05. Princess warrior

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Kakiku baru saja menginjak ruang Lobi ketika Elsa menghambur dan bergelayut manja di sisiku.
"Apaan? Jangan bilang kalo buku sket-nya ilang lagi!" Aku nyaris membentak.

Elsa manyun lalu menggeleng cepat. "Bukan," ucapnya. Seperti biasa, rambutnya yang dikuncir kuda bergoyang ke sana-kemari. Lucu.

Elsa itu memang cewek manja, pelupa dan menjengkelkan. Tapi tetap saja berpartner dengannya teramat menyenangkan. Kepribadiannya yang ceria terkadang menciptakan moodboster tersendiri buatku. Menggemaskan, sekaligus menghibur. Dan tetap, ia selalu kuanggap sebagai adik kesayangan. Makanya ketika kadang-kadang ia pamit untuk melakukan kencan buta dengan seseorang, ada semacam perasaan tak rela menghinggapiku. Maksudku, aku tidak siap jika ternyata suatu saat ia bertemu pemuda yang salah dan menghancurkan dirinya. Ia terlalu polos dan imut.

Oleh karena itu, aku tak lelah merapal doa agar ia bertemu orang yang cocok, yang bisa menerima semua kesenewenannya. Karena terkadang, itu juga doa yang kuucapkan untuk diriku sendiri.

"Lalu apa?" tanyaku sambil menghentikan langkah. Elsa tetap saja bergelayut manja di lenganku.
"Bu Boss marah-marah tuh, Mbak," jawabnya kemudian.
"Kamu dimarahi?" Aku ngegas. Aku tahu Bu Boss adalah pimpinan tertinggi di tempat ini. Tapi aku tetap tak suka asistenku kena damprat. Elsa bekerja di bawah tanggung jawabku, dan apapun yang ia lakukan, sepenuhnya tanggung jawabku juga.

Dulu, aku ingat ketika gadis ini masih jadi pegawai baru, Boss perempuan setengah baya itu kerapkali menjadikannya bulan-bulanan. Mengatakannya tak becus lah, tak kredibel lah, tak bertanggung jawab lah, dan lain sebagainya. Walau memang kenyataannya dulu begitu, tetap saja aku tak terima Elsa dimarahi. Ayolah, Elsa masih muda, kesempatannya untuk belajar masih panjang. Buktinya, kinerjanya sudah lumayan membaik kok sekarang.

"Bukan." Ia menjawab cepat.
"Lha terus?"
"Marahnya sama Mbak Zoya."
Sekarang ganti aku yang mengernyit. "Kenapa lagi?" ucapku malas-malasan.
"Katanya gaun cocktail ungu pesanan dari Singapura yang mbak kerjakan, nggak sesuai dengan rancangan di buku sket." Elsa menjelaskan.

Aku terdiam sejenak. Mencoba mengingat dengan apa yang dijabarkan Elsa. Beberapa detik kemudian, aku manggut-manggut. "Paham," ucapku sembari mendorong tubuh Elsa menjauh. "Sekarang kembali ke ruanganmu, biar aku yang hadapi perempuan itu." Dan dengan langkah ringan, aku bergerak menuju lift.
Masih terdengar Elsa berteriak dari belakangku, "Mbak Zoya, yang kuat ya!"
Aku hanya tersenyum.
Kuat? Sudah tahan banting keleusss...

Dan memang beginilah suka dukanya jadi InHouse Designer. Aku takkan bisa membuat baju sekehendak diriku. Kemampuanku mendesain baju tak ubahnya hanya sebatas tenaga teknis.
Ide, pendapat, lupakan.

°°°

Baru saja membuka pintu ruangan Bu Boss, perempuan itu segera bangkit manakala melihat kedatanganku. Dengan jemari dan kukunya yang runcing, ia menunjuk gaun ungu di manekin.
"Ini kenapa bisa begini, sih? Ini nggak sesuai dengan rancangan di buku sket. Ini---," Ia menunjuk kerutan di lipitan pinggul sebelah kanan dan kiri, "Kenapa bisa kamu tambah-tambahin kayak gini?" Ia terdengar geram.

Kerutan itu memang sengaja kutambahkan. Pemesan baju adalah seorang perempuan tinggi menjulang dengan barat badan layaknya orang kelaparan. Jadi aku sengaja menambahkan kerutan di pinggul agar ia, well, tak mirip tengkorak hidup.

"Dia mirip tengkorak hidup, Buk. Jadi kupikir, kerutan itu bisa membuatnya terlihat sedikit berisi." Dan akhirnya kalimat itu meluncur juga dari mulutku.
Sudah kuduga, kemarahan bu Boss semakin membabi buta.

"Zoyaaaa, dia itu model runway. Jangan kamu pikir dia bakal kayak Kim Kardashian yang body-nya montok di sana sini!" pekiknya.
Aku menyeringai, "Tapi dia terlihat nggak sehat, Buk," bantahku.

"Pokoknya kembalikan baju itu kayak desain semula. Nggak usah macem-macem. Pendapatmu nggak penting di sini. Pengalamanmu di dunia desain baru seuprit," lanjutnya.

Aku mendesah.
Merasa malas berdebat, aku beranjak cepat menuju manekin lalu meloloskan gaun itu dari sana."Akan saya perbaiki," jawabku dingin. Dan tanpa berpamitan pada bu Boss, aku menenteng gaun itu sambil keluar dari ruangan. Sempat berpikir untuk membanting pintu tapi urung kulakukan.

°°°

Kembali ke ruanganku, Elsa terlihat berdiri di depan pintu dengan wajah semringah.
Apa dia bahagia dengan kejadian yang menimpaku? Kurang ajar sekali.

"Girang banget ya karena diriku kena marah," ucapku sewot.
Elsa tetap tertawa ceria. "Bukan, Mbak." Ia menjawab cepat.
"Lha terus?"
"Anu, Mbak, di dalem sudah ada mas Tajir nyariin mbak Zoya." Ia menjawab antusias.
"Mas Ta ... siapa?"
"Masuk dulu, deh." Elsa meraih gaun dari tanganku. "Ini biar aku yang simpan." Ia membuka pintu lalu mendorongku masuk. Segera setelah ada di dalam ruangan, gadis itu menutup pintu dari luar.

Nyaris saja kemarahanku meledak, tapi fokusku teralih ketika aku mencium semerbak bunga mawar memenuhi ruangan.
Menatap sekeliling, aku dibuat takjub ketika mendapati berpuluh-puluh buket mawar segar bertebaran di dalam ruangan.
Di atas mejaku, di meja tamu, di samping kursi, di dekat pintu, bahkan di depan jendela.
"Hai."
Dan sapaan itu seolah membuatku tersadar dari lamunan. Menoleh ke arah datangnya suara, pria parlente itu duduk santai di kursi dekat pintu masuk dengan sebuket mawar merah yang nyaris menutupi dirinya.

Sosok itu tersenyum hangat lalu melangkah mendekat.
"Untuk perempuan paling cantik di muka bumi ini." Ia sodorkan bunga itu padaku.

Aku terbatuk. Nyaris tersedak dengan ludahku sendiri.

Astaga, rayuannya gombal.

"Apa aku mengganggu?" Ia kembali menyodorkan bunga-bunga itu padaku.
"Sedikit," jawabku ketus sembari menerima buket bunga tersebut. Aku tak tahan untuk mencium aroma wanginya. "Thanks," lanjutku kemudian lalu meletakkan buket tersebut di atas meja.

"Jadi ... ada keperluan apa?"
Aku menyandarkan pinggul di pinggiran meja sambil bersedekap angkuh. Lagi-lagi sosok itu tak terpancing untuk tersinggung. Dia hanya tersenyum lembut lalu ikut bersedekap.

"Aku berkali-kali menelponmu, tapi kamu nggak pernah mengangkatnya."

Aku terdiam sejenak. Mencoba mengingat panggilan telepon yang akhir-akhir ini mampir.

"Atau jangan-jangan kamu nggak tau itu aku?"

"Emang aku nggak tau," ceplosku.

"Nomorku belum kamu simpan?"

Aku menggeleng cepat.

"Kalau begitu simpanlah. Karena aku akan lebih sering menelponmu." Dia tetap tersenyum.
Busyet, boleh juga tingkat kesabaran makhluk ini.

"Sudah kubilang, aku tertarik sama kamu dengan segala yang ada di dirimu. Termasuk sikapmu yang jutek dan sedikit arogan. Jadi, jangan khawatir, aku nggak akan mundur." Lagi-lagi ia berujar dengan percaya diri.

Dan aku mati gaya.
Biasanya cuma Bae yang sabar menghadapi kesenewenanku. Tapi ini--

"Aku akan sering mampir sini. Nggak bisa lama sih, tapi tetap sempat kok kalo sekadar mengunjungimu dan membawakanmu bunga." Pria itu menyeringai, menunjukkan deretan giginya yang rapi dan bersih.

"Itu dulu aja, ya." Ia menatap arlojinya. "Besok-besok aku akan datang lagi," dan ia berbalik.

Sebelum sosoknya menjangkau pintu, aku berdeham. "Uhm, Daniel?" panggilku ragu.

Yang kupanggil menoleh dan menunjukkan ekspresi antusias. "Ya?" balasnya.

Sempat ragu, akhirnya aku berujar, "Jika kamu ingin menelpon, beritahu dulu. Terkadang, aku sibuk dan nggak bisa bicara lewat telpon."

Entah hanya perasaanku saja atau apa, tapi kulihat kedua mata pria itu berbinar ceria. Sejenak ia tersenyum girang. "Tentu," jawabnya senang.

"Dan ... terima kasih bunganya."

Ketika ia kembali tersenyum, aku sadar bahwa diriku pun begitu.

"Apapun, untukmu."
Kalimat itu ia ucapkan lembut sebelum sosoknya benar-benar menghilang di balik pintu.

Astaga, rayuannya benar-benar maut!

"Udah, gebet aja, Mbak."
Suara Elsa membuat akal sehatku kembali.
Aku terbatuk kecil lalu menepuk pipiku lembut, mencoba mengenyahkan bayangan Daniel di benakku.

"Bisa diatur," ucapku kemudian, sambil terkikik.

°°°

Menenteng sekotak martabak manis, aku mampir ke rumah Om Hans sepulang kerja.
Martabak manis adalah makanan favorit Lea, jadi aku sengaja membelikan untuknya.

Mengucap salam singkat, aku nyelonong masuk ke rumah yang pintunya sudah terbuka.
Menyusuri ruang tamu, aku menemukan Om Hans dan Tante Tricia di ruang tengah. Mereka sedang memeriksa dan menumpuk rapi beberapa kertas yang berserakan.

"Tumben jam segini sudah pulang?" Tante Tricia menyapa ramah tanpa melepaskan tangannya dari tumpukan kertas.

"Iya. Kerjaan selesai lebih awal, Tante. Ngomong-ngomong, Lea mana? Aku beliin martabak manis nih."

Dengan dagunya, Tante Tricia menunjuk ke arah sofa di depan tv. Dan tampak gadis mungil itu tertidur pulas di sana.
"Capek main-main, dan akhirnya tertidur sendiri," sahut Om Hans sambil terkekeh.

Aku buru-buru mengecilkan volume suaraku. "Kalo gitu, martabaknya kutaruh sini ya, Om." Aku meletakkan kotak yang kutenteng ke atas meja di samping televisi, lalu kembali menghampiri mereka.
"Sedang sibuk apa?" tanyaku.

"Oh, ini. Sedang nyiapin berkas kepindahan Lea."

Aku tercengang. "Pindah?" ulangku.

Tante Tricia mengangguk. "Mulai besok, kan, sekolahnya Lea pindah ke sini."

Aku mematung. Bingung mencerna kalimat-kalimat itu.

"Lho, memangnya Bae belum cerita ya? Kalau ia juga akan pindah ke sini?"

Aku menggeleng.
Bae dan Lea pindah ke sini? Tapi kenapa?
Ah, harusnya aku sadar kalau ada yang tidak beres. Biasanya Bae dan Lea hanya menghabiskan waktu liburan di sini selama dua atau tiga hari, atau paling lama hanya seminggu.
Ini? Mereka bahkan sudah berada di sini nyaris dua bulan.

"Bae ada?" tanyaku kemudian.

"Di atas. Membenahi kamar barunya Lea." Om Hans menjawab.

Tanpa basa basi lagi, aku segera melesat ke tempat Bae berada.

°°°

Bae baru saja menempel stiker Sofia The First di samping ranjang ketika melihat kedatanganku.

"Gitu, ya, sekarang? Mulai main rahasia-rahasiaan segala? Kita masih sahabat nggak sih?" dampratku.

Bae menegakkan tubuh lalu menatapku bingung. "What?" Ia menggumam.

"Jadi kamu mau balik ke rumah ini lagi? Lalu Lea juga pindah sekolah? Kenapa kamu nggak cerita!" Aku kesal sekarang.

Bae tampak kehilangan kata-kata. Ia menyugar rambutnya asal lalu menatapku dengan sorot bersalah.
"Aku ingin bercerita, tapi belum menemukan waktu yang tepat," kilahnya.

Masih bersungut-sungut, aku menghempaskan pantatku di pinggiran ranjang. "Oke, anggap saja sekarang waktu yang tepat dan berceritalah. Kenapa kamu dan Lea pindah? Apa ada masalah dengan bisnismu? Pekerjaanmu?" cerocosku.

Bae menggeleng berkali-kali. "No, everything is doing well. Pekerjaanku lancar, pun begitu dengan bisnisku."

"Lalu? Ada masalah apa?" Aku mulai tak sabaran.

Bae beringsut, duduk di sofa mungil dekat almari anak. Ia menumpukan kedua siku di lutut, menunjukkan otot-otot bahu dan lengan yang tercetak sempurna di balik kaos putih tipis.

"Aku kewalahan." Ia menjawab kemudian.
"Selama ini mendiang Sisca yang mengurus segala urusan rumah dan juga Lea. Begitu dia tiada, rasanya ... timpang. Aku bukan Daddy yang baik. Aku tak bisa mengurus pekerjaan dan juga Lea secara bersamaan. Jadi, yeah, beginilah akhirnya." Ia mengangkat tangan putus asa.

"Entah, pengasuh yang kusewa tak ada yang bertahan lama. Lea selalu merasa tak cocok. Terutama dengan orang lain. Aku bahkan juga sudah mengurangi banyak pekerjaan. Tapi tetap saja aku kerepotan. Aku tak mampu menghadapinya sendirian." Ia melanjutkan.

Aku menatap pria itu dengan iba. Pasti ia telah mengalami hari-hari yang sulit sepeniggal Sisca.

"Setelah berdiskusi dengan Mama dan Papa, akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke sini. Bisnis tetap bisa kujalankan dan mereka bisa membantuku menjaga Lea. Sungguh, pada fase ini, terkadang aku merasa tak becus menjadi orang tua. Belum lagi jika ditambah dengan menghadapi Lea yang makin nakal--"

"Dia nggak nakal. Lea itu anak yang manis," potongku.

Bae menatapku dalam, lalu tertawa lirih.
"Dia kayak kamu," ucapnya.

Keningku mengerut. "Eh?"

Pria itu manggut-manggut.
"Sumpah, Lea itu kayak duplikat kamu. Aku melihat segala yang ada dirimu melekat padanya. Dia yang cerdas, bawel, jahil, nakal dan--"

"Dia bukan anakku, oke?"

Bae terbahak mendengar kata-kataku. "Nah, itu aku juga bingung. Bagaimana mungkin tingkahnya bisa begitu mirip denganmu." Ia menggeleng-geleng lirih.

Aku bengong.

Masa sih?

°°°

Awalnya aku tak percaya dengan apa yang Bae utarakan soal Lea. Sampai akhirnya sore itu sepulang kerja, ketika diriku selesai mandi, Mas Aron ke kamar sambil menggandeng gadis tersebut.
"Dia nangis-nangis di depan pintu, nyariin kamu," ucap mas Aron sewot.

Lea yang berdiri di sisinya terlihat cemberut. Ada luka memar di keningnya. Perkiraanku, mungkin dia habis terjatuh.

"Sini, Sayang," ucapku seraya melangkah mendekatinya. Dengan lembut kugandeng gadis tersebut lalu mengajaknya duduk di pinggiran ranjang.

"Cucok jadi emak sama anak." Mas Aron menyahut.
Aku menatapnya dengan mata berkilat. "Bosen hidup ya? Out!" perintahku.
Sosok itu hanya terkikik lalu berbalik.

"Kenapa, Sayang?" tanyaku lembut.

Gadis itu menunduk. "Dimarahi Papi," ucapnya.
"Eyang nggak di rumah," lanjutnya.

"Kenapa dimarahi? Jatuh?" Aku menyentuh kening Lea.

"Bukan."

"Lalu?"

"Berantem di sekolah."

Aku setengah syok mendengar jawaban Lea. Anak kecil sudah ngerti berantem?

"Kok bisa?"

Dan Lea mulai antusias bercerita. "Dino bilang hal buruk soal Feli."

"Dino?"

"Teman sekelasku."

"Kalo Feli?"

"Teman sekelasku juga."

Aku manggut-manggut.

"Memang Dino bilang apa?"
Pertanyaanku sukses membuat gadis itu kembali antusias bercerita.
"Dia bilang, Feli itu jelek. Bukankah kita nggak boleh bilang hal buruk soal teman kita? Papi bilang itu perbuatan yang jahat."

"Terus? Terus?" Kali ini aku yang mulai kepo.

"Aku menyuruhnya untuk berhenti mengatakan hal buruk. Tapi Dino terus saja bilang Feli jelek. Feli sampai menangis. Lalu aku pukul saja kepala Dino dengan kotak pensil. Dia marah dan mendorongku. Lalu aku gigit saja tangannya."

Aku ternganga. Tak menyangka bahwa gadis manis ini bisa juga menjadi tukang pukul.

"Lea, pantes saja Papimu marah. Dia nggak pengen kamu terluka. Nih, lihat, keningmu memar begini. Lain kali kalo ada teman yang nakal, bilang saja sama bu guru atau pak guru. Oke?"

"Tapi, Tante--"

"Lagipula, kamu ini princess, Sayang. Masa seorang princess berantem?" Aku membelai rambutnya lembut.

"Aku bukan princess." Gadis kecil itu kembali membantah.

"Lalu?"

"Aku princess warrior," jawabnya. Ajaibnya, setelah berkata begitu ia kemudian tersenyum lebar.

Aku kembali ternganga. Bersamaan dengan itu, Bae muncul lalu menyandarkan bahunya di kusen pintu. Seolah mendengar obrolan kami, senyumnya terkulum.
"Sudah kubilang, kan?" Kalimatnya lirih.

Kedua mataku mengerjap. Mengalihkan pandangan kembali ke arah Lea, kok aku serasa ngaca ya?

°°°

Oktober, 1994.

Tangisan itu pecah sesaat setelah sebuah kotak pensil besi mendarat keras di kepalanya.
Bocah laki-laki itu meraung seraya memegangi kepala yang barusan kena pukul.

"Sudah dibilangin! Jangan gangguin Sisi!" teriakku geram sambil menunjuk ke arah Sisi yang mulai menangis.

Sungguh, aku sebal sekali dengan Vincent. Bocah laki-laki ini selalu saja mengganggu anak perempuan di kelasku. Kemarin-kemarin ia merebut jajan Yolanda, hari ini ia menarik-narik rok Sisi. Dasar anak nakal.

"Bu guruuuu, Zoya memukul kepalakuuu ...!" Bocah itu mengadu. Segera bu guru menghampiri kami, mencoba meredam tangis Vincent lalu memintaku kembali ke tempat duduk.
"Tapi dia yang nakal, Bu," balasku.
Bu Guru manggut-manggut. Mencoba menenangkan kami semua, termasuk Sisi yang masih saja menangis.

"Katanya mau jadi princess. Princess kok berantem. Berantem itu kerjaannya anak laki-laki." Bae yang duduk di sampingku ngedumel.

Aku mengerucutkan bibirku sebal. "Kalo banyak anak nakal, aku nggak mau jadi princess. Aku mau jadi warrior aja," sungutku.

Kupikir keributanku dengan Vincent sudah selesai. Nyatanya, ketika bel pulang berdentang, ia malah mendorong-dorong tubuhku.
Gemas, akhirnya aku menghambur ke arahnya.
Dalam waktu beberapa detik, ia melengking," BU GURUUU ... ZOYA MENGGIGIT TANGANKUUUU ...!"

°°°

Bersambung...

Slow update ya^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro