Step Brother 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Dia adikmu?" tanya wanita cantik berbaju marun berpotongan rendah elegan dan seksi yang duduk di seberang Clarissa.

Clarissa memperhatikannya tanpa berkedip, cara wanita itu bicara, menyuapkan potongan buah ke mulutnya, caranya mengunyah sambil tersenyum, dan semua gerak-gerik lainnya sungguh anggun dan menggoda. Sangat jauh jika dibandingkan dengan dirinya yang kini masih memakai seragam olahraga, rambut dikuncir asal, tanpa make up, makan banyak, dan jarang senyum. Jadi ini tipe wanita yang disukai Anthony, kakaknya?

"Ya. Dia Clarissa," jawab Anthony sambil tersenyum mempesona hingga membuat Clarissa tersedak buah anggur yang baru setengah dikunyahnya. "You Ok?" tanyanya sambil mengulurkan segelas air putih dan selembar tisu.

See? Bagaimana mungkin Clarissa bisa menganggapnya kakak? Anthony terlalu licik dengan berpura-pura baik dan perhatian padanya, ralat, pada siapapun hingga sangat berbahaya untuk remaja yang mudah jatuh cinta seperti dirinya.

"Aku ingin pulang, Kak. Stepmother pasti akan menceramahiku kalau aku terlambat lagi," ucap Clarissa, berusaha terlihat cuek dan benci sambil menyampirkan tas gitar di pundaknya dan mengambil tentengan hoodie berisi buku-buku sekolahnya.

Anthony mengangguk. "Tunggulah di mobil, Kakak ingin bicara dengannya sebentar." Anthony melirik wanita cantik di sampingnya yang selalu menampilkan senyum menawan.

Dengan acuh dan langkah-langkah besar, Clarissa meninggalkan mereka. Dia bahkan tidak berniat berpamitan atau sekedar basa-basi dengan wanita cantik yang barusaja diperkenalkan kakaknya itu. Entah apa tujuan kakaknya mengenalkan wanita itu padanya? Jika kakaknya serius dengan wanita itu, mengapa tidak langsung mengenalkannya ke keluarga saja?

Clarissa membanting pintu mobil hingga menutup. Dia memasang headset dan menyetel musik kencang hingga telinganya terasa sakit. Dia menyandarkan punggungnya, memejamkan mata. Berusaha menata pikirannya yang kacau balau.

"Anthony," ucap pria tampan di seberang mejanya sambil mengulurkan tangan ke arahnya.

"Dia satu-satunya anak tante, semoga kalian bisa saling mengenal baik satu sama lain sebelum kalian menjadi saudara minggu depan.

Clarissa tersentak dari lamunannya saat seseorang melepas headset dari kedua telinganya.

"KAKAK!!!" bentaknya. Clarissa menatap mata kakaknya dengan sorot penuh kebencian.

"Bagaimana wanita tadi?" tanya Anthony tanpa rasa bersalah sedikitpun.

"Cantik, anggun? Berkelas? Menggoda?" Clarissa memberikan pendapat dengan asal-asalan.

Anthony terkekeh mendengarnya. "Hanya itu?" tanyanya sambil tersenyum manis.

Demi tuhan. Jangan tersenyum seperti itu!

Anthony mulai melajukan mobilnya keluar dari parkiran restoran.

"Bisakah kau mengubah panggilanmu ke Mom? Setidaknya hanya saat di depan orang lain," pintanya pelan tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalan.

"Dia bukan ibuku," dengus Clarissa. Memang sampai saat ini dia masih belum menerima kehadiran ibu tirinya, meski ibu tirinya itu terus berusaha mendekatkan diri dengan bersikap baik padanya. Jangan salahkan remaja dengan segala pikiran jahatnya, karena Clarissa menganggap kebaikan yang dilakukan ibu tirinya itu memiliki maksud terselubung yang mungkin bisa menghancurkan hidupnya. Ingat kisah Cinderella? Siapa yang membuatnya menderita jika bukan ibu tirinya?

Clarissa menyimpulkan, dengan ia terus bersikap kejam, maka ibu tirinya akan selalu bersikap baik padanya. Dia tak mau terjadi sebaliknya. Dia bukan anak yang bodoh. Nilai pelajaran olahraga dan musiknya selalu di atas 90.

"Dia pacarmu?" akhirnya pertanyaan itu terucapkan. Setelah menimbang-nimbang, rasanya wajar seorang adik menanyakan hal seperti itu.

"Bukan," jawab Anthony.

"Teman? Mantan?" tanya Clarissa berusaha acuh, tapi gagal.

"Bukan keduanya," jawab Anthony lagi.

"Lalu, siapa dia? Untuk apa kau mengenalkannya padaku?" Clarissa memiringkan duduknya, kini tatapan penasarannya tertuju sepenuhnya pada Anthony.

"Reva kakak tiriku, dan masih ada dua kakak tiri lagi selain Reva. Dari ketiganya, Reva kakak terbaikku."

"What???"

"Ya. Bukan hanya kau yang merasa menderita karena pernikahan ini Claire, aku sudah pernah mengalaminya jauh sebelum ini. Mom menikah dengan ayah Reva lima tahun yang lalu, mereka bercerai karena ayah Reva selingkuh dengan pegawai di kantornya. Dan Reva sudah mengalami penderitaan karena orang tuanya kawin cerai jauh lebih banyak daripadaku. Hingga membuatnya menjadi seperti sekarang ini. Aku ingin kau mengenalnya juga," jelas Anthony.

Clarissa tertegun di kursinya. Pikiran-pikiran jahat itu telah semakin membutakan matanya. Membuatnya selalu berprasangka buruk pada tiap orang yang baru dikenalnya. Apalagi jika menyangkut Anthony dan ibu tirinya, si perusak kebahagiaan keluarga.

"Kau masih memiliki hal-hal positif, musik dan basket. Semoga kau tidak mengalami hal-hal yang pernah kami alami," lanjut Anthony. Matanya menerawang seolah melihat jauh ke depan.

"Apa hal-hal itu?"

"Kau tidak perlu tahu. Nikmatilah masa remajamu Claire, aku yakin kita bisa menjadi kakak-adik yang baik. Ngomong-ngomong, apa kau sudah punya pacar di sekolah?"

Clarissa menggeleng pelan. Rasa bencinya pada Anthony perlahan memudar. Sebelumnya hanya sihir dari ketampanan dan senyuman mematikan Anthony yang membuatnya terpaksa mematuhi setiap perkataan kakaknya itu. Tapi kini, Clarissa menaruh sedikit rasa hormat padanya.

"Apakah tidak ada satupun laki-laki di sekolah yang tertarik dengan adikku yang cantik ini?"

"Aku tidak cantik, kak."

"Kau cantik, Claire."

"Tidak."

"Ya!"

Clarissa mendengus, lalu memalingkan muka, melihat ke luar jendela mobil. Berdebat seperti ini... seperti yang dilakukan adik-kakak yang normal, bukan?
______________________________________

"Claire, kau sudah pulang?" sapa ibu tirinya yang diabaikan sepenuhnya oleh Clarissa. Dia hanya melewatinya dengan dengusan acuh, langsung menuju kamar dan menutupnya.

"Bagaimana harimu, Mom?" Anthony menghampiri ibunya yang duduk terkulai lemas di sofa.

"Baik. Bagaimana dengan kerjaanmu?"

"Baik. Hmm aku akan ke atas," pamit Anthony canggung. Dia memang tidak begitu dekat dengan ibunya sendiri karena ibunya sering meninggalkannya.

Ibunya hanya mengangguk sedih. Mungkin dia merasa bersalah tidak mampu menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya.

"Kak." Claire berdiri di ambang pintu kamarnya yang masih setengah terbuka. "Boleh aku masuk?" tanyanya. Anthony hanya mengangguk. Dia sulit memahami apa yang dipikirkan remaja cantik yang kini berstatus sebagai adiknya itu. Remaja cantik yang memaku pandangannya sejak pertama kali bertemu saat perjamuan makan sebelum orang tua mereka menikah, membuatnya selalu ingin berada di dekatnya.

Clarissa duduk di sampingnya di atas kasur. Begitu dekat hingga aroma tubuhnya menguar begitu pekat memenuhi rongga hidungnya. Meski napasnya selalu tercekat dan jantungnya berdebar dengan hebat, Anthony tetap menikmati masa-masa berdekatan dengan adiknya ini.

"A-aku minta maaf," ucap Clarissa.

"Maaf? Untuk?" tanya Anthony berpura-pura acuh.

"Selama ini, aku membencimu. Tapi sekarang tidak lagi. Aku akan mencoba menjadi adik yang baik mulai sekarang," lanjutnya cepat. Dia tersenyum manis. Ini adalah pertama kalinya Anthony melihat Clarissa tersenyum.

Anthony terdiam di tempatnya. Dia merasa sesuatu menyedotnya hingga dia menghilang kedalam ketiadaan.

"Kak?" Clarissa mendekatkan wajahnya, mengamati ekspresinya.

"Ah! Ya?" Anthony mengerjapkan matanya dua kali. Dia kembali terkejut menemukan wajah bingung Clarissa yang berada terlalu dekat dengan wajahnya. Dia menahan napas dan berusaha menyibukkan pikirannya dengan menghitung berapa lama seseorang akan sampai ke bulan dengan kecepatan 100km/jam.

"Apa kau sakit?" tanya Clarissa sambil menyentuhkan tangan mulusnya ke kening Anthony. Membuatnya semakin gelagapan. "Kak! Badanmu panas! Aku akan ambilkan es batu dan kompres!" Clarissa bergegas keluar dari kamarnya. Meninggalkan Anthony yang masih tertegun di tempatnya. Dia belum pernah bersentuhan dengannya. Dan Clarissa barusaja menyentuh keningnya! Clarissa menyentuhnya!

Setelah sadar dari keterkejutannya, Anthony segera menutup pintu dan menguncinya. Dia benar-benar ingin menghindari adiknya untuk menenangkan dirinya saat ini.

Mengapa? Mengapa setelah dia bersikap baik aku malah ketakutan seperti ini? Bukankah dulu aku yang selalu mendekatinya? Mengantar jemputnya dari sekolah? Ternyata menghadapi Clarissa yang acuh lebih mudah daripada menghadapi Clarissa yang tiba-tiba berubah menjadi baik! Pikirnya kalut.

Badannya memanas bukan karena sakit, tapi karena hal lain. Hal yang akan berbahaya jika dibiarkan berdekatan terlalu lama dengannya.

Dug! Dug! Dug!

"Kak! Aku membawakanmu es batu!" serunya dari luar pintu.

"Aku tidak apa-apa Claire, aku hanya butuh istirahat!" jawabnya dari balik pintu. Debar jantungnya benar-benar tak terkendali.

Clarissa sudah tak terdengar lagi, mungkin dia menyerah. Anthony mendesah lega. Dia hendak melangkah meninggalkan pintu saat jendela yang menghadap balkonnya menjeblak terbuka, dan melihat adiknya memanjat jendela dengan baskom putih di tangannya. Anthony terhenyak di tempatnya menatap horor adiknya yang kini mendekat dengan tergesa-gesa.

"Berbaringlah, Kakak!" Clarissa menarik lengannya, membimbingnya untuk patuh tidur di atas kasurnya sendiri. Sedangkan adiknya sibuk memeras handuk basah dan menempelkannya ke dahi.

"Claire... a-ak-"

"Diamlah Kak... istirahatlah! Kau pasti terlalu lelah."

Lagi-lagi tangan Clarissa menyentuhnya, kali ini di pipinya karena keningnya tertutup kompres. Anthony menggertakkan gigi, berusaha menahan diri. Dia memejamkan mata, salah besar! Dia semakin merasakan sengatan-sengatan nikmat dari sentuhan sederhana adiknya.

"Kak! Badanmu bertambah panas!"

Kini tangan adiknya malah menyentuhnya di mana-mana, di lengannya, leher dan berakhir di dadanya hingga ia menggeram.

"Claire, aku butuh istirahat. Pergilah," ucapnya dengan suara serak.

"Kau butuh dokter! Kak! Ini tidak bisa dibiarkan!"

"Claire... aku baik-baik saja."

Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro