Crazy On You! [END]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari berganti minggu, lalu berubah menjadi bulan dan kini berganti menjadi tahun.

Saat ini, tepat satu tahun delapan bulan aku belum menemukan El.
Dia benar-benar menghilang.

Aku berharap ia tinggal di suatu tempat. Bukan menghilang dari bumi ini. Sungguh, aku tak sanggup jika memang ia mengakhiri hidupnya karena diriku. Akulah yang sudah menyebabkan dirinya terpuruk

Kini, aku bekerja di sebuah perusahaan asing yang bergerak di bidang kontruksi.
Aku sebagai Manajer Proyek, selalu berpindah tempat untuk memantau proyek yang sedang perusahaan kerjakan.

"Daniel, proyek yang di Sulawesi kemarin cukup bagus dengan pengerjaan yang tepat waktu. Itu sungguh pencapaian yang baik untuk seseorang yang baru beberapa bulan bekerja di sini," ucap Pak Rendy, beliau bosku.

Masih muda, tapi mungkin usianya di atasku sedikit. Tampan dan tentu saja mapan. Tidak pernah ada gosip jelek mengenainya. Kudengar dari obrolan karyawan sini, dia sudah menikah dan memiliki seorang anak.

Katanya, istrinya sangat cantik. Aku belum pernah melihatnya. Ia termasuk tipe pria yang tidak banyak bicara.

"Terima kasih Pak."

"Besok kita akan ke Jogja, memantau pembangunan Mall disana. Apa semuanya sudah kamu siapkan?" Tanyanya.

Aku mengangguk.

"Baiklah. Terima kasih Pak Daniel, besok siang kita bertemu di lokasi," ia mengakhiri pembicaraannya dan berlalu pergi.

* * * * *

Aku masih sibuk memantau pekerjaan disini, tidak terasa sudah waktunya makan siang. Aku mendapat pesan dari Pak Rendy bahwa ia menungguku di sebuah restoran tak jauh dari lokasi.

Setelah sampai di restoran yang dimaksud, aku langsung masuk dan diantar pelayan ke ruang VIP.

Ia duduk bersama wanita yang kuyakini adalah istrinya. Mereka duduk membelakangi pintu masuk.

Aku langsung menyapa Pak Rendy ketika aku berdiri didepan mereka.

"Siang Pak Rendy," sapaku seraya menunduk hormat.

Lalu, pandanganku mengarah ke sosok wanita di sampingnya.

"Siang___bu..." Aku terperangah melihatnya.

Ia begitu cantik dan anggun, masih dengan rambut sebahunya. Ia membeku saat melihatku.

"Duduk Pak Daniel, kenalkan ini El," ia memperkenalkan El kepadaku.

Tunggu!

Dia memanggilnya dengan sebutan El. Dulu hanya aku yang memanggilnya dengan sebutan itu.

Aku memaksa tersenyum. Ia terlihat begitu kikuk saat kami duduk berhadapan.

"Ini Pak Daniel, manajer proyek baru kita, El. Semuanya beres saat di handle sama Pak Daniel," Pak Rendy menjelaskan kepada El.

Ia hanya manggut-manggut dengan gerakan canggung.

Akhirnya kami makan siang, Pak Rendy membicarakan perihal pekerjaan yang kemungkinan akan aku tangani lagi setelah proyek yang sekarang selesai.

Sepertinya ia sangat puas dengan hasil kerjaku dan ia mempercayakan proyek yang akan datang kepadaku.
Sungguh itu peluang yang luar biasa.

El hanya diam saja sejak tadi. Tak sekalipun ia melihat kearahku, ia hanya menunduk menatap makanannya dan sesekali menoleh ke Pak Rendy jika ia sedang diajak bicara dengan Pak Rendy.

"Kenapa El? Apa makanannya kurang enak?" Pak Rendy.

"Oh, bukan. A...aku tiba-tiba kurang enak badan."

"Ya sudah, nanti kita langsung balik saja. Jalan-jalannya bisa besok," terang Pak Rendy.

Lalu, seseorang masuk ke dalam. Lebih tepatnya seorang pengasuh beserta seorang anak kecil digendongannya.

"Nyonya, Jovan sejak tadi menangis minta ke sini," ucap si pengasuh tersebut.

"Sini Jovan sama ayah saja ya, mama mau makan dulu," Pak Rendy meraih Jovan ke pangkuannya dan terlihat anak itu sangat nyaman bersama Pak Rendy.

"Aku sudah selesai makan, sini, biar Jovan sama aku aja," El tampak risi saat aku menatapnya bergantian dengan anak itu.

"Habiskan makanmu, El."

"Aku sudah kenyang," El.

"Kamu harus makan banyak, El!" Mutlak tak ingin dibantah lagi.

El akhirnya menurut dan ia melanjutkan makannya seraya menunduk.

*****

Aku sudah berada dirumah, ini adalah rumah sewaan dari perusahaan untukku. Karena aku akan menetap disini sekitar dua bulan. Walaupun terkadang aku tetap bulak balik ke Jakarta.
Tapi saat ini, aku akan lebih banyak disini.

Rumah ini sungguh sangat besar. Apalagi, hanya aku seorang yang menempatinya. Ada ART yang akan datang setiap pagi dan dia akan pulang saat aku juga pulang dari kerjaan.

Jadi, sekarang hanya ada aku seorang.

Aku rebahkan diriku di sofa panjang ruang tamu. Aku menatap langit-langit rumah ini, pikiranku kembali ke kejadian siang tadi.

Apa El istrinya Pak Rendy?
Anak itu...
Anak siapa?

Kepalaku rasanya mau meledak memikirkan kemungkinan El adalah istrinya Pak Rendy.

Ya Tuhan!
Aku tidak bisa berpikir jernih saat ini.

Keesokan harinya aku tidak ke lapangan, saat ini mood ku benar-benar berantakan.

"Pak Daniel, ini rincian untuk proyek selanjutnya. Pak Rendy meminta saya, agar Bapak periksa dahulu detilnya," sekretaris Pak Rendy datang keruanganku.

Aku hanya mengangguk.

Akhirnya aku memeriksa laporan tersebut, aku harus memeriksa detilnya dengan teliti. Jika berhasil, proyek ini akan menjadi proyek yang akan aku tangani beberapa bulan lagi.

Setelah beberapa menit berlalu, aku berniat keruangan Pak Rendy.

Saat aku keluar dari lift, aku melihat El sedang berjalan menuju toilet. Aku mengikutinya dan menunggunya di luar pintu toilet.

Setelah beberapa lama, ia keluar dan sangat terkejut melihatku menunggunya disana.

"Ja__jangan mendekat, Daniel!" Cegahnya dengan suara bergetar.

"Aku hanya ingin bicara, El."

"Tidak! Terakhir kali kamu beralasan seperti itu, aku berakhir tidak baik."

"Kali ini aku benar-benar hanya ingin bicara."

"Aku mau pulang!"

"Elena! Aku mohon!"

Ia berhenti melangkah.

"Baiklah, kita bicara sepulang jam kantor. Di cafe bawah, aku tunggu disana."

"Bisakah bicara ditempat lain?"

"Tidak Daniel! Lokasi aku yang menentukannya kali ini, jika tidak setuju, lebih baik batalkan saja!"

"Baiklah, tunggu aku sepulang jam kantor," akhirnya aku menyetujuinya dan ia melangkah pergi tanpa melihatku lagi.

*****

"Apa kabar, El?" Tanyaku langsung begitu duduk berhadapan dengannya.

"Lebih baik," jawabnya datar.

"Aku merindukanmu, El. Ah tidak, aku, William dan orangtua kami sangat merindukanmu."

"Bagaimana William? Aku pergi tanpa memberitahunya," tanyanya dengan wajah sendu.

Aku sedikit kesal melihat raut wajahnya, kenapa harus menanyakan soal William?

"Ia marah, kecewa dan kesal," jawabku.

Ia menunduk.

"Aku memang telah mengecewakannya, pasti dia marah besar," ucapnya sendu diiringi senyum pias.

"William sangat marah dan kecewa padaku, El. Ia sama sekali tidak marah padamu. Aku sudah mengatakan semuanya pada keluargaku dan sejak itu, aku meninggalkan rumah dan perusahaan papa."

Ia menatapku dengan sungguh-sungguh. Seperti memastikan ucapanku.

"Jovan itu__apa ia anakku?" Tebakku.

Ia berdehem dan mengedipkan mata beberapa kali. Gerakan tubuh El yang sangat ku hapal ketika ia sedang gugup.

"Itu___i__iya."

Aku cukup terkejut dengan jawabannya, padahal aku sudah mempersiapkan diri untuk mendengarnya. Namun saat mendengarnya langsung, aku tetap saja terkejut. Ada perasaan senang, tentu saja aku senang. Ia adalah harapanku saat aku melakukannya dengan El.

Jovan benar-benar tumbuh dirahim El dan aku sangat terharu.

Tapi penyesalan dan amarah pada diri sendiri langsung menelusup ke relung hatiku. El, berjuang sendiri untuk dirinya dan juga Jovan.

"Maaf."

"Aku harus pulang, Jovan pasti menungguku," ia bangkit dan langsung meninggalkanku.

Sempat bengong beberapa detik, aku bergegas menyusul El. Aku tidak mau kehilangan Elena untuk ketiga kalinya.

Aku menyusulnya dengan langkah lebar dan mengikutinya hingga ke area parkir. Ia ingin membuka mobilnya namun aku tahan.

"El! Tolong maafkan aku."

"Aku sudah memaafkanmu, Daniel. Kamu juga sudah tahu tentang Jovan, jadi sekarang pembicaraan kita sudah selesai."

"Tidak! El, tolong! Kembali bersamaku, aku gila setahun ini mencarimu. Aku ke Bali untuk bisa menemukanmu, tapi semua nihil."

Bughhh!

Tiba-tiba saja sebuah pukulan melayang dari belakang mengenai kepalaku.

Aku sedikit terguncang dengan serangan tiba-tibanya itu. Aku menoleh kebelakang, ingin tahu siapa yang berani memukulku.

"Sialan! Jadi dia yang sudah melecehkanmu, El?!" Pak Rendy.

Ia menarik kerah kemejaku dan melayangkan pukulan tepat diwajahku.

"Berhenti! Berhenti Rendy!" Teriak El.

Rendy berhenti memukulku, ia bangkit dari atas tubuhku. Aku terbatuk karena nyeri didada dan perutku.

El berjongkok menghampiriku dan membantuku bangun.

"Untuk urusan Jovan, aku akan membiarkan kamu terlibat. Tapi untuk urusan kita__kita sudah selesai Daniel. Sekarang aku sudah memiliki orang yang tulus mencintaiku. Aku harap kamu mengerti itu," El menggenggam tanganku.

Dan setelah mengucapkan kata itu, ia pergi bersama Rendy yang sekarang tatapannya menjadi benci padaku.

Ya, apalagi yang harus aku harapkan?

Ini sebuah hukuman. Aku sudah tiga kali kehilangan El. Dan yang ketiga ini, benar-benar tak ada harapan lagi.
Tentu saja dia akan memilih Rendy dibandingkan aku---seseorang yang dari masa lalunya yang hanya bisa memberikannya luka.

Ck! Menyedihkan bukan!

🍫🍫🍫🍫🍫

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro