06. Fight me!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kabar bahwa ada si Mas Tajir yang khilaf ngejar-ngejar diriku mulai menyebar ke seantero kantor.
Semua heboh membicarakannya. Dari jajaran orang penting, petugas ruang lobi, sampai penjual es cendol langgananku di depan gedung, tak ada yang luput dalam menggosipkan dirinya.
Tentang sosoknya tak cakep, tentang berpuluh-puluh buket mawar merah yang sering dikirim, ataupun tentang kebiasaan Mas Tajir yang sering gonta-ganti mobil mewah manakala berkunjung.
Serius, mobil yang ia pake memang sering gonta-ganti. Mirip Sales mobil.

Saking gemasnya, aku bahkan menamai kontaknya dengan sebutan itu.

Ya itu, Si Sales Mobil.

"Jadi beneran si Daniel Ferdinand itu ngejar-ngejar kamu?" Pagi itu, tiba-tiba saja Bu Bos sudah nongol di ruanganku. Padahal aku sedang sibuk mencoba menelpon Elsa yang tak masuk sejak kemarin. Entah ada apa dengan anak itu. Telponnya tak aktif, pesanku tak dibalas. Tak biasanya dia menghilang tanpa pemberitahuan seperti ini.

"Daniel ... siapa?" tanyaku. Menatap Bu Bos dengan ekspresi bingung. Mencoba memastikan bahwa itu benar-benar nama lengkapnya. Serius, aku baru tahu.

"Itu, Daniel Ferdinand. Cowok sekelas Reino Barrack, tapi ini versi single." Bu Bos mulai menggebu-gebu.

Aku tercengang. "Reino Barrack? Suaminya Syahrini?"

Bu Bos mengangguk dengan mantap. "Cowok single grade A yang punya bisnis di mana-mana. Beneran kamu nggak tahu?"

Aku menggeleng. Kalau berbicara soal dunia fashion, perancang, maupun model terkenal, aku paham. Tapi kalau soal pebisnis, aku memang kudet.

"Dia punya Restoran, Mall, hotel, perusahaan transportasi, waralaba, Show Room mobil, banyak. Denger-denger, kekayaannya juga setara sama suaminya si Incess. Duh, mimpi apa kamu sampe dikejar-kejar orang kek gitu?"

Aku cuma melongo mendengar penuturan perempuan itu. Serius? Sekaya itukah Daniel? Wow, ini terdengar ... menggiurkan.

"Udah, nggak usah jual mahal. Ntar kalo dia ngedeketin kamu lagi, langsung di'hap' aja." Bu Bos terkikik. "Biar kayak kisah Cinderella gitu. Kalo koneksimu sama orang kaya makin meluas, Rumah Mode ini bisa makin besar." Perempuan itu mulai menggebu-gebu.
"Aku bisa nawarin produk kita ke Syahrini, Nia Ramadhani--"

Penjelasan perempuan itu mengambang di udara ketika ponselku berbunyi. Mengira itu dari Elsa, ternyata bukan.
Pesan singkat dari si Sales Mobil.

"Boleh aku menelpon?" Begitu tulisnya.

Sempat terpikir untuk buru-buru memamerkan pesan itu pada Bu Bos, tapi akhirnya urung kulakukan. Aku tak mau terlalu halu.
Si Daniel memang sudah terang-terangan mengatakan tertarik padaku. Tapi, siapa tahu dia cuma main-main.

Akhirnya, kuputuskan untuk mengabaikan pesan singkat tersebut lalu kembali fokus pada ocehan Bu Bos. Staminanya dalam hal ngoceh tergolong luar biasa.

"Pokoknya kalo kamu jadian sama si Daniel, ibu dukung, deh," ucap Bu Bos lagi sebelum mengakhiri pertemuan kami lalu kembali ke ruangannya.

Aku menarik napas lega, lalu kembali asyik dengan ponselku. Masih berusaha untuk menelpon Elsa walau nihil.
Sampai akhirnya pesan singkat itu kembali datang. Dari si Sales Mobil. Lagi.
"Gimana? Boleh aku menelpon?" Begitu tulisnya.

Sempat ragu, akhirnya kuputuskan untuk membalas pesan tersebut.
"Oke."

Dan tanpa perlu menunggu lama, pria itu benar-benar menelponku.
"Hai." Ia menyapa terlebih dahulu, antusias.

"Aku ingin ngajak kamu makan siang. Yah, itu pun kalo kamu nggak sibuk. Gimana? Bisa?" Kembali ia berucap. Masih dengan antusiasme yang sama.

Busyet, balas salam saja belum, ini sudah ditodong makan siang.

"Errr ... Anu ..." Aku mencoba mengulur waktu.
Sejujurnya, tadinya aku memang berniat sok jual mahal. Tapi, siang ini aku benar-benar harus menyelesaikan banyak pekerjaan karena Elsa tak ada. Jadi, aku sedang mencoba mencari jawaban yang pas untuk menolaknya.

"Kamu sibuk? Nggak apa-apa kalo hari ini belum bisa. Mungkin besok kita bisa bikin janji." Daniel kembali berujar.

"Er, mungkin--"

"Atau, mungkin sepulang kerja, kita bisa ketemu," potongnya.

Aku nyaris terbahak. Astaga, nggak sabaran banget dia.

"Mmm, aku kelihatan maksa banget, ya?" Seolah sadar akan tingkah lakunya, dia malah tertawa lirih. Aih, nggemesin banget sih ternyata.
"Sebetulnya, aku cuma ngerasa seneng aja karena bisa nelpon kamu. Ini pertama kalinya, lho. Biasanya kamu selalu mereject."

Aku mengulum senyum. Setelah berpikir singkat, aku menjawab, "Oke, baiklah. Ntar sore aku pulang lebih awal, sekitar jam 3-an. Mungkin kita bisa ketemu untuk ngobrol sambil ngopi gitu."
Tidak ada salahnya mencoba dekat dengan sosoknya. Siapa tahu cocok. Lagipula, toh kami sama-sama single.

Terdengar Daniel bersorak.
"Perlu kujemput?" tawarnya.

"Nggak perlu. Aku bawa kendaraan sendiri," balasku. Sudah hampir dua minggu ini aku menyetir sendiri. Sebuah mobil sedan butut berhasil kubeli dengan nyaris semua tabunganku. Tak apa, nanti kalau ada rejeki, aku berniat membeli yang lebih bagus.

"Ketemuan di mana?" tanya Daniel lagi.

"Kamu saja yang tentukan. Ntar aku meluncur," jawabku.

"Oke, sip. Ntar kukirimin lokasinya, ya?"

"Yup."

Dan pembicaraan berakhir.

°°°

Pukul setengah empat sore, dengan mengandalkan GPS, aku sampai di tempat yang dimaksud Daniel. Sebuah Cafe & Resto super mewah yang biasa digunakan nongkrong kaum borjuis.
Aku jarang berkunjung ke tempat seperti ini. Berat di kantong.

"Mbak Zoya?"
Seorang lelaki muda berpakaian seragam pelayan menghampiri ketika aku baru keluar dari mobil.
"Ya," jawabku.

Pemuda itu tersenyum ramah.
"Sudah ditunggu Mas Daniel. Mari saya antar," ucapnya.

Aku sempat terkesima dengan pelayanan yang istimewa ini. "Oke," jawabku kemudian, lalu mengikuti langkah pelayan tersebut menuju sebuah ruang khusus yang teramat privat. Daniel sudah menunggu di sana.

Seperti yang kuduga, pria itu terlihat antusias dan bahagia. Ia buru-buru menyilakanku duduk, lalu memerintahkan pelayan untuk mengantarkan beberapa pesanan.

"Aku pesen--"

"Mocaccino, kan?" Daniel memotong. "Sudah kupesenin juga, kok." Ia tersenyum semringah. Sadar akan ekspresi kaget di wajahku, ia mengangkat bahu. "Sorry, nggak bermaksud sok tahu--"

"Are you stalking on me?" potongku.

"Lil'bit," jawabnya. "Hanya ingin mengenalmu lebih dekat." Ia berucap jujur.

Aku manggut-manggut.
"Lain kali jika ingin tahu lebih banyak, kamu bisa bertanya langsung padaku. Aku nggak suka dimata-matai," ujarku.

Daniel menggigit bibir, lalu mengangguk. "Sure," jawabnya.
Ia menyugar rambutnya yang tebal, terlihat sedikit gugup.
Sungguh, Daniel pria yang cakep. Dengan warna mata coklat terang, hidung mancung dan bibir tipis, sekilas sosoknya mengingatkanku pada model Mike Lewis.

"Jujur, aku gugup sekali, Zoya. Maksudku, ini hanya acara minum kopi biasa, tapi tetap saja rasanya luar biasa. Kamu berkali-kali menolak ajakanku, menolak telpon dariku. Jadi ketika pada akhirnya kita berduaan seperti ini, tiba-tiba rasanya ... speechless."

Aku terkekeh. "Nggak apa-apa. Nyantai aja. Kita bisa ngobrolin hal-hal yang ringan, seperti, pekerjaan mungkin," tawarku.

Daniel tersenyum lembut.
Dan begitulah akhirnya. Kami memulai obrolan yang ringan dan santai. Layaknya teman baru, kami saling menanyakan banyak hal. Entah dari hobi, maupun pekerjaan.

"Kamu bisa datang ke sini kapanpun dan makan apapun sesukamu. Gak usah bayar." Daniel berucap ketika menyaksiksan diriku asyik menikmati kudapan.

Aku berhenti mengunyah lalu menatapnya bingung.

"Uhm, sebetulnya Cafe & Resto ini punyaku." Pria itu kembali berujar.
Aku ternganga. Eh?

"Uhm, sebetulnya ... aku nggak bermaksud pamer. Suer, semoga kamu nggak salah paham. Maksudku--" Ia kembali berucap dengan gugup. Gesturenya terlihat sangat sopan, tapi sedikit tak nyaman ketika berbicara tentang materi. "Maksudku, aku emang tertarik sama kamu. Tapi beneran, aku nggak berniat pamer. Aku cuman pengen ntraktir kamu dan---"

Aku terkekeh. Astaga, pria ini menggemaskan dan sopan. "Nggak apa-apa," ucapku. "Kamu cuma pengen berbuat baik dengan nawarin makan gratis."

"Jangan salah paham, ya. Aku nggak bermaksud merendahkanmu, lho. Sungguh. Aku tahu kamu gajimu cukup untuk sekadar makan di tempat ini. Aku hanya mencoba bersikap baik pada perempuan yang membuatku tertarik." Lagi-lagi ia mengangkat bahu dan tampak salah tingkah.

Aku kembali tergelak. Aku yang biasanya jutek dengan pria yang tak terlalu kukenal, entah kenapa kali ini cuma ingin tertawa.
"Duh, nggak apa-apa kali. Aku anggap itu salah satu cara untuk menarik perhatianku. Selain bunga mawar yang sering kamu kirimkan ke kantor."

Daniel tersenyum. Tatapannya lurus ke manik mataku. "Semoga ada yang mampu membuat hatimu tergerak."

Duh, gombal lagi. Dan entah kenapa kali ini wajahku serasa menghangat.

"Kalo gitu, teruslah berjuang. Siapa tahu hati yang kamu kejar bisa kamu menangkan," godaku.

Daniel tersenyum semringah. Kedua matanya berbinar. "Pasti," jawabnya tegas.

Lalu kami kembali asyik mengobrol. Kali ini obrolan di antara kami terasa lebih intens.

Ia baru saja mulai menceritakan tentang hobi-nya ketika tiba-tiba ponselku berdering.
Menatap layar, sebuah nama familiar tertera di sana. Tanpa menunggu, kuseret tanda telpon berwarna hijau.
"Bae?" panggilku.

Daniel menyeruput kopinya tanpa mengalihkan pandangan dariku. Aku cuek saja. Tetap santai menerima panggilan.

"Kamu sudah pulang dari kerja belum?" Terdengar suara Bae dari seberang sana.

"Udah," jawabku. "Ada sesuatu?"

"Lea sudah waktunya pulang. Tapi aku masih ada pertemuan dengan teman bisnis. Jika kamu nggak repot, bisa bantu menjemputnya? Kalo nggak bisa, mungkin aku harus menghubungi Grab."

"Akan kujemput," jawabku tanpa berpikir dua kali.

"Beneran bisa?" tanya Bae lagi.

"Iya. Bentar lagi aku meluncur."

"Duh, maaf ya ngerepotin."

"Gak apa-apa. Oke, bye."

Dan pembicaraan kami berakhir.

"Bae?" Daniel bertanya dengan tanpa tatapan serius. Aku mengangguk.

"Panggilan yang ... intim." Pria itu kembali berujar.
Aku tertawa. "Teman, kok. Teman sedari kecil. Makanya intim."

Dan raut muka Daniel makin serius. Membuatku kembali tertawa gemas.

"Dia memintaku menjemput anaknya di sekolah. Jadi--"

"Oh, sudah menikah?" potong Daniel.

"Iya."

Dan perlahan senyum tipis tercetak di bibir pria tersebut. "Syukurlah," ucapnya.

"Jadi, mungkin aku akan bersikap kurang sopan karena harus buru-buru pergi. Aku harus menjemput anak temanku dan..." Aku mengangkat bahu sambil meraih tas.

Daniel tampak kecewa. Tapi akhirnya ia mengangguk. "Nggak apa-apa. Asal kamu mau makan malam denganku, suatu saat nanti."

Aku tersenyum. "Oke."

Setelah merapikan tas, aku pamit, lalu segera meluncur pergi.

°°°

Pelajaran jam terakhir belum usai ketika aku sampai di sekolahnya Lea.

Setelah memarkir mobil berjejer dengan kendaraan lain di bahu jalan, aku beranjak duduk-duduk di depan pagar sekolah. Bersama para ibu lain yang juga datang menjemput.

Menyapa sekilas dengan senyuman, aku duduk di bangku paling ujung sembari asyik memainkan ponsel.
Hingga akhirnya aku mendengar obrolan itu.

Obrolan yang terjadi antara ibu-ibu penjemput. Mereka bergerombol, lalu bergosip.

"Eh, Jeng. Tahu nggak? Itu, anak baru di kelas satu. Yang cewek, yang nakal sendiri."

"Si Lea itu?"

"Iyes. Duh, nakalnya minta ampuuuun. Kemarin aja, anakku kena timpuk di kepala. Salah apa coba? Padahal anakku 'kan baik hati dan nggak sombong."

Bibirku mencebik mendengar kalimat yang meluncur dari perempuan berdandan menor tersebut. Halah.

"Eh, sama, Jeung. Anakku lho beberapa waktu lalu kena gigit. Sampek berdarah-darah, Jeung. Syereemmm." Ibu yang lain ikut nimbrung.

"Anakku juga pernah kena pukul sama dia. Benjol lho. Gereget 'kan. Pengen bales rasanya."

"Eh, iya, Jeung. Anakku juga pernah digangguin sama dia. Jahat banget deh tuh anak."

"Ho-oh. Padahal anak kita 'kan anak baik-baik."

"Denger-denger Maminya sudah lama meninggal. Jadi dia cuma diasuh sama Papinya."

"Oh, pantes. Nggak punya Mami, sih, makanya jadi liar begitu."

Kali ini mereka berbicara sambil berbisik. Dan entah kenapa aku mulai meradang.
Aku nggak suka Lea dibicarakan seperti ini.
Dia memang nggak punya Mami, tapi dia nggak nakal, pun nggak liar.
Bae merawatnya dengan baik. Lea bukan tipe anak yang tiba-tiba saja memukul orang. Dia pasti punya alasan.
Please, sebetulnya dia anak yang baik.

"Eh, tapi Papinya cakep, lho."

Aku mendelik. Lah, ngomongin Bae!

"Eh, iya. Beberapa kali aku ketemu dengannya pas nganter atau jemput. Beuuhh, duda keren, Jeung."

"Ho-oh. Tinggi, tegap, badannya, duh, seksi."

Lalu ibu-ibu mulai terkikik dan terus saja membicarakan Bae. Membicarakan tentang ketampanannya, kegagahannya, senyumnya, mata teduhnya...

Dan kesabaranku habis.

Memasukkan ponsel ke tas, aku bangkit mendekati mereka.
"Permisi bu ibu, lagi ngomongin Papinya Lea? Well, iya. Dia memang duda keren dan seksi. Tapi mohon maaf ya, dia udah ada yang punya tuh," ucapku.

Ibu-ibu itu berhenti terkikik lalu menatapku dengan bingung. Ekspresi kaget terlihat jelas di wajah mereka.

"Dan tolong ya, jangan ngomongin Lea kayak gini. Dia anak yang baik. Dia nggak mungkin mukul orang tanpa alasan yang jelas. Asal tahu aja, anak ibu tuh yang gangguin Lea lebih dulu, makanya dia bales ngelawan," semprotku.

"Eh, situ siapa, ya? Datang-datang kok nimbrung gini. Ngatain anak saya nakal duluan, emang situ siapa?" Salah satu ibu beralis cetar mulai emosi.

Dan emosiku juga pecah. "GUE CALON EMAKNYA LEA! KALO ADA YANG GANGGUIN DIA, RIBUT SAMA GUE SINI!" teriakku.

Ape lo? Ape lo?

°°°

To be continued.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro