Bab 31 | Kehidupan Baru 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku ingin menemanimu melahirkan dan menggenggam tanganmu untuk memberimu semangat.

Aku akan di sampingmu saat kau berjuang melawan maut demi melahirkan anak kita.

Aku sangat mencintaimu, Aisyah.

Aisyah memejamkan matanya rapat-rapat saat perkataan Aaron waktu itu kembali terngiang. Dada Aisyah sangat perih mengingatnya. Satu tangannya mencengkeram tangan Noura dan satunya lagi mencengkeram tangan Fatimah dengan sangat erat. Peluh sudah membanjiri wajah dan sekujur tubuhnya. Dia mengangkang lebar sesuai dengan arahan dokter Abla padanya. Mulutnya membola, Aisyah susah payah mengatur embusan napasnya agar lebih tenang. Dia sudah beberapa kali mengejan dengan sekuat tenaganya. Aisyah meringis kala merasakan nyeri seperti terbakar pada jalan lahir.

"Aisyah, berhenti mengejan. Tahan dulu, aku sudah melihat kepalanya. Biarkan kepalanya keluar secara perlahan hingga sepenuhnya," titah dokter Abla. Dia menyuruhnya agar Aisyah terhindar dari robekan vagina dan perineum.

Noura dan Fatimah berdoa sebanyak-banyaknya. Mereka sangat was-was.

Aisyah berusaha untuk menenangkan hati dan pikirannya agar tidak gelisah. Hatinya menghangat saat lembut tangan Noura mengusapi puncak kepalanya.

Dokter Abla menajamkan tatapannya. Peluh membanjri wajah bundar dokter kandungan tersebut. Saat ia melihat kepala bayi sudah keluar dengan sempurna, dokter Abla menganjurkan Aisyah untuk mengejan kembali agar bisa mengeluarkan seluruh badan bayi.

"Kepalanya sudah keluar! Ayo, Aisyah! Kau pasti bisa!"

"EEEEEMMMMHHHH!" Aisyah mengatur embusan napasnya. Ia kembali menghela napas panjang, lalu mengejan dengan sekuat tenaganya. Aisyah harus kuat. "EEEEEUUUUMMMMMHHH!"

"EEEEEEAAA ... EAAAAA!"

Tangisan bayi terdengar sangat nyaring dan kuat menggema di ruangan persalinan itu.

"Alhamdulullah!"

Dokter Abla segera menggendong bayi merah berlumuran darah tersebut, lalu menangkupkannya di dada Aisyah agar dilakukan inisiasi menyusui dini.

"Selamat, Aisyah. Bayimu laki-laki." Doker Abla tersenyum hangat. "Suster akan membersihkannya terlebih dahulu, kau masih harus mengeluarkan plasenta dari perutmu."

"I--iya, Dok."

Aisyah mengangguk cepat. Rasa sakit serta lelah yang mendera seluruh raganya hilang kala ia dapat mencium wangi khas bayi bercampur amis darah dari anaknya. Ia mengecup singkat kepala anaknya yang lengket oleh darah. Dadanya bergemuruh, senyum haru mengembang di bibirnya saat dokter Abla mengambil alih bayi tersebut untuk dipotong tali pusarnya dan dibersihkan.

Perut Aisyah kembali berkontraksi saat ingin melepas plasenta dari rahim dan mengeluarkannya. Dalam waktu sepuluh menit, Aisyah berhasil mengeluarkan seluruh jaringan plasenta dari perutnya. Ia mengucap syukur sebanyak-banyaknya dalam hati.

Dokter Abla bergegas meraih jarum suntik untuk memberikan obat oksitosin guna mempertahankan kontraksi rahim dan meminimalkan perdarahan.

Noura menghambur memeluk Aisyah sambil terisak. Ia menciumi kening dan kedua pipi Aisyah dengan penuh haru. Begitu pun dengan Fatimah ikut merangkul Aisyah dalam dekapan dan menciuminya sebagai ucapan selamat dan rasa syukur.

"Selamat, Aisyah. Kau sudah menjadi seorang ibu!" seru Noura sangat antusias.

"Bayimu sangat tampan sekali dan menggemaskan. Aku sungguh tidak sabar ingin menggendongnya."

Fatimah tersenyum sumeringah. Ia mengambil beberapa helai tisu dari nakas, lalu menyeka butiran keringat yang mengalir di sekitar pelipis Aisyah.

Setelah lima belas menit berlalu, dokter Abla kembali menemui Aisyah dengan bayi mungil dalam gendongnnya. Anak Aisyah sudah dibersihkan dan dibungkus kain lembut berwarna biru.

"Maaf, Aisyah. Di mana ayahnya?" Dokter Abla tersentak karena sadar telah kelepasan bicara. "Mhh ... maaf, maksudku siapa yang akan mengadzani bayi ini?"

Bibir Aisyah yang semula merekah perlahan menciut membentuk garis lurus. Hatinya tersentak hingga membuat kedua matanya memanas dan mulai memproduksi air mata. Lidahnya membelit, Aisyah kehilangan kata-kata.

Bayangan wajah ayah, ibu, Salim, Rauda dan kedua adiknya sesaat seolah tampak di pelupuk mata Aisyah. Semua anggota keluarganya bahkan sudah tidak ada. Dada Aisyah semakih sesak kala bayangan wajah Aaron ikut menyapa benaknya. Aisyah menggeleng lemah sambil terisak. Ia mencengkeram ujung selimut yang menutupi tuhuhnya dengan sangat kuat. Ia bersandar pada dada Noura ketika wanita itu menghampirinya dan merengkuhnya dalam dekapan, mengusap-usap punggungnya dengan lembut.

"Sabar, Aisyah." Noura mengerti perasaan Aisyah saat ini.

Derit pintu yang dibuka dari luar membuat semua orang dalam ruangan tersebut menoleh ke arahnya. Tampak pria tinggi berjas putih berdiri di ambang pintu dengan senyuman khasnya yang menawan, memamerkan belahan di dagunya.

"Aku yang akan mengadzani anak Aisyah."

"Masya Allah, Alhamdulillah." Dokter Abla mengembuskan napas pelan. Senyum hangat kembali ia suguhkan pada Aisyah dan Rahaf secara bergilir. "Kalau begitu, silakan diadzani."

Dada Rahaf bergetar ketika bayi mungil Aisyah berpindah dalam gendongannya. Sepasang netra hitamnya mengintai wajah mungil nan polos yang sedang terlelap. Sesekali mulut mungil bayi itu bergerak dan lidahnya menjulur, seolah minta disusui. Garis wajahnya sangat mirip dengan letnan Aaron. Sedikit pun tidak ada rasa benci di hati Rahaf pada bayi yang hakikatnya fitrah ini. Rahaf mencium lembut kepala mungil bayi Aisyah, lalu mendongak menatap Aisyah yang kini berurai air mata sambil membekap mulut memperhatikan ke arahnya.

"Allaahu Akbar, Allaahu Akbar! Allaahu Akbar, Allaahu Akbar!
Asyhadu allaa illaaha illallaah ...!
Ashadu allaa illaaha illallaah  ...."

Lafal demi lafal adzan yang mengalun dari bibir Rahaf terdengar sangat lembut dan merdu. Dada Aisyah bergetar mendegarnya, hingga membuat air mata terus mengalir dari kedua sudut matanya dan membanjiri pipinya. Aisyah sampai tersedu-sedu. Hatinya sungguh perih.

"Selamat, Aisyah. Kau sudah menjadi seorang ibu. Semoga anak ini menjadi anak shaleh dan berbakti padamu." Suara Rahaf terdengar serak. Air bening sudah bergumul di matanya.

Tangan Aisyah gemetar ketika Rahaf memberikan bayi mungil itu padanya. Dia mengangguk pelan tanpa menyahut, lidahnya sangat kelu. Bening hangat tumpah semakin deras dari kedua netra hazelnya saat Aisyah dapat melihat dengan jelas wajah polos putra pertamanya. Kulit bayi itu sangat lembut kemerahan, Aisyah mengelus pipi mungilnya sambil terisak. Kemudian telunjuknya bergetar menyentuh bibir mungil bayi laki-laki itu yang sedikit terbuka. Ia menempelkan hidungnya di pelipis, lalu turun le pipi dan bibir bayinya. Aisyah menyesap aroma khas bayi yang tercium sangat lembut.

"Aaa--anakmu sudah lahir. Dia bayi laki-laki. Di--dia sangat mirip se--sepertimu, Letnan. Tidakkah kau ingin melihat an--anakmu? Bukankah kau--kau  sangat ingin meng--- hiiikks!"

Tangisan Aisyah terdengar sangat menyayat hati. Dadanya sungguh perih. Rasanya dia tidak sanggup menerima kenyataan pahit di mana mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Sampai rindu berkarat di dadanya mungkin Aisyah dan Aaron tidak akan berjumpa lagi.

Aisyah mendekap bayi itu dengan sangat erat ketika bayinya kembali menangis.

"Aisyah, tenangkan dirimu. Kasihan bayimu, dia pasti merasakan apa yang kau rasakan. Kau harus kuat demi dia. Inysa Allah semua akan baik-baik saja. Kami semua bersamamu."

Noura mengusap lembut kepala Aisyah, dia juga berlinang air mata. Dadanya ikut perih mengingat nasib sahabatnya itu.

"Mungkin bayinya minta disusui," ujar Fatimah.

Rahaf mengangguk pelan, ia mengerti jika mungkin Aisyah segan untuk menyusui bayinya jika dia masih berdiri di sana. Pria berjas putih itu memutar badan dan segera mengayunkan langkahnya dengan gamang. Sebulir air mata lolos menuruni pipinya.

Perasaan Aisyah sudah jauh lebih tenang sekarang. Air mata sudah mengering di pipinya. Ia tersenyum geli saat bibir mungil bayinya perlahan mulai menyedot asi darinya untuk pertama kali. Aisyah menunduk dan menempelkan bibirnya di kening bayi mungil yang lucu itu.

"Apa kau sudah menyiapkan nama untuknya?" tanya Noura.

Senyum Aisyah semakin melebar, ia mengangguk. "Dari dulu aku sudah menyiapkan dua nama. Satu nama laki-laki dan satu nama perempuan. Karena bayinya laki-laki, aku akan memberinya nama ...." Aisyah mengelus pipi mungil bayina menggunakan telunjuk. "Muhammad Zihad Al Maliki. Kita akan memanggilnya Zihad," uajarnya dengan mata yang berkaca-kaca.

"Masya Allah, nama yang sangat indah!"

Noura dan Fatimah saling melempar pandang dan senyuman hangat. Dada Aisyah menghangat melihatnya.

Sebagian part dihapus 🙏

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro