Bab 8 | Dilema Aisyah dan Letnan Aaron

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aisyah ...."

Aaron mematut dirinya dalam cermin. Pria tinggi itu bertelanjang dada. Tepat di bagian otot-otot dadanya yang menyembul terdapat garis vertikal merah yang memanjang bekas goresan pisau Aisyah kemarin malam.

Bibir tipis Aaron tak henti-hentinya mengembang. Hatinya berbunga saat menatap tangan kanannya yang mengapung di udara. Bekas gigitan kencang gigi-gigi Aisyah di kulit tangannya masih kentara. Bahkan Aaron masih merasakan lembutnya bibir Aisyah menempel di sana.

"Kasar sekali, tapi aku suka." Aaron terkekeh pelan.

"Rupanya Letnan kami benar-benar sudah tidak waras."

Suara serak itu membuat Aaron menipiskan bibirnya. Tubuhnya berbalik, lalu mendesis saat tatapannya beradu dengan sepasang iris hitam milik Bert.

Pria kurus tinggi itu tengah duduk di atas ranjang king size milik Aaron dengan wajah sumeringah.

"Sejak kapan kau berada di sini?"

"Sudah lama sekali semenjak kau senyum-senyum dan bergumam sendiri. Aisyah ...," ledeknya dengan nada manja yang dibuat-buat. Bahkan bibir Bert sengaja dimaju-majukan.

Bert terbahak melihat wajah putih Aaron perlahan memerah dengan tatapan berang. Namun sedetik kemudian, pria itu meringis saat sebuah handuk tebal mendarat di wajahnya. Dia gelagapan dan segera menarik handuk itu dari wajahnya, lalu melemparnya ke sembarang arah dengan kasar.

"Sial kau, Letnan!"

Kali ini justru Aaron yang terkekeh-kekeh. Saat ini Aaron hanya mengenakan celana pendek. Dia baru saja selesai mandi dan keramas. Bulir-bulir air bahkan masih menetes dari wajahnya, turun mengaliri dadanya yang berotot hingga perutnya yang berkotak enam dan menyembul keras. Aaron berjalan tegas menuju lemari baju di sudut kamar.

"Kau sendiri saja? Di mana Abey?" tanyanya tanpa menoleh. Tangan kokohnya sibuk memilih baju apa yang akan ia pakai.

"Kau seperti tidak mengenalnya saja. Dia sedang berburu makanan dulu, baru akan menyusul ke sini."

Aaron menggeleng. Rupanya sahabatnya yang satu itu tidak pernah berubah.

"Dua hari lagi hari raya Yom Kippur, apa kau akan pergi ke Tel Aviv?"

Bert mengangkat bahu. Wajah bersihnya terlihat sangat tenang.

"Sepertinya tidak. Sayang sekali jika harus melewatkan hari libur tanpa pergi ke penjara. Kudengar banyak tawanan gadis Gaza yang baru di sana dan cantik-cantik. Sepertinya akan sangat menyenangkan. Kau sampaikan saja salamku pada Paman Erez."

"Kau ini tidak pernah berubah. Sampai kapan kau akan terus bermain-main dengan wanita? Bertobatlah sebelum YHWH menghukummu."

"Ck! Bukankah kita memang pendosa ulung? Sudah berapa banyak nyawa yang telah kita habisi, Letnan?" Bert terkekeh. "Hidup itu hanya sekali, bersenang-senang sajalah dulu, baru bertobat."

Desahan berat terlontar dari bibir tipis Aaron. Dia menggeleng pelan, sangat malas merespon karena percuma saja dan tidak akan ada ujungnya. Tiba-tiba hatinya mencelus saat teringat akan kata-kata sarkas Asiyah kemarin malam.

Aaron memang sudah banyak membunuh. Entah sudah berapa nyawa yang telah dihabisinya dalam oeperasi militer bersama pasukan Unit Mistaravim.

Ibunya tewas terkena ledakan bom bunuh diri yang terjadi di stasiun bis Tel Aviv beberapa tahun silam. Bom bunuh diri itu diduga dilakukan oleh seorang pemuda Palestina.

Hal itu yang memicu Aaron dan ayahnya---Erez Ben Elyahu memiliki dendam dan ingin membunuh warga Gaza sebanyak-banyaknya, menghancurkan Gaza dan mencuri tanah mereka untuk negara. Tetapi sekarang hatinya dilema karena semua itu membuat dirinya sangat dibenci oleh Aisyah.

Bert berdiri dari duduknya saat mendapati Aaron tengah mematung dengan tatapan kosong.

"Jadi kau benar-benar sudah bisa melupakan Rebecca?"

Aaron sedikit tergagap. Dia menghela napas panjang, lalu melanjutkan mengaitkan kancing-kancing kemeja putih yang membalut tubuh kekarnya.

"Hemm. Asiyah sudah mengalihkan duniaku."

Bert menggeleng. Iris hitamnya berkilat takzim dengan senyuman tulus di bibirnya. Hatinya lega melihat wajah Aaron yang cerah tidak sekeruh saat ditinggalkan Rebecca dulu.

"Baguslah, untuk apa kau masih memikirkan perempuan sialan itu. Aku mendukungmu dengan Aisyah, tetapi aku sangat mengkhawatirkan hubungan kalian. Kurasa Paman Erez tidak akan menerima Aisyah. Bahkan aku yakin, dia tidak akan segan-segan menebas kepala Aisyah jika mengetahuinya. Jadi saranku lebih baik kau pikirkan lagi niatmu untuk membawa Aisyah ke sini."

Aaron dan Bert memang tinggal di Jerusalem karena mereka berdua berdinas di sana. Akan tetapi, Bert tetap sangat khawatir jika Erez akan mencium keberadaan Aisyah nantinya.

Aaron menggulung lengan kemejanya hingga sebatas siku. Sepasang mata elangnya menajam dan berbinar, balas menatap netra hitam Bert yang dibalut gusar. Senyuman penuh arti merekah di bibir Aaron.

"Kau tenang saja, aku akan menyamarkan identitasnya. Aku akan membuatnya membuka kerudung dan melepaskan kebangsaanya. Itu bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan."

*****

Tenda-tenda terpal berwarna biru itu terletak di kawasan Beit Lahiya. Terdapat ban-ban bekas dan batu besar di setiap sudut tenda agar tidak roboh tersapu angin kencang.

Aisyah sedang berusaha menenangkan anak-anak yang sedari tadi berteriak meminta makan. Perempuan berhijab hitam itu terlihat gusar. Gurat lelah melumuri wajah pucatnya yang sudah dibanjiri keringat. Sepasang iris hazelnya menatap sendu wajah polos sepuluh anak, termasuk seorang balita yang kini sedang digendongnya. Mereka berkumpul dalam salah satu tenda pengungsian.

Riuh rendah obrolan anak-anak dan tangisan balita silih berganti menusuk gendang telinganya. Kepala Aisyah berdenyut-denyut, bahkan perutnya sedikit bergolak dan mual.

"Sabar, ya ... semuanya. Bibi Noura sedang mengambilkan makanan untuk kalian. Semoga saja masih ada makanan yang tersisa di tenda dapur."

"Perutku rasanya seperti ditarik-tarik dan dari tadi tak bisa berhenti bernyanyi."

"Iya ... rasanya perih dan kosong sekali."

"Hei, kalian bersabarlah! Jangan membuat Bibi Aisyah pusing. Berisik sekali. Memangnya kalian saja yang lapar? Aku juga sangat lapar!"

"Lihatlah apa yang kulakukan!"

Lengkingan cempreng Adam membuat semua pasang mata menoleh ke arahnya. Bocah sembilan tahun itu berdiri dari duduknya, lalu membuka kaus oblong birunya yang sudah lusuh.

Adam tersenyum lebar memamerkan perut ratanya yang dipenuhi batu-batu kecil. Bocah itu mengikat lima batu dengan seutas kain untuk mengganjal perutnya yang kosong.

"Lihatlah, ini sungguh ampuh sekali untuk menahan lapar. Ayah yang mengajariku!" ujar Adam bangga. Kilat matanya berbinar-binar.

"Ya ampun! Bodoh sekali, apa-apaan itu? Ada-ada saja kau ini!"

"Hei, berhenti meledek! Kalau tidak percaya, kau buktikan saja. Sedari tadi perutku diam saja dan merasa kenyang."

Adam melempar tatapan bengis pada Deema---gadis kecil bernetra biru yang selalu meledeknya.

Bibir penuh Aisyah yang ranum merekah. Dadanya dipenuhi haru, menatap perut kecil Adam yang dipenuhi batu. Sebulir kristal bening bahkan sudah lolos dari ujung matanya.

Betapa mirisnya anak-anak di Gaza. Mentri Kesehatan di Palestina bahkan melaporkan bahwa hampir semua anak di Jalur Gaza menderita kekurangan gizi.

"Adam benar, bahkan Bibi pun sering melakukannya. Memang sedikit bisa mengurangi rasa lapar. Bahkan Nabi Muhammad SAW pun pernah melakukannya," ujar Asiyah lembut.

"Waaah  .... sungguh? Kalau begitu aku besok akan mencobanya." Razan berjingkarak sangat antusias.

"Hei, Rambut Jagung, apa kau mendengarnya? Ck!"

"Dasar tukang cari muka! Kepala Semangka!"

Adam tersenyum lebar sambil melempar tatapan sinis pada Deema. Sementara Deema mendengus sambil bersidekap, lalu membuang muka.

"Eh ... sudah ... sudah, jangan bertengkar. Reem sudah tertidur dan jangan membangunkannya lagi. Kasihan, dia sedang demam."

Anak-anak itu serempak mengunci mulut saat Asiyah duduk dan membaringkan tubuh mungil Reem di atas tikar. Aisyah sudah menggelar selimut yang dilipat, menjadikannya kasur untuk balita dua tahun itu. Terdapat bekas luka yang memanjang di pelipis Reem. Hati Asiyah sangat pedih melihatnya.

Malaikat kecil berwajah mungil nan polos itu harus tertidur dalam keadaan lapar.

Tak lama kemudian, tirai terpal tenda mereka disingkap dari luar oleh seseorang. Tampak Noura dengan wajah cerah dihiasi senyum tipis di bibirnya. Perempuan itu masuk, lalu mengambil duduk dan meletakkan nampah bundar berisi nasi kacang dan rembah daun yang masih mengepul.

Anak-anak sontak menyambutnya dengan mata yang berbinar. Senyum mereka kembali mengembang diiringi syukur yang terucap lirih, tidak ingin membangunkan Reem yang baru terlelap.

"Di tenda hanya tersisa nasi kacang, ini pun hanya sedikit karena kita harus berbagi dengan penghuni tenda yang lain. Paman Arif belum kembali, dia sedang mengambil bahan makanan di pusat gudang  logistik pangan," ujar Noura sedikit berbisik.

"Tidak apa-apa, Bibi, yang penting ada sesuatu untuk dimakan."

"Kalian pintar sekali, kalau begitu ayo, kita makan."

Noura dan Aisyah menyuapi mereka satu per satu dengan telaten dan mata berkaca-kaca. Sengaja disuapi agar adil dan tidak berebut.

*****

Semilir angin senja begitu sejuk menerpa kulit wajah Aisyah. Sepasang netra hazelnya menatap langit megah yang sudah diselimuti semburat jingga nan indah. Asiyah berdiri di belakang tenda sambil mengusap-ngusap perutnya dengan lembut. Bibirnya tak merasa jemu merapalkan doa-doa serta salawat.

Sementara anak-anak tampak sedang bermain-main dengan pasir dan ranting-ranting kering di bawah pohon zaitun yang rindang. Mereka ditemani Noura dan Arif.

"Asalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Aisyah mengulas senyum pada Rahaf yang barusan menyapanya.

Rahaf berjalan lamban menghampiri Asiyah. Jas putih tersampir di salah satu tangannya. Senyuman manis terukir di bibirnya, menghiasi wajah rupawan pria berdagu terbelah itu.

"Indah sekali senjanya."

"Iya, MasyaAllah."

"Aisyah, apa aku mengganggumu?"

"Hmm ... tidak sama sekali."

Tatapan mereka saling beradu. Degup jantung Asiyah mendadak bertalu-talu melihat raut serius di wajah Rahaf. Sedangkan pria itu tampak tegang sekali dengan rona merah di pipi.

"Sebenarnya ada yang ingin kusampaikan sejak dulu."

"Iya, katakan saja."

"Aku ... aku ingin menjadi ayah buat anak yang dikandungmu. Apakah kau mengizinkannya?"

Suara lembut Rahaf membuat Asiyah membeku. Kedua bola matanya sontak membola, menatap lebih dalam sepasang netra hitam pekat milik pria di depannya. Aisyah melihat keseriusan di mata teduh itu.

"Ma--maafkan aku, Asiyah. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggung perasaanmu. Aku sudah menyukaimu dari sejak pertama kali kita bertemu di kampus."

Embusan napas pelan terlontar dari bibir Rahaf. Netranya mengunci tatapan Asiyah yang terlihat sendu. Ia merasa sangat bersalah telah mengatakan itu. Rahaf sangat takut Aisyah akan tersinggung.

Asiyah kehilangan kata-kata. Dia tetap bergeming, sedikit kaget dengan ucapan Rahaf barusan. Seharusnya hatinya berbunga. Akan tetapi, entah kenapa rasanya biasa-biasa saja.

"Kau tidak usah menjawabnya sekarang. Aku akan menunggumu."

*****

Jadi Aisyah harus aku jodohin sama siapa dong? Aku jadi delima.

Letnan Aaron?

Rahaf?

Handoko?😆

Akhirnya aku update lagi😁

Semoga saja cerita ini enggak mentok di tengah-tengah dan digantung seperti ceritaku yang lainnya.

Terima kasih buat yang sudah setia baca cerita ini. Jangan lupa tinggalkan bintang dan komentar kalian di sini, biar aku semakin semangat untuk lanjut menulis.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro