Bab 25

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Niskala memperhatikan wanita itu, setiap pergerakannya tidak luput dari pandangannya. Sedari dulu hingga kini, wanita itu selalu menjadi orang yang disayanginya. Dia mempunyai hal yang tidak bisa dia katakan, semua tindakan brengseknya di masa lalu berhubungan dengannya.

Namun, dia tidak bisa mengatakan apapun. Lagipula semua yang ada di masa lalu, biarlah di masa lalu saja. Masa kini harus dihadapi dan melakukan yang terbaik untuk masa depan. Melihat betapa bahagianya Gayatri bersama pacarnya yang sekarang membuatnya senang dan lega, wanita tangguh ini sudah menemukan orang yang baik dan tepat untuknya.

"Ya udah, hati-hati, Aya."

Gayatri tersenyum dan mengambil tas yang disimpan di loker. Dia berpamitan dan segera pergi. Sebelum dia keluar dari sana, dia melihat satu per satu wajah mereka. Entah kenapa, dia ingin melihat wajah mereka satu per satu sebelum pulang.

Hal yang jarang dia lakukan, biasanya dia langsung pergi dari sana secepat kilat karena ingin beristirahat. Namun, tidak pernah ada namanya istilah teng go , dia harus menyelesaikan kewajibanya hingga tuntas baru bisa pulang, dan pastinya akan lewat dari jam pulang yang seharusnya.

Dia tidak mempermasalahkan hal itu, karena dia menikmati pekerjaannya. Pekerjaan inilah yang dia perjangkan selama lima tahun, perjuangan yang berat dan ini adalah anugerah yang diberikan kepadanya.

Gayatri tersenyum dan meneruskan langkahnya. Hari ini dia akan jalan kaki menuju halte bis. Sebelum menuju ke rumahnya, dia akan pergi ke rumah orang tuanya dulu. Mamanya sudah berulang kali menelpon dan mengirimkan pesan padanya. Dia tidak punya pilihan lain untuk menghindar, lagipula dia merindukan mereka meskipun hanya sakit yang dia dapat.

Sepanjang perjalanan, Gayatri terus melihat ke arah foto yang dikirimkan mamanya Nehemia. Foto pria kesayangannya bersama wanita lain. Entah siapa  dia, sudah kesekian kali foto mereka berdua dikirimkan kepadanya. Gayatri tidak pernah membahas perihal itu dengan Nehemia, sebab dia percaya pria itu tidak akan bermain api di belakangnya. Dia tahu pria itu tidak sejahat itu untuk berselingkuh. 

Tentu saja tidak mudah, tetapi dia harus bisa melaluinya. Gayatri tidak pernah mengucapkan kalimat akan putus, dia terus merespon dengan pikiran yang positif.

Anda

Selamat siang tante, wah tante apa kabar? 

Calon Mertua aku

Lihat foto ini.

Anda

Tante nanti mau dibawakan apa? Nanti Aya bawain buat tante.

Gayatri berusaha tidak terpancing, dia berusaha meyakinkan diri jika foto itu tidak memberikan bukti apa-apa, mereka hanya bekerja, tidak ada hubungan yang lebih.

Calon Mertua aku

Putus sama anakku. Udah itu aja yang saya mau.

Rasa sakit itu kembali hadir, Gayatri mengepalkan tangannya kuat-kuat, berusaha merasakan setiap rasa sakit yang semakin menjadi-jadi di dalam dirinya.

Anda

Tante mereka cuman kerja sama-sama aja, tidak ada yang lebih. Saya percaya sama Nehemia, dia nggak akan selingkuh kok tante. Nanti Aya bawain puding kesukaan tante, ya!

Tidak ada balasan darinya, Gayatri kembali menghela napas. Entah dia yang bodoh atau terlalu polos mempercayai Nehemia dengan sepenuh hati, jiwa dan raganya. Dia sudah semakin lelah dengan apa yang dihadapinya, semua terasa semakin berat dan dia sulit untuk bernafas.

Sejak awal dia tidak pernah mendapatkan restu dari calon mertuanya, mungkin itu pula yang membuat Nehemia tidak kunjung melamarnya. Tidak perlu melihat hal yang jauh, dari keluarganya sendiri saja tidak ada yang mendukungnya. Mereka hanya ingin menghabiskan uang yang dia dapatkan, menjadikan segala macam alasan sebagai senjata untuk membuatnya merasa bersalah dan memberikan apa yang mereka inginkan, termasuk jika mereka ingin menampar dan memukul dia sepuasnya untuk melampiaskan amarah yang terpendam.

Gayatri menatap ke arah jendela, melihat pemandangan yang indah. Sedikit lagi bis akan melewati taman tempat dia dan Nehemia sering duduk bersama dan menikmati sisa hari yang ada. Dia tersenyum membayangkan wajah pria tampan itu hingga matanya melotot, dia menahan napas dan melihat ke arah luar hingga dia yakin dengan apa yang dilihatnya. 

Badannya bergetar, air matanya mulai mengumpul di ujung matanya, dan nafasnya semakin sesak. Dia mengambil ponsel dan mencari nama pria yang disayanginya itu.

Anda

Sayang, kamu lagi dimana?

Tidak ada balasan darinya, bahkan hanya centang satu. Gayatri semakin kesal, dia ingin melempar barang untuk melampiaskan kekesalannya, tetapi dia tidak bisa. Dia akan rugi jika menghancurkan barang-barang miliknya, apalagi dia akan semakin rugi karena mengganti rugi barang fasilitas umum yang dia rusaki nantinya. Dia harus menjaga pikiran warasnya supaya tidak merugikan dirinya sendiri. Untuk pertama kalinya dia membiarkan perasaan emosi membawa dirinya larut kedalam lautan emosi, setelah sekian lama dia mengenyahkan pikiran itu, kali ini dia mempertimbangkan untuk mempercayai jika ucapan calon mertuanya adalah benar. 

Gayatri tidak lagi membuka ponselnya, dia memilih menonaktifkan ponsel kesayangannya dan memasukkan ke dalam saku celananya. Mungkin ini bukan hari baiknya, ingin rasanya pergi ke rumah dan menangis sepuasnya di dalam kamar, sayangnya the show must goes on. Dia harus menemui orang yang disayanginya sekaligus menjadi luka baginya.

Tidak berselang lama, bis itu sampai di halte di dekat rumah orang tuanya. Jantungnya berdegup semakin kencang, mengkhawatirkan apa yang akan terjadi padanya kali ini. Jika apa yang dalam pikirannya benar terjadi, maka dia sudah pasrah. Tidak ada jalan keluar dari semua permasalahan yang dia hadapi, semua sudah terlanjur runyam dan membingungkan.

Selangkah, dua langkah, tiga langkah. Dia akhirnya sampai di rumah tempatnya menghabiskan masa kecil hingga remaja, rumah yang menjadi saksi bisu tempat dia menangis, menjerit kesakitan, menangis kecewa dan kabur dari rumah untuk menjadi mandiri. Rumah itu sudah semakin kusam, Gayatri mengetuk pintu dan masuk ke dalam. 

"Halo Aya," sapa seorang wanita paruh baya dengan sapu rotan di tangannya. Senyuman yang sudah lama tidak dilihatnya, senyuman yang menyeramkan sekaligus dia rindukan. Bukan cengiran aneh itu, tetapi dia merindukan kasih sayang seorang ibu. 

"Mana uang yang saya minta? Kamu udah kerja, bagi uangmu ke saya. Jangan serakah diambil semua uangnya. Ingat-ingat uang saya habis karena mengurus kamu dari kecil sampai gede gini," omelnya lagi.

Uang selalu menjadi sumber dari kebahagiaan, serta bisa juga menjadi sumber perpecahan dan pertikaian. Dia tidak pernah ingin hidup berselisih seperti ini dengan keluarganya sendiri. Namun, dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin selamanya dia akan memberikan uang rutin kepada wanita paruh baya ini, meskipun hal itu akan membuatnya di posisi sulit karena selalu saja diminta. Tidak hanya tiap bulan, tetapi hampir dua minggu sekali dalam jumlah yang besar. Bukannya ingin menjadi anak yang durhaka, tetapi dia juga punya kebuthan yang harus dia tanggung sendiri. Dia  butuh mengatur keuangan sebaik mungkin, untuk keluarganya dan dirinya sendiri. Namun, mamanya tidak pernah memahami itu.

-Bersambung-

1010 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro