Goodbye Ex-husband [3]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Hari ini, hari pertama Olivia menyandang status barunya. Yaitu sebagai kekasih Edwin, bosnya yang tampan, mapan dan matang.

Semalam, sehabis mengantar Olivia pulang, Edwin memastikan bahwa ucapannya tidak main-main soal hubungan kekasih yang akan mereka jalin.

Edwin Megantara, usia 34 tahun. Masih lajang tentunya, tampan sejak lahir sepertinya dan mapan sudah pasti.

Selama Olivia menjadi sekretarisnya, Edwin memang suka berganti wanita untuk dibawa ke acara-acara penting. Tidak jarang wanita-wanita tersebut adalah temannya.
Alasannya hanya karena ia tidak suka pergi sendirian jika ke acara penting.

"Oliv, ke ruangan saya sekarang!" Suara Edwin dari intercom di meja Olivia.

Olivia dengan cekatan segera datang keruangan Edwin, seraya membawa beberapa surat penawaran yang tadi pagi ia kerjakan. Untung saja sebagiannya sudah ia selesaikan.

Tok...Tok...Tok...

"Masuk!"

Olivia segera memasuki ruangan Edwin dan memberikan surat penawaran yang sudah ia kerjakan.

Edwin berdiri dan menghampirinya.

"Siapa yang minta surat penawaran?"

"Kan Bapak suruh saya ke sini, makanya saya langsung bawa surat penawaran yang sudah selesai dan emphhh...."

Ucapan Olivia tidak selesai, Edwin langsung menerjang bibir itu yang sejak tadi menarik perhatiannya sejak ia memasuki ruangannya.

Pagutannya lembut, tidak tergesa namun mendominasi. Olivia membalas pagutan itu, bahkan Edwin langsung melesakkan lidahnya dan membelai lembut lidah Olivia.

Edwin melepaskan pagutannya setelah merasakan bahwa Olivia membutuhkan oksigen untuknya bernapas.

"Ya ampun!" celetuk Olivia.

Edwin hanya tersenyum geli melihat respon Oliv.
Tangannya masih setia melingkar di pinggang wanita didepannya. Lalu sebelah tangannya menyusuri wajah Olivia, ibu jarinya mengusap pelan sudut bibirnya yang basah akibat pagutannya.

"Bibir kamu bengkak," ucap Edwin.

"Tolong lain kali jangan mencium saya secara mendadak seperti itu," protes Olivia.

"Saya harus bertanya dulu, Oliv saya mau mencium kamu ya? Seperti itu?"

"Bu–bukan seperti itu juga."

Edwin tersenyum melihat Olivia yang salah tingkah.

"Ternyata, memiliki kekasih satu kantor menjadi mood booster ya," Edwin semakin merapatkan tubuhnya.

"Jangan begini, nanti kalau ada yang masuk bagaimana?"

"Biarkan saja."

"Saya kira, kita hanya sebagai partner untuk semalam saja," Olivia.

"Tentu saja kita hari ini sebagai kekasih. Saya kan sudah DP."

Olivia mengernyitkan keningnya.

"Kartu kredit saya kan sudah saya berikan ke kamu, anggap saja itu sebagai DP menjadi kekasih kamu."

"Saya enggak mau seperti dibayar."

"Jangan tersinggung. Kamu bilang, yang berhak menggunakan kartu kredit saya adalah orang terdekat, seperti istri, adik atau kekasih. Kamu kan belum jadi istri saya dan saya tidak mau menganggap kamu sebagai adik saya. Jadi saya memilih kamu sebagai kekasih saya."

"Dengar, intinya saya sudah lama menyukaimu tapi baru semalam kesempatan untuk menyatakannya," Edwin frustasi dengan kata-katanya.

Ya ampun! Jujur saja, ia malu sekali mengutarakan perasaannya. Bahkan ia belum pernah mengucapkan kata cinta pada wanita. Ia yang selalu didekati oleh para wanita dan jika ia juga menyukai wanita itu, pendekatan akan berlanjut tanpa ada kata-kata cinta dari mulutnya.

Si wanita lah yang akan selalu mengatakan cinta kepadanya dahulu.

"Sudah lama?" Olivia.

Edwin mengangguk.

"Sejak kapan?"

"Mungkin sejak beberapa tahun yang lalu," Edwin.

"Say it," Olivia memaksa.

"Apa?"

"Katakan cinta," Olivia tersenyum miring.

"Itu bukan kebiasaanku." Edwin merenggangkan dekapannya.

Olivia menjauh.

"Baiklah, anggap saja ciuman tadi tidak pernah terjadi. Saya permisi dulu, " Olivia pergi keluar.

Saat Edwin ingin mencegah Olivia keluar dari ruangannya, ponselnya tiba-tiba berdering.

"Ck! Mengganggu saja!" Ucapnya seraya mengangkat panggilan tersebut.

*****

Kejadian siang tadi di kantor, membuat Edwin uring-uringan. Bagaimana tidak?
Olivia memintanya agar ciuman tadi siang yang begitu mendebarkan untuk dilupakan.

Setelah kejadian itu, Olivia seperti menjaga jarak. Bicaranya terlalu formal dengan wajah datar.
Edwin tidak suka.

Edwin ingin mengatakan betapa ia menyukai Oliv, tapi tentu saja malu. Rasanya bibirnya kelu ketika kalimat itu akan keluar.

"Oliv, nanti pulang bareng saya," Edwin menghampiri mejanya.

"Saya enggak bisa, Pak."

"Ada urusan kantor yang urgent dan harus saya bicarakan sama kamu."

Olivia diam sesaat.

"Baik, Pak."

Akhirnya Olivia meng-iyakan.

Jam kantorpun selesai, Edwin dan Olivia berhenti di sebuah restoran.

"Kenapa kesini? Katanya mau membahas pekerjaan?" Olivia.

"Kita makan dulu."

Mereka duduk dan memanggil pelayan untuk menuliskan pesanan mereka. Tak lama, makananpun datang.

"Dengar, saya minta maaf," Edwin memulai pembicaraan.

"Untuk apa?" Olivia memakan steaknya dengan santai.

"Soal tadi siang."

"Yang mana?"

"Saat kita berciuman."

"Saya tidak merasa kalau kita berciuman tadi siang," Olivia masih melanjutkan makannya tanpa memedulikan wajah Edwin yang sudah serba salah.

"Oliv_,"

"Edwin!" Panggil seseorang yang sontak saja Edwin berhenti bicara pada Oliv.

Edwin dan Olivia menoleh ke asal suara. Ternyata Rayner.

"Hei, Ray! Sedang apa? Ayo gabung bersama kami," Edwin.

"Baru selesai meeting disini juga, kalian berdua saja?" Rayner melirik kearah Olivia.

"Iya, kami hanya mampir saja."

"Hay, Olivia apa kabar?" Rayner.

"Baik," Olivia tersenyum kecil.

"Bagaimana proyek villa di Puncak?" Edwin.

"Sudah berjalan sejak sebulan lalu," Rayner.

"Ya, saya juga berpikir untuk mulai bisnis villa atau resort. Prospeknya menjanjikan," Edwin.

Rayner tersenyum mengangguk.

Lalu ponsel Edwin berbunyi.

"Sebentar, saya angkat telepon dulu."

Setelah Edwin pamit, Rayner menoleh kearah Olivia.

"Sepertinya kamu bahagia bersama Edwin," Rayner.

Olivia tersenyum dan mengangguk.

"Aku minta maaf, Oliv. Karena sudah mengecewakanmu di pernikahan kita."

"Aku sudah tidak memikirkan itu, anggap saja saat itu aku sedang tidak beruntung."

"Tapi setelah kamu pergi dari rumah kita, rasanya sepi sekali. Apa aku bisa meminta kamu untuk balik lagi bersamaku?"

Olivia menatap Rayner dengan dalam.

"Aku memang egois, tapi setelah kamu pergi, semuanya terasa kosong."

"Aku tidak bisa kembali bersama seseorang yang tidak pernah mencintaiku, Ray. Bukankah kamu bersama Risa?"

"Ya, Risa hamil. Dan ternyata itu bukan anakku, dia hanya memanfaatkan hartaku," Rayner tersenyum miris.

Olivia terkejut mendengarnya. Berarti selama menikah dengannya, Rayner tetap berhubungan intim bersama kekasihnya. Oliviapun tersenyum miring mengingat hal itu.

Dasar brengsek!

*****


"Kamu kenal Rayner?" Edwin.

"Saat jamuan makan malam kan kamu yang mengenalkan saya ke Rayner."

"Tapi saya merasa dia sudah mengenal kamu sebelum jamuan makan malam itu," Edwin.

"Kenapa berpikiran seperti itu?"

"Tatapan Rayner ke kamu beda sekali. Saya enggak tahu, hanya perasaan saya saja atau enggak, tapi tatapan dia seperti orang yang rindu saat melihat kamu," Edwin menatap netra Olivia dalam memastikan ucapannya.

Olivia hanya tersenyum.

"Dengar! Saya tahu ada yang aneh pada Rayner. Saya yakin! Tapi saya akan mempercayai kamu. Kalau memang kamu bilang baru bertemu saat pesta itu, saya akan menganggap seperti itu," Edwin menggenggam kedua tangan Olivia.

Olivia menatap dalam netra gelap milik Edwin dengan sungguh-sungguh.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro