Bab 14 | Rembulan di Tepi Gaza

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Rembulan ....

Bolehkah aku memanggilmu rembulan, Aisyah?

Sepasang mata Aisyah membola. Genggaman kedua tangannya pada secarik surat dari Aaron semakin menguat. Bibir penuhnya menipis bahkan nyaris tak terlihat.

"Astagfirullah. Dia sudah gila."

Desahan berat bergulir dari bibir Aisyah. Kedua ujung alis rapinya saling bertemu saat netra hazelnya kembali fokus pada barisan aksara bertinta hitam itu. Aisyah menggeser lilin yang ia letakkan di meja lebih dekat agar dapat membacanya lebih jelas.

Aku menemukan cahaya rembulan di matamu.
Indah, besar dan berbinar.

Pantas saja malam-malamku di Yerusalem selalu diselimuti pekat semenjak bertemu denganmu. Rupanya rembulanku masih bersinar di Tepi Gaza.

Tetapi tidak lama lagi rembulan itu akan menyinari malam-malamku di Yerusalem, di Israel.

Jika kau berangapan aku sedang merayumu maka kau salah. Ck! Aku juga heran kenapa jari-jariku bisa menulis kata-kata ini saat membayangkan wajahmu.

Kau menyebut tanah itu Al Quds dan aku menyebutnya Yerusalem.

Aku sama sekali tidak peduli siapa yang akan memenangkan tanah itu, yang pasti tanah itu milik YHWH dan kau adalah milikku.

Kau pasti sangat membenciku. Tetapi kebencianmu tidak akan bisa menghentikan langkahku. Bagaimanapun aku akan tetap menjalankan tugas negara sebagai seorang Letnan.

Kuharap kau mau mengerti, Aisyah.

Aku sama sekali tidak menyesali takdir Tuhan yang telah mempertemukan kita dengan cara yang buruk seperti ini. Aku justru berterima kasih pada YHWH yang telah mengirimmu dalam hidupku, mengobati luka hatiku hingga aku tak mampu berpaling darimu.

Ini gila. Aku juga tidak mengerti kenapa aku bisa sangat mencintaimu sedalam ini. Mungkin juga karena kau sedang mengandung anakku, darah dagingku.

Kau tidak bisa mengelak bahwa janin yang ada dalam perutmu adalah anakku. Dalam darahnya mengalir darah seorang Yahudi dan aku sangat berharap kelak dia akan menjadi seorang Perwira Israel sepertiku.

Dada Aisyah bergetar membaca barisan kalimat yang Aaron tulis barusan. Ada benda runcing yang tiba-tiba menghunjam hatinya, perih hingga ke tulang rusuk. Aisyah mengatur embusan napas saat janin dalam perutnya bergolak. Bayi itu seolah sedang memberontak.

"Anakku akan terlahir sebagai seorang Muslim yang akan membela Palestina."

Bibir Aisyah bergetar. Butiran kristal bening yang semula bergumul di pelupuk matanya tumpah, berarak-arak menuruni pipi hingga berjatuhan membasahi surat dari Aaron yang masih erat dalam genggaman. Aisyah lanjut membacanya dengan tatapan buram.

Rasanya sangat tidak sabar untuk menyambut hari itu. Di mana kita akan bergandengan tangan dan menggendong anak kita bersama-sama. Melihatnya merengek, bermain dan tertawa. Bukankah dia akan sangat menggemaskan, Aisyah?

Aku ingin memulai kehidupan baru denganmu dan anak kita.

"Dalam mimpimu! Aku tidak akan sudi!"

Kali ini Aisyah meremas surat itu hingga menjadi gulungan kecil, lalu membuangnya ke sembarang arah meskipun ia belum selesai membacanya. Bahu Aisyah berguncang, tak sanggup lagi meredam emosi yang ingin membuncah. Aisyah meringis. Dia terisak tanpa suara sambil meremas seprei biru yang didudukinya erat-erat.

Sungguh kenyataan yang sangat pahit baginya untuk menerima bahwa janin yang dikandungnya adalah anak keturunan seorang Yahudi. Tetapi sampai mati pun Asiyah tidak akan membiarkan angan-angan tentara bejad itu menjadi nyata.

"Ya Rabb, lindungilah aku dan anakku dari Tentara Bejad itu. Jangan biarkan dia mengusikku dan kuatkanlah imanku di atas agama-Mu. Islam ...."

*****

"Rembulan ...."

Aisyah mendengus melihat Noura terkekeh-kekeh sampai ujung matanya berair. Seolah-olah hal yang baru saja diceritakan padanya adalah lelucon yang sangat lucu. Bahkan perempuan berjas putih itu tanpa jemu memainkan kedua alisnya naik-turun meledek Aisyah.

"Aku menyesal telah menceritakannya padamu."

"Hei, ayolah, jangan marah. Ternyata Letnan Aaron romantis juga, ya?"

"Apanya yang romantis?! Kata-katanya sungguh membuat perutku mual."

Noura membekap mulut. Hidung mancungnya kembang kempis. Dia sangat senang menggoda Aisyah seperti ini. Apalagi melihat rona merah di pipi Aisyah yang sangat menggemaskan saat mata hazelnya melebar seperti sekarang. Dia lantas menarik sebuah kursi plastik ke sisi Aisyah, lalu mendudukinya. Sepasang netra hijau terangnya mengunci wajah Aisyah dengan serius.

"Kalau begini, aku jadi bingung."

Aktivitas Aisyah yang sedang membersihkan rak plastik berisi obat-obatan terhenti. Perempuan itu menoleh, balas menatap netra hijau Noura dengan satu alis terangkat.

"Bingung kenapa?"

"Bingung ... antara harus kasihan atau benci pada Letnan Aaron. Jika kuperhatikan dari perkataan dan sikapnya padamu, dia seperti bersungguh-sungguh. Bahkan dia selalu memenuhi kebutuhnmu. Kurasa dia memang tulus mencintaimu."

Aisyah termanggu. Sebuah termometer dalam genggamannya melorot jatuh ke tanah. Dia segera berjongkok dan memungutnya, lalu menaruhnya kembali dalam rak susun paling atas. Kemudian ia kembali mendaratkan bokongnya pada kursi menghadap Noura. Sepasang iris hazelnya menggenang air mata.

"Bagiku dia tetap saja seorang Tentara yang bejad. Dia hanya peduli padaku dan anak ini saja." Aisyah mengelus perut bundarnya yang menonjol. "Tetapi lihatlah apa yang dia lakukan di Jenin? Dia sudah membunuh banyak nyawa, bahkan Khaled dan ... Ad--adam."

Hati Noura terenyuh. Sendu mendadak melumuri wajah putihnya melihat sepasang netra hazel Aisyah basah. Bahkan suara Aisyah terdengar berat dan bergetar.

"Kau benar. Maaf, tak sepantasnya aku berkata seperti tadi."

"Tidak masalah, Nour. Sudahlah, aku tidak ingin membahas tentangnya lagi. Bisa-bisa aku darah tinggi!"

Aisyah menyeka sebulir air mata yang jatuh di pipinya menggunakan ujung kerudung bercorak hitam-putih yang ia pakai. Kedua ujung bibirnya melengkung manis kala Noura menyuguhkan senyum di bibir tipisnya yang berwarna peach.

Kedua relawan medis itu kembali berkutat dengan obat-obatan yang baru saja dikirim dari rumah sakit Indonesia. Saat ini mereka berada di sebuah posko medis, di kamp pengungsian Jabalia, Gaza Utara.

Deru mesin mobil menggema nyaring berhenti di depan tenda terpal biru yang menaungi mereka dari teriknya sang surya siang itu. Aisyah dan Noura serempak menoleh dan mendapati mobil putih milik rombongan tim medis yang sepertinya baru saja tiba dari Khan Younis.

"Alhamdulillah, mereka sudah kembali."

Satu per satu lelaki berjas putih turun dari mobil. Gurat lelah tercetak jelas di wajah-wajah mereka. Pakaian mereka terlihat lusuh, bahkan dipenuhi noda merah bercampur abu. Namun senyuman tulus tetap terukir di bibir dan juga semangat yang tidak pernah kendur terpancar dari sorot mata para aktivis kemanusiaan dari Indonesia, Turki dan Rusia tersebut.

Debu-debu beterbangan seiring ayunan langkah kaki para relawan yang berjalan lamban menuju posko medis. Meskipun cuaca terik dan panas menyengat kulit, akan tetapi angin di sana berembus cukup kencang.

Aisyah dan Noura menyambut kedatangan mereka dengan ucapan salam sambil mengulas senyum.

"Syukurlah kalian kembali dengan selamat."

"Alhamdulillah."

Arif, Rahaf, Handoko dan dokter Ferit menyahut. Sementara dokter Dave dan dokter Arthur hanya mengangguk sambil tersenyum tipis.

"Sebaiknya kalian membersihkan diri terlebih dahulu, kami akan menunggu di sini," ujar Arif.

"Baiklah kalau begitu. Terima kasih."

Sekali lagi ketiga dokter spesialis itu menyuguhkan senyum. Dokter Ferit, dokter Dave dan dokter Arthur mengangguk pelan sebelum berlalu. Mereka harus antre untuk membersihkan diri di kamp pengungsian yang memang semuanya serba terbatas.

****

Arif duduk berselonjor di tanah sambil menyandarkan punggung tegapnya pada tiang tenda. Rompi bertuliskan ACT (Aksi Cepat Tanggap) miliknya sangat lusuh dipenuhi noda darah dan abu putih. Kantuk yang semula meyerang matanya sirna saat sepasang retina hitamnya menangkap Noura berulang kali mencuri-curi pandang ke arahnya. Hingga jantungnya berdetak kencang kala sepasang netra hijau terang milik gadis itu mengunci tatapannya dan membuat tubuhnya membeku.

"Astagfirullah."

Arif buru-buru menundukkan pandangan.

Sedangakan Noura tampak gelagapan sambil memainkan botol berisi cairan antiseptik di tangannya dengan asal. Bibir tipisnya mengulum.

"Kudengar Markas milik Militan Hamas dibombardir?"

Suara berat Rahaf memecah hening. Dia duduk berseberangan dengan Aisyah yang sedari tadi tidak bersuara. Ekor matanya melirik Aisyah sekilas, perempuan itu masih menekuk wajah.

"Iya, tetapi untungnya tidak memakan korban jiwa. Hanya saja beberapa Pejuang Hamas yang sedang melakukan ribath malam itu sedikit terkena luka bakar. Tetapi kondisi mereka sudah stabil stelelah mendapatkan perawatan dan ya ... Markas beserta amunisi milik mereka kini sudah rata dengan tanah."

Noura menghela napas panjang. Tangannya mengusap lembut pundak Aisyah. Dia mengerti sahabatnya pasti sedang dilanda canggung setelah menolak lamaran Rahaf tempo lalu.

"Bagaimana keadaan di Khan Younis?" Noura balik bertanya.

"Semua korban sudah berhasil dievakuasi. Korban meninggal sudah dimakamkan secara masal. Sedangkan korban yang selamat sebagian sudah kembali ke Kamp dan sebagiannya lagi masih menjalani perawatan intensif di rumah sakit," ujar Rahaf.

"Allah Maha Besar. Semoga kita semua selalu diberi kelapangan dada dan kekuatan."

"Aku berharap mereka semua segera binasa."

Aisyah mendongak. Ia mengunci sepasang netra hijau Noura dengan sendu. Kristal bening sudah memenuhi netra hazelnya. Rahangnya bahkan mengeras.

"Lihatlah apa yang telah Sampah-Sampah itu lalukan pada negeri kita. Para Pejuang Hamas hanya menyerang mereka dengan roket dan itu pun hanya sebagai bentuk perlawanan seadanya. Tidak ada korban jiwa dan kerugian material seperti yang kita alami di sini. Sampai kapan akan terus begini? Mereka sungguh sangat licik dan keji!"

"Aisyah, tenangkan dirimu."

Aisyah bergeming saat lembut tangan Noura mengusap punggungnya. Akhir-akhir ini emosinya memang sangat mudah mendidih. Ia membenarkan posisi duduknya, meremas kedua tangan di depan paha dengan gemetar.

"Mereka tidak akan berhenti sampai dunia ini kiamat, Aisyah."

Suara Arif terdengar lirih. Pria berkulit cokelat terang itu berdiri dari duduknya. Sepasang iris hitamnya yang teduh berbinar, kental akan semangat dan penuh keyakinan. Bibir tipisnya mengembang meskipun peluh mengucur deras dari pelipisnya. Walaupun lelah melanda raga, Arif ingin tetap optimis.

"Tetapi kalian jangan takut, karena Indonesia akan selalu ada untuk Palestina. Indonesia tidak akan meninggalkan Palestina. Indonesia tidak akan diam dan membiarkan Al Aqsa direbut oleh Israel. Jika kalian ingin tahu, banyak warga muslim Indonesia yang ingin datang ke sini untuk membela kalian, hanya saja kondisinya memang tidak memungkinkan. Tetapi kalian jangan khawatir, kami selalu menghimbau mereka untuk menyisihkan sedikit hartanya untuk kalian. Para Ulama di negeri kami selalu menasihati agar kami menyelipkan doa untuk kemenangan warga Gaza di setiap sujud kami. Percayalah, warga Indonesia sangat mencintai kalian. Mana mungkin kami akan diam saja melihat kalian ditindas dan kelaparan. Kami tidak akan membiarkan kalian kedinginan. Kami tidak akan membiarakan kalian merasa sendiri. Indonesia akan selalu ada untuk Gaza, untuk Palestina."

Dada Aisyah, Noura dan Rahaf bergetar mendengaranya. Atensi mereka tertuju pada sosok kurus tinggi Arif yang selama ini memang sangat gigih dan amanah dalam menyalurkan bantuan demi bantuan yang dititipkan oleh warga muslim Indonesia.

Arif menegakkan punggungnya. Tangannya yang kokoh memegang kedua ujung rompinya yang dipenuhi noda darah. Kedua bola matanya berkaca-kaca.

"Aku sangat bersyukur bisa berada di sini dan aku sangat bangga darah ini bisa melumuri bajuku. Darah ini ... darah para mujahiddin."

Aisyah dan Rahaf mengulas senyum melihat Arif menarik ujung rompinya, lalu menempelkannya ke ujung hidungnya yang lancip.

Meskipun noda darahnya telah mengering, namun bau amis masih dapat tercium kental olehnya. Arif mengangkat wajah dengan senyum yang setia menempel di bibir.

"Aku mencium bau surga."

Noura semakin terpana. Sedari tadi gadis itu menatap Arif tanpa berkedip. Sepasang netranya berbinar, kental akan pemujaan. Kata-kata yang bergulir dari bibir Arif telah menyentuh hatinya. Tanpa dia sadari mulutnya membola. Bahkan Noura berdecak.

"Masya Allah! Aku semakin mencintaimu!"

Lengkingan Noura sangat nyaring sehingga semua pasang mata melirik ke arahnya. Perempuan beriris hijau itu tampak kelabakan saat kedua alis tebal Arif menyatu menatapnya sangat dalam.

"Ma--maksudku, aku semakin mengagumimu. Ma-maaf, terkadang ucapanku memang selalu typo."

Noura berdiri dari duduknya dengan tergopoh-gopoh. Kedua pipinya memanas dan sudah semerah kepiting rebus. Dia menggigit bibir bawahnya, lalu beranjak memutar badan. Noura tidak habis pikir dengan alibi konyol yang barusan terlontar dari bibirnya.

"Eh, Han. Bukannya kau ingin kubuatkan kopi? Aku akan mencarinya di tenda dapur. Semoga saja masih ada. Jika tidak ada akan kuambilkan air putih saja untukmu."

Tidak adanya sahutan dari Handoko membuat Noura semakin gusar. Sepasang netra hijaunya berkelana ke sekitar posko. Matanya sontak melebar mendapati Handoko yang ternyata tengah terlelap di pojok tenda.

Sebuah ransel hitam yang ditaruh di atas tanah dijadikan bantalan. Tubuh panjang Han meringkuk dengan kedua tangan dilipat di dada. Sepasang headset menyumpal kedua telinganya. Bahkan tali kamera digital masih mengalung di leher. Kini dengkuran Handoko pun mulai terdengar. Sesekali senyum tipis merekah di bibirnya meskipun matanya merapat sempurna. Handoko tengah bermimpi dikelilingi sepuluh bidadari.

"Ya ampun, pantesan dari tadi dia diam saja. Ternyata dia tertidur."

Noura berdecak, lalu ia buru-buru menyeret kedua kakinya dengan sangat gontai tanpa mau menoleh pada siapa pun.

Rahaf dan Aisyah saling melempar pandang dan mengulum senyum. Mereka sungguh geli melihat ekspresi dan tingkah Noura saat ini.

Rahaf tertegun melihat Aisyah tersenyum lebar. Kedua tangannya tenggelam pada saku jas putih yang ia kenakan. Sepasang netra teduhnya berkaca-kaca. Ia berharap Aisyah akan terus ceria seperti ini meskipun bukan dirinyalah yang menjadi alasan Aisyah untuk tersenyum.

Sedangkan Arif mematung di tempatnya bepijak. Tatapannya lurus mengintai punggung Noura yang sangat cepat menjauh dari pandangan. Arif menggeleng pelan sambil tersenyum tipis.

****

Berkat kekuatan bulan, bintang dan dorongan Handoko dari berbagai arah, akhirnya aku bisa update lagi😂😁

Hei kalian, katakanlah sesuatu tentang bab ini. Sampai sejauh ini karakter siapa yang paling bikin greget menurut kalian? 😆

Jangan lupa tinggalkan vote dan komen, biar aku tambah semangat nulisnya. Jujur sebenarnya aku udah mumet. Wkwkk.

Jangan diem-diem bae. Han cium baru kapok kalian😂

Ribath = Berjaga-jaga

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro