Crazy On You! [3]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jika ada yang bilang aku brengsek, bajingan dan pengecut, aku akan mengiyakan itu semua.
Itu benar.

Aku brengsek, bajingan dan pengecut yang menginginkan tunangan kakakku.

Aku pandangi wajah sembab Elena, ia tertidur. Wajahnya lengket karena air mata sejak tadi mengalir dari mata indahnya. Rambutnya acak-acakan karena ulahku.

Aku rapikan rambut-rambut yang menutupi wajahnya, rambutnya begitu halus. Bibirnya masih bengkak, tentu saja itu ulahku.

Aku memeluk tubuh polosnya yang hanya aku tutupi dengan selimut.

"Maaf...aku hanya berharap kau akan hamil anakku," aku kecup keningnya dan ikut larut bersamanya.

* * * * *

Bunyi bel unitku begitu mengganggu, sejak tadi orang yang bertamu pagi-pagi tidak menyerah. Lalu ponselku berbunyi.

"Ya?"

"Buka pintunya, Daniel! Aku ada didepan."

Sial!

Itu William yang menelpon. Aku segera memakai boxerku dan menutupi tubuh Elena dengan selimut hingga dadanya.

Kamarku sangat berantakan, belum lagi pecahan kaca didekat pintu kamarku.

Aku berjalan hati-hati dan keluar untuk membuka unitku. Tak lupa pintu kamar kututup rapat.

"Kau baru bangun?" William langsung masuk setelah unitku kubuka. Ia duduk di sofa.

"Ada apa? Ini masih pagi!" Protesku.

"Aku ingin mengajakmu keluar, kita akan pergi bersama Elen juga."

"Ke mana?"

"Antar kami ke butik, aku ingin memesan gaun untuk Elen. Jadi biar diukur dulu."

"Aku ada urusan hari ini."

"Kau tidak bisa mengantarku?"

Aku menggeleng.

"Baiklah. Aku akan menelpon Elen dulu," ia bangkit dari sofa dan akan menuju keluar.

"Pantas saja kau tidak mau mengantarku, ada wanita di kamarmu?" William melirik sepatu wanita yang hanya sebelah didekat sofa.

"Bukan urusanmu, Will!"

"Baiklah, selamat bersenang-senang. Aku tidak akan mengganggumu lagi."

Dan ia pun pamit. Aku langsung mengunci unitku dan menelpon restoran yang dibawah apartemenku untuk mengantarkan makanan ke unitku.

Aku masuk ke kamar dan Elena masih tertidur pulas. Aku kembali ke ranjang dan memeluknya dengan erat. Ia melenguh saat aku mendekapnya, namun matanya masih terpejam.

Aku mengecup pundaknya yang terasa sangat halus. Ia melenguh lagi dan perlahan membuka matanya.

Lalu ia melihat kearahku.

Saat ia akan duduk,ia meringis kesakitan. Sepertinya bagian intinya masih terasa sakit akibat semalam.

"Pelan, El."

Aku membantunya memposisikan dirinya agar duduk. Namun, tanganku ditepisnya dengan kasar.

"Daniel, aku ingin pergi dari sini. William pasti mencariku," ia mencoba bangkit dan mencari-cari pakaiannya yang semalam sudah aku robek.

"Biarkan saja, El. William akan baik-baik saja, kau harus meninggalkannya."

"William tunanganku!" Teriaknya penuh emosi.

"Kau yakin, ia akan menerimamu dengan keadaanmu yang sudah tidak virgin lagi? Apa kata William nanti? Ia pasti kecewa tahu tunangannya sudah tidak gadis lagi."

Ia membeku, tubuhnya bergetar. Lalu isak tangis terdengar sangat pelan.

"Ya, kau benar! Tapi William mencintaiku, ia pasti akan berusaha menerima keadaanku."

"Jangan mengkhayal, El! William tidak akan menerimamu lagi! Terlebih jika ia tahu kalau aku yang sudah menidurimu!" Teriakku.

"Kau brengsek, Daniel! Ini semua karenamu, kau gila!"

"Ya, aku gila! Makanya, jangan coba-coba untuk kembali ke William. Kalian sudah selesai!"
Aku empaskan tubuhnya ke ranjang, ia terkejut dengan yang kulakukan.

Aku menindihnya kembali. Ia terus meronta dan memukul tubuhku. Aku semakin geram dan menarik kedua tangannya keatas kepalanya.

"Diam! Atau kejadian semalam akan terulang lagi___bahkan akan lebih kasar dari yang pertama, El. Bahkan, pemberontakanmu itu, membuatku semakin bergairah."

"Sialan!" Umpatnya.

Lalu terdengar bel unitku berbunyi. Aku yakin itu adalah makanan yang aku pesan tadi.

"Pakai kemejaku di lemari, kita akan sarapan."

Perintahku dan aku meninggalkannya, sedangkan aku membuka unitku dan benar saja, makanan kami sudah datang. Aku segera membayarnya dan menutup kembali unitku.

Aku menyiapkan makanan diatas meja makan dan menyiapkan air mineral untuk kami. Tak lupa juga, aku membuatkan air jahe hangat untuk Elena. Aku yakin seluruh tubuhnya sakit semua.

Itu yang selalu teman-temanku ceritakan perihal malam pertama mereka. Katanya, wanita akan merasakan tubuhnya seperti remuk setelah keperawanannya robek.

Yah, ini pengalaman pertamaku dan aku tahu juga bahwa ini adalah pengalaman pertama Elena. Sungguh demi apapun, aku ingin malam pertama yang indah dan tidak brutal seperti semalam.

Namun keadaanku saat itu adalah menginginkan Elena berpisah dari William, makanya hanya dengan begini , ia akan terikat denganku. Aku berharap ia akan hamil dengan cepat. Aku sengaja tidak memakai pengaman, karena memang itu tujuanku.

Elena datang hanya dengan memakai kemejaku saja tanpa celana pendek.

Ia semakin seksi dengan tampilan seperti itu.

Shit!

Milikku sudah bereaksi.

"Duduklah, kita sarapan dulu," ucapku.

Bahkan, saat ini aku benar-benar menginginkannya.

Ia hanya diam saja dan duduk berhadapan denganku. Ia memakan sarapannya dengan lahap dan meminum air jahenya sampai tandas.

Aku tersenyum melihatnya, ia sungguh manis sekali. Padahal wajahnya masih merengut dan terlihat sekali ia malas melihatku.

"Mandilah setelah ini, aku akan mengantarkanmu pulang," ucapku.

"Aku bisa pulang naik taksi."

"Aku akan mengantarmu, El."

"Aku benci berdekatan denganmu!"

"Belajar mencintaiku."

"Tidak! Aku terlanjur membencimu!"

"Jangan pancing amarahku, El!"

"Kenapa? Kau mau memperkosaku lagi? Dasar pengecut! Ya, Daniel seorang pengecut, hanya berani melecehkanku!"

"ELENA!"

"Kenapa? Karena ucapanku benar semua kan?! Daniel berengsek, kau hanya seorang pengecut! Sejak dulu kamu memang pengecut!" Ia berdiri dan menunjuk-nunjuk wajahku.

"Berhenti!"

"Aku tidak akan berhenti, aku akan terus memanggilmu pengecut! Sialan! Aku benci kamu, Daniel!" Ia mendorong kursi makan hingga terjungkal. Kilat matanya penuh emosi.

"Sialan! Aku tidak mau bersikap kasar, tapi kau yang selalu memaksaku berbuat kasar, El!" Aku mendekat dengan langkah lebar. Ia berlari ke pintu unitku dan mencoba membukanya, namun ia tak tahu kode kuncinya.

Aku menghampirinya dan menarik lengannya lalu ku jatuhkan ia di sofa tamu. Ia mencoba melempar remote tv kearahku.

Aku menyeringai melihatnya ketakutan seperti semalam. Dan berada tepat diatas tubuhnya, mengunci kedua tangannya.

"Sepertinya kau memang senang diperlakukan kasar. Baiklah, pagi ini aku akan melakukannya dengan kasar___bahkan sampai kau menjerit, El," seringaiku seraya berbisik di samping telinganya.

"AKU MEMBENCIMU, DANIEL!" teriaknya dengan lantang tepat diwajahku.

"Bencilah sesukamu, aku akan menikmati ini."

Dan, tanpa ragu lagi, aku menarik kemejaku yang ia kenakan hingga kancingnya terlepas begitu saja. Aku menurunkan boxerku.

Kembali, penyatuan secara paksa itu kulakukan. Ia benar-benar menangis dan menjeritkan segala umpatan kebencian untukku.

Aku tidak peduli lagi, aku harus melakukannya. Aku ingin Elena hamil anakku. Aku akan menghamilinya.
Aku terus melakukannya dengan kasar. Ia terus merintih kesakitan dan terakhir kudengar hanya permintaan untuk melepaskannya.

Hingga sampai pukul 12.00 siang aku melakukannya. Ia tidak pingsan, ia terus menangis dan merintih kesakitan.

Sofaku sudah kotor, banyak noda cairan milikku yang tercecer di sana. Aku benar-benar melakukannya.

"Aku harap, setelah ini kamu membunuhku, Daniel."

Aku menoleh padanya, ia masih memejamkan matanya. Setelah aku melepaskan penyatuan kami, ia hanya menangis seraya mata terpejam.

"Kau harus hidup, El. Agar anakku tumbuh di rahim mu," bisikku seraya mengangkat tubuhnya dan meletakkannya di ranjang kamarku.

Ia tak menjawabku, sepertinya ia sudah malas menjawabku atau mungkin ia sudah tertidur.

* * * * *

Sekitar pukul 19.00, aku mengantarnya pulang. Ia sudah mandi dan sudah berganti pakaian dengan yang baru. Aku membelinya di toko bawah apartemenku.

Aku mengajaknya makan malam di sebuah restoran, namun ia menolaknya. Ia hanya ingin cepat-cepat sampai dirumah.

Setelah sampai didepan pagarnya, aku turun menemaninya masuk.

"Aku tidak akan menyuruhmu masuk, Daniel."

"Aku tidak berniat masuk, aku hanya ingin mengantarmu. Besok aku akan keluar kota sampai dua minggu, aku harus mengawasi pembangunan hotel baru di Semarang, jadi kita tidak bisa bertemu. Setelah dari Semarang, aku akan langsung menemuimu."

"Aku tidak peduli!"

"Aku akan merindukanmu, El."

"Aku harap tidak bertemu denganmu lagi, Daniel!"

"Itu sangat kasar, El," aku pura-pura sedih mendengar ucapannya.

"Selamat tinggal."

"Kita akan bertemu dua minggu lagi."

"___"

"I will miss you so much, El."

Dia membanting pintu rumahnya dengan keras dan menghilang dibalik pintu tersebut.
Aku hanya tersenyum melihatnya merajuk.

* * * * *

Aku baru merebahkan diri di kasur hotel di Semarang. Namun, aku sudah merindukan Elena. Ya, aku sangat merindukannya. Wajahnya tidak bisa hilang dari kepalaku.

Aku mengirimkan pesan pada Elena, mengatakan bahwa aku sudah merindukannya. Tapi ia tidak membalasnya.
Ya, biarkan saja. Pasti ia masih marah padaku.

Aku pun kembali fokus ke kerjaanku. Mengawasi pembangunan hotel disini, ini adalah hotel impian William. Ide kasarnya dari dia dan aku menambahkan bagian-bagian arsitektur gedung yang menurutku kurang pas.

Aku sering mengirimkan pesan kepada Elena, tapi tak ada satupun pesan yang ia balas. Aku bahkan mencoba menelponnya, tapi tidak pernah diangkat.

Oke, aku rasa ia benar-benar marah atau bahkan membenciku. Tapi tidak apa, sepulang dari sini, aku akan berlaku lembut padanya. Aku akan membelikan oleh-oleh yang banyak untuknya.

Akhirnya, dua minggu membosankan dan sepi di Semarang berakhir hari ini. Aku dengan sumringah melangkahkan kaki ke bandara. Sudah tidak sabar untuk sampai di Jakarta.

Aku sudah tidak sabar ingin bertemu Elenaku. Wanitaku, yang amat aku cintai.

Setelah sampai di bandara Jakarta, aku langsung naik taksi dan menuju rumah Elena. Tujuan pertamaku adalah rumah Elena. Namun aku lihat sangat sepi. Aku mencoba menelponnya, namun ponselnya sedang tidak aktif.

Akhirnya dengan sedikit kecewa, aku pulang ke apartemenku. Dan beristirahat, semoga besok pagi aku bisa bertemu Elena.

Pagi harinya, aku terbangun dan langsung mengecek ponselku. Tidak ada satupun pesan dari Elena, itu memang sudah biasa.
Aku menelponnya kembali, namun masih tidak aktif.

Ada apa ini? Apa El sakit?

Bel unitku berbunyi, aku segera memakai kaos santaiku dan membuka unitku. Ternyata mamaku yang datang.

"Daniel, kenapa tidak pulang ke rumah?" Mama.

"Semalam aku sudah lelah, ma. Jadi lebih memilih langsung kesini saja. William mana? Kenapa dia tidak mengantar mama kesini?" Tanyaku seraya meminum air mineral.

"William sedang pusing," mama.

"Kenapa?"

"Elen pergi sejak seminggu yang lalu, ia menghilang begitu saja."

Aku terperangah mendengar penjelasan mamaku.

"Maksudnya?"

Dan mamaku menceritakan, kejadian soal kepergian Elena tanpa pemberitahuan.

Sudah seminggu ia menghilang, William sudah mencoba mencarinya kemanapun. Namun hasilnya nihil.

Ponselnya kemarin-kemarin masih bisa dihubungi, tapi sejak kemarin pagi, ponsel Elena sudah tidak aktif lagi.

Padahal pernikahan William dan Elen tinggal satu bulan setengah lagi. Kini, Elena menghilang bak ditelan bumi.

Setelah mamaku pergi dari apartemen, aku segera mandi dan mencoba mencarinya. Kemanapun.
Ternyata, rumah yang Elena tempati itu adalah rumah sewaan. Kini sudah dikosongkan.

Menurut pemilik rumah tersebut, keluarga Elena tinggal di Bali. Dari informasi tersebut, aku mencoba mencarinya ke Bali.

Selama tiga hari aku di Bali, tapi tidak menemukan jejak Elen. Akhirnya aku kembali ke Jakarta dan berkutat dengan pekerjaanku.

William juga tidak berhasil menemukan Elena.

"Seenaknya saja dia meninggalkanku! Brengsek!" Umpat William.

Sekarang kami berkumpul di rumah. Kami sedang membahas permasalahan William.

"Batalkan saja semua," ucap papa.

"Aku berharap dia akan datang besok," William tampak putus asa.

"Batalkan saja, Will. Mama yakin, Elen memang pergi selamanya. Rumahnya sudah kosong," mamaku tampak sedih melihat William terpuruk seperti itu.

Aku hanya diam.

Memikirkan Elena sedang apa dia?

Apakah ia sedang mengandung anakku?

Makanya ia memilih pergi?

Aku memilih pergi dari rumah, meninggalkan mereka. Berharap menemukan El di taman dekat sekolah kami dulu.

Mama dan papa memanggilku, namun aku tak berusaha menengok. Aku tetap memilih pergi.

Setelah sampai di taman kenangan kami dulu, aku hanya duduk disana. Mencoba mengenang masa-masa remaja kami, yang masih dengan status persahabatan. Mengenang wajah ceria El, wajah remajanya yang begitu polos.

Tak terasa air mataku turun,membasahi pipi. Terlintas kenangan saat aku menggagahinya dengan kasar, wajah penuh permohonannya. Dengan brengseknya, aku malah semakin dalam menggagahinya penuh gairah.

Ya Tuhan!

Untuk kedua kalinya, aku kehilangan Elena.

* * * * *

Sudah tiga bulan sejak menghilangnya Elena. William masih kusut wajahnya, ia sangat terpuruk. Ia begitu mencintainya. Aku juga sangat mencintai Elen, tapi dengan cara yang salah.

"Brengsek! Sialan!" Terdengar makian kasar dari kamar William.

Aku menghampirinya. Kamarnya berantakan, barang-barang semua berserakan dilantai.
Bahkan lampu tidur pecah.

"Sudah berhentilah, Will," aku.

"Wanita sialan! Aku membencinya! Wanita tidak tahu diri, bisanya mempermalukan aku!" Umpat William dengan penuh kebencian.

"William, berhentilah mengumpatnya!" Aku.

"Dia itu wanita sialan! Hanya bisa mempermalukan aku dan keluargaku disaat aku sedang sibuk mengurus pernikahan," William.

"Elena bukan wanita sialan! Dia wanita yang tegar dan kuat!" Aku.

William menoleh heran kearahku.

"Apa maksudmu?!"

"Aku__mencintainya! Sebelum keberangkatanku ke Semarang, aku__memperkosanya. Aku membawa dia ke apartemenku dan aku melakukannya disana," jelasku terbata.

"Daniel?!" Itu suara mama dan papa yang ternyata sudah ada di depan kamar William.

"Apa katamu brengsek?!" William menarik bagian kerah kaosku.

"Aku__aku sudah memperkosanya. Aku mencintainya, tapi dia selalu menolakku."

Buughh

Bogeman keras terasa di wajahku. William menindihku, dengan brutal ia terus menghantamkan tinjunya ke wajahku. Sembari memakiku dengan begitu bencinya.

Aku hanya diam, menerima setiap pukulan yang ia layangkan. Aku pantas menerimanya.

"Ya Tuhan! William berhenti! Kita bicarakan baik-baik," papa mulai melerai kami.

Sedangkan mamaku, ia hanya bisa menangis melihat kedua anaknya saling menyakiti.

William menyakitiku dengan tinjunya, aku menyakiti William dengan pengkhianatan besar.

Tak lama, tubuh mama ambruk. Ia pingsan. William langsung berhenti memukulku dan membantu mengangkat tubuh mama ke kamar.

Aku, dengan susah payah bangun. Merasakan perihnya perutku dan wajahku yang babak belur. Aku kembali ke kamarku, duduk di ranjang. Merasakan memar di wajahku.

* * * * *

"Daniel, sejak kapan kamu mencintai Elen?" Tanya papa.

Kini aku bersama papa, mama dan William duduk diruang keluarga. Memulai pembicaraan ini, layaknya sebuah sidang. William menatapku horor di sebrang sofa sana, sedangkan aku adalah terdakwanya yang sedang dimintai penjelasan kronologisnya.

"Aku dan El bersahabat sejak SMA," jawabku singkat.

"Lalu?" Papa.

"Saat kelulusan, El mengutarakan perasaannya. Tapi aku menolaknya dan sejak itu hubungan kami renggang. Bahkan tidak pernah bertegur sapa lagi walaupun kami satu kampus."

"Teruskan Daniel."

"Lalu kudengar berita ayahnya bangkrut, ia tidak kuliah lagi dan menghilang selama empat tahun. Tahu-tahunya aku bertemu dia saat William membawanya ke restoran waktu itu," aku.

"Lalu kau diam saja saat aku membawa Elen ke hadapan kalian! Apa maksudmu? Kau benar-benar pengkhianat ulung!" William.

"Aku bisa apa?! Aku juga baru menyadari perasaanku padanya, dulu aku terlalu takut untuk menerimanya. Aku takut dia semakin menjauh, tapi ternyata penolakanku membuatnya benar-benar menjauh."

"Kenapa kau tidak mengatakan itu sejak awal, Daniel?" Mama.

"Aku tidak tahu harus apa."

"Mama benar-benar kecewa dengan kelakuanmu, kenapa harus memperkosanya Daniel? Mama kecewa denganmu!" Mama.

Aku hanya bisa menunduk.

"Maaf ma, pa. Maafkan aku Will. Aku benar-benar tidak tahan melihat kemesraan kalian didepanku. Aku terpaksa melakukannya, agar ia hamil anakku," jelasku.

William menghela napasnya dengan kasar. Ia menangis dengan menunduk.

Baru kali ini aku melihatnya menangis.

"Aku menyayangimu, Daniel. Tapi aku sudah tidak tahu lagi harus berkata apa sekarang? Kau benar-benar menghancurkan hatiku, aku kecewa," William.

Aku semakin merasa bersalah kepadanya.

Aku hanya diam, tidak bisa mengatakan sepatah katapun. Aku sudah mengecewakan keluarga ini.

William langsung berdiri dan pergi dari sini.

"Kamu harus mencari Elena, Daniel. Kamu harus menemukannya. Mama takut ia benar-benar hamil, siapa yang akan mengurusnya? Apakah keluarganya akan menerimanya? Atau ia malah di asingkan oleh keluarganya atau orang-orang sekitarnya? Atau ia akan mengakhiri hidupnya? Ya Tuhan! Semoga itu tidak terjadi," mama mulai menangis.

Aku terperanjat mendengar segala kemungkinan yang mama ucapkan. Dugaan terakhir, benar-benar tak terpikirkan olehku.

Ya Tuhan! Semoga El baik-baik saja.

Setelah sidang itu, aku memilih tinggal di apartemen. Aku tak sanggup bertemu William. Aku juga sudah mengundurkan diri dari perusahaan keluargaku.

Aku memilih bekerja di perusahaan lain.

Hari berganti minggu, lalu berubah menjadi bulan dan kini berganti menjadi tahun.

Saat ini, tepat satu tahun delapan bulan aku belum menemukan El.
Dia benar-benar menghilang.

Aku berharap ia tinggal disuatu tempat. Bukan menghilang dari bumi ini. Sungguh, aku tak sanggup jika memang ia mengakhiri hidupnya karena diriku. Akulah yang sudah menyebabkan dirinya terpuruk.

🍫🍫🍫🍫🍫

Oh dear, bab ini soo emejing. Why? Karena mengandung 2.526 kata. Ajegile, ini diluar kendaliku. Biasanya aku hanya mampu 1k kata lebih dikiiiit. Ini diluar ekspektasi. Bahkan, ini enggak nyangka banget bisa sampe 2 bab lebih.

Selamat membaca.

Suka?

Rekomendasiin dooong.

Enggak suka?

Sini bisikin, bagian mana yang harus aku perbaiki.

Udah ah, mau makan dulu, bangun bobok kelaperan.

Babay ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro