Bab 13| Cinta VS Keyakinan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Apa seorang Letnan sepertimu sama sekali tidak ada kerjaan lain selain membuatku muak?"

"Jika kau ingin tahu, akulah orang yang paling sibuk, Aisyah. Tapi sebisa mungkin aku meluangkan waktu untuk menemuimu. Aku hanya ingin memastikan keadaanmu dan anakku baik-baik saja. Bisakah sedikit saja kau mengharagi perjuanganku?"

Aisyah menggigit bibir. Dia kehilangan kata-kata. Sepasang mata elang yang kini mengunci tatapannya terlihat merah dan berair, tersirat luka yang mendalam dari netra hijau palsunya. Entah kenapa dada Aisyah menjadi perih melihat sendu di wajah pria yang sangat dibencinya itu.

"Aku bisa menjaga anak ini dengan baik meskipun tanpa dirimu. Kau tidak perlu merepotkan dirimu sendiri untuk menemuiku dengan menyamar lagi seperti ini."

"Aku tidak akan pernah berhenti untuk menemuimu sampai kau memaafkanku. Aku---"

"Aku sudah memaafkanmu!"

Nada suara Aisyah meninggi.
Sebulir air mata luruh menuruni pipinya. Dia menyekanya dengan gerakan cepat. Aisyah kembali melempar tatapan bengis pada Aaron dengan dagu yang sengaja diangkat tinggi.

"Tadinya aku sudah bersumpah untuk tidak akan pernah memaafkanmu. Tetapi aku sungguh malu pada Allah jika aku sampai melakukannya. Allah saja mengampuni semua dosa hamba-Nya sebesar apa pun dosa yang dilakukannya. Lalu apa hakku yang sangat kerdil ini untuk tidak memaafkan seorang Tentara Bejad sepertimu?! Sekarang aku hanya ingin berdoa pada Allah agar Dia mengazabmu dan para sekutumu atas apa yang telah kalian lakukan pada negeri kami."

Bibir Aisyah tertarik ke samping. Dadanya bergemuruh. Tidak pernah di seumur hidupnya dia berkata kasar seperti ini, kecuali pada para tentara Zionis Israel yang memang sangat dibencinya dari dulu. Apalagi pada lelaki yang sekarang berdiri di depannya ini. Bukankah sangat layak melemparinya dengan kata-kata sarkas atas semua kekejian yang telah dilakukan Aaron pada Aisyah dan saudara-saudaranya di Gaza.

"Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan, bukan? Aku ... sudah memaafkanmu karena Allah. Ya, hanya karena Allah! Setelah ini kau tidak perlu menampakkan wajahmu lagi di depan mataku. Aku sungguh tidak ingin melihat wajahmu lagi di seumur hidupku! Dan ini ...!"

Sepucuk surat yang Aaron berikan padanya mengapung tinggi di udara. Aisyah meremasnya dengan tangan gemetar. Dia tidak peduli pada Aaron yang kini membeku dengan rahang mengeras.  Bahkan pria tinggi itu terlihat menjatuhkan sebulir air matanya.

"Jangan buang-buang waktumu untuk menulis surat konyol seperti ini lagi. Aku sangat membencimu! SANGAT! AKU SANGAT MEMBENCIMU!"

Dada Aisyah naik turun seiring embusan napasnya yang memburu. Dia membuang surat beramplop merah muda itu ke sembarang arah di depan mata Aaron. Aisyah meringis saat pedih menyergap dadanya.

"Terima kasih telah mematahkan hatiku untuk kesekian kalianya."

Aisyah tertegun melihat senyuman manis yang terukir di bibir merah Aaron walaupun netra lelaki itu dipenuhi air mata.

"Tetapi kau harus tahu bahwa aku sangat tulus mencintaimu. Demi YHWH, aku sangat tulus."

"Jangan katakan kau mencintaiku jika kau tidak mencintai Palestina! Jangan katakan kau mencintaiku jika kau tidak mencintai Gaza! Jangan katakan kau mencintaiku jika kau masih menumpahkan darah di Palestina!"

Aisyah menahan napas. Kedua matanya terpejam sesaat, lalu dia kembali menghunjam netra elang Aaron dengan tatapan sinis. Terpancar kepedihan yang sangat mendalam dari netra hazelnya. Aisyah mengembuskan napas lega setelah meluapkan kebenciannya pada Aaron. Kemudian dia segera berbalik mengayunkan kedua kakinya dengan cepat meninggalkan Aaron yang masih mematung di persimpangan jalan yang tak jauh dari rumah paman Salim. Dia memang sengaja berpura-pura mengantar Aaron sampai sana agar bisa bebas memakinya tanpa sepengetahuan paman da bibinya.

Aisyah memilin ujung lengan kebaya hitam yang melekat di badannya. Napasnya berembus berat dan dadanya sangat sesak kala teringat akan kejadian tadi pagi saat Aaron datang menemuinya sebagai Muhammad.

Rauda yang sedari tadi duduk di depannya tampak tertegun melihat wajah Aisyah ditekuk. Sejak tadi dia mendapati Aisyah melamun dengan tatapan kosong.

Aisyah duduk berselonjor di atas tikar yang digelar di dapurnya yang berlantaikan tanah.

"Apa yang sebenarya sedang kau pikirkan, Aisyah? Ceritalah pada Bibi."

Aisyah sedikit tergagap, lalu menoleh pada Rauda sambil tersenyum samar. Dia menggeleng pelan dan segera memebanarkan posisi duduknya.

"A-aku tidak apa-apa, Bi. Hanya saja ... bisakah lain kali Bibi dan Paman jangan menerima barang-barang pemberian pria itu lagi. Aku tidak ingin berutang budi padanya."

"Muhammad sudah jauh-jauh datang dari Ramallah ke sini hanya untuk memberikan makanan ini untuk kita, mana mungkin Bibi menolaknya. Bibi mengerti kau tidak menyukainya, tapi kau tidak boleh menolak rezeki yang Allah titipkan melalui Muhammad. Paling tidak kau harus menjaga perasaanya agar dia tidak tersinggung, Aisyah."

"Tapi, Bi. Kau tidak tahu dia itu ...."

"Benar apa yang diucapkan bibimu."

Aisyah menoleh ke ambang pintu dapur di mana kepala pamamnya menyembul di balik tirai kelabu yang menjuntai.

"Kau harus menjaga perasananya meskipun kau tidak menyukainya. Paman dan Bibi juga tidak akan memaksamu, Aisyah. Biarkan semuanya mengalir seperti air. Kau tahu, dulu bibimu juga menolak cinta paman mentah-mentah. Tapi lihatlah sekarang, bahkan bibimu ini sangat takut aku menikah lagi."

Salim terkekeh-kekeh sambil berjalan lamban, lalu ia mengambil duduk di sebelah Rauda. Lelaki ringkih itu meringis saat sebuah cubitan keras mendarat di perutnya yang berkulit tipis.

"Sekarang aku tidak takut lagi. Memangnya wanita mana yang akan tertarik pada lelaki keriput sepertimu!"

"Eh ... keriput begini pun aku masih tampan! Bukankah begitu, Asiyah?"

"Iya ... iya. Kau masih tampan, Paman. Sangat tampan."

Wajah sendu Aisyah bersemu merah. Sepasang netra hazelnya berbinar-binar saat kedua sudut bibir penuhnya merekah lebar. Hatinya menghangat melihat paman dan bibinya sangat bahagia seperti itu. Aisyah tidak bisa membayangakan apa yang akan terjadi andai saja mereka tahu siapa Muhammad yang sesungguhnya.

Rauda berdiri dari duduknya, lalu beringsut menghampiri tungku yang masih menyala-nyala dan segera memadamkannya.

"Sepertinya nasinya sudah matang."

"Aku akan menyiapkan nampannya, Bi. Kau tunggu sebentar."

Aisyah berjalan lamban menuju pojok dapur di mana panci dan beberapa wadah plastik ditumpuk di atas meja kayu. Dia mengambil sebuah nampah bundar dan meletakkannya di lantai. Sementara Rauda segera membalikkan panci berisi nasi
maqlooba di atasnya dengan sangat hati-hati. Disebut maqlooba ( terbalik ) karena memang maskaan khas Palestina tersebut selalu disajikan dari panci yang terbalik.

Kepulan asap putih seketika membumbung memenuhi dapur beratap terpal itu. Aroma daging kambing, sayur goreng dan aroma khas nasi berempah serta merta tercium sangat lezat dan menggugah selera. Bahan-bahan pangan tersebut adalah pemberian dari Muhammad a.k.a Aaron tadi pagi. Bahkan dalam dus-dus besar yang berjajar di dekat pintu masih banyak bahan makanan pokok lainnya.

Lagi-lagi Aisyah harus meredam ego dan perasaan asing yang bergejolak di dadanya. Aisyah sungguh tidak bisa menjabarkan apa yang tengah ia rasakan saat ini.

Salim dan Rauda tampak begitu lahap memakan nasi campur daging dan sayur dengan sangat khidmat diiringi senyum yang menghiasi bibir keduanya. Tak lupa juga kata syukur terucap di hati sepasang suami-istri itu. Mereka makan menggunakan tangan. Sungguh nikmatnya, bahkan Salim sesekali menjilati jari-jarinya. Sedangkan Aisyah masih mematung di tempatnya berpijak dengan mata yang berkaca-kaca.

"Kalian makan saja dulu, aku ingin mengambil sesuatu sebentar," ujar Aisyah parau sebelum berlalu.

****

Aisyah sudah berada di persimpangan jalan di mana ia dan Aaron bersiteru tadi pagi. Sepasang iris hazelnya menatap nanar gulungan surat yang telah dibuangnya. Aisyah meremas-remas jemarinya sendiri dengan perasaan gusar.

Surat itu masih teronggok di antara batu kerikil, pasir putih dan rerumputan kecil. Aisyah heran kenapa surat itu tidak enyah saja tertiup angin. Aisyah mendengus, lalu ia mengelus perut bundarnya seraya merapal doa.

"Ya Allah, maafkan Aisyah."

Aisyah menghela napas, lalu dia segera berjongkok. Jantungnya berdebar-debar saat tangan putihnya terulur mengambil surat tersebut. Aisyah meremasnya dengan sangat kuat sebelum memasukkannnya dalam saku terusan hitam yang dipakainya.

Itu adalah surat dari Aaron yang kesepuluh. Aisyah tidak mengerti, entah kenapa tentara bejad itu sangat suka menulis surat untuknya. Selama ini Aisyah hanya membaca surat pertama Aaron saja, sedangkan sisianya Aisyah selalau langsung menyobeknya. Tetapi kali ini, entah apa yang mendorong hatinya hingga ia ingin membaca surat Letnan Aaron. Aisyah memohon ampunan dalam hati sebanyak-banyaknya pada Sang Khaliq.

****

"Tetapi kau harus tahu bahwa aku sangat tulus mencintaimu. Demi YHWH, aku sangat tulus."

"Jangan katakan kau mencintaiku jika kau tidak mencintai Palestina! Jangan katakan kau mencintaiku jika kau tidak mencintai Gaza! Jangan katakan kau mencintaiku jika kau masih menumpahkan darah di Palestina!"

Sepasang netra cokelat terangnya kembali memanas kala ucapan Aisyah terngiang di telinganya. Aaron tak peduli jika Aisyah akan berasumsi bahwa dirinya adalah seorang lelaki yang cengeng. Tetapi setiap tetes kristal bening yang tumpah dari matanya adalah bukti betapa Aaron sangat tulus mencintainya.

Aaron mendesah berat ketika hatinya berdenyut dan sangat perih. Kedua netra elangnya menajam, menatap lurus pada mobil box besar yang baru saja berhenti di tengah lapangan markas pasukan pertahanan Israel IDF, Unit Mistaravim. Saat ini dia berdiri tegap di depan sebuah gudang penyimpanan amunisi dan perlengkapan perang lainnya.

Aaron mengangguk tegas ketika salah satu personel tentara Israel menghampirinya dan memberi hormat.

"Lapor, Letnan! Mobil pengangkut amunisi baru saja tiba. Semua meliputi senapan, peluru RPG, amunisi tank, senjata mesin, rudal dan alat komunikasi satelit terbaru."

"Periksa dengan teliti dan pastikan semuanya dalam kondisi baik sebelum memasukkannya dalam gudang."

"Siap, Letnan."

Aaron memutar badan. Langkah tegasnya berayun cepat menyusuri lorong markas Unit Mistaravim hingga kaki panjangnya berhenti di depan sebuah elevator. Setelah memasukinya, Aaron menekan tombol teratas gedung tersebut di mana devisi khusus IDF mengendalikan drone-drone canggih Israel yang mereka kirim ke Jalur Gaza.

Sesampainya di lantai atas, Aaron berjalan gontai memasuki ruangan khusus yang berukuran luas dan sangat tertutup. Di sana tampak puluhan militer Israel berseragam hijau tengah berkutat mengendalikan drone dengan tatapan lurus menatap layar datar yang menampakkan badan pesawat tanpa awak tersebut.

Aaron berdiri di belakang seorang tentara Israel yang sedang mengontrol drone Dome. Drone tersebut dirancang khusus untuk menangkis drone musuh agar tidak mengancam keamanan pasukan militer, penduduk sipil serta fasilitas-fasilitas umum seperti rumah-rumah warga dan bandar udara.

Wajah tegas Aaron terlihat bengis dengan tatapan tajam yang tak luput dari mata elangnya. Aaron berjalan ke kubikel sebelah kanan di mana anak buahnya tengah mengendalikan sebuah drone yang sedang dikirim ke Jalur Gaza.

"Apa kau sudah menemukan di mana letak Markas Hamas?"

"Drone yang kita kirim sudah berhasil melacak dan mengambil gambar Markas Hamas. Kurasa di bagian sini."

Aaron menyondongkan kepalanya ke arah layar. Sepasang matanya mengintai dengan teliti gambar kawasan Gaza yang terpampang jelas di sana. Salah satu jari besarnya menunjuk dua titik yang ia yakini adalah letak di mana markas militan Hamas bersarang.

"Markas Asqalan Beit Lahia dan Markas Qasthal Deir Balah. Jatuhkan rudal di dua titik ini."

"Siap, Letnan!"

Salah satu sudut bibirnya tertarik ke samping. Seringaian di wajah Aaron semakin mengerikan dengan tatapan sinis penuh ambisi.

Bukankah presiden Amerika Serikat sudah mengklaim bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel. Bahkan gedung kedutaan Amerika Serikat yang semula bertempat di Tel Aviv kini sudah pindah di Yerusalem. Aaron tidak habis pikir kenapa para penduduk sipil di Gaza tidak mau mengalah saja. Bukankah dengan begitu dia tidak harus membunuh banyak nyawa dan Asiyah tidak akan membencinya seperti ini.

Aaron mendesis. "Mereka benar-benar ingin mati sia-sia."

Bagaimanapun caranya, otoritas Israel akan mencaplok banyak wilayah di Tepi Barat dan mereka ingin merebut Al Aqsa dari Palestina. Mereka meyakini bahwa Masjid Al Aqsa dibangun di atas sinagog milik nenek moyang mereka. Tentunya kaum Yahudi akan berusaha mati-matian untuk merebutnya. Aaron bahkan sudah bersumpah pada dirinya sendiri untuk mengabdi pada negara dan agama semampunya. Meskipun nyawa harus menjadi taruhannya.

****

Kepala Aisyah yang dibalut hijab bercorak hitam-putih menyembul di balik jendela kamarnya. Sepasang iris hazelnya yang indah dan besar terlihat berbinar diterpa cahaya rembulan yang menjadi satu-satunya penerang alami bagi pekatnya malam-malam di Jalur Gaza.

Malam itu suasana terasa damai. Tidak ada suara ledakan bom seperti biasanya. Hanya desau angin yang terdengar lembut, menyergap permukaan kulit wajahnya dengan sesnasi sejuk.

Aisyah sungguh tidak menginginkan kemewahan untuk Palestina. Hidup sederhana seperti ini saja Aisyah sudah sangat bersyukur asalkan tidak ada gemuruh bom yang kerap menjadi mimpi buruk bagi anak-anak Gaza yang malang.

Aisyah memejamkan mata. Hatinya bertasbih sebanyak-banyaknya memohon keselamatan serta kekuatan bagi semua saudaranya di Gaza. Dia sedikit tersentak saat teringat akan sesuatu.

Aisyah menarik tirai jendela kamarnya, lalu ia memutar badan dan menempelkan bokongnya di atas kasur. Kemudian tangannya terulur meraih surat dari Aaron yang ia selipkan di bawah bantal.

Tangan Aisyah bergetar saat membuka lipatan surat yang bahkan sudah sangat kusut. Barisan aksara bertinta hitam pada kertas tersebut terlihat tidak begitu kentara. Aisyah menaruhnya di atas kasur, lalu ia beringsut dari duduknya untuk mengambil lilin di ruang tengah.

Aisyah mematung di ambang pintu kamarnya. Dilihatnya Rauda tengah membaca Mushaf menggunakan cahaya lilin sebagai penenerang. Ayat demi ayat suci bergulir lirih dari bibir Rauda dan terdengar sangat merdu menyentuh hati Aisyah. Bibir penuh Aisyah merekah sempurna dengan hati yang bergetar.

Rauda menyudahi bacaannya dengan mencium singkat Mushaf suci itu, lalu menyimpannya di atas meja. Kedua alisnya saling menaut kala retina abu-abunya menangkap Aisyah berdiri di ambang pintu.

''Kau belum tidur?"

"Eh, Bibi kau sudah selesai. Aku ... apa aku boleh meminjam lilinnya?"

"Ambillah, Sayang. Kalau sudah selesai tidurlah, jangan tidur terlalu malam."

"Baiklah, Bi."

****

Akhirnya setelah mendapat bisikan halus dari Handoko, aku bisa update lagi ☺

Maaf, ya lama dan setiap babnya panjang-panjang. Sudah terbiasa nulis sedetil ini soalnya😄

Semoga feel-nya tetap ngena 🙆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro