17. It Hurts

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Elsa datang terlambat sekitar tiga puluh menit. Padahal biasanya anak itu selalu tepat waktu. Ketika memasuki ruangan, raut mukanya kusut. Rambut yang biasanya dikuncir rapi, ia biarkan terurai berantakan. Dugaanku, ini berkaitan dengan rencana pernikahannya dengan Mas Aron yang belum mendapatkan restu.

“Udah sarapan?” tanyaku.

Elsa menatapku sekilas lalu menggeleng. Gadis itu bergerak ke mejanya untuk menaruh tas punggung kesukaannya. “Maaf ya, Mbak. Hari ini agak telat. Semalam gak bisa tidur.” Ia berujar.

“Gak apa-apa. Yuk, makan dulu. Aku juga belum sarapan,” ajakku. Ia menggeleng. “Mbak Zoya sarapan sendiri aja ya. Aku lagi nggak selera.” Ia menjawab.

Aku meraih tasku lalu bangkit. “Udah, pokoknya ayo sarapan dulu.” Aku menghampiri Elsa lalu menggamit bahunya.

“Tapi, Mbak ….” Ia protes.

“Menolak ajakan calon ipar itu nggak sopan, lho.”

Mendengar kalimatku, Elsa tertegun. Kedua matanya merebak, nyaris membuncahkan seluruh emosi di jiwa. Aku mengangguk. “Iya, gak apa-apa. Ntar kamu bisa cerita semuanya. Yang penting makan dulu. Oke?”

Dan akhirnya gadis itu menurut. Mengikuti langkahku menuju kantin yang berada di lantai satu.

***

Elsa menghabiskan makan paginya dengan baik walau tampak tak lahap. Gadis itu makan dalam diam. Padahal biasanya ia akan sangat berisik menceritakan banyak hal.

“Aku udah denger cerita dari Mas Aron. Soal rencana kalian untuk secepatnya nikah. Beberapa waktu lalu ia juga sudah mengobrol sama Mami dan Papi. Cuma ya gitu, kayaknya masih belum dapat titik temu.” Aku membuka obrolan.

Kepala Elsa tertunduk lesu. “Iya, Mbak. Papa nggak setuju kalau aku nikah dalam waktu dekat ini. Katanya suruh nunggu beberapa tahun lagi gitu. Selain karena aku masih terlalu muda, karirku juga masih gini-gini aja, Mbak. Suruh ngurusin kerjaan dulu katanya.” Ia bersuara. “Aku sih gak apa-apa, Mbak, andai menikah dalam waktu dekat ini. Siap lahir batin pokoknya. Cuma kalau Papa nggak ngasih restu, aku nggak bisa apa-apa. Papa orangnya kaku, gak bisa dibantah. Aku ‘kan jadi bingung, Mbak. Sekarang malah aku dan Mas Aron yang berantem.”

Aku mengernyitkan dahi. “Lah, kenapa?”

“Aku minta Mas Aron untuk mengundur rencana pernikahan kami, Mbak. Demi bisa dapat restu dari Papa. Tapi ….” Elsa terdiam sejenak. “Mas Aron salah sangka, dikira aku nggak serius dengan hubungan kami. Padahal aku serius banget, lho, Mbak. Umurku emang belum genap dua puluh satu, tapi aku nggak ada niat main-main.”

Aku menggigit bibir. Kesal dengan sikap Mas Aron. Kok bisa-bisanya dia bersikap kekanak-kanakan kayak gini.

“Aku harus gimana, Mbak?” Kedua mata Elsa berkaca-kaca. “Aku bingung sekali. Di satu pihak, aku pengen cepet-cepet nikah. Tapi di lain hal, restu Papa itu juga sangat penting.”

Aku menelan ludah. Untuk pertama kalinya aku tak mampu memberi saran apapun pada gadis itu. Kerena sejujurnya, aku seolah berkaca dengan diriku sendiri.

Masalah kami sama; restu.

Elsa tak dapat restu dari Sang Papa, dan aku tak dapat restu dari Lea.

“Mbak, tolongin dong. Aku harus bagaimana?” Elsa kembali bersuara.

Aku menarik napas berat. “Sebentar ya, El. Aku juga sedang berpikir.” Aku memijit pelipisku pelan.

Ya, aku juga sedang berpikir bagaimana caranya agar Lea mau menerima Mami baru.

Astaga, kenapa aku dan Elsa menyedihkan begini sih?

***

Aku masuk ke kamar Mas Aron tanpa mengetuk lebih dulu. Pria itu sedang rebahan sambil mengutak-atik ponsel di tangan.

“Kok bisa-bisanya sih Mas Aron bilang kalo Elsa nggak serius sama hubungan kalian?” dampratku.

Mas Aron menatapku bingung lalu bangkit, duduk di pinggiran ranjang. “Ada apaan, sih?”

“Tadi Elsa cerita kalo kalian berantem. Mas meragukan keseriusannya.” Aku nyaris membentak. 

Mas Aron menaruh ponselnya di meja lalu menarik napas berat. “Ya, gimana. Aku rada kesel aja gitu. Awalnya dia setuju mau nikah. Kita sepakat untuk berjuang bersama-sama agar dapat restu dari Papanya. Eh, habis itu dia nyerah, minta supaya nikahnya diundur beberapa tahun sesuai permintaan Papanya. Kan aku kesel.”

“Mas, minta restu itu gak gampang! Meyakinkan seseorang bahwa kita layak membina pernikahan itu gak bisa sehari dua hari! Butuh berkali-kali mencoba, Mas!” teriakku.

Mas Aron makin menatapku bingung. “Kamu kenapa, sih?”

“Ya karena sekarang aku ada di posisi itu! Aku pengen cepet-cepet nikah, tapi anaknya nggak setuju!” Akhirnya aku keceplosan.

Mas Aron ternganga.
Wait, maksudmu … kamu sedang kencan sama seseorang? Duda?” Ia menerka.

“Iyes!” Kepalang tanggung. Biar saja dia tahu.

“Jangan bilang kalo laki-laki itu … Bae?”

“Ya ‘kan duda bukan cuma dia doang.”

Mas Aron menatapku dalam. Ia berdiri lalu bergerak mendekatiku. “Beneran dia Bae, kan?”

Aku mengacak rambutku kesal lalu ganti duduk di ranjangnya. “Bodo, ah,” jawabku asal.

Pria itu manggut-manggut. “Pantes, akhir-akhir ini kalian aneh?”

“Aneh gimana?”

“Biasanya kamu sering ke rumahnya, main di kolam renang, atau kadang nyelonong gitu aja ke kamarnya, atau dia yang ke sini. Tapi, akhir-akhir ini kamu gak gitu lagi. Kamu sering keluar. Dan setiap kali kamu keluar, Bae juga gitu. Jujur deh, apa kalian menyewa tempat rahasia untuk berpacaran?”

Aku menepuk jidatku pelan. Astaga, abangku yang satu ini emang jeli banget. Dan dia memang benar. Akhir-akhir ini aku dan Bae memutuskan untuk bertemu di luar saja. Dia menyewa sebuah penginapan privat di pinggir kota agar kami leluasa bertemu, bercengkerama, dan tentunya memadu kasih. Kami sudah berencana untuk memplokamirkan hubungan kami ke keluarga masing-masing jika Lea sudah setuju punya mami baru.

“Kok bisa-bisanya sih kamu jatuh cinta sama sahabat baikmu sendiri?” Mas Aron kembali bergumam.

“Ceritanya panjang, Mas.” Aku menjawab singkat.

Pria itu menaruh kedua tangannya di pinggang seraya menggeleng pelan. Seolah ia tetap tak percaya dengan kenyataan yang barusan ia dengar.

“Bae itu udah kayak adikku sendiri, lho. Membayangkan kalian jadi sepasang kekasih, jujur ini terdengar … aneh. Bener-bener nggak dapat dipercaya.” Ia terus ngedumel.

“Cinta kan bisa datang kapan aja, Mas. Dan sama siapa aja. Mas sendiri, ketemu Elsa yang usianya jauh lebih muda, tiba-tiba langsung klik dan pengen kawin. Aku ya gitu. Tiba-tiba aja … aku nggak bisa menganggap Bae sebagai sekadar sahabat. Aku pengennya lebih.”

Mas Aron duduk di sisiku. Kami berpandangan, lalu sama-sama mendesah. Sama-sama tak percaya dengan takdir kami masing-masing.

“Rahasiamu kusimpen, aman. Aku nggak bakal cerita ini ke Mami dan Papi sampai hubungan kalian clear dan Lea setuju kamu jadi mami barunya.” Kalimat yang keluar dari mulut Mas Aron membuatku terharu seketika. Beneran deh, walau kami sering berantem, brother is a brother. Dia yang paling bisa diandalkan ketika semuanya semakin rumit.

“Makasih ya, Mas.” Aku menghambur ke arahnya dan memeluknya erat.

“Jangan pake cara norak, ya?” Tiba-tiba ia kembali berujar. Aku mengernyit. “Norak apaan?”

“Hamil duluan, biar kamu sama Bae bisa nikah dan mau nggak mau Lea akhirnya menerimamu sebagai mami barunya.”

Aku mendesis seraya mencubit pinggang lelaki itu. “Baru aja aku yang pengen bilang ke gitu ke Mas.”

“Emang aku kenapa?”

“Kupikir Mas yang bakal pake cara norak. Bikin Elsa hamil biar dapet restu dari papanya.” Aku menggebu-gebu.

Mas Aron bergidik. “Ih, enggaklah. Aku  tahu diri, kok. Tytyd-ku ini tipe sabaran.” Ia membalas.

Aku menepuk pundaknya keras. “Awas kalo macem-macem,” ancamku. “Lagian kenapa sih kalo kalian beneran nikah beberapa tahun yang akan datang? Sabar nungguin restu dari papanya Elsa gitu.”

Mas Aron mendesah. “Bukan soal itu, Zoya. Lelaki kalo sudah mapan, ketemu sama cintanya, maka yang ia pikirkan adalah menghabiskan waktu bersama dia, gitu. Nah, itu yang ingin cepat-cepat kulakuin sama Elsa. Yakin deh, kamu juga ngerasa gitu.”

Aku terdiam. Sejurus kemudian kami sama-sama menarik napas panjang. Mas Aron memijit pelipisnya lelah, aku pun begitu.

“Kisah cinta kita kok gini amat, yak?” desisnya.

“Ho oh.” Aku menjawab pendek.

Dan sore itu kami menghabiskan waktu kami dengan meratapi nasib masing-masing.

***

Ketika pintu kubuka, pria itu sudah berdiri di sana, di depan sofa. Dengan senyum hangat, tangannya terentang, menyambut diriku ke dalam pelukannya.

“Capek banget kelihatannya,” bisiknya, terasa hidungnya menghidu tengkuk.
Dalam dekapannya aku mengangguk.

Hari ini, sepulang kerja, kami sepakat bertemu di penginapan di pinggir kota setelah memastikan bahwa Lea sudah berada di rumah.
“Lea?” tanyaku.

“Tadi aku pulang lebih awal. Dia sudah kujemput dan kuantarkan pulang.” Bae menjawab.
“Lima hari kita nggak ketemu kayak gini dan I miss you so bad.” Ia melanjutkan seraya mengeratkan pelukan. Pria itu mengangkat tubuhku dengan ringan dan kami terhempas berbarengan di sofa.

Lama kami dalam posisi seperti itu. Tak ada kata-kata, hanya duduk berdusal di sofa, berpelukan sambil memaknai kehadiran masing-masing. Kadang begini saja cukup. Jarang kegiatan ini berakhir ke kegiatan dewasa lainnya karena setiap kali bertemu, terlalu banyak yang kami bicarakan. Tentang masa depan, ataupun masa-masa yang telah kami lewati. Lebih seringnya menertawakan kelakuan kami tatkala masih muda.

“Beberapa hari ini Lea menolak kujemput.” Aku membuka suara. Terasa Bae mengangguk. Ia mengelus lenganku lembut.
“Ya, aku tahu. Dia bilang, dia pengen dijemput Papinya atau eyangnya aja.”

“Mungkin karena aku pernah menyinggung pernikahan dengannya. Bercanda kali aja dia mau nerima aku sebagai Mami barunya. Mungkin dia risih?”

Bae tak menjawab. Kurasakan sebuah kecupan di puncak kepala. “Zoya, Lea itu bukan anak yang jahat. Dia anak yang manis, baik dan penyayang. Kita hanya perlu mendekatinya pelan-pelan. Jangan terburu,” bisiknya. Aku tak menjawab.

Keadaan kembali hening.

“Mau makan sesuatu? Ada banyak bahan makanan di kulkas. Aku sudah belanja.” Bae mengalihkan pembicaraan.

“Kamu yang masak?” tanyaku.

“Tentu. Kamu ingin dibuatkan apa?”

“Fettuccine Carbonara,” jawabku.

Bae manggut-manggut. Ia kembali mengecup kepalaku lalu bangkit. “Akan kubuatkan.” Dan ia beranjak.
Momen yang begitu mencandu, manakala Bae menggulung lengan baju sampai siku lalu mulai berkutat dengan bahan-bahan di dapur, sementara aku duduk manis sambil menatapnya penuh arti, menunggu hidangan disajikan. Biasanya kami akan saling tatap, saling melempar senyum, kadang disertai jokes-jokes adult yang kadang berakhir di kegiatan lain. Ah, aku ingin seperti terus.

Di tengah-tengah momen menemani Bae memasak, pesan baru masuk di ponselku.

[Boleh kutelpon? Tolong jangan ditolak lagi. Aku tahu kamu sibuk, at least, biar aku denger suara kamu. I miss you.] Dari Sales Mobil, Daniel.

Menatap layar sesaat, aku pun membalas:
[Ayo bertemu.]

Dan dalam hitungan detik, ia melakukan panggilan. Sudah kuduga. Bae melirikku.
“Dari Daniel,” ucapku jujur. Ia manggut-manggut. Akhirnya aku memutuskan untuk menerima telpon tersebut.

“Halo,” sapaku.

“Ada hal yang buruk yang akan kamu sampaikan padaku, kan?” Ia menerka.

Aku menggigit bibir. “Sebenarnya---” Aku bangkit dari sofa, berjalan ke arah jendela.

“Nggak biasa-biasanya kamu ngajakin ketemu. Pastinya ada yang pengen kamu sampaikan. Kamu sedang resmi berkencan? Dugaanku, pasti tentang itu.” Lagi-lagi Daniel berujar blak-blakan.  

Lagi-lagi aku tak dapat menjawab. “Itu---”

“Baiklah, ayo ketemu. Di Rooftop Noz Café. Walau aku tahu kamu bakal membuatku patah hati malam hati, setidaknya biarkan aku mengingatnya dalam suasana yang syahdu dan romantis. Aku akan mengenangnya seumur hidup.”

“Niel---”

“Kutunggu.”

Dan telpon terputus. Aku dan Bae bersitatap. Pria itu menghentikan aktivitasnya memasak.

“Kamu akan menemuinya?”

Aku mengangguk. “Begitulah. Aku merasa tak enak hati karena selama ini ia selalu mengirimiku bunga. Jadi, akan lebih baik kalo kami berbicara dari hati ke hati.”

Setelah mendengar jawabanku, raut wajah Bae menjadi tak nyaman.

“Aku hanya akan mengobrol dengannya,” ucapku.

“Aku tahu.” Bae mengangguk.

“Lalu mukamu kenapa berubah nggak nyenengin gitu? Jangan cemburu. Kamu sudah mendapatkanku.” Aku menatapnya lekat.

Kali ini Bae terlihat bingung. “Sejujurnya, aku takut, Zoya.”

“Karena?”

Pria itu mengangkat bahu. “Aku takut cinta yang Daniel rasakan ke kamu lebih besar daripada yang aku punya. Karena jika begitu, ia pasti gila-gilaan memperjuangkanmu.”

Aku beranjak mendekatinya dan memeluknya erat. “Tapi aku tetep pengen jadi maminya Lea,” bisikku. Bae tersenyum lembut lalu mengadiahku kecupan ringan, kali ini di pucuk hidung.

Hampir pukul tujuh malam kami menyudahi pertemuan tersebut. Kami pulang mengendarai mobil masing-masing. Bae langsung pulang ke rumah, sementara mobilku bergerak ke café yang dimaksud Daniel.

***

Ketika sampai di Rooftop Noz Café, Daniel sudah ada di sana. Sosoknya bersandar pada dinding pembatas, membelakangiku. Hidangan di meja yang berada tak jauh darinya masih utuh.
Tak ada pengunjung lain di Rooftop itu. Mungkin, ia memang sengaja memesannya secara pribadi.

“Niel,” panggilku.

Daniel menoleh. “Kupikir kamu nggak bakal datang,” sapanya. “Tadinya aku berencana makan duluan. Tapi memikirkan  apa yang hendak kamu katakan nanti, tiba-tiba saja aku tak selera.” Ia melanjutkan.

Aku melangkah mendekatinya, melakukan hal yang serupa dengannya. Berdiri di sisinya, bersandar pada dinding pembatas, asyik menatap pemandangan kota di malam hari.

“Jadi, benar ‘kan, kalo kamu sedang resmi berkencan? Dengan duda itu?”

Aku tak menjawab. Toh aku tahu Daniel tak butuh karena ia tahu jawabannya. Terdengar pria itu mendesah pelan.
“Nggak apa-apa. Baru pacaran, kan? Jangan dikira aku bakal mundur.”

“Daniel….” Aku mengerang. Sosok di sisiku itu terkekeh.

“Sudah dibilang, kok. Kalo berurusan sama kamu, aku selalu seputus asa ini.” Ia menatapku sekilas lalu kembali menatap hamparan kota di bawah sana.

“Kamu itu, unik. Beda.” Ia berujar lagi. “Harusnya, dengan apa yang kumiliki saat ini, cewek-cewek bakal gampang banget kurayu, kudapetin. Sayangnya kamu nggak gitu. Baru kali ini ada perempuan yang berani judes sama aku, juteknya nggak ketulungan. Makin ketus, kamu makin menggoda, dan aku makin suka.” Ia terkekeh getir.  “Jadi, jangan harap aku bakal melepaskan kamu.”

Aku mendengar semua ocehan Daniel dengan saksama. “Kamu satu-satunya perempuan yang udah kukenalin sama Papa dan Mama.”

Mendengar nama Mamanya disebut, kembali aku didera rasa bersalah. Teringat akan sikapnya yang manis dan senyumnya yang hangat. Jujur, dia akan jadi mertua yang sangat baik. 

“Nanti aku akan menemui mamimu secara pribadi,” ucapku kemudian.

Daniel tak bersuara. Aku pun tak melanjutkan berkata-kata. Sepertinya aku tak perlu menceritakan panjang lebar tentang hubunganku dengan Bae karena tanpa kujelaskan pun, Daniel sudah paham semuanya.

“Jadi, apa dalam waktu dekat ini kalian akan menikah?”

Pertanyaan itu tak mampu segera menjawab.

“Putrinya belum setuju jika hubungan kami berlanjut ke jenjang berikutnya,” ucapku kemudian.

Daniel menatapku bingung. “Ia tak mau papanya menikah lagi?”

Aku mengangguk.

“Kenapa?”

“Karena ia teramat sangat mencintai ibunya dan berharap ibunya bisa hidup lagi. Anak itu begitu terpukul. Karena itulah ia masih butuh banyak waktu untuk, yeah, menyesuaikan diri, menerima ibu baru.” Aku yakin bahwa suaraku bergetar. Menceritakan tentang Lea dan ibunya akan senantiasa membuatku emosional.

“Punya hubungan dengan duda atau janda memang gak mudah. Terlebih jika berurusan soal restu. Nggak dapat restu dari anak, ini lebih berat lho. Misal orang tua yang nggak setuju dengan hubungan kalian, kalian bisa kawin lari atau minggat berdua kemana gitu. Tapi kalo anak yang nggak setuju, masih bisa pake acara kawin lari? Pasti nggak. Karena dia nggak mungkin tega ninggalin anaknya demi kamu.”

Kalimat Daniel membut dadaku seketika nyeri. Rasanya ada yang berderak, sesak. Daniel betul. Andai orang tua yang nggak setuju, aku dan Bae bisa saja kawin lari. Tapi kalo Lea yang nggak ngasih restu, mau gimana lagi? Bae tidak mungkin meninggalkan Lea demi diriku, atau demi wanita manapun.

Baginya, Lea adalah segalanya. 

Tiba-tiba saja kedua mataku basah.

Kenapa cinta datang terlambat?

Kenapa aku tak paham semua kode Bae bertahun-tahun lalu?

Kenapa ia harus mengenal Sisca?

Kenapa ia harus menikah dulu?

Kenapa?

“Zoya….” Panggilan itu lembut. Ketika kurasakan sebuah sentuhan di pipi, air mataku berjatuhan tanpa bisa dibendung.

“Hei, ada apa?” Daniel menyentuh kedua pipiku, kali ini dengan kedua tangannya.

“Yang patah hati itu aku. Kenapa kamu yang nangis?” Jemarinya sibuk menyapu air mataku sambil terus berusaha memberikan kalimat menenangkan.
Dan tepat ketika pria itu membenamkan wajahku ke dekapannya, mengelus kepalaku lembut, bahuku terguncang.

Aku menangis.

***

Note:
Halo, maaf ye, Sodara-sodara, kalo eke jarang bisa balesin komentarnya.
Bukannya sombong, tapi hapeku sekarang dikuasai di krucil. Huaaaa... 😭😭

/Nangis di pelukan Daniel/

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro