Bab 7 | Pengakuan Letnan Aaron 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aisyah membelalak saat Aaron melucuti rambut palsu yang selama ini menyamarkan identitasnya. Kini tampak jelas olehnya rambut hitam cepak pria itu. Kumis serta bulu-bulu lebat yang selama ini menutupi rahang tegasnya pun telah dilucuti. Aisyah tersedak salivanya saat tatapannya bertemu dengan sepasang mata elang beriris cokelat terang milik Aaron.

Mata itu ... mata itu!

Aisyah menggeleng. Air mata yang menenggelamkan sepasang iris hazelnya tumpah dengan sangat deras. Hatinya mendadak perih, seolah tertohok tombak panjang yang sangat runcing.

Mata itu adalah mata milik tentara Zionis yang telah menggagahinya. Masih sangat melekat di benaknya, kala bibir tipis itu tersenyum lebar di saat Aisyah merintih kesakitan di bawah kungkungan tubuh berseragam perwira Israel laknat kebanggaannya. Aaron justru mengobrak-abrik kesuciannya seperti anjing gila.

"K--kau! Jadi itu kau! PERGIII!"

Aisyah histeris. Tubuhnya bergetar hebat. Dia mundur dengan gerakan cepat hingga punggungnya membentur tembok seng yang sudah berkarat. Adegan demi adegan saat perwira Israel itu merenggut kesuciannya berputar begitu cepat bagaikan sebuah film dan membuat dadanya sangat sesak.

"Aisyah, kau jangan takut. Aku datang untuk meminta maaf padamu. Aku sama sekali tidak akan menyakitimu."

"PERGI! PERGI! APA LAGI YANG KAU INGINKAN DARIKU? PERGII!"

Aaron terus melangkah maju, mengikis jarak di antara mereka. Sudah lama sekali Aaron menunggu momen ini. Setelah mendengar obrolan Aisyah dan Rauda tadi pagi, dirinya memang bertekat untuk menemui Aisyah.

"Kumohon maafkan aku dan dengarkanlah penjelasanku."

"Maaf? Apakah seorang Letnan Bejad sepertimu masih punya hati untuk meminta maaf?"

Aisyah mendesis. Ia melempar tatapan berang pada Aaron. Wajah Aisyah terlihat bengis, meskipun kristal bening terus mengalir deras dari sudut matanya.

Aaron mengeraskan rahangnya. Rupanya Aisyah sama sekali tak menghargai perjuangannya.

"Sebenci itukah kau padaku? Padahal aku datang menemuimu dengan niat baik. Aku tahu, kau sedang mengandung anakku. Aku datang meminta maaf dengan tulus dan aku ingin bertanggung jawab atas semua kesalahanku padamu."

Bagai disambar petir, bola mata Aisyah melebar sempurna. Aisyah tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Perwira yang berprilaku seperti binatang malam itu kini datang menemuinya untuk meminta maaf. Aisyah bahkan dapat melihat sepasang mata Aaron berair walaupun dalam keremangan. Akan tetapi semua itu tidak mengurangi rasa benci padanya barang sedikit pun.

"Aku tidak akan pergi sebelum kau memaafkanku dan mendengar penjelasanku."

"Aku tidak butuh penjelasan darimu dan aku tidak akan pernah sudi untuk memaafkanmu!"

Dada Aisyah naik turun seiring embusan napasnya yang tidak beraturan. Rahang tirusnya mengeras.

"Kenapa kau sangat membenciku?"

Aisyah mendelik. Kedua alisnya saling menaut, menatap tak mengerti pada pria yang berdiri di depannya. Tidak sadarkah pria itu atas kesalahan yang telah dilalukannya.

"Kenapa aku sangat membencimu?"

Aisyah memiringkan senyumnya. Ia mengusap lelehan air mata di pipinya dengan sangat kasar.

"Tanyakan saja pada dirimu, Letnan! Tanyakan! Berapa banyak gadis Gaza yang mengalami nasib sepertiku di luar sana? Berapa banyak?!"

Aaron tercenung saat sepasang netra hazel Aisyah menghunjamnya dengan tatapan dingin yang kental akan kebencian.

"Berapa banyak nyawa tak berdosa yang telah kalian bunuh? Berapa banyak anak-anak yang kehilangan orang tuanya? Berapa banyak orang tua yang kehilangan anaknya? Berapa banyak suami yang kehilangan istrinya? Berapa banyak istri yang kehilangan suaminya? Berapa banyak DARAH YANG SUDAH KALIAN TUMPAHKAN DI NEGERI KAMI?!"

Bibir Aisyah bergetar. Aisyah sudah tak sanggup lagi menahan perih di dadanya. Rahangnya semakin mengeras. Satu tangannya mengapung, masih memegang erat gagang pisau dengan gemetar.

"Apakah kau punya alasan agar aku tidak membencimu?"

Suara Aisyah memelan. Tenggorokannya sudah sangat perih dan kering.

Jarak mereka kini sangat dekat, Aisyah dan Aaron saling berhadapan. Cahaya lilin yang berpendar di ruang tengah membuat mereka bisa melihat wajah satu sama lain dengan lebih jelas. Sendu melumuri wajah keduanya. Mereka sama-sama terluka.

"Kalian terus menyerang, bahkan di saat kami sedang terlelap! Di saat kami sedang beristirahat! Kalian menghancurkan rumah-rumah kami yang seharusnya menjadi tempat kami untuk bernaung! Tapi kalian justru menghujani kami dengan batu meledak dan menimbun kami hingga mati! Kami bahkan tidak punya kesempatan untuk berlari!"

Aisyah tergugu. Wajahnya terlihat sangat memelas dengan lelehan kristal bening yang terus meluncur deras dari kedua netra hazelnya, menuruni pipinya hingga saling bertemu di ujung dagu.

"Adakah alasan agar aku tidak membanci Tentara sepertimu?"

Aisyah tersenyum manis sekali, meskipun dadanya berdenyut nyeri.

Sebulir kristal bening lolos menuruni rahang tegasnya. Hati Aaron tertohok. Pria tinggi itu bahkan hanya bisa mematung dengan lutut yang sangat lunglai, menatap sendu perempuan yang telah berhasil mencuri bagian dari hatinya. Perempuan itu sedari tadi tak henti-hentinya menyerangnya dengan kata-kata sinis.

"Perekonomian di negeri kami runtuh! Kalian merampas semua hak-hak kami! Kalian ingin mengusir kami dari tanah kami sendiri! Kalian mencuri Al-Aqsa dari kami! Kalian mengambil semuanya dari kami hingga KAMI TERPAKSA HARUS MENGEMIS PADA DUNIA!" teriak Aisyah sangat payah. Suaranya bergetar. "Iya ..., kami mengemis, sedangkan kalian tertawa di atas penderitaan kami. Kalian hidup dalam kemewahan, sedangkan kami! KAMI HIDUP SERBA KEKURANGAN! TIDAK ADA LAGI YANG BISA DIMAKAN! KAMI KELAPARAN! Ka--kalian telah merampas semuanya dari kami! Tank-tank kalian menggusur ladang-ladang gandum kami. Kalian membakar perkebunan zaitun kami! Lalu adakah alasan untuk tidak membencimu?"

Aaron mengepalkan kedua tangannya. Mulutnya sedikit menganga, ia hendak bicara. Tetapi Aisyah sama sekali tak mengizinkannya untuk menyelah.

"A---ayahku terbunuh. Dia tertembak di medan perang!" Isak memilukan lolos dari bibir Aisyah. "Saat itu aku baru pulang sekolah dan menemukan rumahku sudah hancur lebur! I--ibu dan kedua adikku ter--tertimbun! Me--mereka terkubur bangunan rumah. Bah--bahkan tubuh ibuku ditemukan dengan keadaan yang tidak utuh!"

Mata Aisyah terpejam sempurna. Kelopak matanya memerah dan sudah sangat perih. Air matanya meluruh semakin deras membanjiri pipinya. Bahu Aisyah berguncang, sesak sekali mana kala teringat jasad-jasad keluarga tercintanya terpaksa harus dikuburkan secara masal bersama jasad warga sipil yang lain.

"DAN KAU!"

Aisyah maju selangkah lebih dekat. Tatapan mata basahnya semakin berang, menusuk netra cokelat terang Aaron yang merah dan berair.

"KAU TELAH MERENGGUT KESUCIANKU! SESUATU YANG SANGAT BERHARAGA DALAM DIRIKU! KAU TELAH MENCURINYA! KAU MENGHANCURKAN MASA DEPANKU! AKU SANGAT MEMBENCIMU!"

Aisyah membekap mulut. Bahunya berguncang hebat. Dadanya sangat perih, Aisyah sudah tidak sanggup lagi menahannya. Biarkan saja pria di depannya berasumsi buruk tentang Aisyah, dia ingin membuncahkan luka dan kebenciannya pada para tentara Zionis yang telah menghancurkan negara dan hidupnya.

"AKU SANGAT MEMBENCIMU! PERGI! PERGI DARI SINI! AKU TIDAK INGIN MELIHAT WAJAHMU! PERGI!"

Mati-matian Aisyah ingin melupakan tragedi itu dengan menyibukkan dirinya menjadi relawan medis. Tatapi pria itu justru menemuinya dan kembali merobohkan pertahanan hatinya.

Tubuh Aaron terhuyung saat Aisyah menghujaninya dengan pukulan keras di dada bidangnya secara membabi buta. Air mata pria itu tak dapat lagi terbendung. Perlahan butiran kristal bening berjatuhan menuruni kedua rahang tegasnya. Rasa sesal semakin merundung hati Aaron. Dia merasa sangat bersalah.

"Maafkan aku Aisyah, maafkan aku! Malam itu aku sungguh hilang kendali. Aku mabuk berat. Apa kau pikir, aku akan melakukan itu dalam keadaan sadar? Sungguh, aku bukanlah pria yang seperti itu."

Aisyah mendelik, dia kehabisan kata-kata. Bibir penuhnya menipis sempurna kala Aaron menangkap kedua tangannya, lalu mencengkeramnya dengan sangat kuat. Tubuhnya menegang seolah tersengat aliran listrik statis.

Sepasang netra mereka saling terkunci dalam. Wajah mereka sudah banjir air mata. Aisyah dan Aaron berdiri di ambang pintu ruang tengah. Suasana menjadi hening sesaat, keduanya ditelan oleh kebisuan.

"Aku bahkan telah mengkhianati janjiku pada adikku untuk tidak menyakiti wanita. Dia mengalami nasib yang sama sepertimu. Aku sudah bersumpah atas nama Kitab Suci untuk mencarimu dan meminta maaf padamu. Aku sungguh menyesal."

Bibir tipis Aaron yang merah melengkung ke atas dengan sempurna. Dia menatap Aisyah semakin lekat dan hangat.

"Dulu ..., aku memiliki seorang kekasih. Aku sangat mencintainya, bahkan kami sudah berkomitmen untuk saling menjaga hati. Rebecca pergi kuliah ke luar negeri, tetapi aku tetap setia menunggunya bertahun-tahun. Aku bahkan sudah menyiapkan cincin  berlian yang sangat indah. Aku berniat untuk melamarnya jika dia pulang."

Aisyah menelan saliva. Dia sedikit mendongak, membiarkan tatapan mereka saling beradu. Tetapi perwira Israel itu justru memejamkan matanya.

Embusan napas berat telontar dari bibir Aaron. Dadanya sangat sesak mana kala teringat akan Rebecca.

"Aku bahkan sudah menyiapkan konsep pernikahan sesuai dengan impiannya selama ini. Aku ingin memberikan kejutan untuknya, tetapi ...."

Aaron membuka mata, balas menatap Aisyah yang kini tengah menatap nanar ke arahnya.

"Tetapi saat Rebecca kembali, dia justru memutuskan hubungan kami." Aaron berdecih. "Dia memilih lelaki lain untuk menjadi suaminya. Bukankah nasibku sangat mengenaskan, Aisyah?"

Aisyah tetap bergeming. Dia sama sekali tidak merespon. Perempuan itu berusah payah menarik tangannya dari cekalan tangan besar Aaron. Tetapi Aaron justru menekannya semakin kuat. Bahkan ujung mata pisau yang digenggam Aisyah menempel sempurna di atas dadanya.

"Malam itu aku frustrasi, aku mabuk berat dan aku sungguh kehilangan kendali saat Bert mengajakku untuk menemui para tahanan gadis Gaza hingga aku bertemu denganmu."

Aaron kembali menyuguhkan senyum. Dia tidak peduli pada gadis di hadapannya yang melirikknya tajam. Pria itu sedang tidak membela diri, ia berkata jujur.

"Kau sungguh hebat, Aisyah. Dalam keadaan mabuk saja, mata indahmu mampu memikat hatiku. Hampir setiap malam, kau hadir dalam mimpiku dan membuatku semakin merasa bersalah. Mungkin awalnya hanya perasaan simpati saja. Tetapi setelah aku membuntutimu selama ini, aku yakin bahwa aku sudah jatuh cinta padamu."

Aisyah melebarkan matanya saat Aaron menarik tangannya yang memegang pisau dengan sangat keras. Aisyah sedikit meringis saat mendengar bunyi sobekan kain yang sangat mengilukan. Ujung mata pisau itu mengoyak kaus putih yang Aaron kenakan.

"Bunuh aku."

Aaron mengulas senyum. Air mata sudah mengering di pipinya. Dadanya mengmebung, napas lega berembus dari bibirnya. Beban hatinya sedikit berkurang setelah ia menjelaskan semuanya pada Aisyah meskipun belum mendapatkan maaf.

"Bukankah kau sangat ingin membunuhku? Aku rela mati di tanganmu asal itu bisa menebus semua dosa-dosaku. Bunuh aku, Aisyah!"

Aisyah menggeleng cepat. Ia menarik tangannya dengan sekuat tenaga. Akan tetapi, Aaron justru menahannya semakin kuat. Bahkan ujung mata pisau tajam itu sudah berhasil menembus dan merobek kulit dadanya. Mulut Aisyah menganga, samar-samar melihat rembasan darah yang memerahi kaus putih Aaron.

Pisau itu terjatuh saat Aisyah menggigit tangan Aaron dengan sekuat tenaganya.

Aaron menatap pisau yang kini tergeletak di lantai tanah rumah Aisyah, lalu menatap Aisyah secara bergilir. Goresan di dadanya sama sekali tak berasa apa-apa. Tetapi sikap Aisyah yang membuatnya bertanya-tanya.

"Kumohon pergilah."

"Kenapa tidak jadi membunuhku?" Aaron mengulas senyum manis.

"Karena aku masih mempunyai Allah. Aku masih mempunyai hati dan akal sehat. Aku tidak ingin mengotori tanganku dengan darah seperti apa yang kalian lakukan. Hanya Allah semata yang berhak menghukum setiap hamba-Nya!" tegas Aisyah mutlak.

Aaron membeku. Lidahnya mendadak terlilit. Dia menatap sendu sepasang netra hazel Aisyah yang kini terlihat sangat berang menghunjamnya.

"PERGI!"

****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro