Bab 15 | Gaza Memanas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Malam itu Gaza kembali memanas. Gaza sedang dilumpuhkan. Ledakan demi ledakan dahsyat terdengar sangat mengerikan menjalar begitu cepat menusuk gendang telinga. Disusul bau gas beracun kini mulai terendus membuat dada Aisyah dan siapa pun yang menciumnya menjadi sesak.

Perempuan itu terbatuk-batuk. Dia meringkuk di pojok kasur sambil memeluk Mushaf di dadanya. Bahunya berguncang hebat diiringi bening air mata yang berjatuhan bebas dari netra hazel sendu itu. Aisyah tidak beranjak karena tidak ada lagi tempat bagi mereka untuk bersembunyi, kecuali meminta perlindungan dari Sang Khaliq dan berserah diri menjemput syahid.

Malam-malam di Gaza kemarin sangatlah damai. Tetapi malam ini para penzalim itu kembali mengamuk, menciptakan mimpi buruk bagi warga Gaza yang seharusnya tengah terlelap melepas penat seusai seharian bekerja.

Aisyah terisak, pilu menyergap hatinya. Dia sudah menduga hal ini pasti akan terjadi. Seperti ledakan dulu yang telah merenggut semua anggota keluarganya.

Salim dan Rauda bersimpuh di ruang tengah. Wajah keduanya sudah banjir air mata bercampur keringat dingin yang mengucur deras dari pelipis. Nyala api kecil dari lilin yang diletakkan di atas meja seketika padam tertiup angin.

"A--apa kita akan mati malam ini?"

Suara Rauda teredam desau angin yang berembus kencang. Bau gosong mulai menyeruak menembus lubang hidungnya. Dentingan nyaring yang barusan menghantam atap seng rumahnya membuatnya tersentak. Dentuman bom yang barusan menggema berasal dari belakang rumahnya. Tubuh ringkih Rauda semakin bergetar dalam dekapan Salim. Bibirnya merapal doa.

"Syahid, Rauda. Kita pasrah dan berdoa saja. Allahu Akbar. Allhau Akbar."

Suara lirih Salim sedikit menenangkan hatinya. Rauda mengedarkan pandangan, semuanya terlihat pekat. Dadanya berdebar. Cengkeraman tangan pada kaus tipis yang membalut tubuh kurus suaminya semakin erat.

"Ikut aku ke kamar Aisyah."

Salim merangkul lengan Rauda, lalu memapahnya dengan tergopoh-gopoh. Kaki dan tangannya meraba-raba agar ia dan istrinya tidak tersandung. Lelaki ringkih itu terlihat sangat tenang meskipun maut mungkin tengah mengintai keluarganya.

Malam itu sangat mencekam. Rembulan yang biasanya setia menerangi pun kini kehilangan cahaya. Pekat menyelimuti langit Gaza. Asap hitam membumbung tinggi bercampur percikan api merah menyala seperti kembang api yang liar dan mematikan.

Tidak ada bunyi serene ambulans. Tidak ada para aktivis kemanusiaan dan relawan medis. Keadaan masih memanas dan sangat kacau. Mereka hanya akan datang setelah keadaan tidak terlalu genting.

Seorang pria berseragam perwira Israel berlari tergopoh-gopoh menerobos asap hitam di tengah gelapnya malam. Bau mesiu menyeruak, ditambah bau gosong dari tubuh mulai terendus oleh hidung mancungnya.

Aaron mengusap wajah. Dia sedikit terbatuk-batuk saat sesak menyergap dadanya. Sepasang netra elangnya berkelana mengitari rumah-rumah di desa Syaima. Ia berhenti sejenak sambil memegangi kedua lutut. Sayup-sayup dia mendengar rintihan kesakitan, jeritan serta seruan takbir yang biasa ia dengar dari mulut warga Gaza.

Tujuan Aaron saat ini hanya satu yaitu mencari rumah Aisyah dan membawanya pergi dari tempat terkutuk ini. Namun di tengah kabut hitam seperti ini Aaron sedikit kesulitan karena semuanya terlihat buram. Bahkan matanya sudah sangat perih. Aaron yakin saat ini dia sudah berada di persimpangan jalan menuju gang kecil yang akan membawanya ke rumah Salim. Dia segera menyeret kedua kaki panjangnya dengan gontai.

Aaron sama sekali tidak peduli dengan warga sipil yang tengah sekarat meregang nyawa di bawah reruntuhan bangaunan rumah yang telah pasukan pengintai elit IDF kebanggananya hancurkan. Dia hanya peduli pada Aisyah dan anaknya.

****

Suara pintu kayu usang yang roboh ke tanah terdengar gaduh. Sesorang telah mendobraknya dari luar.

"SIAPA ITU?!"

Sepasang mata elang Aaron mengintai awas dalam kegelapan mencari dari mana suara Salim berasal. Kedua ujung alis tebalnya bertaut.  Jeritan memilukan menembus indra pendengaranya, ia yakin itu suara Aisyah. Dada Aaron naik turun seiring embusan napasnya yang liar dan berat. Dia segera menyeret kakinya menuju sebuah ruangan kecil yang ia yakini suara Salim dan jeritan wanita tadi berasal dari sana.

Salim berdiri dengan tergopoh-gopoh sambil menarik lengan Aisyah dan Rauda. Sepasang iris hitamnya dapat melihat siluet kekar yang menjulang di ambang pintu kamar Aisyah.

"Siapa kau? Apa yang kau inginkan dari kami?"

"Aku ingin membawa Aisyah."

"K--kau? Apakah kau Muhammad?"

Salim sangat mengenali suara Muhammad. Namun ia sedikit ragu. Dia menajamkan penglihatan pada sosok gelap di depannya. Meskipun samar, Salim dapat melihat seragam perwira Israel yang melekat di tubuh pria itu. Panik mulai menyerang hatinya. Bola matanya bahkan membesar.

"Ka-kau? Siapa kau sebenarnya."

Aisyah melebarkan bola matanya. Meski tidak dapat melihatnya dengan jelas, dia yakin jika pria itu adalah Aaron. Dia semakin mengeratkan dekapannya pada Mushaf yang sejak tadi menempel di dada. Jantungnya berdebar, tak lupa doa-doa ia rapalkan dalam hati.

"Aku tidak punya waktu untuk menjelaskannya padamu. Aku harus segera membawa Aisyah sekarang."

Suara berat Aaron kental akan penekanan. Dia tidak ingin membuang-buang waktu. Pria itu bergegas menghampiri tiga orang yang tengah berdiri di pojok kamar sempit dengan tubuh gemetar.

"Lepaskan aku! Lepaskan!"

"Jangan bawa Aisyah! Lepaskan dia!"

Rauda terisak. Susah payah ia mencoba menarik lengan kekar Aaron dari tangan Aisyah, namun tubuhnya terhuyung didorong oleh Aaron hingga tersungkur ke tanah. Wanita itu tidak tinggal diam, dia mengesot memeluk kaki Aaron yang melangkah lebar. Air mata Rauda berjatuhan banyak. Dadanya sungguh sesak.

Sementara Salim berulang kali memukuli punggung Aaron dengan sekuat tenaganya. Namun pukulannya sama sekali tak membuahkan hasil, bahkan seolah tak berasa apa-apa bagi pria yang kini tegah menggendong tubuh keponakannya.

"LEPASKAN AISYAH ...! LEPASKAN AISYAH!"

Salim meringis saat kepalanya dipukul dengan sangat keras. Tubuhnya terpental menghantam tembok seng berkarat hingga berderit nyaring. Aaron telah menendang perutnya.

"Salim!"

Rauda beringsut menyeret kedua sikunya mengesot di tanah menghampiri Salim.

"Paman! Bibi ...!"

Aisyah berteriak sangat payah. Tangan kanan Aisyah memeluk Mushaf di dadanya semakin erat. Sedangkan tangan kirinya mencakari wajah Aaron dengan membabibuta. Dia terus meronta dalam gendongan Aaron. Pria itu menggendongnya ala bridal sehingga memudahkan akses jari-jari Aisyah untuk menghabisi wajah Aaron yang keras. Kuku-kuku tajam Aisyah mencakari kedua rahang tegas Aaron, kening dan bahkan hidung bertulang keras tinggi milik tentara bejad itu. Ada getaran aneh di dadanya saat kulit mereka bersentuhan. Aisyah memohon ampunan dalam hatinya, tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain ini.

"Lepaskan aku, Keparat! Apa maumu? Turunkan aku!"

"Aku akan menyelamatkanmu dari tempat terkutuk ini. Kumohon diamlah."

"Tidak! Lepaskan aku! Lepaskan! PAMAAAN ...! BIBIII!"

Lengkingan Aisyah sangat serak bahkan suaranya nyaris hilang. Bening hangat meluruh semakin deras membasahi kedua pipinya. Satu tangannya melambai lemah, seolah ingin menggapai tangan Rauda da Salim.

Aaron sedikit meringis merasakan perih di seluruh permukaan wajahnya. Ia sama sekali tidak peduli dengan jeritan Aisyah serta isak pilu yang lolos dari bibir perempuan itu. Ia harus segera membawa Aisyah dan anaknya.

Dentuman bom kembali terdengar bersahut-sahutan dengan deru mesin jet-jet tempur F-35i Israel yang kini menari-nari di atas langit Gaza, memuntahkan rudal-rudal ke beberapa titik di desa Syaima. Aaron menelan ludah. Rahangnya mengeras dengan mata melebar seolah ingin keluar dari tempatnya. Ayunan langkah kakinya semakin gontai membawa tubuh Aisyah menjauh hingga berhasil keluar dari rumah Salim. Aaron mendongak. Dia menemukan nyala lampu berpendar dari sebuah jet tempur Israel yang kini terbang rendah di sekitar rumah Salim.

Dentuman dahsyat dari rudal yang baru saja jatuh menggema nyaring, menghancurkan gubuk-gubuk kecil warga sipil. Guncangan berskala besar itu sangat hebat hingga membuat material rumah yang hanya berbahan seng, terpal dan kayu itu pun hancur menjadi kepingan bersamaan dengan tubuh-tubuh warga Gaza yang kini terpental-pental.

Napas Aisyah dan Aaron memburu. Mereka tersungkur ke tanah di tempat yang tak jauh dari ledakan dahysat beberapa detik lalu.

Sejenak dunia seolah berhenti berputar. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Aisyah membeku menyaksikan asap hitam bercampur percikan api membumbung tinggi yang melahap rumah Salim serta rumah-rumah tetangganya. Mulut Aisyah menganga ketika perih menyerang dadanya. Dia terisak tanpa suara sambil berulang kali beringsut berusaha untuk berdiri. Aisyah ingin menghampiri rumah Salim yang kini sudah rata dengan tanah. Tetapi sebuah tangan besar menarik lengannya hingga tubuh Aisyah jatuh dalam dekapan pria itu. Tubuh Aisyah mendadak kaku dan sesak. Dekapan lengan Aaron di tubuhnya sangat erat sekokoh besi.

"Untunglah aku datang tepat waktu, Aisyah. YHWH telah menyelamatkan kita. Aku sangat bersyukur."

Hati Aaron bergetar. Sungguh ia tidak bisa membayangkan hal buruk apa yang akan terjadi andai saja ia terlambat membawa Aisyah dan anaknya keluar dari rumah Salim.

Pria itu meninggalkan dinas saat mendengar kabar dari Bert jika malam ini pasukan pengintai elit IDF dari Unit Sayeret Matkal akan menggencarkan serangan udara ke Bait Lahiya.

Aaron semakin mengeratkan pelukannya. Dia tidak peduli pada sepasang tangan lemah yang menarik-narik kerah seragam perwiranya. Bahkan kini tangan Aisyah memukuli dadanya yang bidang.

Bibir Aisyah menipis. Ia mendorong tubuh kerar Aaron yang sudah sangat lancang merengkuh tubuhnya dengan sekuat tenaga dan berhasil. Wajah Aisyah terlihat bengis dalam keremangan malam. Tangannya berayun secepat kilat menampar pipi Aaron. Bahu Aisyah naik turun seiring emosi yang meledak dalam dadanya. Aisyah melempar tatapan berang pada Aaron. Dalam pekat malam terlihat samar olehnya wajah tegas Aaron dibanjiri peluh serta garis-garis merah memanjang bekas cakaran tangannya.

"KA--KALIAN BIADAB! Apa yang kalian lakukan pada rumah Paman?K--KAU!"

"Semua ini memang harus terjadi, Aisyah. Maaf."

Aisyah membekap mulut. Tatapan sendunya beradu dengan sepasang netra elang Aaron yang sangat memuakkan baginya. Dia tidak habis pikir dengan tentara sialan itu yang bersikap biasa-biasa saja, seolah apa yang barusan terjadi bukanlah sebuah kekacauan yang besar.

Rahang tirus Aisyah mengeras. Dia membuang pandangan pada rumah Salim di seberang sana. Aisyah meringis sambil mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dadanya sangat pedih.

Semua sudah habis tidak tersisa. Kedua kaki Aisyah sangat lunglai hingga kini lututnya beradu dengan tanah. Dia bersimpuh, menatap nanar rumah Salim dan rumah-rumah tetangganya yang hancur lebur mungkin juga dengan para pemiliknya. Aisyah tidak ingin berasumsi buruk. Ia berharap para tetangga, bibi dan pamannya masih hidup.

"Pamaaaan! Bhibhiiii ...!"

"Aisyah."

Aaron mematung di tempatnya berpijak. Sungguh bukan ini yang dia harapakan. Dia tidak ingin melukai hati Aisyah. Air mata yang menggantung di ujung matanya ikut menetes melihat Aisyah tersedu-sedu seperti itu. Setelah ini dia bersumpah akan membuat Aisyah dan anaknya bahagaia. Damai bersama di negeri tercintanya, Israel.

Aaron merogoh HT yang berbunyi di balik saku celana perwiranya.

"Lapor, Letnan! Kami sudah sampai di perbatasan jalan."

"Aku segera ke sana."

Aaron berjongkok dan segera meraih lengan Aisyah, lalu membopong tubuhnya secara paksa. Ia mengabaikan jeritan Asiyah dan rontaannya yang sangat brutal. Bahkan wanita itu kembali mencakari wajahnya yang telah dipenuhi bekas cakaran Aisyah sebelumnya. Aaron membuang napas berat, sangat perih memang. Namun persetan dengan hal itu, Aaron harus segera menyelamatkan Asiyah dan anaknya.

"Mushaf-ku ...! Phamaan, Bhibii!"

Aisyah terisak. Tenggorokannya sudah sangat perih dan kering. Dia menelan ludah susah payah. Mushaf tercintanya terlepas dari gengaman, melorot jatuh ke tanah. Dia menoleh dalam gendongan pria biadab ini dengan tangan kanan yang melambai lemah, ingin meraih Mushaf suci yang kini tergeletak di tanah.

****

Kabut hitam semakin besar dan membludak membumbung tinggi melingkupi langit pekat Gaza. Berapa desa di Beit Lahiya sedang dibumihanguskan. Rudal-rudal milik Israel kembali berjatuhan menghantam bumi Gaza. Batu meledak itu menghancurkan gedung-gedung bertingkat dan rumah-rumah warga sipil hingga perlahan roboh menimbun penghuninya. Bangunan kokoh yang seharusnya menjadi naungan dari hujan dan teriknya matahari. Rumah yang semua penduduk di belahan dunia lain menyebutnya tempat ternyaman untuk melepas penat dan bercengkerama dengan anggota keluarga tercinta.

Di Gaza ... bahkan rumah-rumah merekalah yang membuat semua anggota keluarganya meregang nyawa dan kehilangan anggota keluarga tercintanya yang lain dengan sangat tragis.

Ledakan berikutnya kembali menggema, membuat tubuh-tubuh yang sedang merintih merasakan sakit kembali terpental jauh. Sebagian tubuh bahkan terpisah dari anggota tubuh yang lain. Anak-anak yang tak berdosa terbenam di antara bongkahan-bongkahan besar meterial rumah. Mereka telah syahid akibat luka di sekujur tubuh mungil mereka. Tubuh-tubuh yang terkena serpihan kaca serta besi mengerang seiring sakit dan darah yang pelan-pelan mengucur deras. Bau gosong tubuh, bau amis darah sangat menyengat tercium dan membuat hati siapa pun yang menciumnya akan meringis ngilu.

Beberapa warga yang masih tersadar bertahan sambil merapal doa di bawah serpihan bangunan yang mengubur mereka hidup-hidup. Napas mereka memburu dan semakin tersekat di kerongkongan. Seruan takbir menggema nyaring dari mulut warga Gaza bersahutan dengan desau angin dan deru mesin jet-jet tempur Israel.

Kening Asiyah menempel pada kaca jet pribadi milik Aaron. Dia mengedipkan mata, membiarkan kristal bening yang memenuhi netra hazelnya berjatuhan semakin deras. Aisyah memukuli jendela kaca kecil itu dengan sekuat tenaganya. Hatinya hancur. Dadanya sangat sesak. Entah ke mana pria berengsek ini akan membawanya pergi mengudara.

Dari ketinggian, Aisyah dapat melihat beberapa jet-jet tempur milik tentara Zionis Israel masih merajalela di langit pekat Gaza.

Bibir Aisyah bergetar. Isakan tak lagi terdengar dari bibirnya namun air mata mata enggan surut membasahi pipi. Dia terlihat sangat memelas. Aisyah meringis berulang kali dan membulatkan mulutnya tanpa bisa berbuat apa-apa untuk menolong saudara-saudaranya di bawah sana.

Entah di mana letak keadilan. Aisyah tidak melihat itu sejak belasan tahun silam.

Tak bisakah para tentara bejad itu berhenti menyerang? Tak bisakah mereka berhenti menumpahkan darah di Palestina? Tak bisakah mereka membebaskan hak-hak warga Gaza? Tak bisakah para penjajah itu membiarkan Palestina damai barang sebentar saja?

Bahu Aisyah berguncang hebat. Dia tidak kuat lagi menahan perih di dadanya. Aisyah tergugu.

Aisyah tahu semua ini sudah ketentuan Sang Khalik. Dia sangat ikhlas dan memegang kokoh prinsip bahwa semua kepedihan yang menimpa saudara-saudaranya di Gaza adalah ladang jihad bagi mereka, mengharap balasan surga dari-Nya yang Maha Perkasa. Aisyah sungguh ikhlas. Tetapi bagaimana dengan anak-anak polos yang tidak berdosa itu?

Aisyah kembali terisak. Sekujur tubuhnya sudah melemas. Janin dalam perutnya bahkan bergolak hebat. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi genting di bawah sana. Bagaimana tubuh-tubuh saudaranya ringsek tertimbun reruntuhan rumah mereka sendiri.

"Ya Rabb ...."

Aisyah membekap mulut.

"Berhentilah menangis, Aisyah. Aku bersumpah, kau tidak akan menderita lagi setelah ini. Aku akan melindungimu, kau akan aman bersamaku. Kita akan memulai kehidupan baru dan aku akan membahagiakanmu."

Aisyah menoleh ke arah sumber suara yang barasal di sebelahnya. Ia mendesis saat netra hazelnya yang sembab menemukan wajah Aaron yang dihiasi senyuman manis, namun terlihat sangat menjijikkan bagi Aisyah.

"Bermimpi saja sesuka hatimu, Latnan! Itu semua tidak akan terjadi karena aku tidak akan pernah sudi!" Aisyah menarik satu sudut bibirnya ke samping. Dia menyeka lelehan air mata di pipinya dengan sangat kasar. "Tersenyumlah kalian di atas penderitaan kami. Tidak lama lagi kekuasaan Allah akan membinasakan kalian."

Aaron mengeraskan rahang. Sepasang netra cokelat terangnya mengunci netra bundar Aisyah yang kini terlihat berang dan merah. Demi Tuhan, Aaron tidak mengerti kenapa wanita di depannya ini sangat pandai mematahkan hatinya.

"Kita lihat saja nanti," tegas Aaron tak kalah bengis.

****

Alhamdulillah aku bisa up lagi setelah mentok ide dan mager sekian lamanya  .... 😂

Kalau suka sama cerita ini dan enggak mau ketinggalan update-annya jangan lupa follow author dan masukkan SCBDA ke reading list kalian ya. Soalnya aku enggak tentu update-nya kapan lagi, jangan sampai ketinggalan😆

Gimana makin seru enggak di part ini?

Harapan kalian buat hubungan Aisyah dan Aaron apa sih?

Teşekkür ederim 💖❤💞

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro