Bab 30| Kehidupan Baru

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Angin malam bertiup semakin kencang menerpa tenda-tenda biru berbahan terpal biru itu. Hawa dingin menelusup melalui selah tenda, menembus pori-pori kulit para warga sipil yang tengah terlelap berselimutkan kain tipis dan beralaskan tikar saja. Api kecil yang menyala dari sebuah lilin di pojok tenda padam tersapu angin. Pekat menyelimuti langit Gaza. Tidak ada cahaya selain rembulan besar yang setia berpendar memberikan penerangan bagi warga Gaza di setiap malamnya.

Aisyah sedari tadi bergerak gelisah dalam tidurnya. Tubuhnya menggeliat ke kanan dan ke kiri, punggungnya memanas. Dia mengelusi perut besarnya yang nyeri. Rasa mulas mulai mendesak hingga membuat isi perutnya seperti diaduk-aduk. Mulut Aisyah menganga karena kesulitan mengatur napas. Janin dalam kandungannya sepertinya tengah berkontraksi.

"N--Nour, sepertinya aku akan melahirkan!" Napas berat berembus dari bibir Aisyah.

Perempuan beriris hijau itu terkesiap saat tangan Aisyah mencengkeram bahunya dengan sangat erat. Ia sontak melebarkan mata, lalu bergegas duduk memegangi perut Aisyah.

"Ya Allah, kau akan melahirkan?"

Noura terserang panik. Ia menyingkap selimut yang semula menutupi kakinya dan segera berdiri sambil menghubungi Arif. Dia berdecak karena calon suaminya tak mengangkat panggilannya.

"Aisyah, kau tunggu sebentar, aku akan membangunkan Arif."

Aisyah mengangguk cepat tanpa menyahut. Sekujur tubuhnya sudah tidak karuan. Dia duduk berselonjor, bersandar pada tiang tenda yang reot. Keringat dingin membanjiri wajahnya. Aisyah merapal doa dalam hati agar persalinannya dilancarkan.

Setelah sepuluh menit menunggu sambil menahan sakit, kedua mata Aisyah berbinar kala Noura dan Arif menyembul di balik tenda. Aisyah mengulas senyum tipis dengan penuh haru.

"Ayo, kita ke rumah sakit sekarang!" seru Arif.

Napas Noura dan Arif berembus liar seusai tadi berlari kencang.  Keduanya segera mengamit lengan Aisyah dan membantunya berdiri.

"Apa kau bisa berjalan?" tanya Arif.

Aisyah mengangguk pelan, lalu susah payah menyeret kedua kakinya yang sudah membengkak.

Arif dan Noura berjalan memapah Aisyah dengan penuh kehati-hatian menapaki tanah berkerikil. Seberkas cahaya dari ponsel Noura menerangi perjalanan mereka menuju mobil yang diparkir tak jauh dari tenda dapur.

Arif membukakan pintu untuk Aisyah dan membantunya duduk di kursi belakang, lalu lelaki berkulit sawo matang itu segera menaiki kursi kemudi. Setelah merapal doa, kakinya menginjak pedal gas dengan perlahan dan mulai melaju membelah keremangan malam. Arif bersyukur karena di kamp selalu disediakan ambulans untuk berjaga-jaga jika ada warga sipil yang sakit maupun terluka dan harus dirujuk ke rumah sakit.

Aisyah tak henti-hentinya berdoa. Genggaman tangannya pada tangan Noura semakin menguat. Perut Aisyah sudah sangat mulas dan melilit. Guncangan demi guncangan kecil membuat perutnya semakin sakit ketika mobil yang mereka tumpangi melaju di jalanan yang sedikit terjal.

****

Setelah sekitar empat puluh menit, mereka sudah sampai di gerbang rumah sakit Indonesia. Perlahan mobil ambulans yang Arif kendarai memasuki tempat parkir berukuan luas itu. Arif bergegas turun dan membukakan pintu untuk membantu Aisyah turun.

"Aisyah! Kau harus kuat, kau baik-baik saja, bukan?"

Noura terlihat semakin khawatir saat tubuh Aisyah limbung dalam dekapannya.

Aisyah tidak menyahut, dia justru meringis. Hijab hitam yang membubgkus mahkotanya sudah tidak beraturan dan basah oleh keringat.

"Mungkin sebaiknya kita menggendong Aisyah saja. Kurasa dia sudah tidak bisa berjalan," ujar Arif.

Noura memgangguk. Dia melambaikan tangan pada perawat pria yang tengah berjalan sambil membawa sebuah brangkar. Dia meminta tolong padanya untuk membantu membopong tubuh Aisyah ke atasnya bersama Arif.

Aisyah susah payah mengatur embusan napasnya yang tidak beraturan. Kepalanya sedikit berkunang, ia meringis dan menggeliat di atas brangkar yang kini tengah didorong Arif dan perawat rumah sakit. Tangan Noura menggengam erat tangannya. Aisyah melihat sahabatnya berurai air mata sambil berlari mengikuti brangkar yang membawanya ke ruang persalinan dengan sangat cepat.

Sekujur tubuh Aisyah mengejang saat cairan encer menyembur banyak dari bagian intimnya. Dia seperti sedang mengompol. Rasa panas menjalar di sekitar punggung dan pinggulnya. Air ketubannya sudah pecah.

Dokter jaga wanita yang sudah siaga di dalam ruangan bergegas memakai sarung tangan dan meyiapkan semua peralatan medis yang diperlukan. Beberapa perawat wanita lain pun ikut menyiapkan semuanya.

"Arif, sebaiknya kau menunggu di luar. Biar aku saja yang menemani Aisyah."

Arif mengangguk. "Tenangkan dirimu, kau juga harus bisa menenangkan Aisyah. Semoga persalinannya dilancarkan."

"Bismillah, aku yakin Aisyah akan melahirkan anaknya dengan selamat."

"Amiin."

Noura mengulas senyum kala Arif mengusap lembut bahunya. Kemudian ia mengangguk pelan.

Arif menghela napas saat wanita berhijab abu-abu yang sangat ia cintai menutup daun pintu dengan perlahan. Tidak lupa juga bibirnya merapal doa untuk Aisyah. Kemudian ia mengambil duduk di kursi tunggu yang tersedia di sana. Derap langkah kaki seseorang yang terdengar kasar dan tidak beraturan mencuri atensinya. Ia menoleh dan netra hitamnya mendapati Rahaf yang tengah berlari kencang menelusuri lorong rumah sakit menghampirinya.

"Ba--bagaimana keadaan Aisyah?"  

Rahaf  nyaris terhuyung, ia merunduk sambil memegangi kedua lututnya. Mulutnya terbuka, mengatur napasnya yang terengah-engah. Keringat dingin sudah membanjiri wajah dan jas putihnya.

"Tenangkan dirimu, duduklah."

Arif menarik pelan lengan Rahaf dan menyuruhnya agar duduk di sebelahnya.

"Aisyah baik-baik saja. Sekarang dia sedang dalam proses persalinan. Kita berdoa saja."

Rahaf mengangguk cepat dengan kedua mata yang berbinar. "Syukurlah kalau dia baik-baik saja, aku sangat mengkhawatirkannya."

****

Alunan musik klasik terdengar lembut menamani makan malam dua keluarga Aaron dan keluarga Ayala. Sejak tadi letnan muda itu tidak menyentuh makanannya sama sekali. Sepiring couscous yang semula disajikan panas kini sudah tidak berasap. Wajah tegasnya terlihat sangat kusut dan tidak bergairah. Netra elangnya melempar tatapan tajam pada Erez yang duduk berhadapan dengannya, rabi Yahudi itu tengah berbincang hangat dengan sahabat lamanya. Lebih tepatnya dua lelaki paruh baya tersebut sedang membicarakan tanggal pernikahan Aaron dengan Ayala.

"Hei, kenapa tidak memakan makananmu?"

Suara lembut Ayala menyapa telinganya. Aaron menoleh sekilas, beradu pandang dengan gadis beriris biru itu. Kemudian dia berdiri dari duduknya, mengintai wajah Erez yang terlihat memerah diterpa terangnya lampu kristal restoran yang tengah menatapnya tajam. Bibir kemerahan Aaron menipis, ia balas dengan tatapan dingin.

"Aku tidak berselera makan. Permisi sebentar," ujarnya datar.

Perempuan berambut pirang itu ikut berdiri. Kedua ujung alisnya saling bertemu, ia menoleh pada Erez, ibu dan ayahnya lalu menarik kursinya dan bergegas mengayunkan langkah menyusul punggung lebar Aaron yang sangat cepat berjalan meninggalkan meja makan mereka.

Senyuman di bibir Erez mengerucut melihat prilaku anaknya barusan. Ia tersenyum samar pada lelaki paruh baya berjas hitam di sampingnya, lalu meraih segelas air di depannya dan meminumnya dengan tergesa-gesa. Sikap Aaron sungguh sudah membuatnya malu.

"Jika kau tidak keberatan, aku ingin tanggal pernikahan anak kita dipercepat. Itu akan lebih baik."

"Aku juga sepemikiran denganmu, kalau begitu aku akan segera mencarikan tanggal yang bagus dan mengurus semua keperluannya." Erez kembali mengulas senyum.

"Aku sungguh tidak sabar ingin segera menggendong cucu. Ayala sangat beruntung bisa menikah dengan putramu." Ibu Ayala tersenyum hangat.

Pembicaraan antar keluarga itu pun berlangsung semakin serius dan hangat sambil menyantap beragam masakan lezat yang tersusun rapi di meja bundar nan megah itu.

****

Langkah tegas Aaron membawanya keluar dari restoran mewah yang terletak di pusat kota Tel Aviv tersebut. Dia menelusuri tayelet (trotoar beraspal) yang membentang di sepanjang pantai antara pusat Tel Aviv dan Jaffa, sebuah kawasan bagi pejalan kaki di sore maupun malam hari. Di sepanjang pantai yang ia lalui, netra elangnya menemukan banyak kafe dan restoran yang menawarkan berbagai makanan khas Isrsel. Lampu-lampu di setiap sudut taman di sekitar taman pantai berpendar terang.

Langkahnya berhenti di depan  sebuah pancuran air tawar yang terkenal di pantai Gordon ini. Ia mendaratkan bokongnya pada sebuah kursi berjemur yang berjajar rapi di bibir pantai. Aaron menendang keras hamparan pasir yang ia pijaki dengan sangat kasar. Ia menangkup wajah sambil membuang napas berat.

Dunia seolah tidak adil padanya. Aaron sangat membenci dirinya sendiri. Dia sangat merindukan Aisyah dan mengkhawatirkan keadannya. Aaron memikirkan apakah Aisyah sudah melahirkan anaknya atau belum?

Beberapa hari lalu ia baru saja mendapat sebuah penghargaan dari pemerintah Israel atas prestasinya di dunia militer. Ia kembali berhasil menjalankan misinya dengan sangat baik, tetapi semua itu tidak membuatnya puas dan bahagia sama sekali. Aaron sudah kehilangan gairah hidup semenjak berpisah dengan Aisyah, baginya sekarang semua sia-sia dan tidak bermakna. Ia ingin melupakan semuanya dan menghilang dari bumi kalau saja bisa.

"Aaron!"

Suara lembut diiringi napas memburu membuat Aaron mendongak. Ia mendesis kala tatapannya beradu dengan Ayala. Perempuan bergaun merah marun itu berdiri di dekatnya sambil bersidekap. Aaron ikut berdiri sambil melipat tangan di dada, menatap dingin padanya dengan raut wajah yang sangat datar.

"Kenapa menyusulku?"

"Tentu saja aku menyusulmu, kau ini aneh sekali. Kenapa kau bersikap seperti ini? Apa kau tidak suka dengan perjodohan ini?"

Netra biru Ayala berkaca-kaca dalam keremangan malam. Embusan angin kencang membuat rambut lurus sebahunya yang tergerai melambai-lambai.

"Kau sudah tahu jawabannya, kenapa masih bertanya?" Aaron mendesis.

Rahang Aaron mengeras saat tiba-tiba perempuan itu menghambur memeluknya dengan sangat erat sambil terisak. Kedua tangan kekarnya mengepal dengan sangat kuat.

"Kukira kau juga menyukaiku. Aku bahkan sudah menyukaimu sejak aku melihatmu di televisi atas prestasimu, aku sangat mengagumimu dari dulu dan aku sangat senang saat Ayah mengabariku tentang perjodohan ini. Aku tidak menyangka jika kau adalah putra sahabat Ayah."

Ayala semakin mengeratkan kedua lengannya di pinggang Aaron saat tangan kokoh pria itu mencoba melepaskan pelukan. Dia baru saja pulang dari luar negeri setelah menyelesaikan pendidikannya di bangku kuliah. Selama ini dia hanya mengagumi prestasi letnan muda itu yang kerap diberitakan di media sosial tanpa pernah terpikir bahwa ternyata kini mereka akan dijodohkan.

"Aku menerima perjodohan ini semua hanya karena Ayah," tegas Aaron setelah berhasil melepas pelukan.

Aaron menatap iris biru Ayala masih dengan wajah datarnya. Ia mengembuskan napas berat kala butiran bening mulai meluruh menuruni kedua pipi tirus Ayala.

"Jangan menangis, kita akan tetap menikah meskipun aku tidak mencintaimu. Bukankah perjodohan seperti ini umum terjadi." Aaron memiringkan senyumnya. "Seperti sebuah drama saja dan sialnya kini aku harus mengalami hal konyol seperti ini."

Ayala tertegun. Ia membeku di tempat merasakan pedih yang mulai menjalar di hatinya.

"Apa kau sudah mencintai wanita lain?" tanyanya dengan isak yang tertahan.

"Iya. Maaf, tadi aku tidak bermaksud untuk berkata kasar padamu. Sekarang kembalilah ke dalam, nanti aku menyusul," ujar Aaron tanpa menoleh.

Sepasang netra elang Aaron menatap lurus pada air pantai yang membentang luas di depan matanya. Riak ombak terdengar lembut di telinganya. Dadanya bergemuruh, sungguh dia sanga merindukan Aisyah dan ingin bertemu dengannya walau hanya sebentar saja.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan gadis blasteran Rusia itu. Selama dua minggu mereka dipertemukan, Ayala adalah gadis yang baik dan ramah. Dia juga terlahir dari keluarga terpandang di Israel. Tetapi kecantikan fisik dan kepribadian baik Ayala sedikit pun tidak bisa memikat hatinya, bahkan tidak bisa mengalihkan pikiran Aaron dari nama Aisyah barang sedetik saja.

"Aisyah, apa kabarmu? Aku sangat merindukanmu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro