Bab 10 | Serangan Darat di Jenin 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pasukan pengintai elit Unit Mistaravim sedang melakukan operasi militer di desa Ya'bud di dekat Jenin, Tepi Barat, Palestina. Serangan darat tersebut dipimpin langsung oleh Letnan Aaron Ben Eliyahu.

Ratusan personel tentara Israel berseragam hijau dengan senjata lengkap menyebar ke setiap pelosok desa, melewati gang-gang sempit di antara bangunan-bangunan rumah kotak yang bertingkat. Tulisan-tulisan Arab berwarna hitam, merah dan hijau menghiasi hampir setiap dinding putih yang mereka lalui. Tentara-tentara Zionis itu mengetuk-ngetuk dan menendang-nendang setiap pintu rumah dengan sangat brutal.

Desing peluru yang membabibuta bersahut-sahutan dengan jerit tangis warga sipil yang sangat menyayat hati. Tangis ketakutan anak-anak pecah dalam kungkungan tubuh ibu mereka. Tubuh-tubuh wanita ringkih itu bergetar, memeluk erat putra-putri mereka untuk menenangkan. Mata sayu mereka berair, hingga perlahan butiran kristal bening meleleh membasahi pipi seiring takbir serta doa yang mereka lontarkan pada Sang Khalik.

Para ayah tergopoh-gopoh memukuli lengan kokoh para tentara Zionis yang sedang menyeret putri, istri dan anak mereka. Mereka menjerit sambil berurai air mata.

"Lepaskan putriku! Jangan bawa dia! Lepaskan ...!

"AYAAAAH! AYAAAH, TOLONG AKUUU! AAA---AYAAH!"

Seorang ayah susah payah memeluk kaki seorang tentara Israel, dia memohon agar anak gadisnya dilepaskan. Tubuhnya tengkurap, mengesot di tanah seiring langkah lebar tentara itu. Lelaki tua itu meringis saat tendangan keras mendarat di wajahnya. Tubuh ringkihnya terpental jauh. Dia beringsut, mencoba untuk berdiri hingga akhirnya tubuhnya membeku saat sebutir peluru menembus kepalanya. Ayah tersebut telah syahid di tempat.

Jenin sedang dilumpuhkan. Tubuh-tubuh tak berdosa roboh. Darah segar mengucur dari anggota tubuh mereka yang berlubang, memerahi tanah kelahiran para nabi yang mulia. Mereka sedang meregang nyawa. Leher para syuhada itu mengeras. Kepala mereka menengadah dengan mata melebar nyaris keluar dari sarangnya. Sakit mendera seluruh raga, bibir mereka bergetar mengucap syahadat dengan terbata-bata.

"Laknatullah alaikum! Laknatullah alaikum!"

Rahang Aisyah mengeras. Dia sudah tidak tahan lagi melihat kekejaman ini. Wajah putihnya memerah dan sudah dibanjiri air mata. Tangannya yang lemah mendorong tubuh kekar seorang tentara Israel yang tengah menginjak perut jasad seorang kakek tua yang tergeletak di depan matanya.

"Hentikan! Hentikan!" teriak Aisyah sangat payah, "apa kau tidak melihatnya? Dia sudah meninggal!"

Senyum miring tercetak di bibir tentara Zionis itu. Dia justru semakin menekan kuat sepatunya, seolah ingin menembus perut kakek yang sudah syahid itu. Ujung sepatu boot hitamnya bahkan sudah berlumuran darah dari perut berlubang si kakek.

"Kau terlihat seperti binatang. Entah iblis apa yang telah merasukimu! Semoga Allah akan mengazab kalian semua! Kalian akan bianasa! Ini sungguh bukan perang! Kalian Penjajah! Pengrusuh!"

Aisyah mendesis. Tubuhnya terhuyung saat moncong senapan serbu Tavor milik tentara itu menghantam perutnya. Janin dalam perutnya bergolak, Aisyah segera memeganginya sambil merapal doa.

"Tutup mulutmu jika kau tidak ingin nasibmu sama seperti mereka, Nona! Urus saja tugasmu dan jangan mencampuri urusan kami."

Aisyah melempar tatapan berang pada punggung tegap tentara Israel tadi yang kini sudah melenggang pergi. Dia menghapus lelehan air matanya menggunakan punggung tangannya yang dibalut sarung karet.

Aisyah menyeret kakinya menghampiri sang kakek yang telah syahid. Dia mengikat seutas kain pada perut si kakek yang masih mengucurkan darah segar. Hatinya bergemuruh. Sepasang bola matanya berkelana ke sekitar. Riuh rendah suara takbir masih menggema di antara desau angin sore itu.

Ini bukan sebuah drama. Ini bukanlah sebuah film. Ini bukan pula sebuah tulisan fiksi semata. Semua kekejaman yang terjadi di Gaza adalah realita yang bahkan hingga detik ini masih terjadi di Palestina.

Di mana semua orang di belahan dunia lain begitu bahagia menikmati kemerdekaan negeri tercinta mereka. Di mana semua orang di penjuru dunia lain bebas untuk terseyum, bersuah dan berbagi suka duka bersama keluarga tercintanya yang utuh. Di mana semua orang di negeri lain bebas bekerja dan melakukan apa saja yang mereka inginkan. Mereka bebas menikmati hidup meskipun dengan harta seadanya. Mereka bebas menghirup udara segar tanpa harus mencium bau mesiu yang bahkan udara di Gaza hampir setiap hari tercemar oleh bau bahan peledak tersebut.

Di Gaza ... semua penduduk sipil masih berjuang memeras darah. Mereka harus meregang nyawa dan merasakan getirnya kehilangan satu per satu anggota keluarga mereka untuk memperjuangkan tanah kelahiran para nabi---memperjuangkan Al Aqsa yang ingin dikuasai oleh kaum Yahudi.

Aisyah tergugu. Tangannya yang sudah berlumuran darah gemetar, meraup sejumput pasir dan kerikil di samping jasad kakek tua tadi. Sungguh dadanya sangat perih melihat kekejaman yang seolah tidak berujung ini.

Selama belasan tahun lebih mereka dijajah dan diinjak-injak seperti ini. Pasukan pertahanan IDF tak henti-hentinya melancarkan serangan. Baik itu serangan darat, udara dan laut. Mereka bahkan semakin brutal melebarkan pendudukan ilegal kaum Yahudi di Tepi Barat. Mereka membangun tembok baja pembatas yang sangat tinggi dan membuat warga sipil di sekitar merasa sangat pengap dan tersisihkan.

Aisyah mengembuskan napas berat. Air mata telah mengering dan membuat pipinya sedikit kaku. Dia membantu dua orang relawan yang baru saja datang untuk memindahkan tubuh tak bernyawa si kakek ke atas tandu.

Tatapan sendu Aisyah beralih pada tank-tank Merkava Israel yang masih berkeliaran di sekitar jalan. Para pemuda Palestina berkalungkan sarung putih-hitam tampak sangat bersemangat melempari tank-tank itu dengan batu dan ketapel.

Asap hitam membumbung tinggi dari ban bekas yang sengaja dibakar oleh para pemuda Gaza untuk meyamarkan penglihatan tentara Zionis biadab itu.

Anak-anak ikut melawan di garda terdepan. Tangan mungil mereka mengais-ngais batu kerikil dan melemparkannya pada tank-tank itu tanpa ada rasa takut sedikit pun. Akan tetapi naas, sesaat kemudian tank-tank Merkava itu meluncurkan puluhan peluru dengan ganas. Tubuh kecil mereka satu per satu terpental dan roboh bersimbah darah.

Para aktivis terlihat mondar-mandir sambil membawa tandu. Satu per satu jasad-jasad yang bergeletakan di jalanan diangkut. Tubuh-tubuh kaku mereka ditumpukkan dalam sebuah mobil ambulans yang bahkan sudah penuh. Sebagian jasad lagi terpaksa harus dijajarkan di tanah. Darah merembas memerahi baju yang mereka kenakan. Sebagian darah menetes-netes hingga menggenang di tanah.

Tim medis dari Indonesia dan Rusia tampak sibuk berkutat menangani korban yang masih bisa diselamatkan. Rahaf dan para dokter spesialis sedang berusaha semaksimal mungkin menangani pasien dengan peralatan medis seadanya, di sebuah posko medis yang terbuat dari terpal.

Sementara para jurnalis sibuk membidik kejadian itu dengan kamera canggih masing-masing untuk dikabarkan pada dunia.

"Aisyah, apa kau tidak apa-apa?"

Dada Noura naik turun seiring embusan napasnya yang tidak beraturan. Tangannya merangkul bahu Aisyah dan membantunya untuk berdiri. Wajah Noura dibanjiri keringat. Jas putih yang melekat di tubuhnya pun sudah dipenuhi noda merah.

"Adam ikut bersama Khaled memasuki desa."

"A--apa katamu?"

Wajah Aisyah mendadak pucat. Karena terlalu sibuk membantu para korban yang bergeletakan, ia sampai lupa jika Adam ikut bersamanya. Tadi dia sudah menyuruh Adam untuk berdiam diri di posko. Tetapi anak itu sepertinya tidak mengindahkan ucapannya.

"Aku harus mencari Adam."

"Tapi, Aisyah. Kata Arif di dalam sedang terjadi peperangan antara Militer Israel dan Pejuang Hamas. Kurasa di dalam akan sangat berbahaya. Kau harus berhati-hati."

Aisyah balas menatap tatapan sendu Noura dengan penuh haru. Bibirnya mengulas senyum sambil memegangi bahu Noura, lalu mengusapnya pelan.

"Bismillah, Noura. Insya Allah, Allah akan selalu melindungi kita. Aku sudah memasrahkan hidup dan matiku pada-Nya. Jika di dalam, salah satu peluru akan menembus dadaku, aku sudah sangat ikhlas dan siap."

Noura tersenyum getir melihat kegigihan Aisyah. Perempuan itu bahkan sedang hamil muda. Tetapi selama ini, Asiyah justru sangat bersemangat untuk menjadi relawan medis dan membantu sebisanya menolong para korban.

Para relawan medis dan jurnalis memang dilindungi oleh hukum internasional peperangan---Konvensi Janewa. Mereka dilarang untuk disakiti dan dibunuh. Akan tetapi para sniper Israel terkadang tidak pernah mematuhi hukum tersebut. Nyawa para relawan medis dan jurnalis tetap saja selalu dalam ancaman.

*****

Letnan Aaron mendesis. Seragam perwiranya sobek di bagian lengan. Darah segar mengucur dari lengannya yang tersayat akibat tersenggol besi panjang yang mencuat di salah satu tembok. Dia bersembunyi dalam bangunan yang tinggal separuh. Mata elangnya mengintai awas dari sebuah lubang yang lumayan besar pada tembok itu. Peluh sudah membanjiri wajah dan membasahi seragam perwiranya. Napasnya memburu dengan bibir yang terkatup rapat.

"Sial. Dasar Pengacau! Serang mereka!" teriak Aaron dengan rahang yang mengeras.

Suara pelatuk senapan serbu Tavor yang saling bersahutan terdengar sangat mengerikan. Disusul desing peluru yang kini semakin liar memekakan telinga para warga sipil yang sedang bersembunyi di rumah-rumah mereka dengan tubuh bergetar. Para tentara Zionis berwajah garang itu segera berhamburan dari persembunyian mereka untuk menyerang.

Di beberapa sudut tembok tampak puluhan pria berseragam militan Palestina. Masing-masing dari mereka menenteng senjata. Kain hitam menutupi hampir seluruh wajah mereka, hanya tersisa sepasang mata tajamnya saja. Seutas kain hijau yang terikat di kepala mereka bertuliskan Birgade Izzudin Al-Qassam. Mereka adalah para pejuang Hamas.

"Berani mengusikku maka bersiap-siapalah untuk mati."

Seringaian di wajah tegas Aaron terlihat sangat mengerikan. Sepasang iris cokelat terangnya menggelap. Ia menarik pelatuk senapan serbu Tavor X95 miliknya, lalu mengarahkannya pada dua pejuang Hamas yang berseberangan dengannya.

Bibir Aaron tertarik ke samping. Dadanya mengmebung melihat kedua militan Palestina tumbang ke tanah akibat timah panas yang menembus dada mereka.

"Kalian pantas untuk mati."

Aaron meludah. Dia sangat senang karena memiliki kebebasan untuk memghabisi nyawa warga Gaza tanpa harus dihukum. Bukan hanya untuk negara dan agama, tetapi dia melakukan semua itu juga semata-mata untuk membalaskan dendam kematian ibu tercintanya. Bibir tipisnya yang merah mengembang sempurna.

"Anjing Gila Israel! Anjing Gila Israel! Rasakan ini!"

Aaron menoleh dan dia sontak meringis saat sebuah batu kerikil runcing mendarat di pelipisnya. Dia mengusapnya menggunakan tangannya yang besar, pelipisnya berdarah.

"Berengsek! Berani sekali kau melakukan ini padaku, Tikus Kecil. Huh!"

Mulut Khaled menganga lebar saat merasakan sebuah benda asing menembus dadanya. Telinganya berdengung dan dunia seolah berhenti berputar. Tubuhnya roboh ke tanah bersamaan dengan darah yang perlahan mengucur deras dari dadanya yang berlubang.

Sementara Aaron tersenyum lebar. Sepasang mata elangnya semakin berang menatap bocah lelaki yang tengah menggigil menyaksikan temannya sedang meregang nyawa.

Kedua kaki mungil Adam bergetar. Batu kerikil dalam genggamannya terjatuh. Ia menggeleng lemah sambil mengangkat tangan saat sebuah moncong senapan serbu Tavor mengarah ke dadanya.

Di sisi lain seorang relawan medis perempuan berjalan gontai dengan tergopoh-gopoh. Desing peluru yang bersahut-sahutan masih terdengar riuh.
Aisyah melewati gang-gang sempit untuk mencari Adam dan Khaled.

Sepasang mata bundar Aisyah semakin membesar. Suara desing peluru dan jeritan seorang bocah laki-laki yang sangat familier menggema di telinganya. Suara itu berasal dari sebuah gang kecil yang tak jauh darinya. Aisyah memutar badan, lalu menyeret kedua kakinya lebih cepat memasuki gang tersebut. Langkah lebarnya terseok-seok sambil sesekali memegangi salah satu tembok.

Mulut dan mata Aisyah menganga lebar sesampainya di sana. Dilihatnya Adam sudah bersimbah darah dan tergeletak di tanah. Dilihatnya pula Khaled sudah terbujur kaku di sebelah Adam. Bahkan sepasang netra hazelnya seolah ingin melompat ke luar saat tatapannya menangkap seorang perwira Israel yang sangat dibencinya selama ini.

"K--kau---"

Rahang Aisyah mengeras. Lidahnya mendadak kelu. Dia tidak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya saat ini.

Sementara Letnan Aaron membeku di tempat. Genggaman tangannya pada senapan serbu Tavor hitam miliknya semakin menguat. Bibir tipisnya semakin menipis dengan rahang yang mengeras. Dia melempar tatapan tajam pada Aisyah.

"Benar-benar wanita keras kepala." Aaron menggeleng. "Tak bisakah kau berdiam diri saja di rumah tanpa harus membahayakan nyawamu dan nyawa anakku di sini, Aisyah?"

*****

Lanjut lagi di next part. Di sini sudah terlalu panjang 😁

Ada yang nangis enggak sih? Apa aku doang yang nangis sambil ngetik😭

Maaf baru bisa update, tadianya ideku mentok tapi aku paksain buat nulis. Semoga feel-nya masih dapat.













Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro