Bab 25| Seperti Mimpi Buruk

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aroma gurih menguar dari kue qatayep yang sedang Aisyah susun di atas piring. Tangannya sangat trampil menyusun kue pancake Arab berbentuk bulan sabit tersebut hingga tersaji indah. Sesungguhnya kue khas negeri Syam dan Mesir itu hanya akan ada pada bulan suci ramadan di Gaza, namun Aisyah mengidam ingin memakannya sekaligus agar Aaron bisa mencicipinya. Sore ini dia membuat kue qatayep berisi keju Akkawi, krim dan kacang-kacangan.

Bibir penuhnya melengkung ke atas. Ia jadi teringat akan masa kecilnya dulu. Selain seorang pejuang Hamas, ayahnya juga merupakan seorang pedagang kue di pasar. Ibu dan ayahnya sering mengajak Aisyah berjualan kue qatayef selama bulan ramadan berlangsung.

"Emm, apa kau ingin memakannya sekarang?"

"Ya, tentu saja. Aku sangat penasaran dengan rasa kue buatanmu."

Aaron menoleh sekilas diiringi senyum tipis di bibirnya. Ia lantas membilas kedua tangannya yang dipenuhi busa sabun dengan kucuran air keran. Pria itu baru saja selesai mencuci beberapa piring dan mangkuk yang menumpuk di wastafel. Dia tetap membantu Aisyah untuk mencucinya meskipun perempuan itu bersikeras melarang.

Kini Aaron sudah duduk di salah satu kursi dengan kedua tangan dilipat di meja. Mata elangnya berbinar saat Aisyah meletakkan piring berisi kue qatayep di depannya, lalu menarik kursi di sebelahnya dan mendudukinya.

"Aromanya tercium sangat lezat." Aaron menyecap lidah. "Hmm ... ya, tentu saja. Kau pasti membuatnya dengan penuh rasa cinta untukku. Bukankah begitu, hm?"

Bola mata Aisyah sontak melebar dan ia bergerak gelisah di tempat duduknya. Ia buru-buru memindahkan tiga potong kue qatayef  ke piring kosong buat Aaron tanpa menyahut ucapan pria itu. Kemudian dia bergegas mengambil secawan madu, lalu menyiramkannya di atas kue qatayef secukupnya.

"Semoga saja rasanya enak, karena aku memakai resep Ibu. Dia sangat pandai sekali memunbuat kue ini dan rasanya memang sangat lezat. Makanlah, kuharap kau menyukinya."

"Aku pasti akan menyukainya."

Aaron sengaja memperdalam tatapannya mengintai netra hazel Aisyah. Entah kenapa akhir-akhir ini dia sangat senang menggodanya. Semburat merah jambu yang memoles kedua pipi putih wanita itu sangat membuatnya gemas dan ingin menciumnya.

Jantung Aaron meletup-letup. Ada hasrat yang menggebu dalam dadanya. Hasrat ingin memiliki Aisyah seutuhnya. Namun dia masih bisa menahannya. Aaron berharap semoga kelak dia bisa menikahi Aisyah. Sungguh dia sangat ingin membahagiakan Aisyah, menjaga dan melindunginya dari apa pun dengan segenap jiwa dan raganya.

"Aku sangat mencintaimu. Sangat," tegas Aaron dengan suara serak.

Tidak pernah bosan dia mengatakan hal itu di setiap hari, di setiap detik, bahkan di setiap embusan napasnya. Letnan Aaron memang benar-benar sudah gila karena Aisyah.

Beberapa hari yang lalu bahkan dia pernah memberanikan diri mendekatkan wajahnya pada wajah Aisyah, berniat ingin mengecup pipinya dengan lembut sekali saja. Namun yang ia dapatkan justru sebuah bogeman mentah dari tangan Aisyah hingga salah satu sudut bibirnya berdarah.

Aaron tersenyum geli mengingat hal itu dan dia sudah berjanji tidak akan mengulanginya lagi sampai Aisyah menjadi istrinya. Sepasang iris cokelat terangnya kini semakin intens mengunci wajah Aisyah.

"Ada apa apa denganmu?" Aisyah mendengus. Kedua pipinya semakin memanas dan jantungnya semakin berdebar-debar. "Sudah kubilang, kau jangan menatapku seperti itu. Apa kau ingin aku menusuk kedua matamu dengan garpu ini?"

Aaron tertawa pelan, lalu menggigit bibir bawahnya. Dia sungguh geregetan melihat ekspresi wajah Aisyah yang seperti itu. Wanita hamil itu sedang menatapnya dengan berang sambil mengacungkan sebuah garpu padanya.

"Seharusnya kau jangan tanya, aku kenapa? Seharusnya aku yang betanya padamu, kenapa kau sangat cantik hingga aku tidak pernah bosan untuk memandangmu, Ya Humaira?"

Kedua ujung alis rapi Aisyah saling beradu, lalu ia mengangkat bahu dan menggeleng pelan sambil mengulum senyum. Ia memindahkan dua kue qatayep rasa kacang dan krim ke piringnya, dan menyiramnya dengan sedikit madu. Ia heran kenapa ada tentara Israel yang seperti Aaron ini.

"Jangan mengagumi kecantikan, atau apa pun di dunia ini dengan berlebihan. Karena semuanya tidak ada yang abadi. Kelak kecantikan ini pun akan memudar saat aku menua. Wajahku akan menjadi keriput dan sangat jelek."

"Kau benar, tetapi aku akan tetap mencintaimu meskipun kulitmu sudah keriput."

Aaron berdeham pelan, lalu mulai memakan kue qatayep rasa kacang dan mengunyahnya pelan-pelan. Rasa manis dan gurih perlahan menjalar di lidah dan mulutnya.

Bibir penuh Aisyah semakin merekah mendengarnya. Hatinya meleleh sama seperti manisnya madu yang mulai lumer di mulutnya saat ini.

"Astagfirullah. Cepat habiskan saja makanannya, jangan berkata seperti itu terus!" protes Aisyah, lalu menggigit bibirnya.

Lagi-lagi Aaron ingin terkekeh melihat Aisyah yang dibuatnya salah tingkah seperti itu.

Keduanya pun hanyut dalam obrolan ringan sambil menyantap cemilan manis dan secangkir teh hangat beraroma khas. Aaron terhanyut saat Aisyah kembali bercerita tentang kisah Rasulullah saw dan para sahabat-sahabatnya.

Kali ini Aisyah sedang menceritakan kisah cinta Ali Bin Abi Thalib dan putri Rasullah saw, Fatimah Az-Zahra.

Mata Aaron berkaca-kaca saat mendengarkannya. Lama-lama dia tenggelam dalam setiap kalimat yang terlontar dari bibir ranum Aisyah. Ia mengagumi Ali yang begitu rapi menyimpan perasaan cintanya pada Fatimah, bahkan pasrah ketika Fatimah dilamar oleh Abu Bakar As Shiddiq dan Omar Bin Khatab. Namun semangat Ali kembali menyala saat mendengar kabar jika lamaran kedua sahabat nabi yang mulia tersebut ditolak.

"Ali tidak punya apa-apa kecuali baju besi, pedang dan unta yang pernah beliau gunakan untuk berperang. Karena pedang dan untanya masih dibutuhkan untuk berdakwah, maka Rasulullah SAW menyuruhnya untuk menjadikan baju besinya sebagai mahar. Ali pun akhirnya memberikannya dengan penuh suka cita karena
Rasulullah SAW, beliau puas menerima seserahan dari Ali."

"Lalu?" Aaron menatap Aisyah dengan serius, dia terlihat begitu antusias.

"Lalu akhirnya mereka pun menikah. Rasulullah SAW juga mengatakan kepada Ali wajib berbahagia, karena sesunghuhnya Allah-lah yang sudah lebih dulu menikahkan mereka di langit, sebelum menikahkan keduanya di bumi. Ali adalah jodoh yang telah disiapkan untuk Fatimah."

Aisyah mengukir senyuman manis di bibirnya walaupun hatinya bergemuruh. Mengingat indahnya kisah cinta Ali dan Fatimah, ia jadi memikirkan nasib cintanya dengan Aaron yang jelas-jelas berbeda keyakinan. Dada Aisyah menjadi perih, akankah kisah cintanya dengan Aaron berakhir bahagia?

"Kisah cinta yang sangat mengharukan."

Aaron menegakkan posisi duduknya. Berbicara tentang pernikahan sunguh membuat hatinya tergugah. Rasanya sangat ingin sekali dia melamar Aisyah sekarang. Namun lidahnya selalu membelit setiap kali ingin mengucapkan hal itu.

"Aisyah, aku ...." Aaron menahan napas. "Aku ... maukah kau men---"

"Jadi ini, Tikus Palestina yang sudah meracuni otak putraku?"

Suara berat yang tiba-tiba menggema nyaring di dapur itu membuat Aisyah dan Aaron terkesiap. Keduanya sontak berdiri dengan mata membola.

Gesekan benda tajam yang beradu dengan lantai terdengar sangat mengerikan, hingga meninggalkan bekas garis memanjang pada lantai marmer tersebut. Disusul ketukan beberapa pasang sepatu hitam yang mengiringi langkah tegas Erez yang membuat suasana menjadi tegang.

Wajah tegas Aaron mendadak pucat. Bahkan kedua tungkai kakinya gemetar. Ia menelan saliva susah payah, bagaimana mungkin dia sampai tidak menyadari kedatangan mereka seperti ini.

"A--ayah!"

"Menyingkirlah dari hadapannya!"

"Tidak, Ayah! Kumohon."

"AARON!"

Aaron menggeleng cepat sambil merentangkan kedua tangannya untuk melindungi Aisyah.

"Jangan takut, Aisyah. Aku akan melindungimu."

Aisyah mengangguk pelan, lalu mengeratkan cengkeraman tangannya pada kaus putih Aaron. Dia bersembunyi di balik punggung Aaron dengan tubuh gemetar. Tangan satunya memeluk perut buncitnya yang bergolak. Janinnya seolah mengerti jika bahaya mungkin saja sedang mengintai mereka. Aisyah menelan ludah saat tatapannya beradu dengan sepasang mata milik Erez yang menatapnya berang.

Tatapan tajam Erez menggelap. Genggaman pada sebilah pedang di tangannya semakin menguat. Dia sudah sangat siap melemparkan pedangnya, tak sabar ingin mencuci pedang kesayangannya dengan darah seorang Palestina.

"Kumohon jangan sakiti dia, Ayah!" Rahang Aaron mengeras. "Aku tidak akan membiarkan kau menyentuhnya barang sedikit saja."

Aaron dan Aisyah mundur beberapa langkah saat Erez berjalan tegas mendekati mereka hingga punggung Aisyah membentur tembok.

"Dia sudah meracuni otakmu. Maka dia harus mati!"

Aaron meraih sebuah revolver hitam dari saku celananya saat Erez mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Dia mengarahkan moncong revolvernya pada sang ayah.

"Demi YHWH, jangan bunuh Aisyah!" Suara Aaron bergetar. Ia menarik pelatuk revolvernya sambil berurai air mata. Dadanya sangat perih. "Dalam rahimnya ada darah dagingku dan da--darah dagingmu juga, Ayah! Kau tidak ingin YAHWH menghukummu karena membunuh darah dagingmu sendiri, bukan?"

Hati Erez tertohok, otak anaknya benar-benar sudah diracuni tikus Palestina itu. Aliran darahnya semakin terpompa deras. Emosinya memuncak. Sungguh dia tidak menyangka putra kebanggaannya sudah berkhianat bahkan berani mengancamnya dengan senjata.

"Persetan dengan dosa jika itu menyangkut Palestina!" Erez menggeram. "Aku sama sekali tidak peduli! Turunkan senjatamu dan menyingkirrrlaaahaah!"

"Tidak, Ayah!"

"Kau ingin membunuh ayahmu sendiri hanya demi melindunginya, Nak?" Suara Erez melembut, kental akan luka. Dadanya sesak melihat putra satu-satunya sudah hilang akal seperti ini.

Tak ingatkah Aaron dengan kematian ibunya yang terbunuh secara tragis. Tragedi pengeboman bunuh diri yang dilakukam seorang Palestina di stasiun bis Tel Aviv yang menewaskan banyak orang, termasuk istri tercintanya sudah membutakan mata hati Erez dengan dendam.

"Maaf, Ayah. Aku sangat mencintainya!"

"Mencintai seorang Palestina yang telah membunuh ibumu?"

Aaron menggeleng. Lelehan air mata di kedua pipinya semakin deras. "Aiysah sama sekali tidak ada sangkutannya dengan itu, Ayah. Kumohon sdarlah."

"TETAP SAJA DIA SEEKOR PALESTINA DAN DIA SUDAH MEMBUATMU BERKHIANAT. MAKA ... DIA HARUS MATI!" Erez berkata mutlak.

Suasana semakin menegang. Lima mafia bayaran berjas hitam bergerak cepat mengepung Aaron dan Aisyah. Sementara Aaron dan Erez semakin mengeratkan genggamannya pada senjata masing-masing.

Aisyah menjerit saat lengannya diatarik secara kasar oleh lelaki berjas hitam. Ia meringis merasakan perih ketika rambut panjang yang dibalut hijab hitammya dijambak oleh lelaki itu. Moncong pistol menempel keras di pelipisnya, menekannya kuat hingga Aisyah memejamkan mata menahan nyeri. Kedua tangannya ditekuk kasar ke belakang. Aisyah merintih. Butiran kristal bening berjatuhan semakin banyak dari netra hazelnya, dadanya sangat pedih.

Aaron sudah menceritakan semuanya tentang Erez. Aisyah sudah sangat pasrah, berserah diri pada Sang Khalik atas apa pun yang akan terjadi padanya. Bibir Aisyah bergetar, ia merapal doa-doa di sela-sela tangisannya yang sangat menyayat hati.

Kedua lutut Aaron semakin lemas. Tangan kokoh yang setia menggenggam revolvernya pun ikut bergetar. Dadanya bergemuruh. Dia sangat mengenali watak sang ayah, Erez tidak akan segan-segan membunuh Aisyah.

"Ja--jangan bu--bunuh dia, Ayah! Kumohon. Dia sedang mengandung anakku, darah dagingmu."

Lutut Aaron bergetar. Ia melempar tatapan sendunya pada Erez dan Aisyah secara bergantian. Wajah tegasnya memerah dan basah oleh air mata.

"Lepas kerudung dan kebangsaannya! Maka akan aku pertimbangkan," tegas Erez dengan suara bergetar.

Aaron berkedip. Bibirnya berkedut hingga perlahan melengkung ke atas. Hatinya tertegun. Ia menurunkan senjatanya dan berjalan tertatih menghampiri Aisyah.

"A--Aisyah, apa kau mendengarnya? Ayah akan merestui kita jika kau sudi melepas kerudung dan kebangsaanmu. Kita akan menikah." Aaron mengangguk antusias. Ia mengunci netra Aisyah yang basah oleh air mata dan tak henti-hentinya mengalir. Wajah Aisyah memerah dan sangat memelas, hati Aaron pedih melihatnya.

"Lepas agama dan kebangsaanmu, maka kau akan aman bersamaku, Aisyah." Aaron menyeka wajah basah Aisyah menggunakan kedua ibu jarinya. Tatapan mereka saling terkunci sangat dalam. Dia sangat berharap Aisyah mengangguki perkataannya.

"Kumuhon, Aisyah mengangguklah." Aaron tersenyum manis, meskipun hatinya sangat pedih. "Aku bersumpah akan melepas jabatanku, kita akan tinggal di Eropa. Aku ingin memulai kehidupan baru denganmu. Ki--kita akan bahagia, Aisyah. Kita akan meninggalkan perang."

Air mata Aaron tumpah semakin deras. Senyum di bibirnya semakin lebar, hingga lesung pipitnya kentara. Bayang-bayang manis pernikahan melintas jelas di pelupuk matanya. Sungguh bahagiannya ia andai saja semua itu dapat terwujud. Tangannya meraih dagu Aisyah dengan gemetar, mengunci tatapannya semakin lekat.

Aiysah tersedu-sedu. Dia tidak sanggup menahan perih di dadanya. Kedua matanya sudah sangat perih. Ia menelan ludahnya susah payah. Perempuan mana yang tidak ingin bahagia bisa menikah dengan lelaki yang dicintainya, terlebih lagi Aisyah sedang mengandung anaknya.

Bibir Aisyah ikut melengkung manis saat Aaron melempar senyum padanya. Terbayang di benaknya suasana pernikahan yang romantis dan indah. Kisah cintanya akan berakhir bahagia dengan anak-anak lucu yang akan meramaikan rumah tangga mereka dengan tangis dan tawa. Aisyah terpejam. Senyum tipis masih setia menempel di bibirnya. Namun lelehan air hangat di kedua pipinya justru semakin deras. Dadanya berdenyut sangat nyeri.

"Aisyah, kau bersedia bukan? Lepas agama dan kebangsaanmu dan menikahlah denganku?" Aaron menatap Aisyah penuh harap.

"Tidak." Aisyah membuka matanya, mengunci netra elang Aaron dengan serius. Senyum di bibirnya sirna hingga membentuk garis lurus. Dadanya bergetar. "Aku terlahir sebagai seoarang Muslimah dan hanya akan mati sebagai seorang Muslimah," tegasnya. Tidak ada sedikit pun keraguan yang terselip pada ucapannya.

Senyuman di bibir tipis Aaron mengerucut. Ada benda tajam yang seolah menusuk jantungnya dan membuatnya sangat perih.

"Ka--kau tidak mencintaiku?"

"Aku mencintaimu. Sangat." Aisyah tersenyum manis. "Tetapi aku lebih mencintai Allah, agama dan tanah kelahiranku, Palestina."

"Demi Tuhan, Aisyah. Ayah akan membunuhmu!"

Tidak akan lelah Aaron membujuk Aisyah. Sungguh dia tidak ingin hal buruk menimpanya.

"Maka bunuh sajalah aku jika itu yang ayahmu inginkan!" Aisyah menggeleng sambil tersenyum samar. Air mata sudah mengering di kedua pipinya. "Aku tidak akan melepas agama dan kebangsaanku hanya karena cinta pada makhluk cipataan-Nya."

"Lihatlah, betapa angkuhnya wanita Palestina ini!"

Wajah Erez semakin garang. Dia menggeram. Harga dirinya sudah diinjak-injak oleh ucapan Aisyah. Erez tidak suka membuang-buang waktu. Kesabarannya sudah habis. Lelaki paruh baya itu menyeret langkah kakinya dengan gontai menghampiri Aaron dan Aisyah.

"Menyingkirlah, Nak! Biarkan Ayah menghabisi Tikus Palestina yang tidak tahu diri ini!"

Sebilah pedang di tangannya berdecit seiring langkah tegas Erez, menggores lantai marmer dengan ujung pedangnya yang tajam. Rahangnya semakin mengeras dengan tatapan berang yang ia hunuskan pada wajah basah Aisyah di pojok dapur. Ia kembali mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, siap menebas kepala Aisyah atau perut buncitnya yang telah membuat putranya gila.

Aaron melebarkan matanya. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Suaranya tersekat di kerongkongan. Ia menggeleng lemah. Ini seperti mimpi buruk baginya. Demi Tuhan, dia sungguh tidak menyangka semuanya akan terjadi secepat ini. Apa yang harus dia lakukan?

"Menyingkirlaaaaah!"

"AYAAAAAH ...!"

*****

😭 Sudah kepanjangan. Aku sambung lagi besok ya, atau lusa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro