07. Let me

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Apa kalian pikir keributanku dengan emak-emak sosialitah di depan sekolah Lea hanya sebatas adu mulut? Oh, tentu saja tidak, Sodara-sodara.
Kami terlibat adu fisik yang lumayan seru. Serius.

Sebenarnya aku sudah menahan diri untuk tidak terpancing. Tapi karena perempuan itu terus saja mengoceh dan menjelek-jelekkan Lea, akhirnya jiwa petarungku bangkit.
Aku ingat bahwa akulah yang merangsek dan menarik rambutnya duluan. Tak butuh waktu lama, kami terlibat adu fisik dan bergumul.

Keributan di antara kami baru terhenti ketika dua orang satpam sekolah datang melerai.
Mereka bahkan membawa kami ke kantor BP untuk menyelesaikan pertikaian tersebut.

Astaga, aku hanya tak percaya bahwa di usiaku yang tak lagi muda, aku harus masuk ruang BP karena kenakalan -- emak-emak?

°°°

Dalam perjalanan pulang, dengan Lea yang duduk di kursi penumpang, tak banyak yang kami obrolkan. Gadis kecil itu lebih banyak diam, sementara aku sibuk merapikan rambutku yang masih sedikit berantakan. Aku menemukan luka gores akibat cakaran di pelipis kanan. Tapi tak apa-apa, toh aku juga sempat melakukan hal yang sama pada emak-emak sosialitah tersebut.

"Papi ke mana? Kenapa Tante yang jemput?" Akhirnya Lea bertanya.

"Ada rapat mendadak. Jadi Tante yang jemput," jawabku. Masih asyik merapikan rambut sambil nyetir.

"Jadi ... apa Tante dimarahi bapak ibu guru?"

Pertanyaan Lea membuatku terkekeh. "Emang kenapa tante dimarahi bapak ibu guru? Tante 'kan orang dewasa, Lea."

"Mmm, Lea lihat Tante dibawa ke ruang BP sama pak satpam. Biasanya cuma anak-anak nakal yang dibawa ke sana. Lea sudah dua kali, bersama Dendy. Waktu itu kami habis berantem."

Aku sempat meringis mendengar penuturan Lea. Astaga, apa dia melihat semuanya? Perkelahianku dengan emak sosialitah itu? Duh.

"Lea lihat kok Tante berantem sama Mamanya Dino."

Aku terbatuk. Nah, kan.
"Kamu lihat tante berantem?"
Lea mengangguk.

"Jadi itu emaknya Dino? Yang sering kamu ceritain itu? Yang sering ngomong hal buruk soal Feli?"

Lagi-lagi Lea mengangguk dengan polos. "Iya. Yang berantem sama Tante itu Maminya Dino. Tadi kami lihat ribut-ribut itu dari jendela kelas."

Duh Gusti, ini nggak keren sama sekali. Terlibat aksi murahan di depan anak kecil? Terlebih di depan Lea?
"Errr, sebetulnya ... itu ...." Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal.

Mulanya, aku mengira Lea akan sewot dengan tindakanku. Ngambek, atau apalah. Nyatanya, kalimat lain malah keluar dari bibir mungilnya. "Tante keren sekali."

Aku tercengang. Melirik Lea dengan tak percaya. Hah?

"Dino itu anaknya nakal banget, Tante. Dia sering ngata-ngatain aku, godain aku, kadang bekalku juga dia comot tanpa ijin. Setiap kali aku balas, dia ngadu ke Maminya. Kadang tiap pulang sekolah, kalo Papi belum datang, Maminya Dino selalu bilang kalo aku yang nakal .... "

Untuk beberapa waktu kemudian, aku dibuat takjub ketika menyaksikan bocah imut itu menceritakan dengan gamblang bagaimana kesewenang-wenangan senantiasa ia terima dari bocah nakal bernama Dino, plus Maminya.
Bagaimana ia merasa lega karena mengira aku telah berhasil membalaskan dendamnya.

Menyaksikan bagaimana Lea bercerita, aku semakin yakin bahwa, well, aku dan anak ini ternyata berada pada spesies yang sama.

°°°

Aku dan Lea sampai di rumah nyaris berbarengan dengan kedatangan Bae.
Pria itu menyambut kami dengan ekspresi wajah bersalah.
"Duh, maaf ya, Zoya. Jadi ngerepotin kamu, nih," ucapnya.

Aku tersenyum. "Gak apa-apa. Toh aku nggak sibuk, kok."

Lea yang baru keluar dari mobil segera menghambur ke arah Papinya, mengucap salam lalu berlari riang memasuki ruang.
Tak lupa ia menatapku penuh arti sambil menunjukkan senyumnya yang semringah.

Bae menatap putri kecilnya dengan heran.
"Tumben." Ia menggumam.

"Kenapa?" tanyaku kepo.

Tatapan Bae beralih ke arahku. "Biasanya dia ngambek kalo aku tiba-tiba nggak bisa jemput. Beberapa waktu yang lalu aja ia ngamuk sewaktu dijemput Eyangnya karena tiba-tiba aja kerjaan di kantor nggak bisa ditinggal."

Aku manggut-manggut.
"Tenang, dia seneng kok kujemput." Aku tersenyum, melirik sekilas ke dalam rumah. Lea yang tengah berniat menaiki tangga juga menatap ke arahku. Kami sepakat merahasiakan tentang insiden perkelahian hari ini.

"Kamu baik-baik aja?"

Kali ini perhatian Bae tertuju pada luka gores di pelipisku. Aku tergagap lalu buru-buru mundur beberapa langkah.
"Err, baik, kok. Tadi cuma sempat tergores sesuatu. Eh, aku pulang duluan ya. Ntar sore mau ada janji." Tanpa membiarkan Bae kembali bertanya, aku segera beranjak pulang.

°°°

Aku sedang menempelkan plester luka di pelipis ketika Mas Aron membuka pintu tanpa mengetuk dulu.
"Ada yang nyariin kamu, tuh," ucapnya.

"Siapa?" Aku balik bertanya tanpa menoleh ke arahnya.

"Gak tau. Nangis muluh, tuh, anaknya."

Aku berbalik seketika, baru saja berhasil menutup luka cakar di pelipis dengan plester.
"Hah? Nangis? Lea?" tanyaku cemas.
Apa anak itu dimarahi papinya?

"Bukan," jawab Mas Aron. Ia beringsut dari tengah pintu, membiarkan seorang cewek bertubuh mungil muncul dari sana sambil menunjukkan wajah kusut dan berurai air mata.

"Elsa?"

"Mbak Zoyaaaa ... Huhuhuhuuu ...." Sosok itu berlari menghambur ke arahku, sambil sesenggukan.
"Ada apa?" tanyaku bingung, secara reflek membalas memeluknya.
Mas Aron yang sempat bengong menyaksikan adegan itu hanya mengangkat bahu lalu beranjak meninggalkan kami.

Aku mengajak Elsa duduk, mengambilkan tisu untuk membantu menghapus air mata, tak berhenti mencoba menenangkannya. Setelah tangisnya berkurang, aku kembali bertanya padanya tentang apa yang terjadi.

"Aku baru putus, Mbak," jawabnya.

Aku tersentak. "Hah? Sejak kapan kamu punya cowok?"

"Baru beberapa minggu ini, Mbak."

"Kok kamu nggak cerita? Kenal di mana?"

"Kenal di sosmed, Mbak. Beberapa waktu ini kami rajin berkomunikasi terus ketemu.
Dua minggu yang lalu kami jadian. Eh, nggak taunya dia udah punya istri, Mbak. Aku dibohongi, aku ditipu." Tangis Elsa kembali pecah.

Aku meradang. Dan emosiku tumpah.
"Kamu kenal cowok di sosmed beberapa hari, ketemu, lalu jadian? Kamu gimana, sih? Kok bisa-bisanya percaya semudah itu? Kalo kamu dijahatin orang gimana? Apa dia melakukan hal yang nggak senonoh sama kamu? Apa kamu digrepe-grepe? Apa kamu dilecehkan secara seksual?"

Elsa menggeleng. "Untungnya nggak sampai digituin, Mbak," jawabnya. "Habisnya dia kelihatan baik banget, Mbak."

"Bullshit itu! Jaman sekarang sosmed itu isinya cuma pencitraan. Masih untung kamu nggak diapa-apain. Orang mana, sih? Sini biar aku labrak!" Dan dengan mudah jiwa petarungku kembali bangkit. Suer, aku bakalan nggak ikhlas kalo Elsa yang polos diapa-apain sama cowok brengsek.

"Lain kali kalo mau kencan mbokya konsultasi dulu sama aku. Aku ini udah kayak kakak perempuanmu, El. Jangan gegabah gitu, dong."

"Maafin aku, Mbak." Elsa kembali meraung.

"Ya udah, kalo ketemu sama cowok itu lagi, bilang sama aku. Biar aku kasih pelajaran."

Elsa manggut-manggut dengan patuh. Ia lumayan lama di rumahku. Aku memberikannya kuliah dua es-ka-es tentang tipe-tipe makhluk berbatang. Yang jelas, aku tidak rela gadis itu jatuh pada pria tak bertanggung jawab.

Setelah puas mendengar ceramahku dan merasa sedikit tenang, Elsa pamit pulang.
Mas Aron buru-buru datang ke kamarku setelah Ia pergi.

"Imut," ucapnya sambil menyeringai.

Aku mengibaskan rambut. "Makasih, Mas. Adikmu ini emang imut sejak orok, kok," balasku.

"Bukan kamu," ralatnya. "Yang tadi, yang barusan pulang. Imut, mungil, lucu, nggemesin lagi. Namanya siapa? Kenalin dong sama Mas."

Seketika aku berteriak histeris. "KAGAK!"

°°°

Entah kenapa, menjemput Lea di sekolah sekarang menjadi kegiatan yang teramat menyenangkan buatku. Terkadang tanpa diminta pun, aku dengan senang hati menawarkan diri untuk melakukannya. Menggantikan Om Hans atau Bae menjemput.

Seperti yang terjadi sore itu. Karena pekerjaan tidak terlalu banyak dan Elsa juga sudah sembuh dari patah hati dan kembali bekerja seperti sedia kala, aku sengaja pulang lebih awal untuk menjemput Lea.
Mengabaikan panggilan berkali-kali dari Daniel.

Pria itu tak bosan-bosannya menghubungiku. Dia terus saja menagih janji makan malam yang beberapa waktu lalu pernah kuiyakan.

[Lusa kujemput, ya? Aku menagih janji makan malam darimu.]

Pesan singkat itu kuterima sesaat setelah diriku sampai di depan sekolahnya Lea.
Karena tak mendapat jawaban, lagi-lagi ia berkirim pesan.

[Atau malam minggu sekalian? Makan malam di rumahku, bersama Papa dan Mamaku.]

Aku terbahak membaca pesan tersebut. Busyeeet, nekad banget. Mau dikenalin sama orang tuanya gitu? Seriously?

[Tak menjawab pesan ini berarti kuanggap bersedia. Malam minggu, kujemput.]

Kembali tergelak, akhirnya aku memilih untuk membalas pesan tersebut.

[Aku lihat jadwal dulu ya. Kali aja sibuk ada acara lain. Ntar kita omongin lagi.]

Dan secepat kilat, balasan kuterima.
[Siap. Aku menunggu kabar baik darimu. ❤️]

Astaga, ada emot hati di sana.

[Oke.]
Aku menjawab singkat. Harus jual mahal dikit, dong. Biar si Daniel tak mengira bahwa aku perempuan gampangan. Walau sejujurnya, tawaran makan malam bersama keluarga terdengar menggiurkan. Kapan lagi bisa masuk ke sebuah keluarga tajir kalau tidak sekarang.

Turun dari mobil, aku beradu tatap dengan Maminya Dino yang bersandar angkuh di samping mobilnya yang mewah.
Kami saling melempar tatapan sinis, lalu melengos dalam waktu yang hampir bersamaan.

Sejak perkelahian itu, sekarang kami resmi jadi seteru abadi. Bodo amat.
Kalau dia macam-macam lagi sama Lea, akan kuajak dia ribut lagi.

°°°

Dalam perjalanan pulang, Lea duduk diam di bangku penumpang. Hal yang janggal karena biasanya bocah itu akan antusias bercerita tentang hari-harinya di sekolah.

"Kenapa, Sayang?" tanyaku hati-hati.

Lea menggeleng. "Nggak kenapa-napa," jawabnya lirih.

"Digangguin Dino lagi? Atau Rendy?"

Ia menggeleng.

"Atau Maminya Dino?"

Lagi-lagi dia menggeleng.

"Tante?" Akhirnya ia bersuara setelah beberapa saat terdiam.

"Ya?" Aku merespon dengan sabar.

"Mm, apa setiap anak yang nggak punya Mami selalu jadi anak nakal?"

Aku melirik Lea sekilas, kaget dengan pertanyaannya barusan.
"Kata siapa? Enggak juga, kok," ucapku.

Lea kembali terlihat murung.
"Ada yang bilang gitu."

"Siapa yang bilang gitu?"

"Katanya ... anak yang nggak punya Mami nggak dididik dengan baik, jadinya nakal. Rifki juga gitu. Dia nggak punya Mami, dan dia emang nakal. Apa Lea juga gitu?"

Melihat kedua mata Lea yang mulai berkaca-kaca, aku buru-buru meminggirkan kendaraan dan berhenti di sisi jalan.

"Itu nggak bener, Sayang. Buktinya, Papimu mendidikmu dengan baik. Kamu anak yang pinter, kamu rajin, kamu lucu, kamu nggemesin, kamu..."

"I miss my Mommy...." Dan air mata bocah itu tumpah sudah.

Aku melepas sabuk pengaman lalu menghambur ke arahnya. Sesaat setelah aku berhasil membawa bocah itu ke pelukanku, tangisnya pecah.
Entah kenapa, tiba-tiba saja aku ingin ikut menangis. Terlebih ketika bocah itu berbisik bahwa ia merindukan bundanya.

°°°

Menenteng satu kotak martabak manis aku bergegas ke rumah Bae untuk memberikan jajanan itu pada Lea.
Sayangnya ketika sampai sana, bocah itu sudah tidur.

"Tumben. Baru juga jam delapan lebih dikit," ucapku. Tante Tricia dan Om Hans yang tengah bersantai di ruang tengah hanya mengangkat bahu.

"Baru aja tidur setelah selesai ngerjain PR," ujar Om Hans.

"Kalo Bae?"

"Ada di taman belakang."

Aku bergerak ke dapur untuk mengambil dua piring. Kubagi rata martabak yang kubawa ke atas piring tersebut. Satunya kusajikan di depan Om Hans dan Tante Tricia, sementara satunya kubawa ke taman belakang, ke tempat Bae.

Pria itu tengah duduk-duduk di kursi dekat kolam renang. Tatapannya serius pada ponsel yang tengah ia utak atik.

"Serius banget, sih," sapaku.

Bae mendongak, tersenyum semringah melihat kedatanganku lalu buru-buru meletakkan ponsel ke atas meja di depannya. Ini salah satu manner yang paling aku suka dari sosok ini. Setiap kali mengobrol, ia akan berusaha menyingkirkan jauh-jauh ponselnya agar kami bisa leluasa bercengkerama.

"Mau ngasihkan martabak manis ke Lea, eh, anaknya udah tidur," ucapku sambil meletakkan piring di meja kemudian duduk di seberang Bae.

"Beberapa hari ini ia tidur lebih awal. Capek mungkin," ucap Bae. Kami mengobrol santai sembari menikmati martabak manis yang kubawa.

Sesekali obrolan kami terhenti ketika ponsel Bae kedip-kedip, ada telpon masuk. Bae hanya menatap sekilas, lalu mengabaikannya. Selalu begitu.
Aku yang kepo untuk tahu siapa gerangan yang tengah menelpon. Tertulis nama 'Maya' di sana.

"Maya? Gebetan baru ya?" ceplosku.

Bae tergelak. "Bukan. Cuma temen kantor."

"Cantik? Single? Ada sesuatu di antara kalian? Apa kalian sedang pedekate?"

Kali ini Bae cuma tersenyum tipis mendengar pertanyaanku. "Apaan, sih? Enggak-lah. Cuma temen kantor aja."

Aku manggut-manggut. Hendak menggodanya lagi tentang sosok Maya, entah kenapa urung kulakakukan karena sepertinya Bae sedang memikirkan sesuatu yang mengganjal hatinya.

"Akhir-akhir ini mood Lea sedang nggak bagus. Dia ... jauh lebih tenang dan pendiam. Biasanya wali kelasnya akan sering mengajakku bicara dan mengatakan berbagai kenakalan yang diperbuat anak itu. Tapi sekarang, Lea jadi anak penurut dan nggak banyak tingkah. Jujur, ini malah membuatku takut, Zoya. Aku takut ia sedang memikirkan sesuatu yang tak mampu ia katakan padaku. "

Aku mendengarkan semua keluh kesah Bae dengan saksama. Karena sejujurnya, aku pun merasakan hal yang sama pada Lea.
Apa kerinduannya pada Sang Mami begitu besar, hingga ia berubah murung seperti itu?

"Bae ...," panggilku lirih.

"Hm?" Ia menoleh. Kami bersitatap.

Dan entah aku salah makan apa hari ini ketika kalimat itu meluncur, "Let me...." Aku menelan ludah.

"Biarkan aku jadi Maminya Lea."

Bae membelalak. Pria itu terbatuk seketika. Terlihat syok.
Aku pun tak kalah terkejut dengan kalimat yang kuucapkan.

Jadi Maminya Lea?

WAIT!

WHAT?!

°°°

Bersambung...

Note: Cerita di cerbung ini ringan dan sederhana. Semacam slice of life gitu. Jadi jangan mengharapkan konflik menggigit macam cerita pelakor atau cerita poligami. Hehe...

Terima kasih sudah mampir membaca.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro