18. Love is complicated

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[Baru pulang?] Pesan singkat dari Bae kuterima sesaat setelah aku sampai di kamar. Melirik ke arah rumah Bae, terlihat mobilnya sudah terparkir di garasi, sementara lampu kamarnya juga masih menyala.
Mungkin dia sedang mengawasiku dan tahu bahwa aku baru saja pulang.

[Ya.] Aku memilih untuk menjawab singkat.

[Aku ada di kolam renang.] Seolah itu adalah kode untuk memintaku datang ke sana. Mungkin ia ingin nanya-nanya hasil pertemuanku dengan Daniel?

Terdiam sejenak, akhirnya aku memilih untuk membalas:
[Besok aja ya ketemuan lagi. Aku capek. Mau cepet-cepet tidur.]

Lalu ponsel kumatikan. Kulempar benda pipih itu ke atas meja. Setelah sempat mengacak-acak rambut karena frustrasi, aku menghempaskan tubuhku ke kasur kemudian menutup kepala dengan bantal. Malas membersihkan muka, malas ganti baju, malas ngapa-ngapain.

***

Aku bangun dengan megap-megap, nyaris kehabisan napas, sementara Mas Aron yang berada di sisiku cuma terkikik geli. Lagi, hari ini ia membangunkanku dengan memencet hidung.

"Maasss!" teriakku jengkel sembari memukul punggungnya. Pria itu menatapku dengan saksama. Mungkin heran karena aku tidur masih menggunakan baju kerja. Bahkan mungkin masih ada sisa-sisa Make-Up di wajah. Foundation luntur, maskara belepotan, lipstick pudar, ah, sudah bisa kubayangkan bagaimana keadaanku. Pasti mengerikan.

"Capek banget ya kayaknya. Atau suntuk? Bingung? Merana? Sakit hati? Atau justru udah patah hati?" Menanggapi bibirnya yang nyerocos, sebuah pukulan kembali kusarangkan ke pundaknya. Ia malah terkikik geli.

"Mas sendiri, cerah banget mukanya. Terapi pake lampu neon seratus watt, ya?" ucapku sebal sembari bangkit. Memeriksa wajahku sendiri sekilas ke cermin, astaga, tepat seperti dugaanku. Ditambah dengan sisa-sisa iler di pipi. Ya, Gusti. Gini kok mimpi jadi istrinya si Bae.

"Aku udah baikan dengan Elsa. Hubungan kami udah kembali mesra, dan tambah lengket." Mas Aron menjawab. Aku berbalik menatapnya dengan perasaan lega. "Syukurlah. Terus?"

"Kami sudah banyak berdiskusi, bicara dari hati ke hati, dan yeah, tetap semangat meraih restu dari sang papi. Uyey." Kali ini ia berbicara dengan sangat ekspresif.

Melihat ekspresinya yang seperti itu, entah kenapa aku ikut merasa lega.

"Jadi kalau andai orang tuanya Elsa tetep nggak setuju kalian nikah dalam waktu dekat, Mas bersedia nunggu?" ucapku, sembari menyapukan kapas berisi Micellar Water ke wajah.

"Yang penting kami tetap berusaha untuk meraih restu Papinya agar bisa menikah cepet. Tapi andaikan nggak bersedia, ya nggak apa-apa. Aku bersedia menunggu seumur hidup demi Elsa. Tubuhku mungkin makin menua, tapi cintaku tetap menggelora layaknya anak muda."

"Heleh," jawabku.

"Kamu sendiri?"

Aku buru-buru membuang muka mendengar pertanyaan itu.

"Lea gimana? Udah ada kemajuan?"

Aku berjingkat. "Mau mandi dulu." Buru-buru berlalu.

"Zoya...." Mas Aron memanggil. "Ih, curang. Aku kan udah curhat."

Dan aku tetap ngacir tanpa menghiraukan teriakannya.

***

Aku melambaikan tangan ketika bocah itu terlihat keluar dari pintu gerbang.
Lea sempat tertegun sejenak, tapi akhirnya ia melangkah mendekatiku.

"Papi nggak bisa jemput lagi, ya? Ada rapat mendadak lagi, ya?" Ia bertanya polos.

Aku mengangguk. "Papimu nitip maaf. Besok, janji dijemput, deh. Yuk." Aku menjawab sabar sembari membantunya membawa tas sekolah yang lumayan berat. Lagi-lagi hari ini aku berinisiatif menjemput Lea setelah sebelumnya memberi tahu Bae akan hal ini.
Terinspirasi dari Mas Aron yang tak lelah memperjuangkan restunya, aku pun begitu.

"Kalo eyang?" Lea masih sempat bertanya lagi.

"Eyang lagi capek. Biar istirahat dulu ya. Kasihan lho." Aku membuka pintu mobil, menaruh tas Lea di kursi belakang. "Yuk. Ntar tante ajak beli es krim kesukaanmu." Aku menyentuh punggungnya lembut agar bocah tersebut mau segera naik mobil.

Tanpa menjawab, gadis kecil dengan kuncir satu itu bergerak memasuki kendaraan. Dalam waktu singkat, aku sudah mengajaknya menyusuri jalan raya.

"Apa anak nakal itu masih suka menggodamu?" tanyaku.

"Enggak."

"Kalo dia melakukannya lagi, bilang sama tante, ya. Nanti tante hajar."

Biasanya Lea akan mengangguk semangat. Kali ini ia hanya mengangguk pelan.
Aku tak putus asa untuk terus mengajaknya berbicara, walau ia hanya merespon dengan jawaban pendek atau sekadar anggukan.

Sampai akhirnya kami berhenti sejenak di sebuah mini market untuk membelikannya es krim. Walau tak banyak bicara, hari ini ia menjadi penurut lagi setelah sebelumnya selalu enggan untuk kubelikan sesuatu manakala kujemput. Ketika dia meminta es krim rasa coklat dan vanila, aku mengiyakan. Ketika ia minta untuk dibelikan dua kotak besar, aku pun mengiyakan. Apa saja, asal dia senang.

"Mau makan siang?" ajakku. Lea menolak.

"Kalo martabak manis?" tanyaku tak putus asa.

Masih sambil menyuap es krim coklat kesukaan, bocah itu menatapku sekilas. Perlahan ia mengangguk. "Dibungkus ya, Tan? Untuk eyang juga?" ujarnya.

"Siap." Aku menjawab riang lalu melajukan mobilku menuju toko martabak manis langganan.

Dalam perjalanan pulang setelah membeli martabak. Lea kembali banyak terdiam. Ia asyik menikmati es krim kesukaanya, sampai akhirnya pertanyaan itu terlontar dari mulut mungilnya, "Apa tante dan Papi akan menikah?"

Aku terbatuk. Takut merasa hilang kendali, aku memilih untuk menepikan mobil dan berhenti di bahu jalan.

"Kenapa Lea nanya gitu?" tanyaku lembut setelah mesin mobil kumatikan. Firasatku, ini akan menjadi sesi mengobrol yang lumayan lama. Lea anak yang cerdas. Dia takkan puas hanya dengan satu atau dua kalimat penghibur.

Lea berhenti menyendok es krim di tangan. Ia menunduk, lalu menjawab, "Papi selalu nanya-nanya soal Tante. Andai punya Mami baru kayak Tante Zoya, kira-kira Lea bakal gimana. Gitu. Eyang juga. Mereka selalu bilang kalo Tante Zoya baik hati, nggak kalah baik sama Mami Sisca. Kalo Tante Zoya jadi Mami Lea, Lea dan Papi bakal bahagia. Eyang putri bicara gitu terus." Kalimatnya lirih.

Aku ternganga. Jadi Bae sudah menceritakan hubungan kami pada Tante Tricia dan Om Hans?

"Jadi, benarkah Tante bakal jadi Mami barunya Lea?" Kali ini Lea menatapku dengan polos.

Setelah berhenti sejenak untuk berpikir, akhirnya aku menjawab, "Ya."

Tampak ekspresi syok di wajah Lea. Kedua matanya berkaca-kaca.

"Papimu dan Tante memang berencana hidup bersama dalam waktu yang cukup lama. Kami ingin tinggal satu rumah, bersamamu juga. Jadi ...."

"Lalu Mami Sisca bagaimana?" Suara Lea bergetar. Dan dadaku nyeri seketika.

"Ya nggak gimana-gimana. Mamimu sudah bahagia di surga. Ia akan tetap mencintaimu, dan kamu juga tetap akan mencintainya."

"Lalu Papi? Apa Papi akan melupakannya? Apa Eyang juga akan melupakan Mami?"

Aku buru-buru menggeleng. "Enggak. Kenapa harus begitu?"

"Karena ada Tante."

Lagi-lagi aku menggeleng sembari menyentuh pipi Lea lembut. "Papimu akan tetap mengingat Mami Sisca. Dalam hatinya, ia juga akan terus mencintainya. Eyang juga. Mami Sisca tetap di hati. Selamanya begitu, Sayang. Ia takkan tergantikan." Aku merasakan suaraku juga bergetar. Sejak dulu aku tak pernah suka membahas tentang Sisca. Sekarang walau ia sudah tiada, tetap saja aku tak suka. Rasanya memang egois. Melihat bagaimana Bae dan anaknya begitu mengasihi perempuan itu, aku tak bisa menahan rasa cemburu.

"Please, Tante. Jangan begitu. I love you. Tapi aku nggak mau Mami baru. Mami Sisca saja sudah cukup. Aku nggak mau Papi dan Eyang ngelupain Mami." Ketika air mata Lea berjatuhan, pun begitu dengan punyaku. Kristal bening menetes tanpa mampu kubendung.

Bukan, bukan ini yang kuinginkan. Aku nggak ingin menggantikan siapapun!

***

"Kenapa kamu bilang duluan ke Lea kalau kita punya hubungan spesial?" Pertanyaan itu yang pertama terlontar ketika aku dan Bae memutuskan ketemu di tempat biasa.

"Dia nanya, dan aku jawab iya. Lagipula, cepat atau lambat dia juga akan tahu, kan?" ucapku.

Bae menarik napas berat. "Iya, tahu. Tapi maksudku nggak dengan cara kayak gini, Zoya. Aku sedang berhati-hati untuk memberitahunya tentang hal ini. Kenapa kamu harus melakukannya dengan buru-buru?" Kalimatnya terdengar protes.

Entah karena sedang stres atau apa, emosiku tersulut. "Buru-buru? Kok bisa-bisanya kamu bilang gitu? Kayak aku nggak sabaran aja pengen cepet-cepet nikah sama kamu."

"Bukan gitu ...."

"Harusnya kamu yang lebih keras lagi berusaha berbicara dengannya. Jelasin terus kalo kita punya hubungan spesial dan kelak aku bakal jadi mami sambungnya."

Bae menyugar rambut dengan jemari. "Perasaan Lea itu halus, Zoya. Nggak bisa segampang itu. Ia masih terpuruk dengan kepergian maminya. Dia masih berjuang dengan itu. Bersabarlah menunggu sampai hatinya betul-betul mampu menerima kamu."

"Menunggu sampai kapan? Bagaimana kalo sampai seumur hidupnya Lea tetep nggak mau menerima diriku? Bagaimana kalau seumur hidupnya ia akan tetap meratapi kepergian Sisca? Apa itu artinya hubungan kita akan tetap sembunyi-sembunyi seperti ini atau malah berakhir? Aku nggak bisa sabar lagi." Nada suaraku meninggi satu oktaf.

"Jangan egois gitu, dong." Bae membalas.

"Iya, aku egois. Umurku udah nggak muda lagi, Bae. Menjalin hubungan serius tapi harus sembunyi-sembunyi itu nggak enak!"

"Lalu aku harus bagaimana?!"

"Ya bicara lagi dong dengan Lea. Berusahalah lebih keras lagi dengannya, dia 'kan anakmu!"

"Kamu pikir aku nggak berusaha?!"

"Ya faktanya hubungan kita gini-gini aja."

"Zoya, please." Bae beranjak, menyentuh wajahku.

Aku menepis tangannya lalu meraih tasku di sofa. Dengan perasaan marah bercampur kecewa, aku meninggalkan penginapan tersebut setelah sebelumnya sempat membanting pintu. Tak kuhiraukan teriakan Bae.

Aku tak berharap ia mengejarku.

Dan ia memang tak melakukannya.

***

Mengemudi dengan perasaan kalut, beberapa kali aku nyaris hilang kendali. Sampai akhirnya itu benar-benar terjadi.
Sejenak setelah kurasakan lelehan hangat melewati pipi, sejenak setelah sempat terisak, aku benar-benar hilang arah. Mobil yang kukendarai menghantam pembatas jalan, terguling beberapa kali, dan semuanya gelap.

***

Nyeri menyerang sekujur tubuh. Mengerang lirih, aku membuka mata. Mas Aron adalah orang yang pertama kali kulihat. Pria itu tergopoh beranjak, mendekatkan wajahnya ke arahku. Bibirnya komat-kamit mengucap rasa syukur. Mencoba bangkit, pening segera mendera. Mas Aron buru-buru mengelus tanganku, memintaku untuk tetap berbaring.

"Kamu bikin kami semua takut, Zoya." Ia menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Kamu nggak sadarkan diri selama dua malem. Gila nggak sih?"

Aku mengerjap beberapa kali. Masih teringat jelas suara dentuman mobil yang terguling. Hantamannya keras, membuatku terlontar dari kursi kemudi. "Apa lukaku parah? Ada yang patah?" Aku bertanya lirih. Mencoba menggerakkan kaki dan tangan dengan hati-hati.

"Nggak ada. Tapi salah satu tulang rusukmu retak dan kepalamu dapat banyak jahitan."

Mendengar jawaban Mas Aron, aku meringis. Astaga. "Papi dan Mami di mana?"

"Ada di luar, masih makan di kantin. Bentar lagi pasti ke sini." Lagi-lagi Mas Aron mengucap syukur. "Serius, kamu bikin kami semua takut. Ketika Bae mengabarkan kalo kamu kecelakaan, ketika ambulans membawamu ke sini, kupikir ... kupikir kami bakal kehilangan kamu."

"Nyetirnya lagi apes aja, Mas." Aku terkekeh, berusaha melucu, namun gagal.

"Nggak lucu." Mas Aron protes. "Ngomong-ngomong, mereka udah tahu hubunganmu sama Bae."

Kalimat itu membuat rasa peningku kembali datang. "What?" Aku menggumam lirih.

"Maaf, aku terpaksa ngasih tau ke kamu sekarang. Biar kamu nggak kaget kalo tiba-tiba Mami bahas ini." Pria itu menegakkan tubuh.

"Mereka ... yang tahu, siapa aja?"

"Ya, semuanya. Papi, Mami, Tante Tricia, Om Hans. Mereka semua udah tahu kalo kamu dan Bae terlibat hubungan serius."

Mataku kembali terpejam sejenak. Oh, tidak. Aku belum siap mendengar rentetan ceramah. Aku belum siap beradu argumen dengan siapapun. Aku masih lelah.

"Ya gimana lagi. Ketika tahu kamu kecelakaan, Bae nangis kayak orang gila."

"Dia ... ada di sini?"

"Ada. Tuh, di luar. Mau kupanggil?" Mas Aron berujar cepat.

"Mas ...." Dan sebelum aku sempat menjawab, ia sudah melesat keluar ruangan. Tak berapa lama kemudian, terdengar langkah kaki menderu. Pintu terbuka, lalu Bae muncul dari sana.

Sesaat kami beradu pandang. Pria itu berjalan mendekat dengan langkah lunglai. Air matanya jatuh berderaian.

"Bae ...." panggilku lirih.

"You scared me." Ia menghambur, jatuh terduduk di sisi ranjang. Ia genggam tanganku erat, menciumnya dalam.
"I'm sorry. Please, jangan kayak gini lagi ya." Bahunya terguncang.

Aku memejamkan mata sejenak. Merasakan cairan hangat melewati pelipis. Akhirnya, aku ikut menangis.

***

"Mami udah tahu tentang hubunganmu sama Bae." Mami berujar. Hari kedua di rumah sakit, keadaanku sudah semakin membaik. Aku bahkan sudah bisa duduk bersandar walau tak lama.

"Bae yang cerita?" tebakku. Tanpa mengalihkan pandanganku dari Mami, aku mengelus lembut lenganku yang pegal karena dipasang infus.

Perempuan itu menggeleng. "Maminya." Ia menjawab. "Mami Bae bilang kalo emang udah lama Bae pengen nikah sama kamu. Tapi karena Lea belum setuju, makanya hubungan kalian diem-diem dulu. Sejujurnya, Mami juga kurang setuju kalo kamu nikah sama Bae."

Lengan yang tertusuk jarum infus seketika berdenyut nyeri.

"Kalian tumbuh bersama sedari orok. Bae itu sudah Mami anggap sebagai anak sendiri. Tiba-tiba kalian mau nikah, rasanya aneh gitu, lho." Mami berbicara lagi. "Selain itu, statusnya sebagai duda anak satu, itu juga yang bikin Mami rada keberatan. Jadi ibu sambung itu nggak gampang. Nanti, ada saatnya ketika anak tirimu beranjak dewasa, akan ada momen-momen canggung yang membuat kalian membatasi diri. Teman Mami banyak lho yang gitu."

"Udah deh, Mi. Biarin Zoya istirahat dulu. Ntar deh kalo dia udah pulang, baru dibicarakan lagi." Papi yang duduk di sofa menyahut.

"Mami nggak bisa nunggu untuk bahas ini, Pi. Semakin cepet dibahas, semakin cepet Zoya berpikir ulang tentang hubungannya." Mami tak mau kalah.

Aku menarik napas. "Iya, Mi. Ntar Zoya pikirin." Aku berusaha menutup diskusi. Mami nampak tak puas dengan jawabanku, tapi ia tak berkata-kata lagi tentang Bae.

Sorenya, ketika shift jaga digantikan Mas Aron, Bae datang lagi berkunjung. Ia membawa sebuket besar bunga Gardenia. Untuk pria tak romantis macam Bae yang tak pernah membawakanku bunga, tindakannya perlu diapresiasi.

"Aku nunggu di luar aja." Mas Aron berdehem lalu beranjak pergi.

Bae mengangkat bahu bingung seraya meletakkan buket bunga di sisiku. "Aku nggak tahu harus membawakanmu apa. Aku sering melihat Daniel membawakanmu bunga dan kamu kelihatan seneng. Jadi ya, kuharap sekarang kamu juga seneng." Dengan hati-hati, Ia duduk si pinggir ranjangku.

"Lea ... apa kabar?"

Bae tak segera menjawab. "Dia ... baik. Tadinya ia ingin ikut ke sini, tapi aku melarang. Nanti saja kalau keadaanmu betul-betul sudah membaik."

"Maaf karena aku telah membuatnya syok. Harusnya aku memang nggak buru-buru memberitahunya bahwa kita berencana menikah. Apa ia masih menangis?"

Bae tersenyum kecut. Tak menjawab pertanyaanku.

"Maaf karena di penginapan kemarin aku marah-marah sama kamu." Ia berujar lirih. "Maaf juga karena ... aku terlambat mengejarmu."

"Kamu mengejarku?"

Pria itu mengangguk. "Aku melihat mobilmu terguling dan ... rasanya jantungku berhenti." Ia menunduk, menatap jarum infus di tangan.

"Bae ...." panggilku serak. Ketika tatapan kami beradu, aku berujar lirih, "Ayo kawin lari."

***

Bersambung...

Hai semuanya. (Dadah dadah manja)
Terima kasih sudah sabar mengikuti cerita ini. Maaf kalau saya tidak sempat membalas komentar reader semua. Doakan saya selalu sehat agar cerita-cerita yang mangkrak bisa cepet lanjut.
I Love You.

©Winset

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro