Crazy On You! [2]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Melihat wanita itu tersenyum sumringah bahagia di depanmu adalah hal paling indah sebenarnya.

Shit!

Wanita itu bahagia karena malam ini adalah pertunangannya dengan kekasihnya—yang ternyata adalah kakak laki-lakimu.

Double shit!

Adakah hal yang lebih buruk lagi dari ini?

Brakkkk!

Seorang pelayan menabrakku dan menumpahkan nampan yang berisi aneka minuman di gelas.

"Ah, fuck! Kamu tidak pakai mata ya?!" Makiku dengan kesal seraya mengusap-usap jasku yang sudah basah dan ternoda dengan warna air tersebut.

Semua orang kini melihat ke satu arah, yaitu aku dan si pelayan bodoh ini.

"Ma—maaf Tuan, biar saya bersihkan." Ia berusaha menolong membersihkan jasku.

Aku langsung menepiskan tangannya dengan kasar. Percuma saja, toh sudah ternoda. Malah tangannya akan merusak jasku.
Aku segera pergi dari tempat itu dan menuju toilet untuk membersihkan jasku.

"Daniel? Kamu di dalam?" Itu suara mamaku.

"Iya, ma."

Lalu mamaku masuk ke dalam toilet, wajahnya terlihat cemas. Dia selalu saja mengkhawatirkan aku.

"Kamu kenapa, Daniel?" tanya mamaku langsung seraya membersihkan kemejaku dengan kain kecil yang ia basahi dengan air kran.

"Kesal saja tadi sama pelayan ceroboh itu!" tukasku.

"Maksud mama, kamu sedang ada masalah? Sejak tadi wajahmu tidak ada senyum-senyumnya." Tebaknya dan tebakannya selalu saja benar.

"Enggak ada masalah."

"Serius? Mama tahu kamu sedang ada masalah, mau berbagi?" tanyanya dengan lembut.

Sejenak aku pandangi wajah lembutnya yang masih saja terlihat cantik dan berkharisma.

Ku paksakan senyum, "Daniel baik-baik saja, ma."

Mamaku diam dan masih saja memastikan netranya menatapku dengan seksama. Lalu ia menghela napas pelan.

"Mama harap memang tidak ada masalah, tapi kalau mau cerita ke mama, mama siap mendengarkan."

Aku hanya mengangguk dan memberikan senyum terbaikku.

Mamaku pun keluar dari toilet, sedangkan aku masih di sini. Memandang tampilanku di cermin. Berantakan.

Seperti hatiku.

Aku benar-benar tidak menyangka akan mengalami patah hati terburuk di dalam hidupku.

Aku harus merelakannya.
Aku harus menerima penyesalan terbesarku.
Aku harus menerima, bahwa aku terlambat menyadari perasaan yang namanya cinta.

Just take it.

* * * * *

Sudah seminggu berlalu setelah pesta pertunangan El dan William. Kini kami berkumpul bersama teman-teman kami.

Aku dan William sedang berkumpul dengan beberapa temannya yang juga temanku. Kami mengobrol dan bercanda seperti biasa. Karena kesibukan masing-masing, kami sudah jarang bertemu dan berkumpul seperti ini.

"Kapan kalian akan melangsungkan pernikahan?" tanya Joe ke William.

"Secepatnya, aku inginnya dua bulan lagi," jawab William dengan wajah berseri.

"Hoooo...sudah tidak sabar ya?" goda Andre.

"Cantik, pintar, baik hati, keluargaku menyukainya,  apalagi yang kurang? Aku ingin cepat-cepat memiliki anak darinya," ucap William dengan wajah penuh senyum.

Teman-teman yang lain menyorakinya. Mereka bahagia untuk William, begitu juga aku.

Seharusnya.

"Hai..." sapa sebuah suara lembut tiba-tiba.

Kami semua menoleh ke asal suara tersebut.

William menyambutnya dengan pelukan hangat dan sebuah kecupan lembut dan manis di bibirnya.

Terlihat begitu sempurna dan manis.

"Kenalin, ini Elen. Elen, mereka ini semua temanku dan Daniel," jelas William.

"Halo semuanya," sapanya ramah.

Mereka semua senyum-senyum dan membalas sapaan ramah El.

Aku hanya diam sejak kedatangannya.

Mereka semua tampak menyukai El. Sudah aku bilang, kan? Kalau senyum dan tawa El itu menular.
Ia pribadi yang menyenangkan. Semua orang pasti merasa nyaman jika di dekatnya.

Lalu kami mengobrol random, hingga tiba-tiba William mencium bibir El dengan mesra. Tidak—tidak, bukan menciumnya saja, tapi melumatnya dengan begitu posesif.

Entah apa yang mereka bicarakan, hingga tiba-tiba William menciumnya di depan kami semua.

Hingga teman-teman kami semua menyorakinya. Tak lama kemudian, William melepas pagutannya. El tampak malu, wajahnya memerah dan bibirnya bengkak.

Damn!

Perasaan tidak suka menghampiriku lagi.
Kesal, marah, kalut menjadi satu.

Aku berpamitan terlebih dulu, sungguh muak melihat mereka berdua.

Namun aku tidak pergi dari sana. Aku di dalam mobil, melihat dari jauh cafe tempat mereka. Aku ingin bicara berdua dengan El.
Sungguh hatiku panas sekali melihat adegan tadi.

Terserah apa namanya, aku tidak menyukai melihat mereka berdua.

Aku menunggu di dalam mobil masih dengan perasaan kalut.

Hingga sejam kemudian, aku lihat mereka keluar dari cafe. William akan mengantar El pulang. Aku akan mengikuti dari belakang dengan jarak aman. Aku juga belum tahu dimana rumah El sekarang ini.

Aku terus mengikuti mereka dengan jarak cukup jauh. Sampai akhirnya William berhenti di depan sebuah rumah sederhana, minimalis, tapi terlihat nyaman.

William turun dan juga El. William hanya mengantar El sampai didepan pagar dan mereka berciuman kembali. Hingga akhirnya William pergi dari sana.
El masih di depan pagar memandangi mobil William yang mulai menghilang.

Aku segera mendekatkan mobilku kedepan pagar rumahnya, lalu mengklakson kearahnya.
Ia menoleh dan sempat terkejut melihatku dari jendela mobil yang sudah kuturunkan.

"Ada apa?" tanyanya ketus.

"Naiklah, El. Aku ingin bicara," jawabku.

"Kita bisa bicara di sini."

"Please, El! Aku hanya ingin bicara berdua tanpa gangguan."

Akhirnya ia menyerah dan naik ke dalam mobilku.
Mobil segera kulajukan.

"Mau bicara apa Daniel?" tanyanya langsung.

"Pakai sabuk pengamanmu dulu."

Ia memakainya.

"Lalu?" tanyanya tak sabaran.

"Sabar, El. Kita akan bicara, tapi tidak disini," ucapku santai.

Ia mendengus. Aku mendengarnya.

Ia menatap kearah jendela disampingnya, menatap jalanan malam yang masih saja ramai. Tidak ada pembicaraan selama perjalanan.

"Kita mau kemana? Masih lama?" Tanyanya kesal.

"Ini sebentar lagi sampai," aku melajukan mobilku dengan cepat memasuki hunian apartemenku dan masuk ke basement.

Setelah terparkir, aku keluar dari mobil.

"Ayo, El!" Aku.

"Ini apartemen siapa?" tanyanya.

"Aku."

"Kita mau apa kesini? Kita bisa bicara diluar saja," jelasnya dengan raut cemas.

"Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan, turunlah. Setelah itu kita benar-benar hanya bicara."

Tampak ia berpikir, lalu akhirnya ia turun juga dari mobil.

Kami hanya diam saja sepanjang jalan menuju unitku.

Ia mengikutiku dari belakang.

Dan sampailah kami di unitku. Aku menyuruhnya duduk dulu di sofa depan.

Lalu aku duduk didepannya setelah meletakkan gelas minuman dingin di meja.

"Bicaralah, Daniel."

"Aku ingin kamu membatalkan pernikahan dengan William."

Elena tertegun mendengar kalimat yang meluncur dengan santainya dari bibirku.

"Daniel, kamu enggak mabuk kan?"

"Aku mabuk karena kamu sepertinya, El."

"Gila kamu!" Ia berdiri.

"El, aku tidak suka melihatmu berciuman seperti tadi dengan William. Apalagi harus menerimamu sebagai kakak iparku, ya Tuhan! Aku enggak akan sanggup, El!"

"Daniel, sadar! Dulu aku kamu tolak tanpa ada penjelasan apapun. Bahkan kita sudah seperti orang asing, kita enggak pernah menjalin suatu hubungan. Seharusnya kamu bisa menerima ini semua," ucapnya tegas.

"Aku dulu terlalu takut untuk menerima kamu, El. Aku takut hubungan kita malah tidak dekat seperti dulu lagi. Tapi aku malah membuatmu semakin jauh dari jangkauanku."

"Ya ampun, Daniel! Itu sudah sangat terlambat. Aku udah move on dari kamu! Kamu juga harus begitu."

"No, i can't!"

"Itu karena kamu enggak mau menerima aku sebagai bagian dari keluargamu."

El melangkah menuju pintu unit apartemenku.

"Buka pintunya, Daniel," ucapnya tegas.

"Tidak! Sebelum kamu memutuskan untuk meninggalkan William ."

"Daniel, jangan gila kamu!"

"Ya, aku sudah gila! You driving me crazy, damn you El!"

Elena terbelalak mendengar ucapanku.

"Daniel, aku mau pulang!"

"Aku tidak bisa! Aku tidak mau kamu pulang."

Aku mendekat kearahnya, ia semakin takut dan berusaha mundur menjauh dariku.

"El, kembali bersamaku. Seperti dulu," ucapku lebih ke memohon.

"Daniel, aku akan menikah dengan William. Aku mencintainya," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Shit!

Aku benci mendengarnya!

Aku mendekat dan menarik paksa tangannya menuju kamarku. Ia menahan tanganku dan langkahnya, agar ia tak terseret. Sepatunya lepas sebelah, namun ia tak memedulikannya. Ia hanya ingin terlepas dari cengkramanku.

Aku tetap bersikukuh menariknya dengan paksa dan kasar, hingga kami masuk ke kamarku dan aku lempar ia ke ranjangku.

Aku segera mengunci pintuku. Ia melemparkan bantal, sepatu sebelahnya ke arahku. Tak ada yang mengenaiku sama sekali.

Lalu ia meraih lampu tidur diatas nakas samping ranjang, ia tarik dan lempar kearahku.

Praaanggg!

Lampu itu pecah mengenai pintu dan pecahannya ada yang mengenai pipiku.

Aku semakin geram melihat ia berontak. Aku terus berjalan mendekat kearahnya, wajahnya sudah pucat pasi. Ia ketakutan.

"Kali ini jangan menolakku, El! Aku tidak suka!" Aku langsung menindih tubuhnya yang terjungkal kebelakang karena dengan kasar aku dorong.

"Lepasin aku, Dan. Aku akan pergi dari William jika itu yang kamu mau," ucapnya seraya menangis.

"Bersamaku, El. Aku yang akan menikahimu," aku masih berada di atas tubuhnya, menatapnya dari dekat.

"Aku...aku akan pergi dari hidup kalian berdua. Aku akan pergi dari sini," lanjutnya.

"Jadi, kamu tetap tidak mau menikah denganku?"

Ia mengangguk.

Sialan!

"Kamu masih belum mengerti ya?! Aku menginginkan kamu, aku ingin kamu yang ada disampingku, El!"

"Lepasin aku, aku mohon!" Mohonnya dengan lemah.

🍫🍫🍫🍫🍫

Tangsel, 11 Januari 2022
Pukul 01.40 WIB
Cuaca sedang hujan saat ini.

Padahal tadinya mau 2 bab aja, ini bab terakhir.
Eh ternyata, lebih dari perkiraan. Mau diterusin, takut kepanjangan, puyeng ngeliat tulisan bejibun. Kasian mata.

So, enjoy the story.

Gimana?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro