Goodbye Ex-husband [2]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Tiga hari berselang setelah pernyataan Rayner pada makan malam lalu, selama itu pula---Olivia---istrinya tidak pernah lagi memasak untuknya.

Sarapan pagi, bi Atun yang menyiapkan. Makan malampun, bi Atun yang memasaknya. Bukan tidak enak masakannya, tapi rasanya beda saja.
Rayner sedikit terganggu dengan itu.

Bahkan, istrinya pun tidak pernah lagi menampakkan diri di depannya. Biasanya, pagi ia selalu disuguhi senyum manis dari istrinya. Saat makan malampun, istrinya akan menunggunya di meja makan dengan wajah berseri. Walaupun Rayner selalu memasang wajah tak peduli.

Rumah ini juga terasa sangat kosong.

"Bi, Oliv ke mana?" tanya Rayner.

"Ibu sudah masuk kamar, Pak. Katanya pekerjaannya banyak."

"Dia sudah makan malam?" Rayner penasaran.

"Sudah, Pak. Tadi Ibu bawa makanan sendiri, katanya dari restoran sekalian ada rapat, jadi bawa makanan. Saya juga dibawain sama Ibu," terang bi Atun.

Rayner hanya diam.
entah mengapa, sepertinya ada yang hilang.

*****

Keesokan harinya, Rayner terlihat sedang berbelanja di Mall bersama seorang wanita cantik. Yang lebih mengerikan lagi adalah, mereka sedang berada di toko keperluan bayi.

Si wanita cantik itu tidak pernah melepas tangannya yang melingkar manja di lengan Rayner.

Setelah melihat itu semua, wanita yang sedang melihat Rayner bersama wanita lain langsung mengeluarkan ponselnya dari dalam tas.

"Halo, ma?" Suara Rayner terdengar dari ponselnya.

"Kamu dimana?"

"Dirumah, kenapa ma?"

"Besok mama tunggu dirumah, tidak usah bawa Oliv," ucap wanita paruh baya tersebut yang Rayner panggil mama.

Sambungan teleponpun langsung dimatikan, hatinya bergemuruh sejak melihat anak lelakinya yang sudah menikah sedang berjalan dengan wanita lain dengan intim.

"Siapa, babe?" Tanya wanita cantik itu yang sedari tadi sibuk mencari perlengkapan bayi.

"Mama."

"Kenapa dia telepon? Apa mau nyuruh kamu cepat-cepat punya cucu dari istri kamu?!" Rajuk si wanita tersebut.

"Aku enggak tahu, ada yang mau diomongin."

"Aku harap kamu bisa secepatnya menceraikan istri kamu itu. Karena dia, kita malah jadi batal nikah," Risa---wanita cantik itu menekuk wajahnya.

Ia sudah cukup bersabar dengan pernikahan Rayner dan Olivia. Dia bukanlah perebut suami orang, justru Olivia hadir tidak terduga dalam hubungan mereka yang sudah terjalin selama dua tahun.

Rayner hanya diam saja melihat Risa merajuk. Ia menghela napas perlahan.

*****

"Mama sudah minta Pak Adnan untuk mengurus surat perceraian kamu dan Olivia," mama Rayner langsung bicara tanpa basa basi saat melihat kedatangan Rayner. Bahkan anaknya belum mendudukkan bokongnya di sofa ruang keluarga itu, sang mama sudah langsung bicara.

Rayner langsung duduk dan mencerna setiap kalimat yang mamanya ucapkan.

"Mama malu melihat kelakuan kamu, yang masih saja berhubungan dengan si Risa. Mama sudah berkali-kali bilang, dia bukan wanita yang baik untuk kamu, Rayner! Mama pernah melihat dia jalan bersama lelaki lain, dua kali melihatnya langsung dan dengan lelaki yang berbeda juga," mama.

"Itu pasti klien Risa, ma. Dia kan pekerjaannya bertemu orang baru terus, karena dia agent property."

"Klien tapi glendotan sama pria itu, memangnya mama bodoh? Kamu yang sudah di bodohi sama wanita matre itu!"

"Ray kesini karena mau membahas Olivia kan, bukannya membahas Risa."

"Ya, memang mama mau bahas tentang Oliv. Mama malu sama Oliv, menikahkan dia sama kamu yang ternyata tidak bisa bertanggung jawab dengan istrinya. Malah asik jalan-jalan ke Mall sama wanita tidak jelas. Mama juga menyesal, kenapa kamu tidak berusaha untuk memperbaiki pernikahan ini? Olivia itu gadis yang baik untuk kamu, Rayner!"

"Perasaan Ray enggak bisa dipaksa untuk mencintai Oliv, ma. Tiba-tiba dia datang, lalu mama seenaknya menikahkan Ray dengan dia. Sebenarnya Ray juga enggak mau nerima pernikahan ini, tapi mama memaksa karena rasa bersalah. Jadi, Ray bisa apa?"

Mama diam.

"Baiklah, perceraian memang lebih baik daripada kamu dan Oliv saling tersakiti karena permintaan mama," mama diam menunduk menghentikan ucapannya.

"Mama minta maaf," lanjut mama menatap netra Rayner dalam.

"Ma..."

"Mama melakukan ini, karena mama yakin, Oliv baik untuk kamu. Tapi, mama lupa, mungkin kamu yang tidak baik untuk Oliv," mama langsung berdiri dan meninggalkan Rayner seorang diri.

Mamanya sangat kecewa dengan Rayner, tapi sekali lagi, perasaan memang tidak bisa dipaksakan. Terlebih, Olivia dan Rayner belum lama saling mengenal.

Rayner hanya menghela napas lelah, ia juga merasa bersalah pada Olivia. Tapi Rayner bisa apa?
Ia tidak mencintai Olivia, walaupun gadis itu sebenarnya cantik, lembut dan baik hati.

Rayner bangkit dan segera meninggalkan rumah orangtuanya. Ia berencana ingin bicara dengan Olivia.

Setelah sampai, ia langsung memasuki kamarnya dan membersihkan dirinya. Setelah selesai ia langsung turun dan menunggu istrinya didepan teras rumah.

Hari ini, Rayner memang tidak banyak jadwal penting di kantornya. Makanya ia bisa mampir ke rumah orangtuanya dan sekarang bisa sampai dirumahnya saat masih sore hari.

Kemudian, terdengar mobil berhenti didepan pagar rumahnya. Ia melongok dan melihat Olivia keluar dari mobil tersebut dan langsung masuk.

Olivia sempat terkejut melihat Rayner sedang duduk diteras. Rayner terlihat segar, sepertinya habis mandi. Ia sangat tampan, Olivia mengakui ketampanan Rayner. Tapi sayangnya, hati Olivia sudah sakit, tidak akan mempan dengan wajah tampan itu.

"Kamu pulang diantar siapa?" Rayner.

"Aku naik taksi online," Olivia ingin cepat-cepat masuk kedalam.

Namun tangannya dicekal oleh Rayner.

"Aku ingin bicara, bisa duduk disini sebentar?" Rayner menatap netra cokelat terang milik Olivia.

Baru kali ini ia menatap wajah itu sedekat ini, Olivia sangat cantik. Wajahnya bersih, riasan yang tidak berlebihan. Lipstik berwarna pastel mewarnai bibirnya yang berisi.
Kali ini rambutnya dicepol dengan beberapa helai anak rambut yang menjuntai indah.

Lehernya jenjang dan putih, parfumnya menguar di indera penciuman Rayner.

"Ada apa? Tolong lepaskan tanganku," Olivia menatap pergelangan tangannya yang masih dipegang oleh Rayner.

Rayner tersadar, ia langsung melepas tangan Olivia. Mereka duduk bersampingan diteras.

Rayner berdehem, mengikis kegugupan yang menderanya.

"Itu___soal surat perceraian kita..." Rayner menjeda perkataannya.

"Aku sudah tahu, kemarin mama datang menemuiku ke kantor. Katanya sudah diurus oleh Pak Adnan kan?"

Rayner mengangguk.

"Kamu tidak apa-apa?" Rayner.

"Santai saja, aku enggak apa-apa. Aku harap nanti sidangnya lancar, agar cepat selesai." Dan kamu bisa bersama kekasihmu secepatnya.

Rayner lagi-lagi hanya mengangguk.

"Tidak ada lagi kan yang mau dibicarakan?" Olivia.

"Tidak ada."

"Kalau begitu aku masuk dulu," Olivia bangkit dan segera masuk kedalam. Ia sudah gerah berdekatan dengan suaminya. Rasanya tidak nyaman hidup satu atap bersama seseorang yang tidak menyukai kita.

*****

Akhirnya, Olivia menyandang status baru. Seorang janda muda.
Usianya masih 26 tahun, tapi sudah menjanda.
Apa kata orang nantinya?
Karena nikah muda, makanya cepat jadi janda.

Padahal ia juga tidak mau menikah muda. Pernikahannya hanya bertahan selama 10 hari. Wow! Menakjubkan sekali!

Padahal itu tidak pernah ada di daftar keinginan Olivia.

Sudah dua hari ia menyandang status barunya tapi hatinya justru merasa lega. Seperti merdeka dan di hati tidak ada lagi rasa yang mengganjal.

Olivia kembali menempati apartemen kecilnya, sebenarnya Rayner memberikan rumah yang mereka tempati kemarin untuknya. Tapi Olivia menolaknya.

Ia sudah tidak mau berhubungan dengan apapun itu yang berasal dari Rayner---mantan suaminya.
Mantan ibu mertuanyapun memberikan sejumlah uang kompensasi yang sangat besar jumlahnya.

Beliau merasa bersalah pada Olivia, tapi lagi-lagi ia menolaknya. Ia tidak butuh itu semua, tabungannya juga lebih dari cukup. Namun ia memang sudah terbiasa hidup hemat.

"Pak, nanti malam ada jamuan makan malam di rumah Mr. Andrew," Olivia.

"Ya ampun! Saya lupa! Tuksedo saya sudah siap?" Edwin.

"Sudah Pak, tadi asisten Bapak sudah membawanya."

"Oke. Kamu ikut saya Oliv, saya tidak suka datang sendirian."

"Tapi Pak__ saya tidak bisa."

"Tidak ada bantahan, persiapkan diri kamu."

"Tapi Pak___"

"Tidak ada tapi-tapian!"

"Saya enggak punya pakaian yang pantas untuk jamuan makan malam," Olivia.

"Ya sudah, kamu bersiap saja dari sekarang. Pekerjaanmu yang belum selesai, serahkan dulu saja ke Ana. Ini kartu kredit saya, beli apapun yang menurutmu bagus."

"Tapi Pak___"

"Jangan permalukan saya, Oliv. Beli gaun terbaik dan termahal kalau perlu." Edwin mengangkat telunjuknya keatas menandakan ia tak mau lagi dibantah.

Akhirnya Oliv menurut, ia mengambil kartu kredit tersebut dan keluar dari ruangan bosnya.

Ia akan membeli gaun terbaik dan ke salon untuk mempercantik dirinya, jangan sampai mempermalukan Pak Edwin.

"Kamu tinggal di sini?" Tanya Edwin setelah menjalankan mobilnya.

Ia menjemput Olivia di apartemennya, kini mereka sedang dalam perjalanan menuju kediaman Pak Andrew–rekan bisnis sekaligus seseorang yang sangat Edwin hormati.

Diperjalanan hanya pembicaraan basa-basi yang tidak penting.

Setelah sampai, Edwin memperlakukan Olivia seperti kekasihnya. Bosnya itu membukakan pintu mobil untuknya, menggenggam tangan Oliv dengan erat, Edwin menyuruh Oliv agar melingkari lengan Edwin.

Sebenarnya Oliv sudah biasa bepergian berdua dengan bosnya, tetapi malam ini terlalu banyak skinship yang mereka lakukan.
Oliv merasa tidak nyaman.

"Hai Edwin, akhirnya datang juga," sapa Pak Andrew saat Edwin dan Olivia menghampirinya.

"Mr. Andrew, tentu saja saya akan datang. Selamat ya atas peresmian Resort yang di Bali," ucap Edwin.

"Terima kasih, jika itu bukan saranmu, tentu saja resort itu hanya akan jadi wacana saja."

"Nona Olivia, tumben sekali anda yang menemani Edwin dalam jamuan kali ini?"

"Saya yang memintanya, dia sangat sulit untuk dirayu," seloroh Edwin.

"Ya ya, kali ini Edwin mendapatkan lawan tangguh. Saya rasa kalian pasangan yang serasi."

Olivia hanya tersenyum canggung, berbeda dengan Edwin, ia tertawa sangat lepas.

"Ya, hanya tinggal menunggu saat yang tepat," Edwin tersenyum kearah Mr. Andrew.

Mr. Andrew tertawa mendengarnya.

Setelah Mr. Andrew berpamitan ingin menyapa tamu yang lainnya, Edwin dan Olivia berjalan menyapa tamu lain yang Edwin kenal.

Semua relasi Edwin menatap Olivia dengan pandangan yang sulit diartikan. Tidak sedikit yang menggoda mereka agar menjadi sepasang kekasih. Dan Edwin sangat santai menanggapi itu.

"Malam ini kamu cantik, Oliv," Edwin.

"Terima kasih, Pak. Ini berkat kartu kredit anda," Olivia.

Edwin tertawa mendengarnya.

"Jadi yang menyulapmu seperti ini, kartu kreditku?"

Olivia mengangguk tersenyum geli.

"Baiklah. Mulai besok, kamu bisa pakai kartu kredit saya Oliv."

Olivia menaikkan sebelah alisnya, ia tidak mengerti dengan ucapan Edwin.

"Saya suka dengan semua pilihan kamu malam ini, belanjakan apapun yang kamu sukai. Pakai kartu kredit yang tadi saya berikan untuk kamu."

"Tidak terima kasih, Pak. Aneh rasanya memakai kartu kredit Bapak," Olivia.

"Aneh? Kenapa? Kurang?"

"Bukan. Saya hanya sekretaris Bapak yang menemani untuk acara penting, tidak berhak memakai kartu kredit Bapak sesuka hati saya."

"Jadi? Seharusnya bagaimana?"

"Itu hanya untuk orang terdekat dan yang Bapak percaya."

"Kamu orang terdekat saya dan yang saya percaya."

"Tapi saya tidak bisa memakai kartu kredit itu, Pak."

"Kenapa? Tolong dijelaskan."

"Saya tetap orang lain, bukan adik, kekasih atau istri Bapak, jadi tidak berhak sesuka hatinya."

"Kalau begitu, malam ini kamu bisa jadi kekasih saya."

Olivia tidak salah dengar kan?

Ia diam menatap tepat kedalam netra gelap milik Edwin.

"Jadi kekasih saya, Olivia. Dan kamu bisa gunakan kartu kredit saya sepuasnya," lanjut Edwin dengan santainya.

"Saya..."

"Tuan Edwin!" Sapa seseorang yang memotong ucapan Olivia.

Olivia dan Edwin menoleh bersamaan keasal suara.

Olivia membeku.

Pria itu, kenapa bisa ada disini?

"Hey, Rayner! Apa kabar?" Edwin.

"Baik," Rayner menjawabnya dengan kaku, sesekali tatapannya kearah Olivia yang tampak menunduk.

Rayner hadir bersama kekasihnya---Risa. Olivia tahu itu kekasih Rayner, ia pernah melihat mereka sedang  makan direstoran. Tentunya tanpa sepengetahuan Rayner.

Risa tampak menatap Olivia dari bawah keatas dan dengan tatapan tidak suka.

"Ini kekasihmu?" Tanya Edwin saat melihat Risa yang sedang menggandeng lengan Rayner.

Rayner mengangguk. Tatapannya tidak fokus, sesekali ia mencuri pandang kearah Olivia.

"Kenalkan, ini Olivia, kekasihku," Edwin memperkenalkan Olivia pada Rayner dan Risa.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro