17. Letter to You

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sabtu, 15 Januari 2000

Inspektur, berkat Anda akhirnya kami berhasil menangkap pelaku pembunuhan satu keluarga di Karang Sari. Anak itu selamat juga berkat informasi yang Anda berikan.

Semua akan kembali normal, saya janji. Anak itu sekarang berada di tempat penampungan Lembaga Perlindungan Anak. Dia akan dididik di sana. Anda tidak perlu kuatir, saya akan datang menjenguknya sesekali nanti.

Apa yang sudah kita lakukan ini tidaklah salah, Inspektur. Anda tidak perlu merisaukan apapun. Masa lalu bagi Anda adalah masa sekarang bagi saya. Jika memang ada korban yang selamat, kita sebagai polisi, sebagai pengayom masyarakat, tentu saja tidak boleh sampai mengabaikan hal sepenting itu. Semua memang sudah menjadi tugas kita. Tidak ada yang salah dengan itu. Kita melakukan hal yang benar.

Tertanda,

Lettu Syahbana Samsuri.

Dimas melipat kertas itu menjadi persegi empat kecil, kemudian kembali menyelipkannya di balik sampul buku.

Pada lembar pertama buku tersebut, tertulis jelas nama Lettu Syahbana Samsuri. Bahkan, logo milik Kepolisian Wilayah Riau beserta semboyannya yang seolah sengaja dicetak timbul juga turut menghiasi lembar tersebut.

"Jurnal ini memang milik Letnan itu," ucap Dimas seorang diri.

Dimas tersenyum sekilas. Sekarang, dia tidak perlu mengkhawatirkan apapun lagi.

Semua sudah menjadi tugas kita .... Tidak ada yang salah dengan itu ....

—adalah bait yang paling Dimas ingat.

Menyelamatkan Rianda Bumi dari kematian merupakan tindakan yang benar. Dimas sangat ingin berterima kasih pada Letnan Samsuri, sebab melalui surat tersebut, setidaknya Letnan Samsuri telah menjawab segala kekhawatiran yang kerap dipendamnya seorang diri.

Letnan Samsuri menulisnya di tahun 2000. Sangat jelas tertera pada bagian tanggal surat.

Dimas yakin, surat tersebut memang ditujukan untuk dirinya, sebab Letnan Samsuri jelas menggunakan kata 'Inspektur' sebagai salam pembuka pada suratnya.

Jari-jari Dimas lantas bergerak membalik lembar selanjutnya. Banyak coretan yang dia temukan di sana, yang kemudian Dimas pahami merupakan catatan penyelidikan mengenai kasus pembunuhan satu keluarga di Karang Sari.

Dengan dahi terkenyit, Dimas berpikir. Entah bagaimana jurnal penyelidikan milik Letnan Samsuri ini ditemukan di antara barang-barang milik Disza Anszani—yang berhasil Aryan kumpulkan sewaktu menyisir rumah reyot di TKP Batu Bedimbar.

Yang membuat Dimas penasaran akan ini semua adalah ....

"Kenapa bisa ada pada Disza?"

Hanya ada satu kemungkinan yang bisa Dimas pikirkan saat ini; Disza Anszani mungkin adalah putri Letnan itu.

Polres Kepulauan Riau

Letnan Samsuri memandangi kenop pintu sembari mengernyit bingung, ketika mendengar suara berisik dari dalam ruangan Divisi Pidum. Suaranya mirip gedebuk benda-benda berjatuhan ke lantai. Tak lama setelahnya, teriakan seseorang ikut mengemuka dari dalam, cepat bereskan! Disusul teriakan lainnya, yang selanjutnya langsung dihadiahi sumpah serapah dari banyak mulut.

Merasa penasaran dengan apa yang terjadi, Letnan Samsuri pun segera memutar kenop pintu. Seketika orang-orang yang berada di dalam ruangan pun terkesiap melihatnya. Segala aktivitas mereka terhenti di detik itu juga dan mendadak situasi berubah menjadi sangat canggung.

"Apa yang kalian lakukan?" tanya Samsuri dengan alis terangkat sebelah. Begitu mengedar pandangan sampai ke langit-langit, dia melihat banyak sekali balon warna-warni yang mengambang.

Letnan Samsuri sempat dibuat ternganga saat sebuah balon di atas kepalanya tiba-tiba meledak. Otomatis, potongan kertas kecil serupa isi dalam sebuah konfeti berhamburan menghujani kepalanya. Ucapan "selamat ulang tahun, Letnan" lantas terlontar dari mulut rekan-rekannya. Dilihatnya Ayis ikut menyenggih di samping Guntur yang memasang senyum licik, membuat Letnan Samsuri mendadak kikuk, sebab dia sama sekali tidak mengingat hari ulang tahunnya sendiri.

"Sebenarnya kejutan ini juga untuk merayakan berita bahagia soal istri Anda yang sedang mengandung." Salah seorang rekannya, Denisar, yang postur tubuhnya nyaris tak berdaging—kontras dengan Guntur yang berbadan tegap dan gemuk—bersuara. Denisar lalu mengucapkan selamat padanya.

Kemudian, Ayis pun ikut menimpali sembari menampilkan senyum ganjil. "Obat kuat yang kemarin itu benar-benar manjur, kan, Letnan?"

"Sialan!" Letnan Samsuri tidak segan-segan memukul kepala Ayis. Dia benar-benar dibuat malu setengah mati di hadapan rekan-rekan lainnya.

Guntur hendak membuka mulutnya, tetapi tiba-tiba saja pintu ruangan menjeblak sekuatnya. Suara hantamannya tidak main-main, memaksa semua mata kontan beralih ke ambang pintu. Sosok Kapten Darwis muncul di sana. Riak wajahnya kontan bertambah kecut ketika Kapten itu mendapati ruangan divisi yang dipimpinnya dipenuhi banyak kekacauan di sana-sini.

"Selama saya pergi, kalian malah asyik berpesta di sini?"

Kapten Darwis mengabsen satu per satu wajah bawahannya—tidak terkecuali Letnan Samsuri, detektif kepolisian yang belum lama ini dipindah-tugaskan ke Polres Kepulauan Riau. Kapten Darwis mendesah lelah seraya memijat kepalanya yang mulai berkedut hebat. Kemudian, kembali berkata usai dirasa emosinya sedikit mereda.

"Bereskan semua ini. Kita Briefing sebentar lagi."

_______________

"Saat ini Batam tengah digegerkan dengan adanya penemuan mayat dua orang wanita yang dibuang di Kilometer 13. Wanita-wanita itu sebelumnya sudah masuk dalam daftar orang hilang. Seminggu kemudian, mereka justru ditemukan dengan kondisi sudah tidak bernyawa."

Letnan Samsuri membaca laporan penyelidikan yang sebelumnya telah dibagikan oleh Ayis secara bergilir. Para korban memiliki latar belakang yang berbeda. Korban pertama bernama Siti Sundari (22) seorang pekerja kantoran. Sementara korban kedua bernama Mariana Pane (24) seorang pekerja di kelab malam. Mereka menghilang sejak awal Februari, selang tujuh hari kemudian keduanya pun ditemukan tewas dengan kondisi mengenaskan. Jasad mereka dibuang begitu saja di daerah yang cukup sepi dan jarang dilewati. Tidak ada kesamaan ras, usia, atau jenis pekerjaan, kecuali fakta bahwa kedua korban adalah wanita. Kedua korban bahkan tidak saling berkaitan jika dilihat berdasarkan profil lengkapnya: tidak memiliki hubungan atau pun saling mengenal satu sama lain.

"Korban dipilih secara acak. Apakah ini termasuk pembunuhan berantai?" sahut Letnan Samsuri di tengah-tengah diskusi.

Kapten Darwis menelan ludah gugup. Berkat ucapan anak buahnya itu, fokusnya untuk membahas bagaimana kedua korban diperlakukan pun teralihkan.

"Heishhht! Jaga omonganmu, Samsuri. Apa kau tidak tau kalau ucapan itu adalah doa?" sahut Guntur, rekan sejawatnya yang duduk persis di sebelahnya. "Bagaimana kalau jadi kenyataan?"

Mereka semua kemudian saling berpandangan. Dulu atau sekarang sama saja, tidak pernah ada yang suka dengan kasus pembunuhan berantai.

Kapten Darwis mengambil alih keheningan. "Banyak orang di Mapolda yang berpendapat sama. Namun, melihat perbedaan motif bagaimana kedua jasad wanita itu dibuang, sepertinya kita dihadapkan pada dua kasus berbeda yang kebetulan terjadi pada waktu dan tempat yang sama." Dia memberi jeda, membuat seluruh bawahannya kembali saling berpandangan.

"Guntur, Samsuri, Ayis, juga Denisar, siapkan sikat gigi kalian. Besok kita akan menyebrang ke Batam," perintah Kapten Darwis sebelum menutup briefing singkat pagi itu.

Langkah Dimas terhenti tepat di
depan ruangan 204. Dia berusaha menetralkan detak jantungnya yang menggila sejak dia menginjakkan kaki di Rumah Sakit Hasan Sadikin bermenit-menit yang lalu. Dengan sekali sentak, Dimas menggeser pintu di hadapannya. Disza Anszani. Gadis itu benar-benar ada di sana, persis seperti apa yang dilaporkan Aryan beberapa saat yang lalu.

"Apa yang terjadi?"

"Dia diserang oleh orang tak dikenal, Inspektur," jawab Aryan, yang memang sudah menunggu kedatangannya sejak tadi.

Dimas berjalan masuk. Kata-kata yang selanjutnya ingin dia ucapkan serasa menancap di tenggorokan. Melihat Disza Anszani terbaring lemah seperti ini, hati Dimas menjadi tidak keruan. Gadis itu tidak tampak lebih baik. Tidak seperti saat terkahir kali mereka bertemu. Waktu yang saling tumpang tindih membuat Dimas bingung dengan pertemuan mereka. Sudah berapa kali mereka bertemu? Entahlah. Rasanya Dimas tidak ingin merisaukannya lagi. Dia akan berhenti menghitung mulai sekarang. Hal yang terpenting adalah, gadis itu ada di hadapannya saat ini, dan dia selamat.

"Dasar ...!" Dimas memaki dirinya sendiri. Perasaan lega perhalan merayapi hatinya. Dimas akan merasa sangat ... sangat menyesal, kalau sampai terjadi apa-apa pada gadis itu.

______________

"Kenapa Inspektur sangat peduli pada gadis itu?" tanya Aryan penasaran. Dia menekan pedal gas lebih dalam lagi. Mobil yang membawa keduanya pun perlahan menjauhi Rumah Sakit Hasan Sadikin.

Dimas tampak menerawang jauh. Digenggamnya erat HT tua yang selama ini selalu dia bawa dalam saku jaketnya.

"Disza Anszani adalah ..."

... putri Letnan Samsuri. Mungkin. Dimas sendiri tidak begitu yakin, jadi dia memilih untuk tidak melanjutkan katanya-katanya. Lagipula, Aryan tidak ada hubungannya dengan ini semua.

"Bagaimana dia bisa diserang?"

"Entahlah," jawab Aryan kemudian. "Sopir truk pengangkut barang menemukannya di semak belukar Kilometer 13 saat hendak buang air kecil. Gadis itu masih belum sadarkan diri, jadi belum bisa ditanyai. Dokter bilang, kemungkinan gadis itu terkena pukulan benda tumpul di area belakang kepalanya, beruntung karena tidak sampai mengenai batang otaknya."

Dimas mendesah pelan. Disza Anszani diserang dan tidak sadarkan diri. Kengerian macam apa yang bisa menimpa gadis itu? Dimas tidak bisa menebak. Yang jelas Disza Anszani harus segera bangun dan menceritakan semua yang telah terjadi.

Dimas meminta Aryan memelankan laju mobil begitu melihat papan nama 'Desa Sidomulyo' dari kejauhan. Mobil kemudian berbelok sesuai instruksinya. Tak berapa lama mereka berhenti tepat di depan sebuah rumah yang terbuat dari batu bata merah sederhana.

"Sepertinya ini alamatnya."

Keduanya pun segera turun dari mobil. Dimas memperhatikan rumah sederhana itu dengan dahi berkerut dalam. Tiba-tiba saja dia teringat pada rumah lamanya—dulu—yang pernah dia tinggali bersama mama dan juga papanya. Tidak ada Bunda Elizar, Eja, maupun Mika. Hanya ada mereka bertiga. Ingatan itu samar-samar menyembul keluar, membuat kepala Dimas tiba-tiba terasa sakit.

Langkah kaki kedua polisi itu akhirnya memasuki gerbang depan. Tampak oleh mereka seorang wanita renta berpakaian sederhana sedang sibuk menyirami kebun mawarnya.

"Maaf. Benarkah ini kediaman keluarga Santini?"

Serta-merta wanita tua renta itu pun menoleh. "S-santini?" ujarnya gugup. Matanya seketika membeliak, mendapati dua orang pria berseragam polisi datang menyambangi rumahnya.

________________

"Santini?"

"Santini alias Joseph Judith," ucap Aryan memastikan.

Wanita tua itu tak lagi merespon ucapannya. Bermenit-menit lamanya mereka pun dibungkam keheningan. Aryan melirik ke arah inspektur-nya, yang seolah memang sengaja memberi waktu pada wanita renta itu untuk berpikir.

Dimas sendiri tampak tengah sibuk dengan urusannya. Manik matanya seakan tidak bisa lepas dari tiap jengkal sudut ruang tamu. Pigura foto yang dipajang di dinding ruang tamu, kebanyakan berupa foto-foto lawas yang warnanya telah pudar serupa hitam putih. Tampak beberapa pigura berisi foto anak lelaki diletakkan dalam lemari kaca tepat di sebelah sofa duduk, yang disandingkan dengan sebuah vas bunga yang terbuat dari kaca pula.

Amsal 14:12 (BIS)
Ada jalan yang kelihatannya lurus, tapi akhirnya jalan itu menuju maut.

Merupakan kutipan dari sebuah ayat, yang juga sengaja disematkan di dekat foto anak lelaki tersebut.

Kutipan ayat tersebut membuat rasa penasaran Dimas bangkit. Sampai sesaat kemudian, dehaman wanita renta sang pemilik rumah memaksa wajahnya menghadap ke depan.

Tiga cangkir teh dengan asap yang masih mengepul telah disajikan sejak tadi di hadapan mereka. Dimas meminumya dengan canggung. Dia memandangi raut wajah Ibu Lisbeth yang terlihat sangat lelah dan sangat tua. Garis-garis keriput yang terukir menggambarkan betapa tahun telah banyak dia lalui. Sendirian. Sedari tadi, Dimas tidak melihat ada orang lain di rumah itu.

"Pihak kepolisian berhasil mengidentifikasi sebuah kerangka manusia yang ditemukan di daerah Batu Bedimbar,"

Raut wajah Ibu Lisbeth langsung berubah masam. Ditatapnya kedua polisi itu tanpa berkedip.

"Kerangka tersebut kemungkinan adalah kerangka milik Joseph Judith, anak Anda."

Wanita renta itu terlihat sangat kaget, kemudian mata tuanya melirik sekilas pada pigura foto dalam lemari kaca. "Anak saya sudah lama meninggal. Bapak mungkin salah orang," ucapnya ketus.

Sementara itu Dimas dan Aryan hanya bisa saling pandang.

Dering telepon di ruang Divisi Pidum memaksa Letnan Samsuri terjaga dari tidurnya malam itu. Ditatapnya jam pada dinding. Lima menit lagi sebelum pukul sebelas malam. Dia mendesah malas. Gagang telepon kabel terasa begitu jauh dari jangkauannya. Tidak ada satu pun orang yang tinggal selain dirinya di ruangan itu. Letnan Samsuri terpaksa bangkit, kemudian menyambar gagang telepon tersebut.

"Halo ... Polres Kepulauan Riau, ada yang bisa dibantu?" Masih setengah mengantuk, pria itu menguap lebar sembari menyambut lawan bicaranya.

"To ... long ...," ucap seseorang di seberang terdengar terputus-putus.

Letnan Samsuri mengernyit sekaligus kaget mendapati suara serak seperti tersendat-sendat napas ketakutan mendengungi telinganya. "Halo? Halo?" katanya panik bukan main. Ruangan kosong melompong membuat bulu kudunya terangsang berdiri.

"Ada seseorang yang dibunuh!" suara tersebut tiba-tiba meninggi lalu kembali melirih. "Saya ... saya melihatnya ...."

"Apa ...? Dengan siapa ini? Di mana Anda ...?"

Tut ... tut ... tut ....

"Halo?!" bentak Letnan itu kuat saat panggilan mendadak terputus. Letnan Samsuri masih terhenyak di tempatnya. Raut wajahnya tampak begitu terusik sembari memandangi gagang telepon di tangannya. Panggilan misterius dari orang tak dikenal yang dia terima barusan membuatnya lantas buru-buru pergi ke luar ruangan. Firasatnya mengatakan, ada sesuatu yang tidak beres.

_______________

Waduh. Butuh waktu lama untuk saya bangkit kembali menulis cerita ini. Ok selamat membaca gaeys

Catatan:

Divisi Pidum = Divisi Tindak Pidana Umum. Ini saya singkat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro