Bab 26 | Sumpah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Nungguin, ya ...? 😆

Siapkan hati kalian ...!🙈🙏

****

"AYAAAH ...!"

Aaron mengerang saat pundaknya dihantam benda keras oleh seseorang. Ia meringis merasakan nyeri yang tiada terkira hingga tubuhnya tersungkur ke lantai. Susah payah ia beringsut, merangkak dengan kedua sikunya untuk menggapai kedua kaki Erez yang hampir mendekati Aisyah dan dia berhasil. Napasnya tersenggal-senggal.

"Ku--kumohon jangan sakiti dia!"

"Lepaskan kakiku!"

"Tidak, Ayah!"

Langkah Erez terpaksa terhenti karena kedua tangan Aaron memeluk kakinya dengan sangat erat. Rahangnya semakin mengeras. Ekor matanya melirik dua lelaki berjas hitam yang tak jauh darinya, memberi isyarat untuk mengamankan Aaron.

Tangisan Aisyah semakin pecah. Keringat dingin megucur deras dari pelipisnya. Janin dalam perutnya bergolak hebat. Doa-doa dan dzikir tidak terputus dirapalkan dalam hati. Benda keras yang menodong pelipisnya ditekan semakin kuat oleh lelaki berbadan kekar yang sedang mengekang kedua tangannya sejak tadi.

Tatapan sendu Aisyah tertuju pada Aaron yang sedang berkelahi dengan tiga mafia suruhan Erez. Aisyah ikut meringis melihat wajah Aaron dipukuli secara membabibuta. Bahkan kini wajah lelaki yang sangat dicintainya kembali mencium lantai dengan sangat keras.

"Ja--jangan sakiti dia!"

Aisyah berteriak sangat parau. Air matanya kembali tumpah dengan deras. Ia menelan ludah saat tatapannya beradu dengan sepasang mata berang Erez.

Lelaki paruh baya berjubah hitam itu sudah berada di hadapan Aisyah. Kebencian di dadanya memuncak. Tangan kerasnya mencengkeram rahang Aisyah dengan sangat kasar, memaksanya mendongak. Bibir tipis kehitamannya mendesis.

"Tikus Palestina." Erez menggertakkan gerahamnya sangat kuat. Tatapannya menajam, mengintimidasi wanita sialan yang kini justru memejamkan matanya rapat-rapat. "Kau sudah berani-beraninya mengusik hidup putraku, maka aku tidak akan pernah memaafkanmu. Kau ... dan bayi sialan ini pantas mati."

Aisyah membeku. Ia semakin menguatkan iman di dadanya, berdoa lebih banyak dan khusuk. Dia sudah memasrahkan hidup dan matinya pada Sang Khalik. Benda tajam panjang itu kini menempel tepat di lehernya yang dilapisi kain tipis. Jantung Aisyah seamakin berdebar-debar.

Sedangkan kondisi Aaron sekarang semakin melemah. Ia tengkurap di lantai, menatap nyalang wanita yang sedang mengandung anaknya sedang ditodong pedang tajam oleh sang ayah. Biru kehitaman dan merah melumuri wajah tegas Aaron. Darah segar menetes dari lubang hidung dan ujung bibirnya. Di pelipisnya pun terdapat goresan pisau. Sungguh dia tidak mempersiapkan apa-apa ketika dirinya diserang secara tiba-tiba seperti ini.

Sebuah revolver hitam miliknya yang tergeletak di lantai membuat Aaron mengulas sedikit senyum. Susah payah ia mengesot dengan kedua sikunya. Mulut Aaron menganga, merintih tanpa suara ketika nyeri mendera raganya. Belum sempat tangannya meraih gagang revolver hitam itu, Aaron kembali memekik kala sepatu hitam yang keras menginjak telapak tangannya tanpa ampun, menekannya dengan sangat kuat. Bunyi tulang retak pun serta-merta terdengar sangat mengerikan.

Lelaki berbadan besar itu menaiki punggung Aaron, menarik kedua tangan sang letnan dan menekuknya ke belakang.

"Maaf, Letnan. Aku berbuat begini karena perintah Tuan Erez."

"Bedebah kau, Baruch!"

Aaron mendesis. Ia bersumpah setelah ini akan membuat perhitungan dengan kaki tangan ayahnya itu. Pandangan netra elangnya semakin memburam. Tubuhnya membeku, Aaron nyaris kehilangan kesadarannya. Dalam posisi tengkurap ditindihi badan besar Baruch, Aaron hanya mampu mendongak sambil meluruhkan air matanya. Sebuah moncong pistol pun sudah menempel di belakang kepalanya. Aaron menahan napas.

Dia sungguh tidak berguna. Aaron sangat payah. Dia tidak bisa melindungi Aisyah seperti janjinya selama ini.

"A--Ayah---" Aaron megap-megap. Ia kesulitan memburu oksigen. "Jika kau sampai membunuhnya, maka kau akan kehilangan putramu untuk selamanya!"

Erez tersentak. Genggamannya pada gagang pedang semakin menguat dan bergetar. Pedangnya masih setia menempel di leher Aisyah, dengan sekali hentakkan saja tentunya ia bisa menebas kepala wanita Gaza ini. Tatapan tajamnya beradu dengan netra sendu Aaron yang memerah. Erez menyeringai.

"Aku ... tidak akan segan-segan menghabisi nyawaku sendiri dan setelah itu kau akan menyesal di seumur hidupmu!" Bibir Aaron tersenyum miris, dadanya bergetar. "Demi napas terakhirku, Ayah. Ku--kumohon jangan bunuh Aisyah!"

"Jangan berbuat bodoh lagi kau, Aaron!"

"Aku tidak pernah main-main dengan ucapanku! Jika kau membunuhnya sama saja dengan kau membunuhku. Demi YHWH, aku sangat mencintainya, Ayah. Ku--kumohon ...."

Dada Erez tertohok. Anaknya benar-benar sudah tidak waras dan selalu dibutakan oleh cinta. Masih membekas di benaknya, saat di mana Aaron dikhianati oleh Rebecca. Putranya yang gagah itu sampai frustrasi dan nyaris mengakhiri hidupnya kalau saja waktu itu dia tidak datang menyadarkannya.

Bibir tipis Erez semakin menipis hingga membentuk garis lurus. Wajah merahnya perlahan memucat. Awalnya ia sangat bersyukur karena Aaron sudah bisa melupakan mantan kekasihnya dan kembali bersemangat menjalankan misi negara dan membalaskan dendam atas kematian istrinya. Namun ... dia sungguh tidak habis pikir jika penyembuh luka hati sang putra adalah seorang Palestina yang sampai kapan pun akan dibencinya.

"Buang jauh-jauh pikiran konyolmu itu!" tegas Erez.

"Aku tidak sedang bergurau. Bunuh sajalah aku sekalian biar kau puas, Tuan Erez Ben Eliyahu!

Aaron menantang. Ia melempar senyum sinis pada Erez. Kedua netra elangnya nyaris redup. Darah segar kembali menetes dari ujung bibirnya, memerahi lantai yang ia tiduri.

Erez menurunkan pedangnya dari leher Aisyah. Ia memutar badan, lalu menyeret kedua kakinya dengan gontai menghampiri Aaron. Kedua netra cokelatnya meluruhkan air mata hingga membasahi peyot panjang di kedua pipinya.

Aliran darahnya sudah mendidih. Dadanya sungguh sesak atas pengkhianatan dan ucapan Aaron barusan. Tentunya dia tidak ingin kehilangan satu-satunya anak yang ia miliki. Kepergian Ayala dan Shirel sudah cukup membuat dunianya terasa mati. Aaron adalah satu-satunya harapan dan semangat hidupnya selama ini. Seorang perwira Israel yang akan selalu menjadi kebanggaannya.

Kedua netra elang Aaron melebar saat ujung mata pedang yang Erez tancapkan pada lantai tepat di depan matanya berdecit nyaring, sangat mengilukan. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Mulutnya menganga tanpa suara. Dadanya sangat perih ketika tatapannya beradu dengan netra sang ayah yang juga berair. Rabi Yahudi itu berjongkok di depannya dan memegangi puncak kepala Aaron dengan keras.

"Aku tidak akan membunuhnya asal kau mau berjanji satu hal padaku."

"A--apa?"

"Berjanjilah atas nama YHWH dan Kitab Taurat. Berjanjilah bahwa kau tidak akan pernah lagi mencari wanita itu. Berjanjilah untuk melupakannya dan berjanjilah untuk membuang rasa cintamu itu jauh-jauh. Berjanjilah, Nak."

Sebulir kristal bening kembali jatuh dari ujung matanya. Aaron tersedak. Bibirnya membulat, hendak berbicara, namun lidahnya justru membelit. Inikah akhir dari kisah cintanya dengan Aisyah? Setelah sekian lama ia berjuang untuk memenangkan hati Aisyah. Baru dua minggu cintanya dibalas oleh Aisyah dan kini ... haruskah kembali kandas.

Namun apa yang bisa Aaron lakukan sekarang? Susah payah Aaron mendongak, mengintai wajah basah Aisyah di seberangnya yang masih ditodong oleh senjata api. Wanita itu menatapnya dengan sendu. Sorot matanya seakan tak rela jika Aaron sampai menuruti keinginan ayahnya.

"Aaa--Aisyah ...."

Aaron meringis, dadanya sungguh perih. Bahunya berguncang. Dia tidak sanggup menahannya. Saat ini dia sungguh tidak punya pilihan lain untuk menyelamatkan Aisyah dari Erez.

"Cepat berjanjilah padaku, Nak. Sebelum aku berubah pikiran dan menghabisinya dengan satu peluru saja!" desak Erez.

Aaron menggeleng lemah. "A--aku berjanji. Jangan bunuh dia. Biarkan dia dan anakku hidup. Aku berjanji, Ayah." Mata elang Aaron terpejam rapat.

Aisyah terisak tanpa suara. Tenggorokannya sudah sangat kering. Sungguh ia tak rela jika sampai Aaron bersumpah untuk melupakannya. Dia bahkan rela mati di atas iman dan cintanya pada Aaron karena Sang Khalik, daripada harus berpisah seperti ini.

"A--AKU BERSUMPAH DEMI NAMA YHWH DAN KITAB SUCI TAURAT. AKU ... A--AKU." Aaron nyaris kehilangan suaranya. "A--AKU TIDAK AKAN PERNAH LAGI MENCARINYA DAN AKAN ME--MELUPAKANNYA. Aku ... akan melupakan---"

Erez mengembuskan napas lega. Doa-doa dalam bahasa Ibrani terurai dari bibirnya. Ia berdiri sambil membusungkan dada. Ia menyuruh Baruch untuk bangun dari tubuh Aaron dan membantunya beridiri. Ia melempar tatapan tajam pada Aisyah dan lelaki kekar yang mengekangnya.

"Buang Tikus Palestina itu ke perbatasan!"

Moncong pistol yang semula menempel di pelipis Aisyah diturunkan. Dua lelaki berotot besar mengamit kedua lengan Aisyah, lalu menyeretnya dengan sangat kasar.

Aisyah memekik. Ia memaksa menghentikan langkah kakinya yang lunglai di hadapan Aaron yang juga kedua lengannya diamit Baruch dan Erez.

Wajah Aisyah dan Aaron sudah basah oleh air mata. Penampilan keduanya sangat memelas. Wajah Aaron dipenuhi memar dan darah segar. Sedangkan wajah Aisyah sangat pucat dan lusuh. Netra keduanya saling menumbuk dalam. Tidak ada kata yang terlontar dari bibir mereka yang bergetar. Sorot mata merekalah yang berbicara, bahwa hati Aisyah dan Aaron sama-sama terluka.

Susah payah Aisyah menelan salivanya saat Aaron memalingkan wajah. Dia tersentak saat kedua lelaki suruhan Erez menarik tubuhnya,  menjauh dari Aaron. Langkah kakinya sangat payah, terus dipaksa melaju melewati pintu dapur.

Kepala Aisyah terus menoleh ke belakang, mengintai wajah lelaki yang sudah berhasil mencuri hatinya itu. Kini ... dia sudah melepasnya pergi, bahkan sudah bersumpah akan melupakannya. Lalu bagaimana dengan cintanya? Bagaimana dengan nasib anak yang sedang dikandungnya? Aisyah tersedu-sedu. Ia meringis, hatinya sangat pedih.

Maafkan aku, Aisyah. Maafkan aku. Demi YHWH, aku sangat mencintaimu. Sangat.

Aaron terisak. Bahunya berguncang saat Erez menepuknya berulang kali. Tatapan basahnya berubah nyalang, mengintai punggung Aisyah yang kini menghilang dari pandangan. Dia sangat kecewa dengan dirinya sendiri. Aaron sangat bodoh dan payah.

Bukankah dia sudah berjanji pada Aisyah akan membahagiakannya. Namun ia kini justru telah membuat wanita yang sangat dicintainya terluka dan menangis.

****

😭 Ini aku maksain nulis buat kalian. Semoga feel-nya masiy dapet soalnya dadakan banget. Tapi demi Allah, aku ngetiknya sambil nangis di bab ini ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro