Bab 29| Amarah Aaron

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari demi hari berlalu begitu cepat, Aisyah melewatinya dengan penuh perjuangan. Saat ini usia kandungannya sudah genap sembilan bulan. Tidak lama lagi dia akan segera melahirkan. Selama ini Aisyah tinggal di kamp pengungsian Jabaliya bersama warga Gaza yang lain. Noura sempat mengajak Aisyah untuk tinggal di rumahnya, namun ia menolak dan memilih tinggal bersama anak-anak. Aisyah sangat senang menyibukkan diri dengan mengajar dan bermain bersama mereka. Semua itu membuatnya lebih bersemangat dan tidak terlalu hanyut dalam konflik hatinya.

Aisyah sudah mengikhlasan kepergian Salim dan Rauda. Ia juga sudah mengikhlaskan cintanya untuk Aaron kepada Sang Khaliq. Kehidupan akan terus berjalan. Aisyah tidak ingin patah semangat. Masih ada janin dalam perutnya yang harus ia perjuangkan. Di tengah carut-marut hujan rudal yang masih selalu dikirim oleh tentara Israel, Aisyah ingin bertahan hidup dan melahirkan anaknya dengan selamat.

Noura, Rahaf, Arif dan teman-temannya yang lain selalu memberikan perhatian lebih dan dukungan. Aisyah sangat bersyukur akan hal itu. Dia tidak sendiri, masih banyak orang-orang baik dan tulus yang selalu menjaganya.

Selama itu pula tidak pernah ada kabar lagi dari Aaron. Pria itu bagai menghilang ditelan bumi. Aaron benar-benar sudah menepati sumpahnya untuk melupakan Aisyah. Aisyah menahan napas saat sesak tiba-tiba menyergap dadanya. Janin dalam perutnya menendang keras, Aisyah segera mengusapnya dengan hati yang bergemuruh.

Bayang-bayang wajah dan perlakuan Letnan Aaron selama ini masih sangat membekas di hati dan pikirannya. Mungkin tidak akan pernah bisa Aisyah lupakan di seumur hidupnya. Rasa cintanya pada Aaron sudah telanjur dalam terpatri di dasar hatinya.

Aku sangat merindukanmu Semoga Allah selalu menjagamu di mana pun kau berada

Kau tahu, sebentar lagi anak kita aka lahir. Bukankah kau sudah tidak sabar ingin menggendongnya?

Bahu Aisyah berguncang. Hatinya semakin perih. Sebulir bening hangat meluncur dari ujung matanya, ia segera mengusap menggunakkan ujung kerudung. Aisyah tidak ingin ada yang melihatnya.

Aisyah menegakkan duduknya saat pintu terpal biru miliknya disingkap oleh seseorang dari luar. Netra hazelnya mendapati kepala Noura menyembul di sana, disusul Arif, Han dan Rahaf. Bibirnya mengulas senyum manis.

Mereka berempat mengambil duduk di tanah berlapis tikar, hingga saling berhadapan dengan Aisyah. Kemudian mereka menaruh kantung pelastik yang mereka jinjing barusan di hadapan Aisyah.

"Apa ini?" tanya Aisyah.

"Ini hanya sedikit hadiah dari kami untuk menyambut kelahiran anakmu. Semoga kau akan menyukainya."

Noura tersenyum hangat. Ia menaruh beberapa kantung pelasik bawaannya di depan Aisyah dan mengeluarkan isinya satu per satu.

Mereka patungan membelikan Aisyah beberapa kain bayi, baju bayi, bedak, minyak telon dan perlengkapan bayi lainnya. Semuanya berwarna biru dengan motif beragam yang sangat lucu dan menggemaskan. Kedua netra Aisyah kembali menggenang air mata. Hatinya terenyuh.

"Masya Allah, terima kasih. Ini sangat banyak. Kalian sungguh baik padaku. Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian."

Aisyah menatap wajah mereka satu per satu sambil menyuguhkan senyum terbaik. Hingga senyumnya sedikit memudar kala tatapannya terkunci dengan sepasang netra hitam milik Rahaf. Lelaki itu tersenyum tulus pada Aisyah. Canggung tiba-tiba menyelinap ke dadanya. Beberapa hari yang lalu, Rahaf kembali mengutarakan perasaannya. Aisyah sungguh tidak menyangka jika Rahaf masih setia mencintainya.

Noura paham apa yang dirasakan Aisyah. Perempuan itu berdeham, lalu mengurai tawa pelan seraya mengusap punggung Aisyah.

"Aisyah, mmm ... sebenarnya ada kabar baik yang ingin aku sampaikan padamu."

"Apakah itu? Kau jangan membuatku penasaran."

Aisyah menautkan alisnya melihat Noura dan Arif saling mengerling dan bertukar pandang.

"Kau saja yang mengatakannya."

"Lebih baik kau saja."

Arif menegakkan punggungnya saat sikunya disenggol Noura.

"Astagfirullah, Dasar Tuan dan Nyonya Kecambah! Tinggal ngomong doang ribet banget dah!" Handoko berdecih. "Jadi begini, Ai. Arif sudah melamar Noura dan sebentar lagi mereka akan menikah."

"Be--benarkah?" Mulut Aisyah membola. Ia mengintai wajah Noura dan Arif secara bergilir dengan mata berbinar. "Alhamdulillah, aku ikut senang mendengarnya. Akhirnya cinta dalam diammu menjadi nyata!"

Noura mengulum senyum saat Aisyah merengkuh tubuhnya. Dadanya dipenuhi haru. Dia sungguh bahagia dan bersyukur.

"Jadi kapan rencana kalian akan menikah?" tanya Aisyah setelah melepas pelukan.

"Insya Allah setelah kau melahirkan. Kami ingin menemanimu dan memastikan anakmu terlahir dengan selamat. Setelah itu baru aku akan mengajak Noura ke Jakarta. Kedua orang tuaku ingin kami menikah di sana." Arif tersenyum hangat.

"Alhamdulillah, terima kasih sebelumnya. Semoga pernikahan kalian dilancarkan nantinya."

Aisyah menggenggam tangan Noura dengan erat, lalu menatap wajah Noura yang merona. Binar-binar bahagia terpancar jelas di netra hijau sahabatnya. Aisyah sungguh ikut senang dan terharu.

"Amiin, Ya Rabb."

Noura merengkuh tubuh Aisyah dalam dekapan sejenak, lalu kembali melepasaknnya.

"Amiin!" seru semuanya.

"Kami permisi dulu. Kita harus kembali ke rumah sakit."

Arif bediri dari duduknya disusul Noura dan Han.

"Hati-hati di jalan," ujar Aisyah.

"Kalian duluan saja, nanti aku akan menyusul. Aku ingin bicara sebentar dengan Aisyah."

Rahaf mengulas senyum hingga belahan di dagu lancipnya kentara. Sepasang netra teduhnya menatap wajah ketiga temannya dengan tenang.

"Ya sudah, baiklah kalau begitu. Aisyah, nanti malam aku akan menginap di sini." Noura melambaikan tangan.

Aisyah mengangguk. Bibir ranumnya merekah saat Noura melempar senyum. Mereka bertiga sudah berada di luar tenda. Han dan Arif pun melambaikan tangan seraya mengulas senyum untuknya.

Tiba-tiba kepala Han kembali menyembul di ambang pintu tenda. "Setelah kau melahirkan, aku akan melamarmu, Ai!" ujarnya dengan senyuman lebar khasnya, lalu ia berkedip genit.

"Astagfirullah."

Asiyah menggeleng sambil terkekeh pelan. Ini bukan kali pertama lelaki tengil itu menggodanya. Kali ini dia tidak pernah marah seperti dulu, Aisyah tahu Han orang baik yang suka bercanda dan sikapnya memang aneh.

Rahaf melempar tatapan tajam pada pria yang kerap kali menggoda hampir semua perawat wanita di rumah sakit itu.

"Kau sungguh ingin bersaing denganku rupanya?"

Han terbahak melihat sekspresi Rahaf yang tampak tercengang dengan semburat merah di wajah.

"Seperti pepatah di Indonesia, sebelum janur kuning melengkung, maka masih boleh ditikung. Jadi tidak apa-apa kalau aku mau bersaing secara sehat denganmu," ujar Han dengan nada serius. Jujur saja pria blasteran Turki itu memang sangat mengagumi sosok Aisyah sejak awal mereka bertemu. "Lagipula Aisyah belum menerimamu, bukan?"

Rahaf tidak menyahut. Memang benar apa yang Han ucapkan, bahkan dia sudah ditolak dua kali oleh Aisyah. Pria bersurai ikal itu hanya berdeham, lalu menoleh pada Aisyah sambil mengulas senyum. Sungguh dia sangat tulus mencintai Aisyah dan ingin menjaganya.

Han, Noura dan Arif sudah meninggalkan Aisyah dan Rahaf. Aisyah membereskan perlengkapan bayinya untuk memecah hening di antara mereka. Sesekali Aisyah mengusap punggungnya yang memanas, pegal dan nyeri.

"Aisyah, aku tidak mengapa jika kau berulang kali menolak cintaku. Tapi aku sungguh tidak rela jika kau lebih memilih Handoko," ujar Rahaf tiba-tiba.

Satu alis Aisyah terangkat, lalu tawanya pun pecah. "Kenapa berbicara seperti itu? Kita bahkan tidak bisa memilih ingin berjodoh dengan siapa. Jika memang Han adalah jodohku, aku tidak akan bisa menolak takdir Allah, bukan?" Aisyah mengulum senyum, sedikit geli sendiri jika memang betul lelaki tengil itulah yang akan menjadi jodohnya kelak. Dalam hati ia beristighfar sebanyak-banyaknya.

"Itu artinya ... jika Allah menakdirkanku sebagai jodohmu, kau pun tidak bisa menolaknya. Ya, meskipun sekarang kau belum membuka hatimu untukku."

Aisyah membeku kala tatapan mereka saling beradu. Ia menghela napas panjang.

"Rahaf, jangan terlalu berharap padaku." Aisyah menundukan pandangan. "Aku tidak ingin kau semakin kecewa, kau tahu aku sudah telanjur mencintai lelaki lain. Walaupun aku tahu ... kami memang tidak mungkin bersama. Tapi ... a--aku sangat mencintainya."

"Aku sama sekali tidak pernah berharap padamu, Aisyah. Tetapi aku berharap kepada Allah." Rahaf menelan ludah saat Aisyah mengangkat wajah, balas menatapnya. Hatinya pedih melihat netra hazel Aisyah tenggelam oleh air mata. "Selama ini aku hanya meminta hatimu pada Allah di sepertiga malamku. Aku memasrahkan semua pada-Nya. Jika memang kaulah jodohku, aku meminta agar Dia membukakan pintu hatimu dan jika kau bukan jodohku, aku meminta agar aku bisa menemukan wanita yang sebaik dirimu." Bibir tipisnya mengulas senyum meskipun dadanya sesak. "Aku pun berdoa, jika kau bukan jodohku ... semoga kau menemukan pendamping hidup yang shaleh, baik dan tulus menyayangimu. Asal jangan pria buaya seperti Handoko," ujarnya sedikit bercanda.

Aisyah tertegun. Ia kehabisan kata-kata. Matanya semakin melebar saat Rahaf mengepalkan sebuah amplop cokelat di tangannya.

"A--apa ini?"

"Kumohon terimalah, kau pasti membutuhkan ini. Jangan kau pikirkan perkataanku yang tadi, kita serahkan saja semuanya pada Allah, termasuk urusan hati." Sekali lagi bibirnya melengkungkam senyuman dengan tatapan teduh.

"Emh ... Rahaf, aku tidak bisa menerima ini!" seru Aisyah saat lelaki berjas putih itu berdiri dari duduknya.

"Untuk kali ini, aku akan memaksamu. Terimalah, aku ikhlas. Asalamu'alaikum."

"Wa--waalaikumsalam."

Aisyah menatap nanar punggung Rahaf yang kini menjauh dari pandangan. Remasan tangannya pada amplop cokelat tebal Rahaf semakin erat, lalu ia membukanya perlahan. Aisyah tertegun mendapati puluhan lembar shaqel di dalamnya.

Selama kau menghilang, Rahaf sangat mengkhawatirkanmu. Dia berulang kali menemui komandan Hamas meminta bantuan untuk mencarimu. Dia lelaki baik dan juga shaleh, yang jelas dia sangat tulus mencintaimu dari dulu. Apa tidak sebaiknya kau membuka hatimu untuknya? Beri dia kesempatan untuk menjagamu, Aisyah!

Aisyah menghela napas ketika kata-kata Noura beberapa hari silam kembali terngiang di telinganya. Bagimanapun dia tidak ingin memaksakan hatinya. Aisyah takut nantinya akan semakin melukai hati Rahaf. Tetapi selama ini Rahaf juga sangat baik padanya dan lama-lama membuat Aisyah tidak enak hati.

Isaknya kembali pecah kala wajah Aaron kembali terbayang di benaknya. Suaranya, senyumnya, sikap lembutnya dan bahkan semua makanan lezat yang setiap hari ia masakkan untuk Aisyah masih terasa di lidah. Demi Sang Khaliq, Aisyah sangat merindukannya.

"Ya Rabb, kuatkan hatiku."

****

"Aaron!"

Suara lantang Erez yang kental akan emosi terpaksa menghentikan langkahnya. Aaron memutar badan menghadap sumber suara. Padahal Dia baru saja menaiki undakan tangga dan ingin segera ke kamarnya. Kepalanya sudah sangat berat. Seragam perwira Israel yang membalut tubuhnya sudah dibasahi keringat.

"Ada hal penting yang ingin aku sampaikan padamu. Aku sudah memutuskan untuk menjodohkanmu dengan putri temanku."

Aaron melebarkan matanya. Ia menggeleng, lalu terkekeh samar. Ia melempar tatapan berang pada sang ayah. Dia tidak habis pikir dengan pemikiran Erez. Tidak cukupkah lelaki tua itu mengacaukan hidupnya. Semenjak kejadian itu Erez bahkan memutuskan untuk tinggal besamanya di Yerusalem, membuat gerak-geriknya tidak bebas.

"Apa lagi ini? Tidak puaskah kau menghancurkan hidup putramu sendiri, Ayah?!"

"Aku hanya ingin melihatmu bahagia, Nak. Dia wanita baik-baik dan dari keluarga terpandang, kau pasti akan menyukainya."

"Bahagia ...?" Aaron berdecih. Senyum miring tercetak di bibirnya. "Tidak! Aku tidak mau. Maaf, Ayah. Kali ini aku tidak akan pernah sudi untuk menuruti semua keinginan gilamu lagi! Jangan membuatku menjadi lelaki paling berdosa di dunia lagi."

"Dosa?"

"Ya, dosa! Aku sudah menghancurkan masa depan Aisyah dan sekarang kau bahkan sudah membuatku bersumpah untuk tidak menemuinya! Kau tidak akan pernah tahu betapa hancur hati Aisyah, Ayah! Dia pasti sangat menderita dengan semua ini! Dan aku!" Aaron memukuli bagian dadanya dengan sangat keras. Bibirnya menipis. Urat besar di leher dan kepalan kedua tangannya terlihat hijau dan kentara. "Aku sangat tersiksa dengan sumpah ini, Ayah. Aku bahkan tidak bisa melihat anakku sendiri, darah dagingku dan semua itu karena keegoisanmu! A--aku sangat mencintainya."

"Rupanya kau belum juga melupakan wanita sialan itu!" Erez menggeram.

"Aku memang tidak akan pernah bisa melupakannya, Ayah. Dia sedang hamil besar dan aku tidak tahu bagaimana keadaannya di Gaza sekarang! Bagimana aku bisa tidak memikirkannya? Dia ... sedang mengandung an--anakku!"

Aaron menahan napas. Sungguh dia tidak sanggup membayangkan bagaimana nasib Aisyah di sana dalam keadaan hamil besar. Dia tahu pasukam elit IDF tidak akan pernah berhenti menyerang.

"Terserah apa katamu, kau tetap akan menikah dengan wanita pilihanku! Aku sudah mengatur pertemuanmu dengannya," tegas Erez.

"A--apa?" Kedua netra elangnya semakin membesar. Rahang tegasnya semakin mengeras. "Apa kau pikir dirimu adalah Tuhan sehingga kau bisa berbuat semaumu untuk mengatur hidupku, Ayah?"

"JAGA UCAPANMU, AARON!"

Dada Erez naik turun seiring emosi yang membuncah di dadanya. Bibirnya menipis.

"Kau yang telah membuatku berkata lancang seperti ini, Ayah."

Kali ini dia tidak bisa lagi membendung air mata yang sejak tadi memenuhi netra elangnya. Butiran bening hangat itu meluruh deras seiring sesak yang semakin gila menyerang dadanya.

"Selama ini aku tidak pernah mengingkari sumpahku! Aku tidak mencarinya meskipun aku sangat merindukannya! Aku tidak mencarinya meskipun aku sangat mengkhawatirkannya!"

Aaron membuang napas kasar, hatinya semakin perih.

"Semua karena aku sudah telanjur bersumpah atas nama Kitab Suci! SEMUA KULAKUKAN KARENA AKU TELAH BERSUMPAH ATAS NAMA YHWH!"

Setelah mengatakan itu Aaron memutar badan dan mengayunkan langkahnya dengan gontai menaiki undakan tangga. Ia mengusap kedua pipi basahnya dengan sangat kasar.

"Aaron!"

Lelaki paruh baya itu tertohok. Hidungnya kembang kempis menahan emosinya yang kian memuncak hingga ubun-ubun. Erez menjatuhkan tubuhnya pada sofa. Napasnya memburu, membuat dadanya naik turun menahan jantungnya yang berdenyut nyeri.

"Tuan Erez!'

Baruch yang sedari tadi berdiri di pojok ruangan tercengang. Ia bergegas menghampiri majikannya dan membantunya menegakkan punggung.

"Tuan, kau baik-baik saja?"

"Am--ambilkan obatku!"

Baruch mengangguk cepat dan bergegas mengambil langkah seribu menuju dapur. Beberapa menit kemudian, ia sudah kembali membawa segelas air dan botol obat milik Erez. Ia mengeluarkan beberapa butir obat jantung tersebut, dan membantu Erez untuk meminumnya.

"Wa--wanita sialan itu benar-benar sudah meracuni otak anakku meskipun aku sudah memisahkan mereka!" pekik Erez sambil memegangi dadanya, mengatur embusan napasnya agar kembali normal.

****

Ternyata Rahaf masih mencintai Aisyah😭

Jika kalian jadi Aisyah, apa yang akan kalian lakukan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro