Bab 12 | Jawaban Aisyah untuk Rahaf

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Izinkan aku memelukmu seperti ini. Sebentar saja."

Letnan Aaron melengkungkan senyuman. Hatinya berbunga karena perempuan yang kini berada dalam dekapannya tidak memberontak seperti dulu. Bahkan wanita itu perlahan mengalungkan kedua tangannya di leher Aaron. Aaron menekan tengkuk Aisyah yang dibalut hijab hitam agar terbenam lebih dalam pada dadanya yang bidang. Aaron ingin Aisyah ikut merasakan degup jantungnya yang selalu bertalu-talu saat berada di dekatnya.

"Atas nama YHWH, aku sangat mencintaimu."

Aaron melepaskan pelukan. Sepasang mata elangnya yang berbinar mengunci netra hazel Aisyah dengan sangat dalam. Hatinya berdesir. Bibir tipis merahnya semakin mengembang melihat Aisyah balas menyuguhkan senyum. Sebuah senyuman yang sangat manis dan terkesan tulus.

"Aku juga sangat mencintaimu."

Aisyah tetap bergeming saat kedua tangan kokoh Aaron menangkup pipinya hingga tatapan syahdu mereka saling terkunci.

"Be--benarkah kau juga sudah mencintaiku?"

Asiyah mengangguk cepat sambil mengulum senyum.

"Sungguh?"

"Iya, aku sangat mencintaimu, Letnan Aaron."

Kedua netra cokelat terang Aaron berkilat senang. Entah kata mutiara apa yang pantas menjabarkan rasa bahagianya saat ini. Angannya melayang. Aaron semakin gemas memainkan jari-jarinya menelusuri wajah Aisyah yang sangat cantik dan bercahaya. Jantung Aaron meletup-letup saat bibirnya nyaris menemui bibir penuh Aisyah yang merona.

BBHHUGG

Tubuh kekar Aaron menghantam lantai marmer putih kamarnya. Dia terjatuh dalam posisi terlentang. Kedua kelopak matanya menutup-terbuka hingga berulang kali. Aaron meringis merasakan linu dalam keadaan setengah sadar. Napasnya berembus panjang. Pria itu mengusap wajahnya pelan.

"Ya Tuhan, ternyata aku hanya bermimpi."

Aaron menjadikan kedua lengan kokohnya sebagai bantalan. Tatapan netra elangnya lurus mengintai langit-langit kamar yang bercat putih. Bibir merahnya mengulas senyum tipis saat sekelebat adegan dalam mimpinya barusan kembali melintas di benaknya.

"Mimpi yang sangat indah."

Sendu mendadak melumuri wajahnya ketika otaknya berputar mengingat kejadian dua hari yang lalu di Jenin. Pada kenyataannya saat ini Aisyah justru semakin membencinya. Kata-kata sinis Aisyah bahkan masih terngiang-ngiang di telinganya dan membuat hatinya berdenyut perih.

Letnan Aaron bangun dari tidurnya. Dia berdiri lalu menyeret langkah tegasnya menuju jendela. Aaron menyingkap tirai sutra putih yang menjuntai dengan perlahan. Hitam pekat masih menyelimuti langit Yerusalem.

Sebagai pria yang telah dewasa tentunya Aaron sudah sangat ingin berumah tangga. Impiannya dengan Rebecca telah kandas di tengah jalan karena wanita itu telah mengkhianati cintanya. Saat ini Aaron tengah merangkai mimpi-mimpi baru bersama Aisyah, tetapi rasanya justru sangat sulit untuk digapai.

Aaron mendesah pelan. Sesak menghantam dadanya. Pria itu sedikit meringis dengan mata merah yang berair. Dia tidak tahu bagaimana lagi caranya untuk meluluhkan hati Aisyah. Baginya menghadapi Aisyah jauh lebih sulit dibanding melumpuhkan puluhan teroris dan memenangkan peperangan.

Saat ini pertarungan antara pasukan pengintai elit IDF dan Hamas semakin liar dan sengit. Aaron sangat mengkhawatirkan keadaan Aisyah dan bayi yang dikandungnya. Dia sangat ingin segera membawa Aisyah dari sana. Tetapi Aaron juga tidak boleh gegabah.

Erez Ben Eliahu beserta anak buahnya kerap kali datang ke Yerusalem untuk memimpin doa para jemaah kaum Yahudi. Aaron pikir rumahnya bukanlah tempat yang aman buat Aisyah. Tetapi Aaron belum tahu di mana lagi dia harus menyembunyikan Aisyah.

"Ruang bawah tanah."

Sepasang mata elang Aaron menajam. Perlahan bibir tipisnya kembali merekah kala sebuah ide tercetus di benaknya.

"Aku akan segera membawamu dan kau akan aman bersamaku."

****

Baju-baju yang menggantung di belakang tenda pengungsian terombang-ambing seiring desau angin yang bertiup kencang sore itu. Lembayung senja baru saja menyapa Gaza dengan semburat jingga nan elok melingkupi cakrawala. Tawa anak-anak yatim-piatu yang tengah berlarian di depan tenda terdengar sangat gaduh dan riang.

Senyuman lebar menghiasi wajah-wajah polos dan mungil mereka meskipun tidak memiliki mainan seperti anak-anak di belahan duania yang lain. Anak-anak di Gaza memang terbiasa menjalani hidup yang sederhana, bahkan sangat jauh dari kata layak. Mereka terbiasa bermain di bawah reruntuhan bangunan dan ladang gandum.

Anak-anak malang itu tidak memiliki mobil-mobilan. Mereka tidak memiliki boneka barbie. Mereka bermain dengan tanah, batu kerikil dan ranting-ranting pohon zaitun yang kering.

Tetapi anak-anak polos itu sama sekali tidak merengek, mengeluh ini dan itu. Mereka bermain dengan riang diiringi tawa renyah tanpa begitu memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi di negaranya. Mereka tetaplah anak-anak yang hanya ingin bermain.

Beberapa wanita paruh baya tampak duduk di ambang pintu tenda. Sebagian mereka ada yang tengah melipat baju. Sebagiannya lagi terlihat sedang menumbuk gandum yang akan diolah menjadi roti. Senyuman mereka mengembang menyaksikan kegembiraan anak-anak yang tengah bermain di bawah pohon zaitun yang rindang. Sungguh indahnya andai saja mereka tetap bisa ceria seperti itu, bebas bermain dan belajar tanpa ditakut-takuti oleh gemuruh bom meledak dan desing peluru.

Senyuman mereka sirna saat menoleh ke arah pagar pembatas. Di sana tampak puluhan serdadu Israel yang sedang berpatroli seperti biasnya. Para lelaki berseragam hijau lengkap dengan senjata itu terlihat bergerombol mondar-mandir di sekitar pagar dengan tatapan mengintimidasi dan siap menembak siapa saja yang berani melawan.

Pada kenyataannya, sebuah kemerdekaan masih hanya sebatas angan bagi semua warga Palestina. Ruang gerak mereka masih dikekang. Mereka masih dijajah hingga detik ini, di tahun milenial di mana negara-negara lain sudah merdeka dan bergerak maju. Gaza masih berada di bawah serangan dan blokade otoritas Israel.

"Bibi mengerti perasaanmu. Kita harus mengikhlaskan kepergian Adam. Bibi juga sangat sedih kehilangan Khaled dan Adam."

Aisyah menahan napas. Ia mencoba untuk tidak menumpahkan air mata yang sudah menenggelmakan netra hazelnya di hadapan Deema. Dia tidak ingin membuatnya semakin bersedih.

Bahu kecil Deema berguncang saat Aisyah membelainya. Gadis kecil itu menghambur dalam dekapan Aisyah. Kristal bening enggan berhenti mengalir dari sepasang netra birunya. Dadanya sangat sesak.

"Adam sangat menyebalkan, Bi. Ta--tapi sekarang aku sangat me--merindukannya. Tidak ada lagi yang meng--mengajakku ber--bertengkar."

Deema tersedu-sedu. Dia menyedot hidungnya yang dipenuhi cairan. Sementara Aisyah membantu menyeka air matanya.

"Insya Allah, Adam sudah tenang di sisi-Nya. Jangan lelah mendoakan kebaikan untuknya. Kita tidak boleh patah semangat. Kau harus bangkit untuk meneruskan perjuangan Adam demi kemerdekaan Palestina."

Aisyah tersenyum manis sambil merapikan rambut pirang Deema yang kusut.

"Bukankah kita semua akan kembali menghadap-Nya. Suatu saat nanti, kita semua akan menyusul Adam dan Khaled. Berhentilah menangis dan tersenyumlah untuk Adam. Bibi yakin, Adam akan meledekmu jika dia melihatmu menangis seperti ini."

Kedua kelopak mata bundar Deema berkedip. Bibir mungilnya merekah melihat Asiyah berdiri sambil berkacak pinggang dan mencebikkan bibir. Dia sedang menirukan gaya Adam.

"Hei, Rambut Jagung! Lihatlah wajahmu merah dan jelek sekali menangis seperti itu. Kau tidak cantik lagi. Aku tidak menyukainya."

Asiyah menirukan suara cempreng Adam.

"Hei, Kepala Semangka! Aku berjanji tidak akan menangis lagi dan aku tidak ingin terlihat jelek di matamu!"

Hati Aisyah berembun melihat wajah sendu Deema berubah cerah. Dia kembali berjongkok dan merengkuh tubuh Deema dalam pelukan.

"Bibi, apakah nanti kita bisa bertemu lagi dengan Adam?"

"Kita berdoa saja. Insya Allah kita akan dikumpulkan lagi kelak di surga-Nya. Amiin."

"Amiin, Bibi."

Napas panjang berembus dari bibir Aisyah. Dia menatap punggung Deema yang kini berlari menjauh dari jangkauan retina hazelnya. Gadis kecil itu kini membaur dengan anak-anak yang lain.

Entah sampai kapan akan terus seperti ini. Entah sudah berapa banyak darah yang tumpah memerahi tanah Gaza. Entah berapa nyawa yang telah gugur. Aisyah berharap, agar ia dan warga Gaza lainnya tetap diberi keikhlasan dan keteguhan hati di atas iman. Aisyah pasrah bahwa semua yang terjadi adalah takdir dari Sang Khalik yang harus dijalani dengan ketabahan. Aisyah hanya mengharapkan keridhoan dan kebaikan sebagai balasan dari ujian yang merundung saudara-saudaranya di Palestina.

Sesekali Asiyah mengusap perutnya yang tampak sudah sedikit menonjol. Usia kandungannya kini sudah menginjak bulan kelima. Dadanya kembali perih saat tiba-tiba wajah tegas milik Aaron melintas di benaknya. Sebulir air mata bahkan lolos menuruni pipinya. Aisyah sangat membenci letnan bejad itu. Apalagi setelah kejadian di Jenin waktu itu.

*****

"Astagfirullah."

Aisyah mengendikkan bahu saat lelaki jangkung di seberang sana mengedipkan mata sambil melempar senyum lebar padanya.

"Aku tidak menyukai lelaki itu."

Noura yang tengah fokus pada benda pipih di tangannya tersentak saat Aisyah menyenggol sikunya.

"Siapa?"

"Itu! Lelaki yang di sebelah Arif."

Kedua alis Noura saling menaut. Netra hijaunya berkelana mengikuti telunjuk Aisyah yang mengarah ke tenda dapur yang tak jauh dari tenda mereka. Kemudian Noura terkekeh saat retinanya menangkap wajah Arif dan temannya.

"Oh ... Handoko Serkan."

"Handoko?" Aisyah mengerutkan kening.

"Dia Jurnalis asal Idonesia ... temannya Arif. Dia bersama rombongannya baru datang kemarin malam."

"Pantas saja aku baru melihatnya." Aisyah mendengus.

"Memangnya kenapa kau tidak menyukainya? Dia sangat tampan, katanya berdarah Indonesia-Turki."

"Tadi dia mengedipkan matanya padaku."

Noura terkekeh-kekeh sambil memegangi perutnya.

"Dia memang seperti itu. Tadi siang saja Handoko menggodaku."

Aisyah sontak membulatkan matanya. "Kau serius?"

"Iya ... bahkan dia meminta nomer ponselku, tapi aku tidak memberikannya karena Arif sudah memberitahuku sesuatu lebih awal."

Kening Aisyah berlipat-lipat kecil saat sepasang iris hijau Noura menatapnya sangat serius.

"Memberi tahu apa?"

"Handoko adalah seorang Lelaki Hidung Belang."

"Astagfirullah. Semoga kau dijauhkan dari lelaki seperti itu."

"Amiin."

Noura mengulum bibir agar tawanya tidak meledak lagi. Ekspresi Aisyah saat ini sangatlah lucu di matanya. Bahkan perempuan hamil itu terlihat mengusapi janin dalam perutnya sambil merapal doa.

Deru mesin mobil yang baru saja berhenti di seberang tenda mengalihkan atensi mereka. Noura dan Aisyah sontak menoleh.

Dua orang lelaki berompi turun dari mobil tangki besar itu. Terdapat tulisan besar pada badan mobil tersebut 'BANTUAN AIR BERSIH DARI INDONESIA UNTUK GAZA'.

Noura menyahut ketika Arif memanggilnya dari jauh. Lelaki berkulit hitam manis itu menginstruksikan Noura untuk memberitahu warga sipil agar membawa jerigen untuk mengisinya dengan air bersih.

Relawan medis itu menepuk pundak Aisyah saat melihat Rahaf berjalan menghampiri mereka berdua.

"Aisyah, kau harus memberikan jawabanmu sekarang. Jangan menggantungnya terlalu lama, Rahaf bukan jemuran."

Lagi-lagi Noura terkekeh. Dia sangat senang menggoda Aisyah.

Sementara Aisyah mendelik tajam dan tak segan-segan mencubit perut Noura dengan gemas. Dia semakin dilanda gusar saat lelaki berjas putih yang serupa dengannya kini sudah berdiri di depannya. Aisyah mendadak kehilangan kata-kata.

"Aku akan memberitahu mereka dulu untuk mengambil air."

Rahaf menatap wajah Noura sekilas, lalu mengangguk. Senyum tipis yang menempel di bibirnya terlihat sangat menawan. Kemudian tatapannya beralih pada Aisyah yang sedang menunduk. Pria itu pun menjadi salah tingkah dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. Sejujurnya Rahaf sangat ingin bertanya perihal hubungan Aisyah dengan Letnan Aaron. Tetapi dia merasa sungkan dan takut menyinggung perasaan Aisyah.

"Besok aku akan pergi ke Khan Yunis untuk beberapa hari. Di sana terjadi serangan dan kekurangan tenaga medis."

Aisyah mendongak dan membiarkan tatapan mereka saling bertemu.

"Ya Allah. Mereka menyerang lagi? Apakah banyak warga yang terluka?"

Mata Aisyah berkaca-kaca dengan sendu yang perlahan mendominasi wajahnya.

"Iya. Bahkan sebagian pasien yang mengalami luka serius harus dilarikan ke rumah sakit Al-Shifa karena rumah sakit di Khan Yunis kekurangan bahan bakar."

Aisyah membekap mulut. Sebulir air matanya luruh membasahi pipi. Dadanya sangat perih mendengar kabar buruk itu.

"Semoga Allah menguatkan kita semua. Jaga dirimu baik-baik di sana dan semoga Allah selalu melindungimu."

Rahaf mengangguk. Bahagia membuncah dalam dadanya diperhatikan Aisyah semanis itu. Senyuman di bibirnya pun semakin mengembang.

"Hmm ... sebenarnya ada yang ingin aku sampaikan padamu. Tapi aku tidak enak."

"Katakan saja, Aisyah."

Degup jantung Rahaf semakin tidak karuan melihat gusar di wajah Aisyah. Perasananya mendadak tidak enak. Sepasang netra hitamnya menumbuk netra hazel Asiyah lebih dalam dan serius.

"Aku ... hmm." Aisyah meremas jemarinya sendiri. "Rahaf, kau pantas bersanding dengan wanita yang lebih baik dariku."

Bagai disambar petir, tubuh Rahaf sontak membeku. Matanya membesar dan sesekali berkedip pelan. Apakah barusan dia tidak salah mendengar.

Hening menyergap pikiran mereka berdua. Aisyah dan Rahaf saling mengunci suara. Keduanya mematung di tempat dan saling melempar tatapan sendu.

"Sungguh aku tidak bermaksud untuk menyakitimu. Hanya saja aku merasa tidak pantas. Kau berhak bahagia dibanding harus memikul beban bersamaku."

Rahaf tetap bergeming merasakan sesuatu yang retak dalam dadanya, meninggalkan perih yang teramat sangat di sana.

"Mencintaimu sama sekali bukan beban, Aisyah. Aku sangat tulus dan ingin menerimamu apa adanya."

Suara Rahaf terdengar parau. Kedua tangannya menyentuh bahu Asiyah untuk meyakinkan.

"Ma--maafkan aku. Aku sungguh tidak bisa. Aku tidak ingin mengecewakanmu nantinya. Maafkan aku."

Kali ini pria bersurai hitam ikal itu tidak mampu lagi menahan air matanya untuk tidak jatuh. Dia tersentak saat Aisyah menurunkan tangan kokoh di bahunya.

Aisyah memutar badan, lalu menyeret kedua kakinya lebih gontai meninggalkan Rahaf. Menurutnya keputusan ini lebih baik daripada nantinya dia akan menyakiti Rahaf lebih dari ini. Sejujurnya Aisyah juga tidak mengerti dengan perasaanya saat ini, yang jelas perasaanya pada Rahaf tidak lagi sama seperti dulu. Aisyah mengusap lelehan air mata di pipinya menggunakan ujung kerudung hitamnya.

Sementara warga sipil berarak-arak berpapasan dengan Aisyah sambil membawa botol kosong dan jerigen. Senyum tulus menghiasi wajah mereka dengan hati yang penuh haru melihat kebaikan saudara muslim-nya di Indonesia.

Anak-anak berlarian menghampiri mobil tangki air dengan bertelanjang kaki. Wajah polos mereka tampak sumeringah. Mereka bersorak sangat riang. Sebagian anak-anak mendekati keran air yang mengucur deras dari tangki besar itu. Mereka menadahkan kedua tangan untuk menampung air dan langsung meminumnya di tempat dengan sangat rakus, seolah sangat dahaga akan nikmatnya air bersih dan sehat.

****

😁 Bab ini panjangnya masya Allah. Mumpung ide lagi ngalir soalnya.

Ada yang minta cast Noura dan Rahaf, aku share nih semoga cocok 😊

Rahaf

Arif

Noura


Handoko Serkan

"Bagaimana aktingku di sini? Ya, aku memang aktor yang sangat berbakat. Aku bisa menjadi siapa saja, bahkan aku bisa menjadi kekasih gelapmu. Ck!"

Aisyah

Letnan Aaron

Çok teşekkür ederim yang sudah setia baca cerita ini

❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro