Bab 6 | Pengakuan Letnan Aaron 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Empat relawan medis berjas putih berjalan beriringan menelusuri gang-gang sempit di kota Jabaliya. Jet-jet tempur Zionis Israel telah menumpahkan beberapa rudal di kota tersebut.

Puing-puing bangunan yang berserakan menyambut retina mata mereka sesampainya di pusat terjadinya ledakan dahsyat dua hari yang lalu. Bangkai-bangkai mobil yang ringsek teronggok di antara bongkahan material rumah warga yang menggunung. Adapun rumah yang tidak hancur sepenuhnya hanya terlihat beberapa dan itu pun hanya menyisakan satu ruangan yang temboknya telah menghitam.

Tangisan bayi yang minta disusui ibunya terdengar sangat menyayat hati, bersahut-sahutan dengan desau angin yang riuh sore itu. Abu-abu reruntuhan bangunan beterbangan tak tentu arah tersapu angin.

Terlihat seorang lelaki paruh baya menyeret kakinya dengan terpincang-pincang. Dua bilah tongkat menyangga tubuhnya. Satu kakinya telah patah direnggut kebrutalan perang. Lelaki ringkih itu menyuguhkan senyum, menyapa para relawan medis yang melintas di depannya.

Beberapa wanita berdiri di pekarangan rumahnya dengan tatapan kosong. Luka menganga bercampur darah kering menghiasi sebagian wajah mereka dan anggota tubuhnya yang lain. Garis bibir mereka melengkung ke bawah. Jasad-jasad anggota keluarga tercinta mereka memang telah berhasil dievakuasi. Genangan darah yang semula membanjiri tanah pun sudah mengering.

Semuanya telah habis. Tidak ada lagi barang berharga yang mereka miliki, yang tersisa hanyalah trauma dan rasa kehilangan yang menyesakkan dada.

Sebagian warga sipil telah pindah ke tenda-tenda pengungsian. Akan tetapi, tidak sedikit warga sipil yang masih ingin bertahan di rumah-rumah mereka yang sudah tidak utuh.

Aisyah tak kuasa lagi melihat kehancuran demi kehancuran yang menyayat hatinya dan membuat dadanya perih. Kristal bening lolos membasahi pipinya. Aisyah segera menghapusnya dengan gerakan cepat. Dai harus tegar.

Mereka baru saja pulang dari tenda-tenda pengungsian dan sekarang mereka ingin memberi semangat, serta mengobati warga-warga sipil yang bertahan di sana.

"Aku akan mendatangi rumah-rumah warga dan memeriksa keadaan mereka."

Asiyah mengangguk kala Noura menepuk pundaknya. Hatinya tertegun menatap wajah Noura yang tampak sangat bersemangat dengan senyum yang terukir di bibir tipisnya.

"Aku pergi bersamamu. Oh, ya, Aisyah. Apa susu kotaknya masih tersisa?" tanya Arif.

"Masih ada lima belas lagi, kurasa ini cukup untuk anak-anak itu."

"Syukurlah, kalau begitu kami pergi dulu. Nanti kita bertemu lagi di depan gang."

Aisyah dan Rahaf serempak mengangguk. Keduanya menatap punggung Noura dan relawan Indonesia itu yang perlahan mulai mengecil dari pandangan. Mereka mematung di sana dalam kecanggungan hingga keduanya saling menoleh dan melempar pandang.

"Apa kau tidak lelah?"

"Alhamdulillah, tidak. Aku masih kuat berjalan, aku ingin menghampiri anak-anak di seberang sana."

"Kalau begitu aku akan menemanimu. Biar aku saja yang membawa ini."

Aisyah bergeming ketika tangan kokoh Rahaf mengambil alih kantung plastik berisikan susu kotak dan beberapa permen lolipop yang semula dijinjingnya. Sedari tadi Aisyah memang menolak pria itu untuk membawakannya.

Mereka berdua melanjutkan perjalanan menghampiri anak-anak yang tengah berkumpul di atas reruntuhan rumah mereka.

Aisyah melangkahi bongkahan demi bongkahan tembok yang berserakan dengan penuh kehati-hatian. Tangannya memegangi perutnya yang berdesir.

Sesampainya di tempat anak-anak itu, Aisyah dan Rahaf mengucap salam dengan lirih. Mereka tak ingin mengganggu anak kecil yang sedari tadi menunduk dan fokus pada benda yang digenggamnya.

Bocah laki-laki itu bukan fokus pada ponsel canggih dan tidak sedang bermain game online. Akan tetapi dia tengah membaca sebuah Mushaf yang mereka temukan di bawah reruntuhan bangunan. Walaupun kedua jilid Mushaf itu sudah usang dan berdebu, lembaran dalamnya masih utuh dan dapat dibaca dengan jelas.

Surah Ar Rahman mengalun begitu merdu dan tartil dari bibir mungil bocah berusia sembilan tahun itu. Hati Aisyah dan Rahaf menghangat dan bergetar mendengarnya.

Aisyah dan Rahaf menempelkan bokong mereka di salah satu bongkahan tembok yang menggunung. Sepasang netra mereka menatap lekat satu per satu wajah anak-anak yang duduk di sana.

Wajah anak-anak itu terlihat sangat polos dan memelas dengan luka ringan dan darah yang mengering di daerah pelipis, siku dan lutut. Baju mereka lusuh dan koyak. Mereka bertelanjang kaki. Sebagian mereka mengais-ngais serpihan bangunan rumahnya, memainkannya sambil bergumam. Sebagian anak ada yang melamun sambil menumpu pipinya dengan kedua tangan. Sebagian anak ada yang fokus menyimak bocah yang sedang mengaji itu dengan serius.

Sungguh pemandangan yang sangat mengiris hati. Aisyah dan Rahaf menyeka wajah mereka satu per satu, membersihkannya dari debu putih yang menempel di kulit wajah mungil mereka. Kemudian dua relawan itu membersihkan luka mereka dengan cairan antiseftik, mengoles sedikit salep dan terakhir menutupnya dengan plester.

"Waalaikumsalam," sapa Walid setelah selesai mengaji.

"Masya Allah, suaramu sangat merdu sekali. Aku sampai terhanyut mendengarnya." Aisyah mengulas senyum manis.

Senyuman Walid mengembang. Bocah itu beringsut mendekati Aisyah.

"Terima kasih telah mengunjungi kami. Aku senang sekali kalian datang lagi. Apa yang kalian bawa hari ini? Apa kalian membawakan kami permen dan susu kotak lagi?"

Cengiran manis terlukis di bibir mungil Walid. Sepasang netra birunya berkilat senang.

Aisyah dan Rahaf saling menoleh dan melempar senyum.

"Tebakanmu benar! Paman Arif kembali membawakan kalian permen dan susu kotak dari saudara-saudara kalian di Indonesia. Tetapi kali ini permennya berbeda, bukan peremen karet, melainkan peremen lolipop. Kalian pasti akan menyuakinya."

Tawa renyah dan sorak riang terlontar dari bibir mereka. Mereka sangat antusias saat Aisyah dan Rahaf membagikan susu kotak rasa stroberi dan cokelat, serta permen bergagang bermacam rasa pada mereka. Anak-anak itu serempak mengucap syukur dengan kilat mata yang berbinar. Mereka langsung meminum dan mengemut permen tersebut dengan hati yang berbunga.

"Harus tetap bersyukur dan bersemangat."

Walid berkedip, lalu mengangguk saat Aisyah mengusap puncak kepalanya dengan lembut. Anak itu menyecap rasa manis cokelat premen yang memenuhi mulutnya.

"Tentu saja, kami akan terus bersemangat. Kata Ayahku, kami tidak boleh cengeng dan menyerah dan harus tetap bersyukur dalam keadaan apa pun."

"Masya Allah. Jangan lupa berdoa untuk saudara kita di Indonesia juga, ya. Mereka selalu membantu kita selama ini." Rahaf tersenyum hangat.

"Pasti akan kami doakan!" seru mereka riang.

*****

"Apakah mereka akan terus menyerang dan menindas kita seperti ini?"

Rahaf menoleh, lalu mengulas senyum pada Aisyah. Hatinya pedih melihat sendu yang kini melumuri wajah cantik perempuan yang dicintainya.

Mereka berdua masih duduk di atas reruntuhan bangunan seraya menatap anak-anak Gaza yang kini tengah bermain dengan bangkai mobil yang ringsek di bawah sana.

"Mereka tidak akan berhenti menyerang sampai kita menyerah. Tetapi kita tidak akan pernah menyerah meskipun hanya tersisa satu nyawa. Semua umat muslim di dunia menitipkan Al-Aqsa pada kita dan Allah telah mempercayakan pada kita untuk menjaganya. Kita harus selalu bersabar dan ikhlas menjalani ujian ini. Ini sudah takdir kita, Aisyah."

Aisyah menoleh dan membiarkan sepasang netra mereka menumbuk dalam. Wajah cerah dan tatapan hangat pria di sampingnya membuat hatinya sedikit lebih damai.

"Kau benar, hanya saja aku sangat kasihan pada anak-anak polos tak berdosa itu. Mereka kehilangan masa kanak-kanaknya. Mereka kehilangan orang tuanya." Embusan napas berat meluncur dari bibir Aisyah, dadanya mendadak sesak. "Seharusnya mereka bisa belajar dan bermain layaknya anak-anak di belahan dunia lain dengan nyaman dan tidak menderita seperti ini."

"Yakinlah, mereka anak-anak yang kuat dan tegar. Mereka pasti bisa melewati semua ini dengan ikhlas. Kelak mereka akan menjadi penerus para Syuhada untuk membebaskan Al-Aqsa."

"Semoga kemenangan akan segera menyambut Palestina."

Sepasang iris hazel dan sepasang iris hitam mereka kembali beradu dengan senyum tulus yang terukir di bibir keduanya.

Lembayung senja yang menyapa Gaza hari itu menjadi saksi bisu kedua insan yang sampai detik ini belum berani mengungkapan rasa yang tersemai di dada mereka.

*****

Angin malam berembus kencang menelusup melalui selah-selah rumah berdinding seng dan kayu bekas di pelosok desa Syaima. Seorang wanita hamil meringkuk di atas kasur lantai yang sudah lepek. Ia menarik kain selimut yang tersampir di tubuhnya hingga sebatas dada. Hijab hitam panjang setia membalut mahkotanya meskipun dalam keadaan terlelap.

Aisyah tidak pernah tahu kapan para tentara Zionis itu akan melempar rudal ke rumahnya. Ia sudah pasrah dan jika itu terjadi, Aisyah ingin mati dalam keadaan menutup semua auratnya.

Sebuah lilin yang berpendar  menjadi satu-satunya penerang yang diletakkan di ruang tengah. Sementara kamar Aisyah tampak remang karena hanya mengandalkan cahaya rembulan yang menelusup melalui selah-selah jendela blong tanpa kaca. Tidak banyak barang dalam bilik sempit itu. Hanya ada lemari kayu tua yang warnanya sudah memudar, sebuah meja kecil di sisi kasur dan kardus-kardus yang digunakan Aisyah untuk menyimpan buku-buku dan barang-barangnya.

Aisyah terpelonjak ketika pintu rumahnya diketuk oleh seseorang dengan sangat keras. Malam ini ia tinggal sendiri. Salim dan Rauda tengah menginap untuk menjenguk kerabatnya yang sedang sakit di Khan Yunis.

Ketukan pintu dari luar lama-lama semakin nyaring dan semakin mendesak, seolah menuntut agar tuan rumah untuk segera membukanya.

Aisyah terus merapalkan doa dan meminta perlindungan pada Sang Khalik. Ia beringsut berdiri dari tidurnya, lalu berjalan mengendap-ngendap menuju dapur. Tangannya meraba-raba hingga ia berhasil menyentuh gagang pisau yang tergeletak di atas meja. Kemudian kakinya berayun lamban menuju ruang tamu.

"Paman! Bibi! Apakah itu kalian?"

Tidak adanya jawaban membuat Aisyah semakin dilanda ketakutan. Degup jantungnya meletup-letup dengan peluh dingin yang mulai membasahi wajah. Pegangan tangannya pada ujung pisau semakin menguat kala pintu rumahnya berderit dan didobrak dari luar hingga kini terbuka lebar.

Sosok pria tinggi berbadan kekar berdiri di ambang pintu dengan sorot mata yang sulit diartikan. Pria itu tersenyum lebar dalam keremangan malam.

Aisyah melebarkan matanya, menatap lebih lekat sosok yang berdiri tegap di depannya. Terlihat samar olehnya wajah pria asing yang selama ini selalu membuntutinya. Bahkan akhir-akhir ini pria itu sering datang ke rumahnya dan bersuah dengan paman Salim di kebun stroberi.

"Si--siapa kau sebenarnya? Apa yang kau inginkan dariku?!"

Aisyah berjalan mundur sambil berancang-ancang menghunuskan pisau dalam genggamannya. Kedua lututnya gemetar kala pria yang selama ini mengaku bernama Muhammad itu melangkah lebar menghampirinya.

"M--mau apa kau? Menjauh dariku!" gertak Aisyah dengan suara bergetar.

"Ini aku, Aisyah. Ini saatnya kau mengetahui yang sebenarnya. Aku bukan Muhammad, tapi ...."

*****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro