Scandal (END)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sudah enam hari aku tidak melihat Raga. Ia tidak pulang ke rumah setelah malam itu. Ia pergi ketika aku tidur di kamar tamu.
Aku tidak tahu dia kemana dan akupun sibuk syuting film terbaruku.

Biarlah! Aku yakin, pernikahan ini memang akan segera berakhir.

"Bi, tolong siapkan air hangat ya," ujarku seraya mendudukkan diriku di sofa ruang tamu depan.

Hari ini aku bisa pulang sore, kebetulan scene bagianku cepat selesai dan tidak terlalu sulit dilakukan.

"Hai, Gia," sebuah suara wanita mengalun lembut di pendengaranku.

Aku membuka mata dan menoleh kearahnya.

Lana!

Dia sedang berdiri tidak jauh dari sofa tempat ku duduk. Ia keluar dari arah kolam renang.

"Hai, apa kabar?" Tanyanya canggung.

Aku belum menjawab pertanyaannya. Masih terkejut dengan kehadirannya.

"Kenapa kamu bisa disini?" Tanyaku akhirnya.

"Aku yang mengundangnya," Raga yang menjawab.

Ia baru keluar dari arah kolam renang hanya memakai celana boxer yang sudah basah. Tubuhnya juga basah, sepertinya ia baru selesai berenang.

"Aku mandi dulu, kalian bisa mengobrol dulu," Raga meninggalkan kami berdua.

"Bi, tolong siapkan air hangat di kamar tamu yah. Saya mau mandi disana saja," ujarku pada Bi Imah.

Dan aku meninggalkan Lana di bawah seorang diri tanpa berpamitan dengannya.

Aku butuh air hangat untuk melemaskan otot-ototku yang tegang. Terlebih melihat kehadiran Lana di rumah ini, sungguh membuat hatiku seketika panas.

Setelah selesai mandi dan berpakaian, aku segera turun menuju ruang makan. Sudah waktunya makan malam.

Disana, sudah duduk Lana dan Raga.

"Kamu menginap disini?" Tanyaku pada Lana.

"Enggak kok," jawabnya.

"Kalau dia menginap, kamu enggak keberatan kan?" Raga menatapku.

Aku menghentikan tanganku mengambil sendok dan menatap kearahnya.

"Silakan saja," akhirnya jawaban itulah yang keluar dari mulutku.

Dan aku melanjutkan mengambil aneka hidangan yang tersaji dan memakannya dengan tenang. Lana dan Raga yang bicara, mereka menanyakan banyak hal. Seakan baru pertama kali bertemu.

Setelah selesai makan, aku berdiri dan akan naik kembali menuju kamar tamu.

"Tunggu dulu, kita semua harus bicara," Raga mencekal tanganku.

"Mau bicara apa lagi? Masalah perceraian? Kamu urus saja, aku tinggal tanda tangan," aku.

"Gia! Kali ini saja, tolong kita semua harus bicara," Raga.

Aku bersikeras pergi meninggalkan mereka. Aku kembali ke kamar tamu dan memasukkan beberapa pakaian ke koper. Aku akan pergi dari sini dan tidur di apartemenku saja.

"Gia! Kamu mau kemana?!" Tanya Raga begitu melihatku turun membawa koper.

"Besok syuting di luar kota, aku harus pergi," jawabku tanpa menoleh kearah mereka berdua.

"Gia!" Raga terus memanggilku, tapi aku tetap tidak menghentikan langkahku. Aku segera memasuki mobilku dan meninggalkan rumah.

***

"Kamu harus bicara baik-baik berdua," saran Kinan.

Saat ini, aku sudah rebahan di ranjang besarku, di apartemenku. Oiya, Kinanlah yang menempati apartemenku.

"Melihat wajahnya saja aku sudah muak!"

"Aneh kamu! Wajah Raga sangat tampan, bagian mananya yang membuatmu muak?" Kinan terkekeh geli.

"Dia memang tampan, tapi perilakunya yang membuatku muak."

"Mungkin saja dia sudah berubah dan menyesali perbuatannya dulu."

"Menyesal apanya? Bahkan ia merasa tidak melakukan kesalahan itu!" Aku berdecih.

Terlalu naif berpikir bahwa Raga sudah berubah menjadi lebih baik.

Dan, percakapanku dengan Kinan berakhir tanpa ada jalan keluar. Hanya Kinan yang mengetahui persoalan pernikahanku dengan Raga.

Selain Manajerku, dia seorang yang dapat kupercaya.

Dua hari aku tinggal di apartemenku. Sejak hari pertamaku disini, Raga tak henti-hentinya menelponku. Bahkan puluhan pesan sudah ia kirimkan sejak itu.

Isinya sama semua.

Menanyakan kabar, sudah makan apa belum?
Menyuruhku agar menjaga kesehatan dan mengingatkanku agar aku rajin olahraga. Dan mencecar dengan pertanyaan...

'ada apa denganmu Gia?'

'aku harap kita bisa bicarakan semua ini dengan baik-baik.'

'aku ingin mengatakan semuanya, bisa kita bertemu?'

'aku merindukanmu, Gia.'

'jangan menghindariku, Gia.'

'tolong balas pesanku.'

'baiklah, kalau memang kamu bersikeras ingin bercerai, aku akan mengurusnya. Disini, hanya aku yang berusaha mempertahankan pernikahan ini. Apapun tanggapanmu, tapi ini tetap pernikahan yang sakral bagiku. Aku hanya mengingat momen manis kita saat berdansa disaat pesta pernikahan kita. Karena hanya itu momen kita bisa berhadapan langsung. Dan aku bisa melihat wajahmu dengan jarak yang sangat dekat. Sampai kapanpun aku tetap mencintaimu, Gia. Walaupun kamu tetap bertahan dengan pikiran yang kamu simpulkan sendiri. Aku harap kamu mendapatkan kebahagiaanmu.'

Dan, pesan terakhir itu dikirim pagi ini. Pesan yang begitu panjang dan entah mengapa, saat membacanya, air mataku keluar begitu saja dari pelupuk mataku.

Aku tidak mengerti dengan diriku. Aku memang ingin segera bercerai darinya, mengakhiri pernikahan ini.

Tapi, saat Raga menyetujui hal itu, rasanya hatiku hancur. Berbanding terbalik dengan hatiku yang kemarin-kemarin. Bersikukuh ingin meninggalkannya.

Aku menangis.

Tapi aku tidak mengerti menangis karena apa? Untuk apa?

***

"Halo?___iya betul___sekarang ada di rumah sakit mana?!__baik, saya segera kesana!"

Aku menutup panggilan tersebut dan bergegas meninggalkan lokasi syuting. Sutradara, kru lainnya dan para pemain bingung melihatku yang panik.

"Ada apa Gia?" Tanya sutradara.

"Raga, kecelakaan."

"Kamu bisa nyetir sendiri?" Tanyanya.

Aku mengangguk. Dan meninggalkan lokasi menuju ke rumah sakit dimana Raga berada.

Ya, Tuhan!
Semoga saja Raga tidak apa-apa.
Aku tidak tahu bagaimana kondisinya, setelah mendapat telepon dari seseorang yang memakai ponsel Raga, aku tidak banyak tanya lagi. Aku harus segera sampai di rumah sakit.

Raga...

Setelah memarkirkan mobilku, aku berlari kedalam rumah sakit, menuju ruang IGD yang tadi disebutkan oleh si penelpon.

Aku melambatkan lariku saat di depan pintu IGD sudah berdiri Lana.

Lana? Kenapa ia bisa di sini juga?

"Apa yang terjadi sama Raga?" Tanyaku langsung padanya.

"Dia kecelakaan tunggal, menabrak pohon. Katanya kepalanya terkena benturan keras."

"Lalu, sekarang bagaimana kondisinya?" Aku bersikeras agar menguatkan diriku.

"Masih perawatan, aku harap dia tidak apa-apa."

Ya, kuharap juga begitu.

"Ini," Lana menyerahkan map cokelat kepadaku.

Aku mengambilnya dan membukanya. Sangat terkejut aku membaca kertas tersebut.

"Raga enggak mau bercerai denganmu, kenapa kamu keras kepala ingin bercerai dengannya?" Lana.

Aku menoleh kearahnya.

"Bukan urusanmu!"

"Memang bukan urusanku, tapi dua minggu yang lalu, ia datang ke tempatku. Wajahnya putus asa, meminta tolong agar aku menjelaskan semuanya padamu," Lana.

"Aku enggak butuh penjelasanmu! Mataku sudah cukup menjelaskan semuanya kejadian beberapa tahun yang lalu," sarkasku.

"Aku enggak pernah tidur sama Raga, tidak pernah ada pengkhianatan yang kami berdua lakukan," jelas Lana.

"Cih!" Aku mencemoohnya.

"Yang kamu lihat di kost aku itu Roy! Saat itu ia memakai pakaian milik Raga. Aku berani bersumpah, Gia!" Lana.

Aku memandanginya sejenak, masih menimang-nimang ucapannya.

"Itu benar, Gia!" Suara pria tiba-tiba saja datang kearah kami.

"Roy!" Aku terkejut melihat Roy berada disini.

"Halo, Gia. Lama tidak bertemu, semakin cantik, seperti biasa. Aku hanya biasa melihatmu dari tv saja," Roy tersenyum ramah.

Roy memakai jas putih milik dokter.

"Aku dokter umum disini dan mengetahui Raga kecelakaan sedang dirawat disini," jelasnya setelah sadar aku meneliti pakaiannya.

"Dengar, Gia! Raga tidak pernah mengkhianatimu. Yang kamu lihat itu adalah aku dan Lana. Saat itu, aku memang meminjam hoodie milik Raga, karena aku menginap di rumahnya."

"Dan, sekarang kondisi Raga sedang kritis. Aku harap Raga bisa selamat," lanjutnya.

Aku menangis.

Aku remas kuat map cokelat tadi dan aku tahu aku harus apa.

"A__apa aku bisa menemuinya?" Aku.

Roy menuntunku memasuki ruang IGD, tempat Raga.

Dan di brankar tersebut, terbaring tubuh Raga. Kepalanya sudah diperban dan tangan kanannya diberi gips. Ia masih terpejam.

"Raga___aku mohon bangun__"

"A__aku minta maaf___aku enggak jadi mau bercerai___tolong bangun Raga," tangisku pecah, mengingat hal-hal yang terjadi bersamanya selama pernikahan ini. Aku yang selalu ketus padanya dan dia yang selalu menjawab ucapanku dengan lembut.

Ya, Tuhan!

Aku menyesal sekali.

Dan, tiba-tiba saja semua pandanganku gelap. Selanjutnya, aku tidak tahu lagi apa yang terjadi.

***

"Sudah kubilang kan, jangan membohonginya!"

"Ini kan idemu, Roy!"

"Sialan! Kenapa jadi menyalahkanku?"

Aku mendengar kasak kusuk disekitarku, entah apa yang terjadi. Tapi rasanya seperti mendengar beberapa orang yang sedang berdebat.

Aku membuka kedua mataku.

"Gia! Kamu udah bangun?!" Itu suara Raga.

Ah, Raga!

Aku langsung menajamkan penglihatanku. Dan benar saja, ia sedang berdiri di sisi brankarku. Kepalanya masih diperban dan lengannya juga masih di gips.

"Raga? Kamu udah sadar?" Aku langsung memeluknya.

Aku menangis melihatnya, rasanya aku rindu sekali dengannya.

"Iya aku enggak apa-apa," kami melepaskan pelukan kami.

Dan ia melepaskan perban yang melingkar di kepalanya.

Aku masih bingung.

"Kenapa dilepas?! Lukanya kan belum kering?" Aku.

"Maaf, aku bohong sama kamu. Aku enggak apa-apa, hanya terbentur sedikit," Raga meringis menjelaskannya.

Aku diam.

"Jahat kamu ya! Udah bikin aku khawatir!" Aku memukul lengannya yang di gips.

"Aww...yang ini beneran sakit. Tanganku terkilir," ia meringis ketika lengannya aku pukul.

"Maaf, Gia. Ini ide Roy!" Lana.

"Hey! Kalian juga kan yang memberi ide!" Roy tidak terima.

"Gia, aku dan Lana enggak ada hubungan apa-apa. Ini hanya kesalahpahaman saja," Raga memegang tanganku.

"Maafkan aku, semua karena aku yang memakai pakaian Raga. Jadi salah paham begini," Roy.

"Raga, berulang kali menyuruhku untuk menjelaskan ini padamu, Gia. Tapi jadwal praktekku tidak tentu, jadi belum bisa menemuimu. Makanya saat Raga mengalami kecelakaan, aku hanya memberi sedikit ide agar membuatnya seperti kecelakaan gawat. Eh, malah kamu yang pingsan," lanjutnya.

Aku hanya tersenyum.

"Jadi?" Raga.

"Apa?" Aku.

"Kita tidak jadi bercerai, kan?"

Aku menggeleng dengan malu.

Raga merobek kertas yang ada di map cokelat tadi dengan wajah berseri-seri.
Aku hanya mengulum senyum.

Roy dan Lana bertepuk tangan dengan riang.

Raga memeluk tubuhku dengan erat dan mengecup kepalaku.

"Wahh, jadi belah duren nih!" Roy.

Kami mengurai pelukan kami.

"Maksudnya apa? Kita kan udah tidur bareng karena aku mabuk waktu itu," aku.

"Maaf, itu hanya rencanaku," Raga menggaruk-garuk kepalanya.

Dan, sekali lagi, hari ini kejutan datang bertubi-tubi.

***

"Jadi, coba jelaskan?" Kami sudah sampai di penthouse milik Raga.

Setelah tadi kejutan bertubi-tubi kudapatkan, Raga segera membawaku pulang. Tapi tidak ke rumah, ia ingin mengajakku ke penthousenya.

Katanya, waktu enam hari ia tidak kembali ke rumah, ia menetap di sini. Merenungkan apa yang harus ia lakukan dan mencoba menghubungi Lana dan Roy agar menjelaskan permasalahan sebenarnya kepadaku.

Aku merasa bersalah mendengar ceritanya. Karena kesalahpahaman ini, aku menuduhnya dan bahkan membencinya sampai bertahun-tahun.

"Maafkan aku," aku.

Ia menoleh dan memelukku.

"Jadi, jelaskan semuanya soal malam itu?" Aku.

"Aku yang menaruh obat tidur di dalam minumanmu. Aku tahu kamu akan ke club itu dari temanmu sesama artis. Jadi, malam itu aku sengaja datang dan menyuruh seseorang untuk menaruh obat tidur di minumanmu. Ya, selanjutnya kamu sudah tahu kan?" Raga.

"Jadi, kita tidak melakukan seks kan?" Aku.

Ia menggeleng.

"Aku enggak mau melakukannya saat kamu tertidur, aku ingin mendengar desahan keluar dari bibirmu," ia mengecup bibirku sekilas.

Ciuman pertama kami sejak menikah.

Aku malu mendengarnya.

"Jadi, hari ini bisa kan kita melakukannya?" Raga.

Aku tersenyum menahan malu.

Raga tidak perlu menunggu jawabanku, ia segera melumat bibirku. Penuh kelembutan dan kerinduan di sana. Akupun membalasnya dengan penuh perasaan. Kedua tanganku sudah melingkar di lehernya.

Raga menyentuh tiap inci tubuhku, menjamahnya dengan penuh kelembutan dan rasa. Ia melepaskan seluruh kain yang menempel di tubuhku. Begitupun aku, dengan tidak sabaran, aku melepas semua milik Raga.

Kami beradu pandang, ia tersenyum. Netranya sayu, penuh sorot damba dan gairah. Ia memagutku kembali, kini lebih mendominasi dan menuntut.

Ya, akupun menginginkan lebih dari ini. Aku ingin ia segera memasuki.
Ah, terdengar murahan sekali!
Tapi, tidak apa kan murahan di depan suami sendiri?

Aku direbahkannya, ia berada di atasku.

"Kamu udah basah, sayang," ia tersenyum menatapku.

Aku sungguh malu, disentuh sedalam ini oleh seorang pria. Dan ia menyentuh area pribadiku.

Tidak.

Tidak hanya menyentuh, ia mengobrak-abrik intiku dengan penuh kenikmatan.
Aku sudah tak sanggup lagi menahannya.

Setelah selesia di bawah sana, ia mulai memposisikan miliknya ke intiku.

"Aku masuk ya," Raga.

Aku hanya mengangguk.

Aku meringis begitu ia mendorong masuk dan kedua kalinya akhirnya ia berhasil masuk. Dan air mataku mengalir dengan sendirinya, ketika rasa di tubuhku seperti patah.

Raga mendiamkan sejenak, agar aku terbiasa merasakan miliknya, begitu katanya.
Setelah tidak begitu sakit seperti awal, ia mulai memaju mundurkan miliknya.

Dan lenguhan penuh nikmat memenuhi kamar luas ini. Awalnya yang terasa begitu menyakitkan akhirnya digantikan dengan kenikmatan luar biasa.

Raga terus saja memanggil namaku, memujaku dan terkadang mengeluarkan umpatan. Namun itu terdengar indah mengalun di indera pendengaranku.

Kami berdua terbakar.
Terbakar kenikmatan duniawi.

Setelah semua yang terjadi, akhirnya aku bisa bersama Raga. Rasa cintaku kini tidak lagi aku tutupi seperti kemarin.
Raga juga memperlakukanku sama seperti dulu.

Masih Raga yang dulu.
Masih Raga, yang perhatian.

Aku memandanginya dari bawah, ia begitu mempesona. Begitu matang dan dewasa. Berbeda saat masih kuliah dulu. Tetap tampan, tapi saat ini, ia lebih menggairahkan.

"Terima kasih, sayang," ucapnya tepat di telingaku, setelah kami meraih kenikmatan.

"I Love You," aku.

"I love you more!" Raga mengecup bibirku dengan lembut.

Dan aku memejamkan kedua mataku. Kami tidur dengan berpelukan masih dalam keadaan polos.
Biarlah begini dulu.

Aku ingin menikmati waktu bersama suamiku.

❤️❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro