Bagian satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di balkon sebuah rumah, ada seorang perempuan yang duduk di kursi roda dengan rubik yang di genggamnya sambil terus memutar-mutarkan benda berwarna-warni itu. Matanya lurus ke depan seperti menerawang terawangan yang hampa atau kosong.

Terdengar suara gesekan sepatu dan lantai menuju ke arah perempuan itu.

Tak ada respons apapun dari perempuan itu, jari-jarinya terus berkutik dengan benda warna-warni itu tanpa meliriknya  sedikitpun.

"Ini terhitung enam bulan. Kamu tetap tidak ingin memakai ini?" seorang  perempuan menempelkan benda kecil ke tangan perempuan yang duduk di kursi roda itu. Sepertinya sebuah alat pembantu untuk mendengar.

Hening.

Kecuali suara utak-atikan rubik yang  memenuhi balkon rumah itu.
Seseorang yang menempelkan benda tadi pun beralih memegang pundak perempuan di kursi roda itu.

Tap.

Rubik yang sedari tadi di utak-atik oleh perempuan di kursi roda itu berhasil tersusun sempurna menjadi empat bagian dengan warna yang sudah sama tersusun.

Diletakannya rubik di pangkuannya lalu ia  meraba tanga seseorang yang menyentuh pundaknya lalu menurunkannya, kemudian perempuan itu menggerakkan kursi rodanya berbalik untuk masuk ke kamar.

"Kamu tidak akan sembuh jika kamu tidak ingin berusaha," kata seseorang yang baru saja di tinggalkan oleh perempuan yang duduk di kursi roda tadi.

Namun tak ada respons apapun dari perempuan di kursi roda itu. Dia tidak mendengarnya.

***

"Bagaimana Bintang, apa Mika sudah ingin memakai alat bantu pendengaran itu?" tanya perempuan paruh baya yang melihat Bintang baru saja keluar dari kamar.

"Tetap sama, Mika tetap tidak ingin memakai ini," jawab Bintang.

"Ini pasti karena Mika sudah terlalu putus harapan, dia berfikir dia tidak akan berguna apapun yang terjadi," sahut laki-laki paruh baya yang duduk di sofa.

"Pa, Mama bingung harus seperti apa lagi agar Mika mau menjalani terapi." perempuan paruh baya yang bernama Ardha itu memeluk suaminya–Agil dengan isakan.

"Ma, Mama kan tahu kalau Mika tidak suka merepotkan orang lain. Mika pasti beranggapan akan merepotkan Mama dan Papa kalau dia harus terapi," jawab Bintang.

"Bintang, walaupun Papa sama Mama harus mencari uang pinjaman atau apapun agar Mika bisa sembuh pasti akan kami lakukan. Mika sudah seperti anak kandung di rumah ini." Ardha semakin terisak mengingat betapa malangnya nasib keponakannya itu.

***

Mika Restunigsih perempuan yang berumur sekitar 23 tahun, memiliki rambut yang cokelat, mata yang indah berwarna cokelat juga, tubuh yang tidak terlalu tinggi tetapi tidak juga pendek, serta warna kulit seperti warna kulit orang Indonesia pada umumnya.

Mika gadis pintar, cantik, berkarya, serta periang. Tidak ada hari di hidup Mika tanpa senyuman. Dia sangat manis jika tersenyum.

Namun kini senyum yang mampu menyihir para semut karena manis itu telah sirna, tidak pernah terpancarkan lagi di wajah gadis periang itu.

Semuanya berawal dari kejadian yang menimpanya enam bulan yang lalu ....

Malam itu Mika pulang dari sebuah cafe tempat biasa dia manggung semenjak tamat kuliah. Mika pulang lebih awal karena ia mendapat tawaran pekerjaan di suatu perusahaan.

Saat di parkiran tiba-tiba handphone Mika berbunyi menandakan panggilan masuk.

"Hallo Tante," sapa Mika.

"Mika, kamu sudah menuju jalan pulang, kan?" tanya Ardha dari sebrang sana.

"Iya Tante, kenapa?"

"Tidak, Tante hanya kepikiran kamu. Kamu hati-hati, ya."

"Iya, Tante jangan khawatir."

Sambungan terputus.

Mika mulai menghidupkan motornya dan mengendarainya membelah jalanan kota Jakarta menuju rumahnya.

Saat malam jalanan terlihat lebih indah dengan kelap-kelip lampu yang bertebaran dimana-mana. Mika mengendarai motor sambil melirik kanan dan kiri jalan.

Tiba-tiba saat Mika sedang asyik melihat kanan dan kiri jalan, suara klakson terdengar sangat kencang mengarah ke arahnya. Mika baru menyadari bahwa ada sebuah truk yang sepertinya kehilangan kendali mengarah ke arahnya dan sudah terlalu dekat. Mika berusaha menyelamatkan dirinya secepat mungkin keluar area jalan pun tak apa asalkan ia terhindar dari truk tersebut, dan ...

"Aaaaaaaaaaaa," teriak Mika saat tubuhnya terhantam truk kemudian dirinya kehilangan kesadaran.

Sampai ia kembali sadar namun semuanya gelap, suara pun hening tak ada satupun yang ia dengar, lidahnya kelu saat ia ingin memanggil orang-orang, terakhir kakinya kaku saat ia mencoba ingin turun dari bankas rumah sakit.

Mika ingin teriak sekencang mungkin. Apa yang terjadi pada dirinya? Ada apa ini? Dimana dia saat ini? Kenapa semuanya gelap? Dan seketika Mika merasakan banyak tangan yang mencoba menenangkannya dari histeris yang tak terdengar. Air mata Mika sudah sangat membasahi pipinya.

Kemudian dirinya kehilangan kesadaran kembali karena disuntikkan obat penenang oleh suster.

"Maaf Bu, untuk saat ini pasien membutuhkan ketenangan agar dia bisa menerima apa yang sedang dia alami saat ini," kata dokter.

"Apa ini permanen dok?" tanya Agil.

"Banyak terjadi kerusakan pada syaraf pasien akibat kecelakaan itu. Kebutaan, kelumpuhan, tuli, dan kebisuan yang di alami pasien tidak bersifat permanen tapi jika sembuh pun mungkin akan memerlukan waktu yang lama dan proses yang rumit," jawab dokter.

"Saya mohon dok, bantu Mika untuk sembuh," kata Ardha yang berada di pelukan bintang sambil menangis.

"Maaf, rumah sakit ini tidak ada peralatan terapi yang memadai. Pasien bisa di rujuk ke luar negeri, banyak rumah sakit yang sudah memiliki fasilitas yang memadai seperti di New York," jelas dokter.

Tangisan Ardha dan Bintang semakin pecah. Mereka sangat ingin membawa Mika ke luar negeri tapi apalah dayanya saat ini mereka sedang sangat tidak punya uang, karena Bintang sedang dalam proses pendidikan magisternya. Kantor Agil sedang dalam kondisi memprihatinkan, sedangkan Ardha tidak memiliki pekerjaan.

"Tapi untuk sementara pasien bisa di pakaikan alat bantu untuk pendengarannya. Mungkin saat awal memang seperti terdengar samar-samar namun jika sudah terbiasa pasien akan bisa mendengar normal dengan bantuan alat tersebut." Dokter kembali bicara.

Namun sampai hari ini Mika tak ingin memakai alat bantu itu, entah apa penyebabnya. Tawaran Ardha dan Agil untuk terapi pun tidak Mika hiraukan.

Di balik kekurangan yang di alami Mika saat ini, Mika memiliki kelebihan mampu menyusun rubik menjadi empat bagian dengan warna yang sama sudah tersusun.

Kelebihan ini Mika andalkan untuk memberi isyarat kepada orang-orang bahwa jika rubiknya tepat tersusun berarti jawabannya adalah tidak.

***

"Ardha, gimana soal tawaranku kemarin?" tanya seseorang dari telepon.

"Aku belum bisa membujuk Mika," jawab Ardha.

"Ini akan sangat bermanfaat Dha, untukmu dan juga keluargamu terutama Mika." Suara dari telepon itu lagi.

"Aku tidak yakin kalau Mika mau menerima tawaranmu," kata Ardha.

"Tidak ada salah dicoba, kan?"

......

Di publish tanggal
01 Oktober 2019
DolceMedia


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro