Bab 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dada Gayatri terasa sesak, bernapas menjadi hal sulit untuk dilakukan. Keringat dingin di sekujur badannya, kaki mulai kesemutan dan tangan yang gemetaran. Wanita ini selalu merasa sesak dan terus batuk-batuk jika emosionalnya mulai bermain. Entah takut ataupun merasa tertekan pasti membuatnya seperti ini. Sudah beberapa menit setelah briefing selesai, Gayatri langsung pergi menuju botol minumnya berada, dia butuh minum air untuk meredakan rasa gatal di tenggorokannya, lalu mengatur pola napasnya supaya bisa bernapas lebih lega.

"Are you okay, Aya?" Niskala berada di belakang wanita ini, menatapnya dengan tatapan khawatir.

Gayatri mengacungkan jempolnya, tidak membalikkan badan karena masih meneguk air dari botol minumnya. Beberapa saat kemudian, dia menyudahi minum air putih dan bernapas teratur perlahan-lahan.

"Aku harap kamu masih sehat-sehat aja, Aya," gumamnya pelan.

"Hah? Bilang apa tadi?" tanya Gayatri lagi, dia seperti mendengar pria tersebut mengucapkan sesuatu.

Mereka akhirnya saling bertatapan, Pendar melihat wajah cantik Gayatri, orang yang sudah disia-siakannya, orang yang dicarinya sekian lama setelah sadar akan kebodohannya, orang yang dicarinya akhirnya ditemukan.

Gayatri melihat Niskala, tidak sesakit dulu, tetapi ada kepahitan yang dirasakannya. Sedikit dari masa lalu, dan sebagian besar adalah ketakutan Nehemia akan salah paham karena dia bekerja sama dengan orang yang dulu sempat disukainya. Dia takut Nehemia memilih pergi darinya, jelas Gayatri tidak ingin hal ini terjadi.

"Kamu sehat? Masih rasa sakit?" tanya Niskala lagi. Melihat raut wajah bingung dari wanita cantik itu membuatnya jadi gemas, ingin mengucel-ucel wajah imutnya, tetapi dia takut membuatnya semakin menjauh darinya.

Tangannya mengepal, tidak terangkat sedikitpun untuk mengusap rambut Gayatri seperti kebiasaannya ketika mereka masih masa pendekatan hingga berpacaran. Gayatri menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya lagi, rasa sesak menyesakkan dadanya.Inilah yang akan terjadi jika dia dipengaruhi oleh emosional yang susah dikendalikannya, akan mempengaruhi dirinya sendiri.

"I am okay. Stay there, no need to be close," ucap Gayatri sekuat tenaga. Hari yang berat, bahkan belum melewati setengah hari saja sudah terasa berat begini. Hari ini dia bekerja hingga jam dua siang, setelah itu jam kerjanya selesai. Mungkin dia perlu koordinasi dengan Niskala supaya mereka bisa berbagi jam bekerja, guna menjaga adanya apoteker yang bertugas selama jam operasional apotek.

"Tapi, kamu tidak terlihat baik-baik aja, Aya," kekeuh Niskala. Pria itu khawatir, dia tidak suka melihat Aya tersiksa seperti itu. Meskipun dia sadar jika Gayatri pasti tersiksa karena ulahnya di masa lalu. Pria tidak becus yang berani muncul di hadapannya lagi setelah menghilang karena ketakutan dan keegoisan.

Gayatri tidak merespon ucapan Niksala barusan, dia sudah merasa lebih baik setelah memejamkan mata selama beberapa saat. Dia melihat ke arah Niskala dan tersenyum. 

"Kita perlu atur jadwal, kamu masuk shift apa dan aku masuk shift apa," ujar Gayatri berusaha mengalihkan pembicaraan yang bersifat personal menjadi profesional.

"Oh, aku bisa masuk di dua shift. Aku datang untuk beekrja di sini," jawab Niskala dengan santai.

"Jadi, kamu bekerja di dua shift? Udah bahas ini dengan Bu Christa?"

NIskala tersenyum, dia tahu hubungan Gayatri dengan mamanya berjalan dengan baik, dua orang yang disayanginya.

"Iya, udah. Tenang aja."

Gayatri menghela napas lagi, kekhawatirannya semakin menjadi-jadi, apa lagi yang harus diperbuatnya supaya tidak sering bertemu dengan Niskala. Kepalanya bekerja dengan ekstra keras, mencari jalan keluar terbaik.

"Oke kalau gitu. Mohon kerja samanya ya, rekan sejawat," ujar Gayatri sekaligus mengakhiri pembicaraan mereka di pagi hari ini.

"Siap bu apoteker," jawabnya dengan senyuman lebar. Menatap wajah Gayatri dengan jarak dekat adalah hal yang diinginkannya sejak dulu, hari-hari sepi tanpa kehadirannya, akhirnya hidupnya kembali berwarna karena hadirnya peri cantik.

Gayatri kembali melihat ke depan dan mendekat ke arah etalase begitu ada sepasang suami isteri datang bersama anaknya.

"Mbak, saya mau tebus resep ini. Ini isinya apa aja?" ujarnya sambil memberikan sebuah resep.

"Selamat pagi, bu. Saya cek dulu ya," ujarnya sambil tersenyum. Menjadi ramah adalah pekerjaan berat baginya yang mudah emosian.

"Baik bu, sebelum saya menjawab pertanyaan ibu. Ada beberapa pertanyaan yang harus saya tanyakan. Apakah ibu bersedia?"

"Kenapa mbak yang nanyain saya?" tanya wanita itu lagi.

"Mohon maaf bu, sudah menjadi prosedur dalam Standar Prosedur Operasional untuk melakukan bagian yang ada di sana."

"Ya udah."

"Baik bu, perkenalkan saya apoteker Gayatri. Ini resep untuk anak Yonabel. Ibu ibunya anak Yonabel ya?"

"Iya."

"Baik bu, apa yang dokter katakan terkait obat ini?"

"Kalau saya tahu saya nggak kesini, mbak."

"Baik bu, dokter sudah menjelaskan aturan pakai obat ini?"

"Lupa."

"Apa harapan dokter yang disampaikan sewaktu periksa bu?"

"Semoga cepat sembuh."

"Baik, anak Yonabel diresepkan obat anti muntah sirup, obat enzim pencernaan dan salep untuk alergi. Apakah ada merah atau gatal di sekitar mulutnya ya?"

"Iya, di atas mulutnya dikit merah. Itu apa mbak nama salepnya? Itu salep kortikosteroid?"

"Bukan salep kortikosteroid bu. Saya ambilkan saleonya ya." Gayatri menuju ke ruangan belakang untuk mengambil salep dari rak salep.

Begitu Gayatri menujukkan nama salep itu langsung saja suami dan isteri itu fokus dengan lauar ponsel masing-masing. Terlihat jelas dari sudut pandang Gayatri, sang suami melihat ke aplikasi jual beli online, sedangkan sang isteri melihat di google terkait nama krim itu.

Cukup memakan waktu lama, sebelum mereka saling berpandangan. Entah apa yang mereka pertimbangkan, entah apa dasar mereka berbuat seperti itu. Seakan-akan meragukan profesi tenaga kesehatan yang mereka datangi dan lebih percaya dengan apa yang dikatakan google dan aplikasi jual beli online.

"Itu salep harganya berapa?"

"Sebentar bu, saya cekkan dulu," ujar Gayatri lalu mengetikkan di komputer kasir.

"Harganya tiga puluh ribu bu."

Untuk kesekian kalinya mereka saling beradu pandang. Sang suami mulai memancarkan taringnya.

"Itu nama obatnya apa tadi?"

"Ini nama obat salepnya pak," ucap Gayatri sembari menunjukkan nama obat ke orang tua pasien.

"Ini salep kortikosteroid?" tanyanya untuk kesekian kalinya.

"Bukan, pak. Ini bukan salep kortikosteroid. Salep ini untuk meredakan gejala peradangan dan alergi. Obat ini mempengaruhi sel dan mediator yang berperan pada munculnya reaksi radang, termasuk sel mast, eosinofil, histamin, leukotrien, atau sitokin. Dengan begitu gejala peradangan dan alergi akan mereda."

"Terus obat lain itu namanya apa? Buat apa?"

"Obat untuk mual dan obat untuk enzim pencernaan."

"Isinya apa?"

"Obat anti muntah ini isinya Domperidon. Digunakan untuk meredakan rasa mual, mempercepat pencernaan makanan dalam perut agar lanjut ke usus dengan demikian mencegah muntah. Obat ini tergolong anti emetik atau anti muntah, obat ini dapat meningkatkan pergerakan lambung dan usus. Domperidon bekerja dengan menghambat reseptor dopamin perifer dan meningkatkan peristaltik esophagus, motilitas lambung sehingga memudahkan pengosongan lambung dan mengurangi waktu transit usus kecil. Obat ini digunakan 15 sampai 30 menit sebelum makan atau menjelang tidur. Domperidon dapat berinteraksi dengan obat seperti analgetik opioid, salah satunya yaitu morfin, obat lainnya yaitu ketokonazol, erythromycin, ritonavir, cimetidine, sodium bikarbonat."

Gayatri berusaha sekuat tenaga untuk bersabar, dia harus ingat sumpah profesi yang diucapkannya waktu itu. 

-Bersambung-

1037 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro