumpah pada dirinya sendiri untuk bangkit dan menolong saudara-saudaranya di Gaza yang terluka.

Desing peluru saling bersahutan dan hujan gas air mata tak henti-hentinya dilemparkan oleh para tentara Zionis laknat itu. Para relawan medis di sana mulai sedikit kewalahan menangani satu per satu para demonstran yang tumbang dan berguguran bersimbah darah.

"Inalillahi wa'inna ilaihi rojiun! Anak ini telah syahid! Anak ini telah syahid!"

Air mata tumpah dari sepasang iris hazel Aisyah, merembas membasahi penutup wajahnya. Tubuhnya berguncang. Ia merangkul dan memeluk kepala seorang bocah laki-laki yang berlubang akibat peluru yang menembus pelipisnya.

Tangan Aisyah yang berlumuran darah mengapung di udara. Ia berusaha memanggil pemuda Gaza yang tak jauh darinya bersimpuh.

"Tolong bawa anak ini ke ambulans!"

Setelah tubuh kaku anak itu diangkat oleh dua pemuda Gaza, Aisyah berdiri menghampiri seorang wanita yang baru saja tumbang ke tanah. Gamis hitam wanita itu berlumuran darah dan bercampur debu.

"Astagfirullah! Bertahanlah. Kami akan menyelamatkanmu."

Aisyah dengan sigap menarik bendera Palestina yang digenggam erat oleh wanita itu. Darah segar mengalir deras dari betis kirinya. Hati Aisyah teriris melihatnya. Aisyah segera mengikatkan bendera Palestina untuk menghentikan aliaran darah yang terus mengalir dari betisnya yang berlubang. Kemudian Aisyah dan seorang relawan medis laki-laki segera membantunya berdiri dan memapahnya menuju ambulans.

Beberapa relawan medis lain memberikan pertolongan pertama pada korban yang terluka. Bahkan Noura terlihat kelimpungan memberikan obat tetes mata untuk para demonstran.

Peluh membasahi sekujur tubuh Aisyah. Noda darah di sekirar pelipisnya hampir mengering. Bahkan jas putihnya sudah berubah merah dan lusuh bercampur debu. Perutnya sedikit bergolak mual dan kepalanya berkuang-kunang. Asiyah mengusap perutnya yang masih rata, ia mengusap janinnya dengan tangan bergetar.

"Sayang, kau harus kuat! Ibu bersamamu. Kita harus berjuang bersama mereka," lirihnya sangat memilukan. Lalu ia kembali menuju kerumunan para demonstran.

Satu per satu tubuh para mujahidin itu ambruk ke tanah. Senyum menghhiasi wajah mereka meskipun darah mengalir deras dari anggota tubuh mereka yang tertembak. Mereka menutup mata dengan penuh keikhlasan dengan dua kalimat syahadat meluncur dari bibir mereka yang bergetar.

"Aisyah, apa kau baik-baik saja?"

"Aku baik-baik saja! Tetapi tidak dengan hatiku!"

Keduanya saling menoleh dan melempar pandang. Wajah mereka banjir peluh, bercampur darah dan air mata. Kemudian dua perempuan itu kembali berkutat dengan alat medis dan pasien-pasien yang bergelimpangan di tanah.

Angin yang berembus kencang sore itu menebar bau amis darah para demonstran yang membanjiri Tepi Barat dan membuat debu-debu di sana berterbangan tak tentu arah.

Noura sangat mengkhawatirkan keadaan Aisyah. Terlebih lagi dirinya tengah hamil muda. Tetapi ia tidak bisa menghentikan Aisyah yang ingin tetap berjuang.

Aaron yang sedari tadi memperhatikan Aisyah benar-benar merasa geram pada perempuan hamil itu. Ia ikut berdemo dan membaur dengan warga Gaza lain yang tak jauh dari tempat Aisyah. Aaron berjalan gontai menjauh dari kerumunan menuju semak-semak zaitun di dekat pagar pembatas. Setelah yakin tidak ada seorang pun yang mencurugainya, ia mencoba untuk menghubungi Bert.

"Hentikan serangan!"

"A--apa?"

"Hentikan serangan! Hentikan hujan gas air mata dan berhenti menembak!"

"Tapi, Let---"

"Lakukan saja perintahku!"

Aaron mengakhiri panggilan. Ia segera berlari mendekati Aisyah dan menjatuhkan dirinya tepat di bawah kaki Aisyah.

Perempuan itu tersentak. Bahkan tubuhnya sampai terhuyung karena kaget. Matanya melebar saat retina hazelnya menangkap wajah pria asing yang ia jumpai tempo hari kini terkapar di bawah kakinya. Asiyah segera menepis rasa benci di dadanya dan segera berjongkok. Siapa pun pria itu, Aisyah tidak ingin peduli dan dia harus tetap menolongnya.

Aaron meringis merasakan perih di lengannya yang menganga dan mengalirkan darah segar. Sebelum menghampiri Aisyah,
pria itu telah sengaja menggores tangannya sendiri. Hal gila apa pun akan ia lakukan agar bisa mendekati Aisyah.

Aaron sama sekali tidak peduli dengan ribuan nyawa warga Gaza yang telah mati. Aaron tidak peduli dengan penderitaan waga Gaza dan kehancuran-kehancuran lainnya yang tercipta oleh operasi militer Israel. Ia hanya memedulikan Aisyah dan anaknya. Ia sudah tidak sabar ingin segera menculik Aisyah ke Israel. Aaron hanya tinggal menunggu waktu yang tepat saja.

"Te--terima kasih sudah menolongku."

"Jangan berlebihan, ini sudah kewajibanku."

Aaron pura-pura merintih saat Aisyah membasuh lukanya dengan alkohol, lalu membalutnya dengan kain kasa.

"Kenapa kau sangat membenciku, padahal kita belum saling mengenal."

"Wajah dan suaramu mengingatkanku pada seseorang yang sangat ingin kubunuh!"

"Ck! Benarkah? Sadis sekali."

"Terkadang kita memang harus sadis agar tidak tertindas, bukan? Aku belajar dari Tentara-Tentara Laknat itu!"

Aisyah terlihat bengis. Ia melempar tatapan tajam pada sepasang iris hijau yang kini menatapnnya sangat dalam. Entah kenapa Asiyah sangat ... sangat membenci pria itu.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro