Bab 11 | Serangan Darat di Jenin 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Benar-benar wanita keras kepala." Aaron menggeleng. "Tak bisakah kau berdiam diri saja di rumah tanpa harus membahayakan nyawamu dan nyawa anakku di sini?"

Mulut Aisyah membulat. Sepasang iris hazelnya yang sendu mengunci tatapan berang Aaron yang kini berdiri tegap di depannya. Kedua ujung alisnya saling bertemu. Dia sungguh tidak mengerti dengan isi hati dan kepala pria itu.

Aisyah sama sekali tidak menjawab. Lidahnya masih membelit. Dia memutus kontak mata dengan Aaron dan segera beringsut, lalu menjatuhkan lututnya ke tanah di samping tubuh Adam dan Khaled. Isak tangisnya sontak pecah dengan bahu yang berguncang.

Aisyah mengelus dadanya. Hatinya pedih melihat wajah pasi dua bocah kecil yang selama ini selalu menghiburnya di tenda pengungsian. Aisyah sudah menganggap mereka seperti anak kandungnya sendiri. Relawan medis itu segera memeriksa urat nadi Adam dan Khaled secara bergilir. Aisyah sontak memejamkan matanya. Kedua bocah tak berdosa itu telah gugur.

Khaled dan Adam terbujur kaku dengan senyuman kecil yang menghiasi bibir keduanya. Darah segar masih mengucur dari bagian tubuh yang berlubang, memerahi baju lusuh yang membalut tubuh mungil mereka hingga menggenang di tanah. Khaled tertembak di bagian dada kirinya, sementara Adam tertembak di bagian perutnya.

"Bibi, aku ingin ikut bersama kalian ke Jenin."

Entah sudah berapa kali bocah lelaki itu merengek pada Aisyah. Kedua tangan mungilnya menarik-narik ujung jas putih yang Aisyah pakai.

"Tidak, Adam. Kalian diam saja di tenda dan doakan kami. Di sana akan sangat berbahaya. Kalian tunggu saja di sini. Aku tidak ingin hal buruk menimpa kalian."

"Bibi saja membawa bayi dalam perutmu ke Jenin! Kenapa aku tidak boleh? Bahkan bayimu belum bisa terlihat."

Aisyah tersenyum manis melihat Adam mengerucutkan bibir mungilnya. Dia mengusap rambut cokelat adam dengan lembut. Hati Asiyah menghangat saat sepasang netra mereka saling beradu pandang.

Bocah lelaki itu menyipit-nyipitkan matanya sambil berkacak pinggang.

"Bayiku akan aman karena dia ada dalam peruku. Itu sebabnya aku tidak perlu khawatir. Adam ..., kali ini kumohon menurutlah. Kami akan segera kembali. Tinggallah di sini dengan anak-anak yang lain."

"Tidak, Bibi! Kata Ayah, aku tidak boleh takut pada apa pun kecuali pada Allah. Ayah bilang, aku harus kuat agar saat aku besar nanti bisa seperti Ayah. Aku ingin menjadi seorang Komandan Hamas yang akan menghabisi para Penjajah itu!"

Aisyah tertegun melihat sepasang netra Adam berbinar-binar. Dilihatnya Adam berlari kecil mengambil sebuah plastik yang sudah dipenuhi batu dan ketapel.

"Lihatlah, aku sudah mengumpulkan batu-batu ini! Aku pasti bisa mengalahkan mereka, Bi!"

Senyuman yang menempel di bibir mungil Adam begitu lebar. Dia tampak sangat bersemangat sekali. Hati Asiyah bergetar karenanya. Para orang tua di Gaza memang selalu mengajari anak-anaknya untuk berjihad sedari mereka kecil.

Bahu Aisyah berguncang. Dia tergugu, dadanya sangat sesak. Perjuangan bocah lelaki itu sudah selesai sampai di sini. Adam telah syahid.

"Biadab!"

Suara Aisyah bergetar. Ia melempar tatapan berang pada Aaron. Perempuan hamil itu berdiri dan bergegas menyeret kedua kakinya yang sangat lunglai. Kedua tangannya yang berlumuran darah Khaled dan Adam mengapung di udara. Tangan Aisyah bergetar meluapkan emosi yang membuncah dalam dadanya. Cairan kental merah menetes-netes saat Asiyah mengayunkan kakinya lebih gontai menghampiri Aaron.

"Ini ...! Da--darrah ini! Bayangkan jika darah ini adalah darah anakmu!"

Aaron melebarkan mata elanganya. Ia tersentak saat Aisyah tiba-tiba melumuri seragam perwira kebanggaannya dengan darah. Rahangnya sontak mengeras. Bahkan pegangannya pada pelatuk senapan serbu Tavor di tangannya semakin menguat.

"Kau sungguh munafik! Tidak usah berpura-pura mengkhawatirkan anakku jika kau baru saja membunuh anak-anak itu!"

Aisyah mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Telunjuknya menuding dua tubuh mungil yang bersimbah darah di tepi tembok sambil terisak-isak.

"Lihatlah mereka!"

Letnan Aaron menelan ludah. Ia tertegun melihat Aisyah mengusap lelehan air matanya, memindahkan darah di tangannya hingga memerahi kedua pipi perempuan itu. Lalu pandangannya beralih mengikuti arah telunjuk Asiyah. Aaron terlihat semakin payah di mata Aisyah. Lelaki itu tetap bergeming. Dia masih kaget dengan pertemuannya dengan Asiyah di saat yang tidak tepat seperti ini.

"Mereka sangat lemah. Mereka bukan tandinganmu! Mereka tidak memiliki senjata sepertimu! Anak-anak itu hanya melemparimu dengan batu. Tapi apa yang telah kau lakukan pada mereka?! KAA--KAU!" Mulut Asiyah menganga, ia meringis saat perih di hatinya semakin meradang. "Kau telah menembak mereka! Kau PEMBUNUH!" teriak Asiyah sangat serak.

Aaron menggeleng cepat. Sepasang mata elangnya sudah memerah.

"Jangan berkata seperti itu. Aku melakukannya karena ini adalah tugas negara. Kau tidak akan mengerti. Kumohon jangan membenciku. Tentu saja aku sangat mengkawatirkan anakku. Dia darah dagingku. Kumohon pulanglah, Aisyah. Di sini sangat berbahaya untukmu."

Aisyah mendesis. Dia sungguh tidak mengerti dengan pola pikir tentara ini. Wajah perempuan itu terlihat sangat memelas. Bau amis darah bahkan tercium kuat olehnya. Butiran kristal bening berjatuhan semakin deras membasuh bercak darah di kedua pipinya.

"Kau tidak perlu mengkhawatirkan anakku. Aku bisa menjaganya! Allah selalu menjaga kami! Lepaskan tanganku!"

Aisyah memekik saat tangannya ditarik kasar oleh Aaron.

"Aku tidak akan melepaskanmu sampai kau menurutiku dan pulang dari sini!"

"Kau pikir siapa dirimu? Aku tidak akan pernah menuruti keinginanmu!"

"Kau sungguh keras kepala."

Aisyah terus meronta sambil melempar tatapan berang pada Aaron. Cekalan tangan besar tentara itu semakin kuat mengekang pergelangan tangannya. Asiyah mengedarkan pandangan ke sekitar, belum ada relawan yang datang untuk mengangkut jasad Khaled dan Adam. Hatinya sesak melihat koloni lalat hijau mulai berarak-arak mengerubungi jasad kedua anak itu.

Aisyah membeku ketika sepasang mata elang Aaron menatapnya semakin dalam dan tajam. Satu tangannya yang sedari tadi memukuli dada bidang Aaron mendadak lemas dan tidak bisa digerakkan. Dadanya sangat perih. Sampai detik ini dia sungguh tidak menyangka jika pria kejam ini adalah ayah dari calon anaknya.

Seorang personel tentara Israel yang berdiri tidak jauh dari mereka berancang-ancang menarik pelatuk senjata di tangannya, ia membidik punggung Asiyah.

"Bodoh! Apa yang kau lakukan? Jangan menembaknya!"

Sersan Amit meringis saat pukulan keras mendarat di kepalanya yang ditutupi helm. Pria tinggi itu menoleh dan tatapannya sontak beradu dengan sepasang iris hitam milik Bert yang tajam.

"Dia sudah bersikap lancang pada Letnan Aaron. Apa kau pikir aku akan diam saja, ha?"

"Wanita itu sangat spesial bagi Letnan Aaron. Kau jangan coba-coba untuk menyakitinya."

"A--apa katamu? Ck! Yang benar saja? Ini sangat sulit dipercaya. Jadi, wanita itu yang telah membuat Letnan Aaron tergila-gila? Ini harus diabadikan dan aku akan mengunggahnya ke media sosial. Seru sekali."

Sersan Amit melebarkan senyumnya. Baru saja dia mengangkat ponsel pintarnya untuk mengambil video Asiyah dan Letnan Aaron, benda pipih itu sudah raif direbut oleh Sersan Bert.

"Kau ingin mencari mati rupanya? Jangan campuri urusan mereka," tegas Bert.

Sersan Amit menganga lebar. Bahkan bola matanya membesar melihat ponsel canggihnya diinjak Bert hingga kini tidak berbentuk lagi.

"Astaga! Apa yang kau lakukan pada ponselku? Bert! Kemari kau!"

Sersan Amit mendengus melihat Bert melenggang pergi begitu saja. Dia bergegas meninggalkan tempat itu menyusul langkah lebar Bert.

Sementara Asiyah dan Letnan Aaron masih saling melempar tatapan tajam. Sesaat kedua insan berbeda agama dan negara itu ditelan oleh kebisuan. Keduanya sibuk bergelut dengan batin dan pikiran masing-masing.

"Kau sama sekali tidak pantas disebut sebagai seorang Perwira!"

Perkataan sinis Aisyah yang tiba-tiba menggema di telinganya membuat mata Aaron melebar dan berkaca-kaca.

Aisyah mendesis. "Sangat memalukan! Sesungguhnya kau hanyalah seorang pecundang yang bersembunyi di balik seragammu saja! Kau seorang penakut yang sangat payah!"

Letnan Aaron menipiskan bibirnya. Sepasang iris cokelat terangnya semakin berang menatap wajah Aisyah yang merah dan basah oleh air mata.
Ini adalah sebuah penghinaan baginya. Andai saja yang mengatakan itu bukan Aisyah, Aaron tidak akan segan-segan untuk menghabisinya.

"Jangan memancing emosiku, Aisyah."

"Kenapa?"

Aisyah mengangkat satu alisnya. Bibirnya sedikit tertarik ke samping. Tatapan berangnya menjelajahi wajah tegas Letnan Aaron, lalu turun ke tubuh kekarnya yang dibungkus seragam perwira yang sudah dipenuhi bercak darah. Hingga kini tatapan berang mereka kembali saling terkunci dalam.

"Kau ingin membunuhku?" Aisyah tersenyum getir. "Bunuh saja! Aku sama sekali tidak takut padamu! Paling tidak, anak ini tidak harus menanggung malu dan sakit hati bahwa dia adalah anak seorang pembunuh sepertimu! An--anak ini, jika ia bisa terlahir dengan selamat, a--aku akan mengatakan padanya bahwa dia adalah seorang anak Pejuang Hamas. Ayahnya adalah seorang Mujahid hebat yang selalu membela Palestina. Aku akan mengatakan padanya jika ayahnya telah gugur di medan perang! Dia pasti akan sangat bangga! Aku tidak akan pernah mengatakan bahwa kaulah ayah dari anak ini! Aku tidak ingin dia malu karena ayahnya adalah seorang tentara Yahudi yang bejad sepertimu! Tidak akan!"

Hati Aaron tertohok ketika Aisyah menarik lengannya dengan sangat kasar hingga kini terlepas dari cekalan tangan besarnya.

"Berhenti berbicara dan pulanglah."

Suara berat Aaron terdengar serak. Otot-otot besar di lengannya terlihat menonjol. Dia susah payah menahan emosinya agar tidak kelepasan berkata kasar ataupun menyakiti wanita yang tengah mengandung anaknya itu. Dia melempar tatapan nyalang pada bibir merah Aisyah yang tak henti-hentinya berkata kasar dan sinis padanya.

Bibir manis itu, Aaron pernah merasakannya. Perempuan itu kenapa sangat hebat dan mebuatnya tidak berdaya seperti ini. Kenapa perkataan Aisyah selalu mampu membungkam mulutnya dan melumpuhkan egonya. Kedua lutut Aaron mendadak lunglai. Hatinya bergemuruh. Sebulir air mata lolos menuruni rahang tegasnya. Dia menyekanya dengan sangat kasar. Dadanya sangat sesak oleh perkataan Asiyah barusan. Bahkan lebih pedih dari saat Rebecca meninggalkannya dulu.

"Aku sangat membencimu."

Tatapan Asiyah memburam. Kepalanya berdenyut nyeri seiring janin dalam perutnya yang kini bergolak. Dia kehilangan kesadaran dan tubuhnya hampir roboh ke tanah kalau saja lengan kokoh Aaron tidak segera menangkapnya.

"Aisyah! Aisyah ...!"

Wajah tegas Aaron mendadak
panik. Tangannya mengguncang-guncang bahu Asiyah, berharap wanita itu baik-baik saja. Derap langkah kaki yang terdengar riuh membuatnya menoleh ke ujung gang. Tampak olehnya beberapa relawan dan paramedis yang menghampiri tempat mereka.

Wajah para relawan dan paramedis itu terlihat pucat. Mereka berlari dengan tergopoh-gopoh. Sesampainya di sana, dua orang relawan bergegas mengangkat jasad Khaled dan Adam menggunakan tandu. Takbir serta doa-doa mengalun tulus dari bibir mereka. Hati mereka teriris melihat jasad malang dua bocah itu yang dikerubungi koloni lalat hijau. Mereka segera membungkus tubuh mereka dengan seutas kain putih.

Noura dan Rahaf melebarkan matanya saat melihat Asiyah meringkuk tak sadarkan diri dalam rangkulan seorang tentara Israel. Sedari tadi mereka memang mencari-cari Asiyah dan mereka benar-benar tercengang melihat keadaan Asiyah yang seperti itu.

"Astagfirullah, Aisyah! Ada apa dengannya?"

Noura segera berjongkok di sisi Aaron dan Aisyah. Sepasang iris hijaunya menatap Aaron dengan sinis.

Sementara Rahaf mematung di tempat dan saling melempar tatapan tajam dengan Letnan Aaron. Pria beriris hitam legam itu sudah mengetahui semuanya dari Noura, termasuk tentang Aaron yang selama ini menyamar menjadi Muhammad.

"Apa yang kau lakukan pada temanku?"

Aaron memutus kontak mata dengan Rahaf. Ia beralih menatap wajah Noura yang terlihat sangat khawatir.

"Aku tidak melakukan apa-apa. Sepertinya dia hanya pingsan."

"Ya Allah, Aisyah. Kumohon sadarlah. Rahaf, kita harus segera membawa Aisyah ke posko medis. Kurasa dia sangat kelelahan."

Noura mendongak. Dia ikut mengangguk saat Rahaf mengangguki ucapannya.

Aaron mengeraskan rahangnya saat tangan kokoh Rahaf mengambil alih tubuh Aisyah dan menggendongnya. Dia tidak tahu ada hubungan apa antara pria itu dengan Aisyah, yang jelas dadanya terbakar melihat Rahaf begitu sangat mengkhawatirkan Aisyah.

Aaron susah payah menegakkan kakinya untuk berdiri. Tubuhnya sedikit terhuyung. Dadanya naik turun seiring embusan napasnya yang sangat liar. Ia menatap nanar punggung lelaki berjas putih yang telah membawa Aisyah-nya pergi menjauh. Dadanya sangat perih.

"Aisyah," gumamnya sangat payah.

CUT ... 📣🎬

😁 Bagaimana di part ini? Jangan bosan, ya😂 Karena alurnya memang pelan-pelan

Maaf banget, karena sepertinya cerita ini akan slow update😇

Semoga masih pada mau setia nungguin dan baca kisah Asiyah--Aaron. Aku pedih sendiri bayanginnya. Konflik mereka berat banget😭

Teşekkur ederim 💕

Fix, aura kodokmu hilang saat berpose seperti ini, Han😍😂

Mau tanya dong, ada yang punya rekomendasi cast buat Aisyah enggak? Atau film yang tokoh ceweknya berhijab? Aku mau bikin trailer buat cerita ini, tapi sampai sekarang belum nemu cast Asiyah. Susah nyari yang berhijab dan punya video yang pas😂 Kalau video Letnan Aaron sih sudah banyak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro