Hukuman

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Layar datar 20 inch itu menampilkan sepasang manusia saling tumpang tindih dengan gerakan naik turun, maju mundur konstan. Sedangkan speaker di kanan kiri layar itu menyuarakan jeritan-jeritan nikmat perempuan dan geraman berat laki-laki bersahut-sahutan.

Sudah setengah jam lebih Shena berada satu ruangan terkunci bersama si playboy mesum Ardan. Hanya karena mereka kalah dalam sebuah permainan konyol ciptaan Raya, sahabat kecil mereka.

"Lu yakin nggak pengen kayak gitu?" tanya Ardan untuk ke sekian kalinya sambil menunjuk adegan di layar yang kini berganti posisi laki-laki duduk, dan si perempuan bergerak perlahan di pangkuannya. Posisi yang sungguh indah dan menggiurkan.

Desahan-desahan nikmat terus mengalun memenuhi ruangan itu.

"Dan, matiin aja dong... emang nggak ada tontonan lain apa?"

"Nggak ada. Cuma ada kaset-kaset begituan semua," jawab Ardan santai sambil memperlihatkan beberapa cover CD bergambar wanita telanjang.

"Matiin aja deh..." pinta Shena dengan muka memelas. Dia sudah berusaha menahan diri dari melihat adegan-adegan vulgar di layar itu, tapi tetap saja suara-suara rintihan itu mengusiknya hingga hampir mematikan otaknya. Dia bukan lagi perawan polos, sejak berpacaran dengan Dirga. Tapi dia tidak mau melakukan keintiman itu bersama orang lain, meski seingin apapun.

"Kalau dimatiin ntar sepi, krik krik," ucapnya. Tatapan Ardan tak beralih dari layar besar itu. "Na, yakin nggak pengen? Padahal gue pengen..." tanyanya lagi tanpa mengalihkan tatapannya dari layar. Dia tidak melihat raut muka Shena yang mulai memerah.

Shena bergerak perlahan mendekati Ardan. Dia benar-benar ingin secepatnya bertemu Dirga dan menuntaskan keinginannya yang hampir meledakkan ubun-ubunnya, tapi tak mungkin. Pintu ruangan itu masih terkunci, dan tetap akan terkunci hingga pagi. Itu janji Raya untuk mengakhiri hukuman mereka.

Napasnya mulai berat, tangannya berkeringat. "Dan." Shena menyentuh pelan tangan temannya yang dari tadi hanya fokus melihat layar.

"Ya?" tanya Ardan sambil mengangkat satu alis. Dia terkejut, terlebih ketika melihat tangan Shena yang berkeringat menyentuh tangannya perlahan, dan membawanya, lalu menyentuhkannya ke dada gadis itu. Ardan mengangkat kedua alisnya, kaget. Apakah ini sebuah izin? Atau permintaan?

Ardan terdiam, dia membiarkan tangan Shena menggerak-gerakkan tangannya memutar, menekan di atas gundukan kenyal.

"Na?" Ardan tak menyelesaikan pertanyaanya saat kepala gadis itu mengangguk. Dia langsung membuka telapak tangannya dan meremas pelan gundukan kenyal, lembut dan besar membusung di balik kaos oblong donker yang dipakai gadis itu.

"Aaah..." desahan pertama lolos dari bibir Shena, di antara desahan-desahan dari speaker itu.

Ardan langsung memalingkan fokusnya dari layar. Kini dia duduk berhadapan dengan Shena yang tengah memajamkan matanya menikmati sentuhan dan remasan tangannya.

"Na, gue izin cium bib-hmm..."

Belum selesai Ardan mengucapkannya, bibir Shena terlebih dahulu menyerang bibirnya dengan lumatan lembut tanpa ampun. Dia menyambutnya dengan hati gembira.

Sementara bibirnya meremas bibir Shena, kedua tangannya meremas kedua bukit kenyal itu hingga desahan gadis itu mendominasi telinganya, dilatar belakangi desahan dari speaker.

"Hah... hah... hah... Dan, gue pengen posisi duduk kayak gitu," ucap Shena dengan napas terengah-engah. Telunjuk lentiknya menunjuk adegan di layar.

Ardan mengangguk. Dia bergegas membuka kaos dan celananya, begitupun Shena. Shena langsung naik ke pangkuan Ardan, mengatur posisinya pas dengan posisi Ardan dan mulai menurunkan badannya perlahan agar benda keras itu masuk ke dalam dirinya, menyatukan tubuh mereka. Dia berhenti di tengah-tengah penyatuan, lalu menggoyang badannya sedikit sebelum melanjutkan penyatuan itu hingga benda itu masuk sempurna ke dalam dirinya.

"Aaah! Rasanya beda. Punya lo jauh lebih panjang daripada punya dia, aaah... lebih gede juga," ucapnya.

Ardan hanya tersenyum, sambil menggertakkan gigi berusaha terus menahan diri menunggu gerakan Shena. Dia penasaran dengan apa yang diinginkan sahabat kecilnya yang menggemaskan itu.

"Mau lo, apa gue yang gerak?" Ardan sudah tidak tahan menunggu Shena yang hanya memeluknya sambil menghayati penyatuan tubuh mereka.

"Eh? Hehe... sori, gue yang gerak," ucapnya sambil mulai menaik turunkan tubuhnya sambil sesekali memutar pinggulnya perlahan.

Ardan menikmati gerakan lambat gadis itu, meski tubuhnya terasa berdenyut-denyut meminta lebih... lebih dalam, lebih keras, lebih cepat... tapi untuk saat ini dia bertahan membiarkan teman kecilnya mengambil alih, dia selalu penasaran dengan apa yang akan diperbuat Shena pada tubuhnya.

"Hmm... Aaah... Ahh.. ah... aaah..." Desahan demi desahan lolos dari bibirnya hingga gerakannya Shena semakin cepat dan tak terkendali menaik turunkan tubuhnya, membiarkan dirinya tertusuk-tusuk di bawah sana. Sedangkan Ardan hanya diam menikmati.

"Aaaaaah!!!! Ouh!" Shena melenguh panjang hingga melengkungkan punggungnya meraih kenikmatan. Matanya sayu menatap Ardan, senyum manis tersungging di bibirnya. "Makasih," ucapnya hendak beranjak dari pelukan sahabatnya.

Tapi Shena tidak bisa bergerak. Ardan mengunci posisinya dengan dekapan lengan kekarnya. "Dan?" tanya Shena, mengernyitkan dahi.

"Sekarang, giliran gue," ucap Ardan sambil tersenyum. Dia mengangkat tubuh Shena, lalu membantingnya ke atas kasur yang empuk, hingga kedua payudaranya terpantul-pantul.

"Dan! Aahh!!! Dan!!! Mmh!!"

Shena berusaha memberontak, tapi Ardan langsung menindihnya, menenggelamkan batangnya, dan membungkam mulutnya dengan mulut. Sementara bibir mereka terpaut, Ardan menggerakkan pinggangnya maju mundur dengan kecepatan tinggi, hingga desahan-desahan keluar dari kedua bibir yang saling bertaut itu.

"Aaah... Ah! Ah! Ah! Ah! ...."

Shena mengeluarkan teriakan nikmat yang lebih kencang saat Ardan melepaskan tautan bibir mereka, menerima tusukan-tusukan tajam di bagian bawah tubuhnya.

Mereka berdua saling bergerak, bergumul, melenguh, mencari kenikmatan dari setiap sel tubuh mereka yang saling menempel dan saling bergesekan.

Ardan menggeram, dia mempercepat gerakannya yang memang sudah sangat cepat, hingga akhirnya ia terdiam... lalu berguling ke samping tubuh Shena, memutuskan penyatuan mereka. Keringat membasahi kedua tubuh polos itu, juga sebagian sprei bermotif boneka beruang yang melapisi kasur di bawah mereka. Mereka terengah-engah, dengan mata saling memandang satu sama lain.

"Na, maaf," ucap Ardan sambil tersenyum manis.

Shena mengangguk, juga sambil tersenyum. "Gue yang minta duluan," ucapnya sambil menarik selimut, menutupi sebagian tubuh polosnya.

"Gue yang nyetel film itu," balas Ardan.

Mereka menertawakan diri masing-masing. Ardan menarik tubuh Shena untuk memeluknya. Latar suara desahan-desahan nikmat masih terdengar sayup-sayup dari speaker. Mereka berdua sudah tidak lagi menghiraukan film itu.

"Gimana lu sama Dirga?"

"Biasa aja. Kemaren dia beliin gue coklat lagi," ucap Shena sambil menempelkan pipinya ke dada Ardan, mencari kenyamanan di sana.

"Bukannya lu lebih suka keju ya?" tanya Ardan sambil tertawa jahil.

"Iya, dia nggak inget gue suka keju. Dia suka coklat, makannya selalu bawain gue coklat. Tapi nggak papa sih, daripada dia nggak bawa apa-apa sama sekali? Lo, gimana ama Chika?"

"Hmm? Dia belum mau gue ajak nikah."

"Lah? Kenapa?"

"Dia bilang pengen S2 dulu, terus kerja, raih cita-cita. Kayaknya gue harus cari orang lain."

Mereka tertidur dalam posisi itu, hingga esok hari. Dan terbangun oleh jeritan Raya yang berdiri di ambang pintu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro